Anda di halaman 1dari 11

REKONSILIASI

Makalah diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Manajemen Konflik

Kelompok 09/MPI A :

1. Dian Fitria Dewi (211217015)

2. Faning Maulida F. (211217022)

Dosen Pengampu:

Dr. Muhammad Thoyib, M.Pd.

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) PONOROGO

FEBRUARI 2020
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam sudut pandang organisasi, konflik dapat dianggap baik jika dapat
dikelola dan mendukung pencapaian sasaran organisasi, sebaliknya jika konflik
tersebut bersifat merusak dan menghambat kinerja maka konflik tersebut harus
segera diselesaikan. Oleh karena itu, rekonsiliasi berubah menjadi sebuah topik
yang cukup sering terdengar belakangan ini, hal yang juga berlaku pada tataran
organisasi. Hal tersebut dilakukan jika suatu organisasi tengah mengalami konflik
atau kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai-nilai atau tujuan-tujuan yang
ingin dicapai baik dalam diri sendiri maupun dalam hubungannya dengan orang
lain.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan rekonsiliasi?
2. Apa sajakah model pendekatan teoretis rekonsiliasi?
3. Apa sajakah ruang lingkup rekonsiliasi?
4. Apa sajakah komponen rekonsiliasi?

1
2

PEMBAHASAN

A. Definisi Rekonsiliasi Konflik


Secara etimologis kata ini. Kata ini terdiri dari kata Latin, concilium.
Kata ini mengandaikan suatu proses yang dimaksud dengan sengaja, di mana
pihak-pihak yang saling berseteru bertemu satu sama lain “dalam dewan”
guna membahas pandangan mereka yang berbeda dan dan mencapai
kesepakatan bersama. Jika dilihat dari akar katanya ini menimbulkan kesan
bahwa kata ini mirip dengan negosiasi.
Dalam Oxford Dictionary, kata ini didefinisikan sebagai “the
restoration of friendly relations atau the action of making of one view or
belief compatible with another.” Dari definisi ini dapat dilihat bahwa kata ini
berkembang dari usaha mencari kesepakatan bergerak ke arah memperbaiki
hubungan yang rusak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun mendefinisikan
dengan maksud yang sama. Oleh KBBI kata ini didefinisikan sebagai
perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula;
perbuatan menyelesaikan perbedaan”. Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa kata ini diartikan sebagai perdamaian atau perbaikan. Jadi,
dalam kata rekonsiliasi terkandung makna perbaikan kembali suatu hubungan
yang telah rusak.1
Rekonsiliasi merupakan suatu bentuk resolusi konflik (conflict
resolution). Rekonsiliasi dapat dianggap sebagai bagian atau satu cara untuk
menuntaskan konflik, dalam hal ini rekonsilasi diperlukan agar persoalan-
persoalan pasca konflik dapat dituntaskan. Rekonsiliasi dapat juga
disejajarkan pengertiannya dengan upaya transformasi konflik, yaitu
bagaimana mengubah konflik menjadi damai. Dalam hal ini penyusun
menggunakan teori rekonsiliasi yang di usung oleh Duane Ruth Hefflebower.

1
Zulhabibi Ur, Rekonsiliasi Konflik, Universitas Kristen Satya Wacana (Online).
(www.academia,edu) diakses pada 11 februari 2020, 20-21.
3

Duane Ruth Hefflebower sangat memperhatikan sisi strategi dari


sebuah rekonsiliasi. Walau menggunakan kata rekonsiliasi, Ruth Hefflebower
juga memperhatikan unsur-unsur mediasi. Ketika ia mulai membahas tentang
rekonsiliasi maka ia menjelaskan tentang konsiliator. Hefflebower berangkat
dengan menjelaskan perbedaan mediator dan konsiliator. Seorang konsiliator
adalah seorang yang bijaksana, paling tidak memiliki status yang sama dengan
pihak yang berkonflik dan dipercayai oleh kedua belah pihak, yang
mendengarkan secara pribadi kepada kedua belah pihak itu, lalu mengusulkan
sebuah solusi. Makin erat dimana konteks nasehat yang diberikan, maka
semakin besar kemungkinan pihak yang berselisih mengikuti nasehat
konsiliator. Sehingga dapat dikatakan bahwa model konsiliasi seorang
konsiliator memegang peranan yang sangat besar.2

B. Model Pendekatan Teoretis Rekonsiliasi


1. Teori Pilihan Rasional (rational choice)
Dasar teori ini adalah bahwa masyarakat atau individu adalah
pelaku yang rasional, yang akan bertindak untuk mencapai hasil maksimal
yang mungkin dari setiap interaksinya. Dalam konteks rekonsiliasi,
terutama dalam konteks pertikaian internasional (international disputes),
rekonsiliasi dapat dipahami sebagai tindakan atau keputusan terbaik yang
menguntungkan semua pihak yang didapat dari suatu proses perundingan
yang rasional.
Dalam pandangan teori ini, Long & Brecke mengungkapkan
bahwa rekonsiliasi dapat dipandang sebagai pilihan aktor politik yang
mengambil manfaat maksimal buat keuntungan pribadi atas nama
kepentingan publik. Asumsi pengambilan keputusan secara rasional
(rational decission making) adalah sebagai berikut: 1) aktor mempunyai
tujuan tertentu; 2) tujuan tesebut merefleksikan kepentingan aktor; 3)
individu mempunyai kecederungan yang konsisten dan stabil; 4) jika ada

2
Laili Shofiya Kurniawati, Tesis : Rekonsiliasi Konflik Dalam Keluarga (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2016 ), 20-21.
4

pelbagai macam pilihan, aktor akan memilih alternatif yang akan


memberikan keuntungan maksimal; 5) aktor dengan kepentingan politik
adalah pemain terpenting
2. Teori Kebutuhan Manusia (human need theory)
Rekonsiliasi menurut pandangan teori ini baru akan sukses jika
momen rekonsiliasi bisa menjamin akan tercapainya pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan mendasar. Teori ini terinspirasi oleh teori Maslow
mengenai dasar motivasi manusia. Proposisi utama yang disandang oleh
teori ini adalah bagaimanapun motivasi manusia yang paling hakiki adalah
pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan eksistensi. Dalam hal ini
dorongan pemenuhan kebutuhan bisa menjadi dasar motivasi untuk
melakukan rekonsiliasi, jika dipersepsikan bahwa rekonsiliasi bisa
menjamin terpenuhinya keinginan kelompok untuk memperoleh
kebutuhan-kebutuhannya.
Mengenai kebutuhan ini, Burton memberikan tiga label untuk soal
ini, yaitu kebutuhan (needs), nilai-nilai (values) dan kepentingan
(interests). Kebutuhan (needs) dimaksudkan oleh Burton merujuk kepada
kebutuhan universal seperti yang dimaksudkan Maslow, yaitu kelompok
kebutuhan biologis dan meta needs. Sementara itu nilai-nilai (values)
dimaksudkan oleh Burton lebih kepada ide-ide (ideas), kebiasaan-
kebiasaan (habits), adat (customs), dan kepercayaan-kepercayaan (beliefs),
yang menjadi ciri utama (identitas) suatu kebudayaan, etnik ataupun
kelompok. Berbeda dari kebutuhan yang bersifat universal, biologis, atau
bahkan genetis, nilai-nilai lebih bersifat simbolik, terikat konteks sosial
dan budaya. Kepentingan dimaksudkan oleh Burton terkait dengan posisi,
status dan peran seseorang atau kelompok dalam konteks pekerjaan,
ekonomi dan politik.
3. Model Pemaafan (forgiveness model)
Model pemaafan bertitik tolak dari asumsi bahwa rekonsiliasi
adalah bagian dari proses pemaafan, atau proses transformasi emosi-emosi
tertentu, misalnya marah, dendam, menjadi kedekatan, hubungan baik
5

serta terciptanya etos berdamai. Dengan adanya proses transformasi ini


terbukalah kemungkinan untuk memperbarui hubungan yang pernah
buruk, dan ini hanya bisa tercapai melalui proses pemaafan.
Model pemaafan ini jika dibandingkan dengan model-model
sebelumnya, mempunyai beberapa keunggulan, terutama pada kemam-
puannya untuk mempertimbangkan faktor emosi dan penalaran
(reasoning) sekaligus. Dalam model ini, rekonsiliasi dipandang sebagai
proses transformasi etos berkonflik (conflictive ethos) menjadi etos
berdamai (peace ethos). Kelemahan model ini terletak pada diperlukannya
usaha yang sungguh-sungguh untuk melaksanakannya, dan terkadang
proses pemaafan baru bisa terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama.
Long dan Brecke menggambarkan proses model pemaafan ini ke
dalam empat fase, seperti gambar di bawah ini:

Pengungkapa Redefinisi Keadilan Kesediaan Rekonsiliasi


n kebenaran identitas parsial membangu yang berhasil
sosial n hubungan
baru

Gambar 1.1. Proses rekonsiliasi dengan model pemaafan

Pada fase pertama, kelompok yang berkonflik harus mau dan rela
menyadari apa yang telah terjadi pada masa lalu. Setiap kelompok yang
bertikai harus mau dan mampu menyadari kesalahan di masa lalu.
Idealnya proses pengungkapan kebenaran harus terbuka untuk publik,
misalnya melalui investigasi resmi, laporan di media massa, dll. Memang
harus disadari konsekuensi psikologik dari proses ini. Berbagai macam
reaksi bisa muncul dari proses ini; merasa malu, bersalah, dan perilaku
agresif. Pilihan untuk memaafkan mengharuskan semua pihak untuk
menyadari terlebih dulu (bukan mengikari) apa-apa yang telah terjadi,
mengapa terjadi, siapa yang melakukan, mengapa ia melakukan, apa
kesalahannya.
6

Pada fase kedua, rekonsiliasi menghendaki kesediaan kelompok


mengubah sudut pandangnya mengenai posisi dan identitas kelompok
sendiri, posisi dan identitas kelompok lainnya. Redefenisi atau reframing
hubungan pasca konflik melibatkan sekaligus faktor kognitif dan emosi.
Ketiga, kelompok-kelompok yang dirugikan sungguhpun berhak
untuk mendapat keadilan yang setimpal dengan apa yang telah diperbuat
oleh pihak perpetrator kepadanya sebelumnya, ataupun mempunyai
kesempatan untuk membalas dendam, hendaknya bisa menyadari bahwa
keadilan tidak akan bisa ditegakkan sepenuhnya. Menurut Long dan
Brecke, apa yang bisa dicapai dalam soal keadilan ini, hanya sebatas pada
yang disebut sebagai ‘partial justice’. Penegakan dan pencarian keadilan
dalam pengertian setuntas-tuntasnya tidak akan pernah didapat, yang
penting dalam hal ini adalah adanya perhatian pada pemenuhan ‘rasa
keadilan’ saja.
Keempat, proses rekonsiliasi harus diakhiri dengan keinginan
untuk membuat kontak lebih intens, jika perlu disertai dengan pemaafan
secara publik atau secara sosial (social forgiveness), menawarkan
hubungan yang lebih bagus, paling tidak hidup berdampingan secara
damai (coexistence), saling menghormati, dan saling toleran3.

C. Ruang Lingkup Rekonsiliasi


Rekonsiliasi pada intinya memperbaiki hubungan antara kelompok-
kelompok yang terpecah karena konflik. Menurut Merwe, terdapat empat hal
utama selayaknya menjadi inti dari gerakan rekonsiliasi.
1. Mengembalikan hakikat kemanusiaan semua kelompok, bahkan
perpetrator sekalipun. Dengan kata lain, harus ada kesediaan untuk menata
kembali identitas dan pendefinisian ulang hubungan antarkelompok.

3
Dial. Teori-Teori Tentang Konflik dan Rekonsiliasi: Dari Disertasi Hamdi. (Online).
(http://id.scribd.com/doc) diakses tanggal 10 Februari 2020, 57-68.
7

2. Rekonsiliasi harus dipahami sebagai penataan ulang tatanan moral baru,


yang bertitik tolak dari adanya konsesus mengenai nilai-nilai yang
menyokong kerjasama.
3. Pentingnya perubahan sikap (attitudinal aspect) dan keyakinan (belief).
Perubahan sikap dan belief adalah penting supaya seseorang bisa
mengatasi (cope) rasa ketakutan, rasa marah, dan dendam yang membuat
konflik berkepanjangan.
4. Pola interaksi dengan kelompok musuh harus direorientasi ulang ke arah
hubungan saling tergantung yang menguntungkan. Kelompok harus berani
mengambil risiko untuk memulai kontak baru supaya mulai timbul rasa
percaya satu sama lain.4

D. Komponen Rekonsiliasi
Empat unsur penting sering disebut dalam banyak literatur menjadi
komponen terpenting dalam rekonsiliasi, yaitu kebenaran (truth), keadilan
(justice), penyembuhan/pemulihan (healing), dan rasa aman (security). Pada
umumnya kebanyakan sarjana dan praktisi di bidang rekonsiliasi menyebutkan
empat unsur tersebut secara umum, namun ada beberapa sarjana yang
mengemukakan dengan cara sedikit berbeda. Lederach (1994) melihat
rekonsiliasi dalam tiga perspektif. Pertama, rekonsiliasi sebagai hubungan.
Kedua, rekonsiliasi sebagai ‘pergulatan’ (encounter), dan ketiga, rekonsiliasi
sebagai suatu ‘ruang sosial’ (social space). Yang dimaksud oleh Lederach
sebagai ‘ruang sosial’ adalah tempat di mana konsep-konsep yang lazim
disebut sebagai konsep keadilan (justice), kedamaian (peace), pengampunan
(mercy) dan kebenaran (truth) saling berinteraksi. Secara diagram, lingkaran
konsep Lederach dapat digambarkan sebagai berikut:

KEADILAN

PERDAMAIAN REKONSILIASI PENGAMPUNAN


4
Cut Ismaila Benazir, rekonsiliasi konflik, STAI teungku Dirundeng Meuaboh,
(www.academia.edu ,di akses pada tanggal 11 februari 2020) 6.
KEBENARAN
8

Gambar 1.2. Komponen rekonsiliasi dari Lederach.


Bagi Lederach, keadilan (justice) mencakup ide-ide mengenai
persamaan hak (equality); bagaimana hak-hak asasi diwujudkan dan
dihormati, bagaimana restitusi dapat dilakukan. Sementara itu aspek
kebenaran (truth) mencakup penghargaan, kejujuran, pengungkapan dan
kejelasan (clarity). Pengampunan (mercy) merujuk kepada soal penerimaan,
rahmat (grace), belas kasihan (compassion), penyembuhan, dan pemulihan
(healing). Dan kedamaian mencakup pengertian; harmoni, kesatuan,
kesejahteraan (well being), rasa aman (security), dan rasa hormat (respect).
Bagi Lederach, rekonsiliasi dalam hal ini lebih dilihat dari hasil akhir
terpenuhinya unsur-unsur ini.5
Laderach menjelaskan, rekonsiliasi tidak ditujukan dengan
menemukan cara-cara inovatif untuk memisahkan atau meminimalisir pihak-
pihak yang berkonflik, namun dilakukan dengan membangun mekanisme-
mekanisme yang melibatkan pihak-pihak tersebut dalam relasi antar manusia.
Rekonsiliasi pada dasarnya mempresentasikan sebuah tempat, titik
pertemuan di mana persoalan-persoalan pada masa lalu dan yang akan datang
dipertemukan kembali. Sebagai titik temu, rekonsiliasi menyarankan bahwa
ruang akan pengakuan terhadap apa yang telah terjadi pada masa lalu dan
imajinasi apa yang akan terjadi pada masa depan diperlukan untuk membuat
kerangka kejadian-kejadian pada masa sekarang. Untuk mewujudkan
rekonsiliasi, para pihak yang berkonflik seharusnya mencari jalan untuk

5
Dial. Teori-Teori Tentang Konflik dan Rekonsiliasi: Dari Disertasi Hamdi. (Online).
(http://id.scribd.com/doc, diakses tanggal 10 Februari 2020), 80-84.
9

mempertemukan mereka sendiri dengan musuh-musuhnya, dan antara


harapan-harapan dan ketakutan-ketakutannya.6

KESIMPULAN

1. Secara etimologis kata ini. Kata ini terdiri dari kata Latin, concilium. Kata ini
mengandaikan suatu proses yang dimaksud dengan sengaja, di mana pihak-
pihak yang saling berseteru bertemu satu sama lain “dalam dewan” guna
membahas pandangan mereka yang berbeda dan dan mencapai kesepakatan
bersama. Oleh KBBI kata ini didefinisikan sebagai “perbuatan memulihkan
hubungan persahabatan pada keadaan semula.
2. Model Pendekatan Teoretis Rekonsiliasi, terdiri dari:
a. Teori Pilihan Rasional (rational choice)
b. Teori Kebutuhan Manusia (human need theory)
c. Model Pemaafan (forgiveness model)
3. Berdasarkan empat lingkup rekonsiliasi seperti yang disebutkan di atas, empat
dimensi hubungan dapat diidentifikasi sebagai: dimensi identitas, dimensi
nilai-nilai yang mengarahkan interaksi, dimensi sikap-sikap, dan dimensi pola-
pola interaksi
4. Lederach melihat rekonsiliasi dalam tiga perspektif. Pertama, rekonsiliasi
sebagai hubungan. Kedua, rekonsiliasi sebagai ‘pergulatan’ (encounter), dan
ketiga, rekonsiliasi sebagai suatu ‘ruang sosial’ (social space). Yang dimaksud
oleh Lederach sebagai ‘ruang sosial’ adalah tempat di mana konsep-konsep
yang lazim disebut sebagai konsep keadilan (justice), kedamaian (peace),
pengampunan (mercy) dan kebenaran (truth) saling berinteraksi.

6
Cahyo Pamungkas, “Mencari Bentuk Rekonsiliasi Intra-Agama: Analisis Terhadap
Pengungsi Syiah Sampang dan Ahmadiyah Matara,” Epistemé, Vol. 13, No. 1, Juni 2018, 118.
10

DAFTAR PUSTAKA

Dial. Teori-Teori Tentang Konflik dan Rekonsiliasi: Dari Disertasi Hamdi.


(Online) (http://id.scribd.com/doc) diakses tanggal 10 Februari 2020.

Ismalia Benazir, Cut. Rekonsiliasi Konflik, STAI teungku Dirundeng Meulaboh,


(www.academia.edu) diakses pada tanggal 11 februari 2020.

Kurniawati, Laili Shofiya. Tesis : Rekonsiliasi Konflik Dalam Keluarga.


Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2016.

Pamungkas, Cahyo. “Mencari Bentuk Rekonsiliasi Intra-Agama: Analisis


Terhadap Pengungsi Syiah Sampang dan Ahmadiyah Matara” Epistemé,
Vol. 13, No. 1, Juni 2018.

Ur, Zulhabibi. Rekonsiliasi, Universitas Kristen Satya Wacana. (online)


(www.academia.edu) diakses tanggal 11 Februari 2020.

Anda mungkin juga menyukai