Anda di halaman 1dari 17

MASALAH AGAMA DAN POLITIK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah


Mata Kuliah: Teologi Kemasyarakatan

Dosen Pengampu:
Vito Dasrianto, SHI, M.H.

Disusun Oleh:

Ahmad Sahril : 22170011

PROGRAM STUDI ILMU HADIST


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MANDAILING NATAL
TA. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul: Masalah
Agama dan Politik, dengan lancar.

Makalah ini disusun dengan maksud dan tujuan agar penulis dapat mendalami
materi yang telah penulis terima di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing
Natal. Dengan penyusunan makalah ini, penulis berharap dapat menambah ilmu
pengetahuan serta wawasan tentang ilmu agama dan politik yang dapat berguna bagi
penulis dan pembaca.

Demikian penulis ucapkan terimakasih dan juga tidak lupa penulis ucapkan
permohonan maaf jika ada kesalahan penulisan makalah ini baik penulisan nama dan
lainnya. Penulis juga berharap makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis
serta pembaca.

Panyabungan, 10 Mei 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................ii


DAFTAR ISI ..............................................................................................................iii

BAB I PEMBAHASAN .............................................................................................1


A. Latar Belakang .................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................1
C. Tujuan ..............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................2


A. Pengertian Agama dan Politik .........................................................................2
B. Hubungan Agama dan Politik ..........................................................................5
C. Teotologi Politik dan Permasalahan Agama dan Politik .................................10

BAB III PENUTUP ...................................................................................................13


A. Kesimpulan ......................................................................................................13
B. Saran ................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang universal, agama membawa misi rahmatan lil
alamin serta membawa konsep kepada ummat manusia mengenai persoalan yang
terkait dengan suatu sistem sperti konsep politik, perekonomian, penegakan
hukum, dan sebagainya. Kemudian Dalam bidang politik misalnya, Islam
mendudukannya sebagai sarana penjagaan urusan umat. Politik Islam merupakan
penghadapan Islam dengan kekuasaan dan negara yang melahirkan sikap dan
prilaku politik (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang
berorientasi pada nilai-nilai Islam Sikap dan prilaku serta budaya politik yang
memakai kata sifat Islam, menurut Taufik Abdullah, bermula dari suatu
kepribadian moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.
Islam meletakkan politik sebagai satu cara penjagaan urusan umat (ri'ayah
syu-ÃQ - ummah). Islam dan politik tidak boleh dipisahkan, kerana Islam tanpa
politik akan melahirkan terbelenggunya kaum muslimin yang tidak mempunyai
kebebasan dan kemerdekaan melaksanakan syariat Islam. Begitu pula politik
tanpa Islam, hanya akan melahirkan masyarakat yang mengagungkan kekuasaan,
jabatan, bahan, dan duniawi saja, kosong dari aspek moral dan spiritual. Oleh
kerana itu, politik dalam Islam sangat penting bagi mengingatkan kemerdekaan
dan kebebasan melaksanakan syariat Islam boleh diwadahi oleh politik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan agama ?
2. Apa yang dimaksud dengan politik ?
3. Apa hubugan agama dengan politik ?
4. Apa yang dimaksud dengan teologi politik dan masalah agama dan politik ?

C. Tujuan
1. Memahami apa itu pengertian dari agama.
2. Memahami apa itu pengertian dari politik.
3. Mengetahui apa saja hubungan agama dan politik.
4. Memahami apa itu arti dari teologi politik dan masalah agama dan politik.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama dan Politik


1. Pengertian Agama
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam
arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola
perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Banyak
dari apa yang berjudul agama termasuk dalam suprastruktur: agama terdiri
dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana
makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka (Sanderson, Stephen
K., 2011: 517)1.
Dalam kehidupan, agama merupakan identitas individu sehingga dapat
membedakannya dari orang lain. Ada banyak sekali pendapat-pendapat
mengenai makna agama. R. H. Thouless mengambil 3 definisi dimana
masing-masing definisi itu merupakan suatu segi dari segi-segi agama
pribadi, definisi tersebut adalah,
a. Definisi Frazer
Agama adalah mencari keredaan atau kekuatan yang tinggi dari pada
manusia, yaitu kekuasaan yang disangka oleh manusia dapat
mengendalikan, menahan/menekan kelancaran alam dan kehidupan
manusia.
b. Definisi James Martineau
Agama adalah kepercayaan kepada yang hidup abadi, dimana diakui
bahwa dengan pikiran dan kemauan Tuhan, alam ini diatur dan kelakuan
manusia diperkuat.
c. Definisi Mattegart
Agama adalah suatu keadaan jiwa, atau lebih tepat keadaan emosi yang
didasarkan kepercayaan keserasian diri kita dengan alam semesta.
Thouless memandang, bahwa ketiga definisi tersebut adalah dalam pandangan
ilmu jiwa umum, karena perasaan itu dapat dibagi atas 3 segi yakni tanggapan, emosi,
dan dorongan.
1
Sanderson, Stephen K. Agama dalam kehidupan manusia. (Jakarta: EBooks, 2011), hal 517

2
Ketiga macam itu dipilih oleh Thouless, karena menurut pendapatnya bahwa
ketiga-tiganya merupakan tiga segi dari agama, yaitu:
a. Yang pertama melukiskan cara/kelakuan.
b. Yang kedua adalah keyakinan/pendapat akal.
c. Yang ketiga adalah alat-alat, perasaan dan emosi.
Maka dari setiap definisi tentang agama, harus mengandung unsur-unsur tersebut
dan definisi yang dipandangnya lebih cocok ialah sebagai berikut: “Agama adalah
proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa
sesuatu itu lebih tinggi dari pada manusia”.
Sedangkan menurut pandangan sosiolog, Emile Durkheim mengemukakan makna
agama, bahwa adanya perbedaan yang –sakral dan yang –profan serta terangkatnya
beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang –sakral memang merupakan syarat
mutlak bagi keberadaan agama. Yang –sakral tercipta melalui ritual-ritual yang
mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat
individu dalam suatu kelompok. Syarat-syarat lain dari agama adalah kepercayaan,
ritual agama dan gereja (tempat ibadah). Sedangkan definisi agama menurutnya
adalah: “kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah
komunitas moral tunggal yang dinamai Gereja, semua melekat padanya”.
Definisi agama menurut sosiologi adalah definisi empiris. Agama dipandang
sebagai suatu institusi yang lain yang mengemban tugas atau fungsi agar masyarakat
berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup local, regional, nasional, maupun mondia
maka dalam tinjauannya, yang dipentingkan ialah daya guna, dan pengaruh agama
terhadap masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama cita-cita masyarakat
(akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani)2.
Dilihat dari sudut kategori pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang
membedakan dalam perwujudannya, yaitu:
a. Segi kejiwaan (psychological state), yaitu suatu kondisi subjek atau kondisi
dalam jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut
agama. Kondisi inilah yang disebut dengan kondisi agama, yaitu kondisi
patuh dan taat kepada yang disembah. Kondisi itu hampir sama dengan
2
Abdul Aziz Thaba. 1996. Islam dan Negara dalam Politik serta sosiologi. (Jakarta: Gema Insani
Prees, 1996) hal 23.

3
konsep religious emotion dari Emile Durhkeim. Emosi keagamaan seperti itu
merupakan gejala individual yang dimiliki oleh setiap penganut agama yang
membuat dirinya merasa sebagai “mahluk Tuhan”.
b. Segi objektif (objective state), segi luar yang disebut juga kejadian objektif,
dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama dinyatakan
oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual,
maupun persekutuan. Segi objektif ini lah yang bisa dipelajari apa adanya,
dan dengan demikian bisa dipelajari dengan metode ilmu sosial. Segi kedua
ini mencakup adat istiadat, upacara keagamaan, bangunan, tempat-tempat
peribadatan, cerita yang dikisahkan, kepercayaan, dan prinsip-prinsip yang
dianut oleh suatu masyarakat.
Meskipun agama berkaitan dengan berbagai keharusan, ketundukan, dan
kepatuhan tetapi tidak setiap ketaatan itu bisa disebut dengan agama; bergantung
pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa ketaatan itu
dilaksanakan. Berdasarkan hasil studi para ahli sosiologi dapat diketahui bahwa
agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan
individu maupun kelompok.

2. Pengertian Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam
masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya
dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai
definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun nonkonstitusional3.

Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu
antara lain:
a. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)

3
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000). Hal 55

4
b. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan
negara
c. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat
d. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan
kebijakan publik.
Pada umumnya apa yang disebutkan diatas berkaitan dengan bermacam-
macam kegiatan dalam suatu negara, yang menyangkut proses penentuan dan
pelaksanaan tujuan-tujuan. Untuk melaksanakan tujuan, perlu ditentukan
kebijaksanaan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi
sumber-sumber dan berbagai sumber daya yang ada. Untuk itu diperlukan
kekuatan dan kewenangan. Politik selalu menyangkut tujuan publik, tujuan
masyarakat sebagai keseluruhan dan bukan tujuan pribadi seseorang.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain:
kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik,
proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk
tentang partai politik. Politik itu menyangkut kegiatan berbagai kelompok
termasuk kegiatan partai politik dan kegiatan individu demi kepentingan bersama.

B. Hubungan Agama dan Politik


Dalam konsepsi sebagian besar masyarakat Indonesia, kehidupan politik juga
seharusnya dilandasi oleh nilai-nilai agama. Konsepsi ini agak berbeda dengan
politik di negara Barat yang memisahkan secara tegas antara politik dan agama.
Politik dan posisi-posisi politik harus dipisahkan secara tegas dengan agama.
Konsepsi ini menghendaki agar pemimpin agama tidak terlibat dalam politik
praktis4.

Mengkaji masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor


negara atau politik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam merupakan faktor
berpengaruh terhadap politik. Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama,

4
Hendro Puspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990), hal 251

5
karena secara kuantitas umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Kedua,
karena adanya pemikiran dalam umat Islam sendiri bahwa memang Islam dan
politik tidak dapat dipisahkan. Deliar Noer termasuk orang yang berpandangan
bahwa Islam mempunyai konsep negara dan Islam dengan politik tidak dapat
dipisahkan. Menurut Deliar Noer, sebagai sebuah konsep (bukan nama) negara
Islam dilandasi oleh:
1. Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai pegangan hidup bernegara,
2. Hukum harus dijalankan,
3. Prinsip Syura (Musyawarah) dijalankan,
4. Kebebasan diberikan tempat,
5. Toleransi antar agama.
Kebijakan keagamaan di Indonesia telah menempuh jalan yang panjang.
Hingga tahun 1960-an, persoalan keagamaan yang beraneka ragam di tanah air
belum banyak tersentuh. Pemerintah sejak lama memandang keanekaragaman
agama ini sebagai potensi penghambat pembangunan Indonesia yang satu dan
kuat. Kementerian agama yang di bentuk pada tahun 1946 memiliki tugas yang
eksplisit antara lain mengawasi kegiatan keagamaan dan aliran-aliran/paham-
paham, melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap gerakan mistik agar
kembali ke agama induk dan mengharuskan mereka untuk menegakkan hukum
dan peribadatan agama khususnya Islam.
Tugas-tugas ini menunjukan bahwa negara mulai menerapkan pemikiran
sistemik secara lebih tegas. Selain itu, tugas pokok lain adalah membimbing dan
membina masyarakat penganut agama resmi seperti Islam, Kristen Prostetan,
Katolik, Hindu dan Budha (Muhammadiyah dalam Gonjang-ganjing Politik.
Penerbit Media Pressindo. Hal. 53).
Pemerintah sendiri membuat definisi agama resmi yang diakui pemerintah
sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab suci, nabi-nabi dan
ajaran-ajaran. Dalam hal kebijakan keagamaan ini paling tidak pemerintah
melakukan tiga hal. Pertama, membina umat yang sudah beragama di seluruh
pelosok; Kedua, Memberagamakan warga masyarakat yang dianggap belum
beragama; Ketiga, Pemerintah memerankan diri sebagai wasit sekaligus pemain
dalam hubungan antarumat beragama.

6
Dari sudut pandang intrinsik, maka secara sederhana agama adalah keyakinan
akan entitas spiritual. Jika kita menggunakan definisi yang lebih kompleks. maka
agama adalah suatu sistem simbol yang bekerja memantapkan suasana jiwa dan
motivasi yang kuat, mendalam dan bertahan lama pada diri manusia dengan
memformulasikan konsepsi-konsepsi keteraturan umum mengenai keberadaan dan
menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas sehingga suasana
jiwa dan motivasi tersebut seolah-olah secara unik nyata ada.
Dinamika hubungan antara agama dan negara berlangsung dalam konteks
instrumentalisasi yang kerap kali ditempeli oleh muatan potensi integratif maupun
disintegratif. Dengan konkretisasi, interpretasi dan formalisasi agama dalam
kehidupan yang nyata, manusia memiliki legitimasi untuk menjadikannya sebagai
instrument kekuasaan.
Ada tiga kemungkinan skenario politik keagamaan:
1. Agama dan negara terpisah satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi
pedoman hidup manusia sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang
berwadahkan keorganisasian dalam masjid, gereja, kuil, dan lain-lain. Segala
sesuatu yang berurusan dengan agama diselesaikan dalam institusi kegamaan
tersebut. Prinsip utamanya adalah “Agama adalah Agama”. Dalam kenyataan,
sukar menemukan pada abad global ini suatu institusi agama yang tidak
tercemar sama sekali dengan pergumulan duniawi di luar dari agama.
2. Agama dan Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam pengertian
agama memberi corak dominan atas negara. Dalam konteks ini agama
bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi agama di dalam sebagian
besar institusi negara seperti institusi politik, ekonomi, hukum dan lainnya.
3. Agama ditempatkan dalam suatu sistem negara yang mengutamakan harmoni
dan keseimbangan. Agama direduksi menjadi salah satu unsure saja dari
sistem yang dipandang saling tergantung dengan unsur-unsur lain. Kebijakan
kebijakan yang merupakan konkretisasi pendekatan sistemik ini jelas sekali
menekankan kontrol yang tegas terhadap unsur-unsurnya, termasuk unsur
agama agar selalu terwujud keteraturan yang harmonis tanpa guncangan.
Setiap kali ada gejolak sekecil apapun, langsung diredam oleh negara
(pemerintah) sehingga keseimbangan tercapai kembali.

7
Pendekatan ini langsung menempatkan negara (pemerintah) dalam
kedudukan sentral yang lambat laun seolah melepaskan diri dari sistem dan
bahkan mengontrol sistem. Keadaan ini membuat negara (pemerintah)
semakin kuat karena sistem posisinya merosot menjadi subordinat,
kehilangan kekuatan untuk mengontrol negara.
Negara cenderung otoriter karena akumulasi kekuasaan berada di
tangannya. Bagi KH Sahal, kepolitikan merupakan realitas historis atau
Sunatullah yang tidak bisa terelakkan, menurutnya bahwa dalam proses
hidupnya manusia tidak lepas dari pengaruh watak politik. Telah menjadi
sunatullah barangkali setiap kelompok ada yang dikuasai dan ada yang
menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah serta ada yang
dipengaruhi dan mempengaruhi, itulah konteks politik. Politik merupakan
kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi. Artinya bahwa Agama dan
Negara tidak dapat dipisahkan. Kata din wasiyasah sesungguhnya
menggambarkan bentuk integrasi agama dan negara. Meskipun negara
(politik) dan agama tidak dapat dipisahkan, namun bukan berarti negara
beserta produk-prosuknya harus berlabel Islam.
Relasi agama bagi K.H Sahal mengacu pada “simbiosis mutualisme”
keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan untuk kemaslahatan umat.
Negara harus di beri keleluasaan untuk mengatur aspek ideologis, karena
bagaimanapun juga bagi bangsa Indonesia yang memiliki bermacam-macam
agama, agama akan lebih berfungsi positif bila dilepaskan dari permasalahan
ideologis.5

Di lain pihak, independensi agama dalam hal yang menyangkut ibadah dan
ajaran keimanan haruslah dihormati oleh negara. Pengaturannya selama ini masih
dapat dititipkan pada sejumlah perangkat formal seperti undang-undang
keormasan. Tetapi pada masa-masa yang akan datang hubungan itu akan lebih
hidup bila dikembangkan melalui dialog budaya yang hidup dan berlingkup luas.

5
Raga Maran Rafael. Pengantar Sosiologi Politik. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), hal 22-25.

8
Kekuasaan politik haruslah sejalan dengan tujuan syariat, yaitu memelihara
agama (din), akal (aql), jiwa (nafs), harta (mal) dan keturunan (nasl). Sementara
pemimpin tidak hanya mereka yang memegang jabatan formal-struktural, mereka
yang memegang kekuasaan kultural juga disebut pemimpin. Kepemimpinan
politik kultural mempunyai fungsi yang strategis yakni sebagai kekuatan untuk
mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan
kewajiban seorang warga negara di akar rumput (grass root).
Dalam konteks hubungan agama dan negara (ulama dan penguasa) dapat
dijelaskan dengan prinsip “akomodasi kritis”, yaitu prinsip yang menuntut
kemampuan para ulama untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan yang integratif
terhadap agama. Islam harus di pandang sebagai faktor komplementer bagi
komponen-komponen lain, Islam dalam hal ini difungsikan sebagai faktor
integratif yang mendorong timbulnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk
Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan.
Agama secara hakiki berhungan dengan politik. Kepercayaan agama dapat
mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa, seperti sodomi
dan incest, sering tidak legal. Seringakali agamalah yang memberi legitimasi
kepada pemerintahan. Agama sangat melekat dalam kehidupan rakyat dalam
masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga kehadirannya tidak mungkin
tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah pemerintahan di
seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi legitimasi pada kekuasaan
politik.
Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan
bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang
harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini
disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia,
tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan
oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi
adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan
legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang
transcendent.

9
C. Teologi Politik dan Permasalahan Agama dan Politik
Teologi politik pemaknaannya tidak persis sama dari zaman ke
zaman. Teologi politik dalam pengertiannya yang sekarang, muncul pada tahun
1960-an sebagai suatu gerakan di antara sarjana-sarjana Katholik Roma dan
Protestan yang mengembangkan suatu hermeneutik baru dalam pemikiran Kristen
untuk menanggapi keadaan dan masalah-masalah modern. Dengan menekankan
pada refleksi terhadap konteks sosial dan historis, teologi politik mengkritik
bentuk-bentuk metode teologi yang lain, yakni: Pertama, Thomisme tradisional
dengan doktrinnya tentang alam dan hukum alam dipandang sebagai anti sejarah.
Kedua, Thomisme transenden (Karl Rahner) yang menekankan subyek dianggap
anti politik. Ketiga, Pandangan Lutheranisme dengan teori dua kerajaan dan
hukum dunia dikritik karena bersifat dualistik dan statis. Keempat, Ajaran
Protestan modern (Rudolf Bultmann) dengan keteguhan eksistensialismenya
dianggap individualis6.
Terlepas dari pemaknaan terhadap teologi politik dari sudut pandang yang
berbeda-beda, namun secara sederhana teologi politik pada tataran implementasi
dapat dimaknai dalam 2 (dua) konteks sebagaimana yang diajarkan oleh F.
Schüssler Fiorenza, yakni: Pertama, teologi politik dipahami sebagai pemakaian
lambang-lambang keagamaan, baik secara implisit maupun eksplisit, untuk
menginterpretasikan, membenarkan, atau mengkritisi peristiwa-peristiwa, sistem-
sistem, atau unit-unit politis. Kedua, teologi politik berperan sebagai teologi
fundamental yang menganalisa hubungan antara pola-pola politik (political
pattern) dan kepercayaan keagamaan (religious belief). Hubungan yang saling
menguntungkan ini dipelajari untuk menyingkap makna, kebenaran, dan praktek-
praktek simbol-simbol keagamaan.
Tahun politik indonesia tidak dipungkiri diwarnai dengan politisasi agama.
Sampai sekarang, agama masih menjadi sesuatu yang selalu bersentuhan dengan
berbagai aspek kehidupan manusia, yang salah satunya adalah politik. Karena itu
pula, agama seringkali dijadikan sebagai “dagangan” politik, utamanya ketika
menjelang praktek keagamaan di Indonesia baik pada pulau Jawa maupun diluar
6
Donald Eugene Smith. Agama dan Modernisasi Politik serta Teologi Politik. Jakarta: CV
Rajawali, 1985), hal 101.

10
pulau Jawa yang tujuan akhirnya adalah untuk meraih kepentingan relativisme.
Banyak gerakan yang telah melakukan politisasi agama berbasis wacana-wacana
yang populis dengan argumentasi informasi-informasi yang menghidupkan daya
legitimasi agama dalam rangka kepentingan politik. Realitas politik pasca-
kebenaran menjadi ancaman bagi sistem demokrasi di indonesia. Sudah saatnya
berbagai pihak, baik dari pemerintah sampai ke masyarakat sipil dan akar rumput
meningkatkan daya kritis terhadap isu-isu populis dan gejala politisasi agama agar
iklim demokrasi indonesia ke depan dapat terjaga dalam kondisi yang baik.
Politisasi agama mulai populer di Indonesia saat Indonesia merdeka dan saat ingin
merumuskan dasar-dasar politik pemerintahan dan kenegaraan. Pada tahun 1950
ini mulai terbentuk berbagai macam partai politik dan ini membaut politisasi
agama semakin gila dan ekstrim. Politisasi agama sebenarnya boleh saja ada asal
dilaksanakan dengan wajar dan tidak secara berlebihan. Meskipun berorientasi
praktis, teologi politik telah berkembang menjadi suatu pendekatan sistematis
terhadap etika. Sejalan dengan itu, maka dalam tulisan ini akan di uraikan
beberapa thema khusus etika yang menonjol di dalam karya-karya di bidang ini
dan permasalahan agama dan politik.
1. Agen Moral Adalah Subyek Politik.
Menurut ajaran teologi politik, dunia bukanlah sebuah kosmos (suatu
keadaan yang sempurna), dimana setiap satuan menempati suatu tempat yang
merupakan kodratnya dan yang dimaksudkan untuk menjalankan suatu fungsi
tertentu. Ia bukanlah suatu proses sosio-historis yang petunjuk dan bentuk
tetapnya telah ditentukan sejak semula. Karena itu, untuk menjadi manusia,
bukanlah dengan menjadi bagian dari suatu hukum dunia, tetapi menjadi
subyek, yang dalam interaksinya dengan orang lain diikutsertakan dalam
pembentukan masa depan yang kreatif. Dengan dasar ini, teologi politik
adalah kritik, baik secara tidak langsung terhadap determinisme yang
menekankan pendekatan IPTEK yang berlebihan terhadap masalah-masalah
sosial, dan secara eksplisit terhadap keterbatasan materialisme historis. Selain
itu, teologi politik adalah kritik terhadap semua struktur sosial yang
meniadakan partisipasi politik orang-orang dari berbagai kelas sosial sebagai

11
dehumanisasi dan mendorong partisipasi dalam perjuangan sejarah
emansipasi.
2. Janji Allah Sebagai Dasar Keputusan Moral.
Dari perspektif teologi politik, sifat dari kehadiran Allah dalam dunia
digambarkan dalam kematian dan kebangkitan Kristus, yang secara dialektis
berhubungan dengan keadaan sekarang dan yang akan datang. Dalam
penyaliban, Allah dimengerti sebagai hadir dalam penderitaan semua ciptaan.
Tanggapan manusia terhadap aspek kehadiran Allah ini secara jelas nampak
dalam terminologi empati. Dalam kebangkitan, Allah dimengerti sebagai
yang akan datang , sebagai janji yang efektif dari suatu kerajaan yang penuh
damai dan keadilan. Kebangkitan adalah suatu simbol eskatologis dalam
kontradiksi dimana kondisi aktual dunia sekarang dilihat dan dinilai untuk
apa ia ada. Janji Allah yang demikian berfungsi dalam dua arah: sebagai dasar
bagi pembentukan keputusan moral dan dasar dari pengharapan bahwa semua
struktur dunia dapat ditransformasi.
3. Penderitaan Sebagai Masalah Moral Dari Sejarah.
Dalam teologi politik, konsep penderitaan merupakan pokok yang
menggambarkan pengalaman manusia dalam sejarah. Penderitaan, dalam
aspek moralnya, disebabkan dan ditopang oleh dosa sosial, oleh tradisi-tradisi
dan berbagai institusinya yang menguntungkan beberapa orang, sementara
sebagian lainnya tertekan dan mengalami dehumanisasi. Moltmann
mencirikan lima lingkaran setan kematian yang melambangkan penderitaan
dalam masyarakat kontemporer: (1). Kemiskinan dalam bidang ekonomi. (2).
Dominasi suatu kelas/bangsa terhadap lainnya dalam kehidupan politik. (3).
Struktur alienasi antara ras, gender, kelompok etnis dalam hubungan
kebudayaan. (4). Polusi industri di bidang ekologi. (5). Ada perasaan dimana
orang merasa diri tak berarti dan kehilangan tujuan hidup. Menurut Metz,
kelima lingkaran setan ini secara bersama-sama merupakan tanda dari
penyingkapan masyarakat yang samar-samar.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

12
Ada tiga kemungkinan skenario politik keagamaan.: Pertama, agama dan
negara terpisah satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup
manusia sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang berwadahkan
keorganisasian dalam masjid, gereja, kuil, dan lain-lain. Segala sesuatu yang
berurusan dengan agama diselesaikan dalam institusi kegamaan tersebut. Prinsip
utamanya adalah “Agama adalah Agama”. Dalam kenyataan, sukar menemukan
pada abad global ini suatu institusi agama yang tidak tercemar sama sekali dengan
pergumulan duniawi di luar dari agama. Kedua, Agama dan Negara terikat satu
sama lain (Integralistik) dalam pengertian agama memberi corak dominan atas
negara.
Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi
agama di dalam sebagian besar institusi negara seperti institusi politik, ekonomi,
hukum dan lainnya. Ketiga, Agama ditempatkan dalam suatu sistem negara yang
mengutamakan harmoni dan keseimbangan. Agama direduksi menjadi salah satu
unsure saja dari sistem yang dipandang saling tergantung dengan unsur-unsur lain.
Kebijakan kebijakan yang merupakan konkretisasi pendekatan sistemik ini jelas
sekali menekankan kontrol yang tegas terhadap unsur-unsurnya, termasuk unsur
agama agar selalu terwujud keteraturan yang harmonis tanpa guncangan. Setiap
kali ada gejolak sekecil apapun, langsung diredam oleh negara (pemerintah)
sehingga keseimbangan tercapai kembali.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa penulis masih jauh dari
kata sempurna kedepannya kami akan lebih berhati-hati dalam menjelaskan
tentang makalah dengan sumber-sumber lebih banyak dan lebih bertanggung
jawab.

DAFTAR PUSTAKA

13
Stephen K, Sanderson. 2011. Agama dalam kehidupan manusia. Jakarta: EBooks.
Thaba, Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Serta Sosiologi.
Jakarta: Gema Insani Prees.
Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Puspito, Hendro. 1990. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Rafael, Raga Maran. 2007. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Smith, Donald Eugene. 1985. Agama dan Modernisasi Politik Serta Teologi
Politik. Jakarta: CV Rajawali.

14

Anda mungkin juga menyukai