Anda di halaman 1dari 17

KEGIATAN BELAJAR TIGA

PRIBADI-PRIBADI ALLAH TRITUNGGAL: ALLAH BAPA, ALLAH


ANAK, ALLAH ROH KUDUS

A. Deskripsi Umum
Dalam Kegiatan Belajar 3 ini, kita mempelajari fakta-fakta dari ketiga
Pribadi Allah Tritunggal tersebut. Ini penting, karena suatu pengetahuan
yang lengkap tentang Allah ialah pengetahuan berdasarkan fakta-fakta
dan juga bersifat pribadi. Mengetahui fakta-fakta tentang seseorang tanpa
mengenalnya secara pribadi adalah terbatas; sebaliknya mengenal
seseorang tanpa mengetahui fakta-faktanya adalah dangkal (Ryrie, 1991).
Allah telah menyatakan banyak fakta mengenai diri-Nya, yang
kesemuanya penting agar hubungan kita dengan Dia dekat, cerdas dan
berguna.

B. Petunjuk Penggunaan Modul


Pembahasan KB Tiga tentang Pribadi- Pribadi Allah Tritunggal : Allah
Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus sudah dilengkapi dengan
sumber-sumber rujukan agar guru Pendidikan Agama Kristen dapat
mengembangkan diri dengan mempelajari secara lebih lanjut dan
mendalam. Penelaahan yang baik terhadap masing-masing sub
pembahasan pada KB empat diharapkan semakin membentuk
pemahaman yang baik melalui upaya lanjutan guru Pendidikan Agama
Kristen dalam menelusuri sumber-sumber baik berupa tulisan pada
jurnal yang dapat diakses secara online, Youtube, serta diskusi-diskusi
atau debat yang akan menjadi pengarah dalam menelaah materi KB
empat. Diharapkan juga bahasan ini dapat direlevansikan secara
kontekstual untuk memberi solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi
saat ini. Sehingga dalam proses belajar-mengajar dengan peserta didik di
kelas sudah memiliki penambahan yang mendalam dan kaya dari guru
Pendidikan Agama Kristen.

C. Capaian Pembelajaran
mampu mengelaborasi dan menganalisis fakta-fakta mengenai
Pribadi-Pribadi Allah Tritunggal, yaitu Pribadi Allah Bapa, Pribadi Allah
Anak dan Pribadi Allah Roh

59
D. Sub Capaian Pembelajaran
1. Menelaah Pribadi Allah Bapa
2. Menelaah Pribadi Allah Anak
3. Menelaah Pribadi Allah Roh Kudus

E. Pokok Materi
1. Pribadi Allah Bapa, Pribadi Pertama Allah Tritunggal
2. Pribadi Allah Anak, Pribadi Kedua Allah Tritunggal
3. Pribadi Allah Roh Kudus, Pribadi Ketiga Allah Tritunggal

F. Pokok Materi dalam Peta Konsep

Pribadi Allah Pribadi Allah Pribadi Allah


Bapa Anak Roh Kudus

G. Uraian Materi
Perjanjian Lama memang menekankan keesaan Allah. Pengakuan
iman (shema) orang Israel yang paling penting di awali dengan kata-kata,
“Dengarlah hai orang Israel: ‘TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!’” (Ul
6:4). Namun kata ‘esa’ yang digunakan di dalam ayat ini, bahkan di
seluruh Perjanjian Lama, tidak mengandung pengertian tunggal
matematis seperti yang diajarkan dalam doktrin tauhid, yaitu tunggal
secara absolut. Kata Ibrani ehad, selalu mengandung pengertian
gabungan dari beberapa unsur. Sebagai contoh, dalam Kejadian 2:24
Allah berfirman, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Di sini, kata ‘satu’ (ehad) adalah kesatuan yang merupakan gabungan dari
dua unsur: laki-laki dan perempuan. Dalam Kejadian 1:2, pagi dan petang
itulah ‘satu’ hari. Dengan kata lain, satu hari adalah gabungan dari pagi
dan petang. Dalam Bilangan 13:23, setandan buah anggur juga

60
menggunakan kata ehad, karena satu tandan itu terdiri dari banyak buah
anggur.
Perhatikan bahwa Perjanjian Baru, bahkan dengan pernyataan-
pernyataannya yang jelas tentang Ketritunggalan Allah, juga
menguatkan keesaan Allah ini (mis. Ef 4:6; 1 Kor 8:6; 1 tim 2:5). Ini berarti
bahwa ketiga Pribadi Allah Tritunggal itu adalah ‘satu’. Ketika Yesus
berkata, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30), kata Yunani untuk
‘satu’ (hen) adalah padanan kata dari kata Ibrani ehad, yang mengandung
pengertian satu dalam tabiat atau hakikat (karena berbentuk netral),
bukan satu dalam pribadi (yang menuntut bentuk maskulin). Jadi Yesus
membedakan pribadi diri-Nya dari pribadi Bapa, namun tetap
menyatakan bahwa diri-Nya satu dan setara dengan Bapa.
Tidak ada tunggal absolut (monisme) atau jamak absolut (pluralisme)
di dalam alam ciptaan, demikian pula di dalam diri Allah. Sang Pencipta
adalah tunggal sekaligus jamak. Allah itu Tritunggal: Ia adalah esa (ehad)
dalam esensi dan tiga dalam Pribadi, dan Perjanjian Baru memberitahu
kita bahwa ketiga Pribadi itu adalah: Bapa, Anak (Yesus Kristus) dan Roh
Kudus. Ketiganya adalah Pribadi-pribadi berbeda yang setara, namun
satu (esa) dalam hakikat.
Manusia memang diciptakan oleh Allah sebagai makhluk uni-
personal. Masing-masing kita adalah satu hakikat (apa) dalam satu
pribadi (siapa). Kalau Anda bertanya kepada saya, “Kamu apa?” maka
saya akan menjawab, “Saya adalah manusia.” Kalau Anda bertanya
kepada saya, “Kamu siapa?” maka saya akan menjawab, dengan
menyebutkan nama saya” Namun teolog Perjanjian Baru, (Guthrie, 1996)
mengingatkan, “Apabila kita berbicara tentang kepribadian di dalam
Keallahan, kita harus berhati-hati agar tidak mengukur Allah dengan
pola kepribadian manusia. Kepribadian di dalam diri Allah pastilah
merupakan sesuatu yang sangat berbeda dengan kepribadian di dalam
diri manusia”.
Allah adalah keberadaan yang tri-personal. Ia adalah satu hakikat
(apa) dalam tiga pribadi (siapa). Kalau Anda bertanya kepada Allah,
“Kamu apa?” maka Allah akan menjawab, “Aku adalah Allah.” Kalau
Anda bertanya kepada Dia, “Kamu siapa?” maka Ia akan menjawab,
“Aku adalah Bapa, Aku adalah Putera, dan Aku adalah Roh Kudus.”
Sebagian orang menuduh Allah orang Kristen Allah yang kontradiktif di
dalam diri-Nya sendiri, karena ‘satu’ dan ‘tiga’ sekaligus. Namun mereka
keliru. Ketritunggalan Allah bisa disebut paradoks (seakan-akan
kontradiktif), namun bukan kontradiksi. Kenapa?

61
Untuk menjawab pertanyaan ini, ambillah salah satu contoh kata-kata
paradoks Tuhan Yesus: “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia
akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya
karena Aku, ia akan memperolehnya” (Mat 10:39). Sepintas, pernyataan
ini seperti mengandung kontradiksi. Bagaimana bisa seseorang
mempertahankan nyawanya dan kehilangan nyawanya sekaligus?
Bagaimana bisa seseorang kehilangan nyawanya sekaligus memperoleh
nyawanya? Namun, yang Yesus maksudkan sebenarnya adalah apabila
seseorang kehilangan nyawanya dalam pengertian tertentu, maka ia akan
mendapatkannya kembali dalam pengertian yang lain. Oleh karena
kehilangan nyawa (putus nafas – secara jasmani) dan memperoleh nyawa
(keselamatan jiwa di dalam Kristus – secara rohani) merupakan dua hal
yang berbeda pengertiannya, maka tidak ada kontradiksi dalam hal ini.
Demikian pula dengan Ketritunggalan Allah. Allah adalah satu dan tiga
dalam pengertian yang berbeda.
Kalau Allah itu satu dan tiga dalam pengertian yang sama (satu dan
tiga dalam hakikat, atau satu dan tiga dalam pribadi), maka kita bisa
menyebut-Nya kontradiktif artinya saling bertentangan. Namun Allah
itu satu dan tiga dalam pengertian yang berbeda: satu dalam hakikat
(‘apa’) dan tiga dalam pribadi atau oknum (‘siapa’).
Demikianlah, ada tiga pribadi (siapa) di dalam Keallahan, yaitu
pribadi Bapa, pribadi Anak, dan pribadi Roh Kudus. Ketiganya saling
berbeda, namun satu dalam hakikat (apa). Masing-masing Pribadi
memiliki peranan khusus yang menonjol, namun secara ultimat,
Ketiganya setera dalam kuasa, selalu selaras dalam sifat, kehendak dan
tujuan.

1. Pribadi Allah Bapa – Pribadi Pertama Allah Tritunggal


Kita akan membahas Pribadi pertama dari Tritunggal Kudus,
yaitu pribadi Bapa. Tentu saja, kita tidak akan membahas segala
sesuatu tentang Allah Bapa. Hanya hal-hal dari Diri-Nya dalam
kaitannya dengan Ketritunggalan Allah yang akan dibahas.
Pertama-tama perlu ditegaskan sekali lagi bahwa Bapa adalah
salah satu Pribadi dari Allah Tritunggal. Ia adalah Pribadi yang
berbeda, namun sehakikat dengan Anak dan dengan Roh Kudus.
Pertanyaannya adalah kenapa Ia disebut sebagai ‘Bapa’? Dalam
pengetian apakah Allah disebut sebagai ‘Bapa’?
Harus diakui, ajaran tentang kebapaan Allah adalah ajaran
yang paling khas dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam ajaran

62
Yesus. Terdapat segi-segi yang unik dalam ajaran Yesus tentang Allah
sebagai Bapa. Meskipun demikian, gagasan tentang Allah sebagai
Bapa bukannya tidak terdapat di dalam Perjanjian Lama.

a. Allah sebagai Bapa dari Seluruh Ciptaan-Nya


Dalam satu pengertian, Allah adalah Bapa dari seluruh ciptaan-
Nya, karena seluruh makhluk ciptaan-Nya berasal dari diri-Nya.
Sebenarnya nama ‘bapa’ untuk Allah tidak selalu dipakai dalam
arti yang tetap sama di seluruh Alkitab. Kadang-kdang nama ini
justru dipakai untuk menunjuk pada Allah Tritunggal sebagai asal
mula dari segala ciptaan. Kendati dalam hal ini menunjuk kepada
Pribadi-pribadi Allah Tritunggal secara keseluruhan, sebenarnya
nama ini secara khusus menunjuk pada Pribadi pertama, yang
adalah Pencipta.
Rasul Paulus Menulis, “…namun bagi kita hanya ada satu Allah
saja, yaitu Bapa, yang dai pada-Nya berasal segala sesuatu….” Ia
juga menulis, “Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa, yang dari
pada-Nya semua turunan yang di dalam sorga dan di atas bumi
menerima namanya” (Ef 3:14-15). Demikianlah Allah adalah Bapa
dari seluruh ciptaan-Nya (band. Ibr 12:9; Yak 1:17).

b. Allah sebagai Bapa dari Orang Israel


Di dalam Perjanjian Lama, Allah dipahami sebagai Bapa umat-
Nya. Allah dianggap sebagai Bapa orang Israel dalam pengertian
sebagai sebuah bangsa, bukan sebagai pribadi. Israel, misalnya,
oleh Allah disebut ‘anak-Ku.’
Sebenarnya nama ‘bapa’ bagi Allah itu untuk menyatakan
hubungan teokratis di mana Dia berdiri di hadapan Israel sebagai
umat Perjanjian Lama-Nya (Ul 32:6; Yes 63: 16; 64:8; Yer 3:4; Mal
1:6; 2:10). Namun perlu diperhatikan bahwa gagasan kebapaan
dalam hubungannya dengan suatu kumpulan orang tidak
menghilangkan gagasan kebapaan dalam hubungannya dengan
pribadi (seorang raja, misalnya dapat disebut sebagai seorang anak
Allah secara pribadi) – dan ini merupakan persiapan bagi
perkembangan gagasan tersebut secara penuh di dalam Perjanjian
Baru.

c. Allah sebagai Bapa dari Yesus Kristus

63
Di dalam Perjanjian Baru, dalam arti yang sepenuhnya berbeda,
nama ‘bapa’ diterapkan kepada Pribadi pertama Allah Tritunggal
dalam hubungan-Nya dengan Pribadi kedua, yaitu Anak – Yesus
Kristus (Yoh 1:14-18; 5:17-26; 8:54; 14:12, 13). Perhatikan bahwa
Pribadi pertama adalah Bapa dari Pribadi kedua dalam arti
metafisis (bukan biologis). Dan inilah Kebapakan yang
sesungguhnya dari Allah, yang dari pada-Nya semua kebapakan
manusia di dunia ini hanyalah refleksi samar-samarnya (Berkhof,
2004).
Injil Yohanes adalah kitab yang paling jelas memperlihatkan
kebapaan Allah dalam hubungan dengan Yesus. Dalam kitab-
kitab Injil Sinoptik, bagian yang menunjukkan hubungan ‘bapa-
anak’ antara Pribadi pertama dan Pribadi kedua Allah Tritunggal
hanya terdapat di dalam Matius 11:25-27 di mana terdapat sebutan
“Bapa” dan “Bapa-Ku.” Munculnya sebutan-sebutan ini secara
berulang-ulang dalam perikop Injil Matius tersebut membuktikan
bahwa gagasan itu bukanlah hasil khayalan Yohanes.
Nanti kita akan membahas “Allah sebagai Bapa dari orang
Kristen.” Yang harus kita ingat nanti adalah bahwa hubungan
istimewa ‘bapak-anak’ antara Allah dengan orang-orang Kristen
itu sekali-kali tidak mengurangi keunikan hubungan ‘bapak-anak’
antara Allah dengan Kristus.
Yohanes misalnya, mengingatkan bahwa ada perbedaan antara
Allah sebagai Bapa dari Yesus Kristus dan Allah sebagai Bapa dari
murid-murid Yesus, atau orang Kristen. Kata-kata Yesus kepada
Maria (pasca kebangkitan-Nya) begitu tegas, sehingga
memperjelas perbedaan ini. Ia berkata, “Janganlah engkau
memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi
pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada
mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan
Bapa-mu, kepada Allah-Ku dan Allah-mu” (Yohanes 20:17).
Perhatikan sebutan ‘Bapa-Ku’ dan ‘Bapa-Mu.’
Hubungan ‘bapak-anak’ antara Pribadi pertama (Allah Bapa)
dan Pribadi Kedua (Allah Anak – Yesus) adalah hubungan dalam
kekekalan (Ibr 7:3). Yesus disebut Anak, bukan setelah kelahiran-
Nya dari perawan Maria pada dua ribu tahun yang lalu. Ingat,
Yesus adalah Anak, ketika Bapa mengutusnya ke dalam dunia
(Yoh 3:17; Rm 8:3; Gal 4:4; 1 Yoh 4:9).

64
d. Allah sebagai Bapa dari Orang Kristen
Di dalam Perjanjian Baru, Allah adalah Bapa dalam pengertian
etis dari semua anak-anak rohani-Nya, atau murid-murid Yesus
(lih. Mat 5:45; 6:6-15; Rm 8:16; 1 Yoh 3:1).
Penting untuk diperhatikan bahwa di dalam Perjanjian Baru,
hubungan ‘bapak-anak’ yang bertitik tolak pada Allah hampir
seluruhnya ditujukan bagi orang-orang percaya. Hubungan itu
terjadi karena tindakan penebusan oleh Kristus.
Contoh yang paling terkenal yang memperlihatkan Allah
sebagai Bapa bagi murid-murid-Nya ditunjukan oleh Yesus dalam
bentuk doa yang Ia ajarkan kepada mereka, yaitu doa ‘Bapa Kami’
(lih. Mat 6:9-13; Luk 11:2-4). Dalam Khotbah di Bukit, misalnya,
Yesus juga berbicara tentang “Bapamu yang di sorga tahu…” (Mat
6:32).
Di dalam Surat-surat, kadang-kadang gelar ‘bapa’ diperkaya.
Allah sering digambarkan sebagai Bapa yang mulia (Ef 1:17), Bapa
segala roh (Ibr 12:9), Bapa segala terang (Yak 1:17). Bahkan
kebapaan dari semua keturunan manusia berasal dari kebapaan
Allah (Ef 3:14-15). Semua itu menunjukkan bahwa Allah disebut
‘Bapa’ bukan atas dasar analogi dengan manusia, seolah-olah
kebapaan dan keanakan manusia adalah penggambaran yang
paling dekat bagi hubungan antara Allah dengan manusia.
Nampaknya kebapaan merupakan sifat Pribadi pertama Allah
Tritunggal yang sudah melekat.
Penting untuk diingat bahwa penekanan akan hubungan
‘bapak-anak’ secara pribadi antara Allah dan orang Kristen tidak
pernah dimaksudkan untuk mengurangi rasa hormat manusia
dalam hubungannya dengan Allah. Sebagaimana dikatakan oleh
(Guthrie, 1996) kita harus berhati-hati agar tidak menurunkan
pandangan Perjanjian Baru tentang kebapaan Allah pada tingkat
pengalaman manusia. Tidak ada hubungan ‘bapak-anak’ secara
manusiawi yang sempurna, karena tidak ada ayah yang
sempurna. Sebaliknya, di dalam diri Allah selalu terlihat pola yang
sempurna dari kebapaan yang sejati.
Hal lain yang harus diingat adalah bahwa kita adalah anak-
anak Allah Bapa kita di sorga dalam pengertian yang berbeda dari
Yesus sebagai Anak-Nya. Kita adalah anak-anak angkat (adopsi)
“Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa untuk

65
menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-
Nya” (Yoh 1:12). Kita (jamak) disebut anak-anak Allah (children of
God). Yesus disebut putera tunggal-Nya (His only Son). Yesus
adalah satu-satunya dari jenis-Nya. Jadi ketika Yesus disebut Anak
dari Allah Bapa, maka hubungan Bapa-Anak yang dimaksud
bersifat unik.
Tentang Kebapaan Allah bagi murid-murid-Nya, Yesus pernah
mengingatkan kita, “…janganlah kamu menyebut siapa pun bapa
di bumi ini, karena hanya satu Bapa-mu, yaitu Dia yang di sorga”
(Mat 23:9). Maksud Yesus adalah, secara rohani, Allah adalah Bapa
kita. Kita tidak boleh memberikan kepada manusia gelar dalam
arti khusus ini, yang hanya menjadi milik Allah. Ingat, Yesus-pun
hanya dipanggil ‘guru’, tidak pernah dipanggil ‘bapa’. Ketika
Rasul Paulus menyebut dirinya ‘bapa’ dalam 1 Kor 4:15, ia
menggunakan istilah itu sebagai analogi secara rohani bagi orang
yang memenangkan orang lain, bukan sebagai gelar. ‘Bapa’ adalah
gelar khusus untuk pribadi pertama Allah Tritunggal.

2. PRIBADI ALLAH ANAK – PRIBADI Kedua ALLAH


TRITUNGGAL
Tiba saatnya bagi kita untuk membahas Pribadi kedua Allah
Tritunggal, yaitu pribadi Allah Anak. Sama seperti pembahasan kita
tentang pribadi Allah Bapa, pada bagian ini kita tidak akan membahas
segala sesuatu tentang pribadi Allah Anak, yaitu Tuhan Yesus Kristus.
Hanya hal-hal dari diri-Nya dalam kaitannya dengan Ketritunggalan
Allah-lah yang akan dibahas.
Untuk memahami Ketritunggalan Allah, pengetahuan dan
pengenalan kita akan Yesus Kristus itu sangat penting. Kenapa?
Karena pengenalan kita akan Yesus Kristus dan pengenalan kita akan
Allah Tritunggal itu berjalan beriringan. Mengenal Kristus berarti
mengenal Allah Tritunggal. Mengenal Allah Tritungal berarti
mengenal Kristus.
Lebih lanjut, menaruh percaya kepada pribadi Kristus sebagai
Tuhan berarti percaya akan Ketritungalan Allah. Mempercayai
Ketritunggalan Allah berarti mempercayai Ketuhanan Kristus.
Demikian pula, penyangkalan terhadap pribadi Kristus sebagai
Tuhan biasanya berjalan beriringan dengan penyangkalan akan
Ketritunggalan Allah, dan sebaliknya. Singkatnya, tidak ada

66
pengakuan akan Ketritunggalan Allah tanpa pengakuan akan
Ketuhanan Kristus.
Sekali lagi, Allah Anak (Firman, Yesus Kristus) adalah salah
satu Pribadi dari Allah Tritunggal. Sebenarnya, wahyu yang paling
lengkap tentang Ketritunggalan Allah di dalam Perjanjian Baru
sangatlah berkaitan dengan kenyataan bahwa Firman yang adalah
Allah, dan yang pada mulanya bersama-sama dengan Allah itu, telah
menjadi daging, dan Roh Kudus tinggal di dalam gereja dan di dalam
diri orang-orang percaya. Jika di dalam Perjanjian Lama Yahweh
dikatakan sebagai Pembebas dan Penyelamat umat-Nya (Ayb 19:25;
Mzm 19:14; 78:35; 106:21; Yes 41:14; 43:3, 11, 14; 47:4; 49:7, 26; 60:16;
Yer 14:3; 50:14; Hos 13:3), di dalam Perjanjian Baru, Allah Anak benar-
benar ada dalam keadaan itu (Mat 1:21; Luk 1:76-69; 2:17; Yoh 4:42; Kis
5:3; Gal 3:13; 4:5; Flp 3:30; Tit 2:13, 14).

a. Yesus Kristus sebagai Pribadi Kedua Allah Tritunggal


Sebagaimana dikatakan oleh (Berkhof, 2004) harus diperhatikan
bahwa tingkatan eksistensi dalam Tritunggal esensial atau
ontologis tercermin dalam diri Allah Tritunggal. Allah Anak
disebut Pribadi kedua karena Ia menempati kedudukan kedua
dalam opera ad extra. Apa maksudnya?
Jika segala sesuatu keluar dari Allah Bapa, maka segala sesuatu
itu melalui Allah Anak. “…namun bagi kita hanya ada satu Allah
saja, yaitu Bapa, yang dai padanya berasal segala sesuatu dan yang
untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus,
yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia
kita hidup” (1 Kor 8:6). Jika Allah Bapa disebut sebagai Penyebab
mutlak dari segala sesuatu, Allah Anak disebut sebagai Penyebab
pengantara – dan hal ini sesuai dengan ruang natural di mana
segala sesuatu diciptakan dan dipelihara melalui Allah Anak.
“Oleh Dia (Anak) Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah
cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang
segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan” (Ibr
1:2, 3; band. Yoh 1:3, 10).
Allah Anak adalah terang yang menerangi setiap orang, yang
masuk ke dalam dunia (Yoh 1:9). Dalam penebusan, Allah Anak
adalah Pelaksananya sebagai kepastian bagi seluruh umat
manusia, yang melaksanakan rencana keselamatan dari Bapa

67
(Mzm 40:7, 8). Ia melakukan semuanya itu, terutama di dalam
inkarnasi, penderitaan dan kematian-Nya (Ef 1:3-14).

b. Yesus Kristus sebagai ‘Anak’, ‘Anak Allah’, ‘Anak Tunggal Bapa’


Tiba saatnya bagi kita untuk mencermati sebutan ‘Anak’, atau
‘Anak Allah’ bagi Yesus sebagai Pribadi kedua Allah Tritunggal.
Namun sebelum melanjutkan, adalah penting untuk membedakan
sebutan ‘Allah Anak’ dari sebutan ‘Anak Allah’ untuk Yesus.
‘Anak Allah’ adalah sebutan Alkitabiah (teologi biblika).
Sebutan atau gelar ini dijumpai di dalam Alkitab, digunakan oleh
para penulis Perjanjian Baru, dengan Perjanjian Lama sebagai latar
belakangnya. ‘Allah Anak’ adalah sebuatan teknis-teologis orang
Kristen untuk Pribadi kedua Allah Tritunggal, yaitu Yesus Kristus.
Ini adalah istilah khas dogmatika, atau teologi sistematika.
Tujuannya tentu saja adalah untuk membedakan-Nya dari Pribadi
pertama (Allah Bapa) dan Pribadi kedua (Allah Roh Kudus).
Sebenarnya ada sebutan atau gelar yang lain yang
menggunakan kata ‘anak’, yaitu ‘Anak Manusia’ (Ingg. the Son of
Man) untuk pribadi Yesus, baik di dalam Perjanjian Lama maupun
Perjanjian baru. Sebutan tersebut tidak akan dibahas di sini, karena
tidak terlalu terkait dengan Ketritunggalan Allah.
Pertanyaannya sekarang adalah kenapa di dalam Alkitab
Pribadi kedua Allah Tritunggal ini, yakni Yesus, disebut ‘Anak’
(tepatnya: ‘Putera’; Ingg. Son) atau ‘Anak Allah’ (Ingg. the Son of
God)? Dalam pengertian apakah Ia disebut Anak, atau Anak Allah?

1) Yesus sebagai Anak Allah dalam pengertian Metafisis.


Sebenarnya Yesus disebut ‘Anak’ atau ‘Anak Allah’
dalam lebih dari satu pengertian. Pertama-tama, Pribadi kedua
itu disebut ‘Anak’ atau ‘Anak Allah’ dalam pengertian
metafisik, bukan pengertian etis (Berkhof, 2004). (Bushwell,
1980) menyatakan bahwa sebutan ini menunjukkan eksistensi-
Nya sebagai salah satu Pribadi Allah Tritunggal, sekaligus
hubungan unik-Nya sebagai Pribadi kedua (Allah Anak)
dengan Pribadi pertama (Allah Bapa). Berikut ini adalah bukti-
buktinya.
a) Yesus disebut Anak Allah sejak sebelum Ia berinkarnasi (mis.
Yoh 1:14, 18; Gal 4:4).

68
b) Ia disebut ‘Anak Tunggal Allah’ atau ‘Anak Tunggal Bapa’,
satu sebutan yang tidak akan mungkin diterapkan kepada-
Nya seandainya Ia adalah Anak Allah dalam pengertian
jabatan atau pengertian etis saja (lih. Yoh 1:14, 18; 2:16, 18; 1
Yoh 4:9; band. 2 Sam 7:14; Ayb 2:1; Mzm 2:7; Luk 3:38; Yoh
1:12).
c) Dalam berbagai ayat jelas sekali terbukti dari konteksnya
bahwa nama itu jelas menunjuk kepada Yesus (lih. Yoh 5:18,
25; Ibr 1:2).
d) Ketika Yesus mengajar murid-murid-Nya untuk menyebut
Allah sebagai ‘Bapa kami’, Ia sendiri menyebut-Nya sebagai
‘Bapa’ atau ‘Bapa-Ku’. Dengan demikian menunjukkan
bahwa Ia sadar akan adanya hubungan yang unik dengan
Bapa (Mat 6:9; 7:21; Yoh 20:17).
e) Menurut Matius 11:27, Yesus sebagai Anak Allah mengklaim
pengetahuan yang khusus tentang Allah, yaitu suatu
pengetahuan yang tidak dimiliki oleh siapapun juga.
f) Orang-orang Yahudi tahu pasti bahwa ketika Yesus
menyebut dirinya sebagai Anak Allah, maka Ia sedang
memaksudkannya dalam arti metafisik, sebab mereka
menganggap Dia sedang melakukan penghujatan (Mat 26:63;
Yoh 5:18; 10:36).

2) Yesus sebagai Anak Allah dalam pengertian Jabatan atau


Mesianik.
Perjanjian Baru menerapkan sebutan ‘Anak Allah’
kepada Kristus sebagai Pengantara (Mat 8:29; 26:63 – dalam
ayat-ayat ini arti nama ini digabungkan dengan nama lain; Mat
27:40; Yoh 1:49; 11:27). Selanjutnya, keberadaan Allah Anak
sebagai Mesias tentu saja terkait erat dengan keadaan Yesus
sebagai Anak Allah. Hanya oleh sebab Ia adalah Anak Allah
yang esensial dan kekal, maka Ia dapat disebut sebagai Anak
Allah, yaitu Mesias (Gutrie, 1996)
Lebih jauh, keadaan Anak Allah sebagai Mesias ini
mencerminkan keadaan sebagai Anak Allah yang kekal dalam
diri Kristus. Dari sudut pandang inilah maka Allah Bapa
disebut sebagai Allah dari Sang Anak, sebagaimana dikatakan
oleh Rasul Paulus, “Allah, yaitu Bapa dari Yesus, Tuhan kita, yang
terpuji sampai selama-lamanya, tahu, bahwa aku tidak berdusta” (2

69
Kor 11:31; band. Ef 1:3) dan kadang-kadang disebut sebagai
Allah yang berbeda dari Tuhan Yesus, sebagaimana diucapkan-
Nya sendiri, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka
mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar dan mengenal
Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh 17:3; band. 1 Kor 8:6;
Ef 4:5, 6).

3) Yesus sebagai Anak yang dilahirkan oleh Bapa dalam


Kekekalan.
Kekhususan dari Pribadi kedua Allah Tritunggal adalah
bahwa Ia secara kekal diperanakkan (bukan diciptakan) dari
Bapa (dalam bahasa dogmatika, ini disebut filiasi), dan bersama-
sama dengan Bapa menghembuskan Roh Kudus. Hubungan
antara Pribadi pertama dan Pribadi kedua adalah hubungan
antara Bapa dan Anak, dan ini menunjukkan bahwa Anak
diperanakkan dari Sang Bapa. Berulang kali Alkitab menyebut
Yesus sebagai ‘Anak Tunggal Bapa’ (Yoh 1:14, 18; 3:16, 18; Ibr
11:17; 1 Yoh 4:9). Namun sekali lagi, tindakan memperanakan
Anak ini adalah tindakan kekal dari Allah Bapa.
Allah Anak adalah Pribadi yang kekal. Ini dapat dilihat
dari semua ayat-ayat Alkitab yang mengajar tentang pra-
eksistensi-Nya, yaitu pra-eksistensi dilihat dari perspektif
inkarnasi-Nya (Mi 5:2; Yoh 1:14, 18; 3:16; 5:17, 18, 30, 36; 17:6;
Kis 13:33; Kol 1:16; Ibr 1:3). Sebutan ‘sulung’ dalam Kolose 1:15
dan Ibrani 1:6 juga menekankan kenyataan generasi kekal dari
Allah Anak, karena kata itu mengandung arti bahwa Ia telah
ada sebalum semua ciptaan ada. Kekekalan, atau pra-eksistensi
itu juga tercermin dari kata-kata Yesus sendiri, “aku berkata
kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada”
(Yoh 8:58).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kelahiran secara
kekal dari Allah Anak adalah kelahiran dari substansi pribadi
dan bukannya kelahiran esensi ilahi-Nya. Tidak benar
mengatakan bahwa Allah Bapa memperanakkan esensi dari
Allah Anak, karena itu berarti bahwa Allah Bapa sedang
memperanakkan esensi-Nya sendiri, sebab esensi Allah Bapa
maupun Allah Anak adalah sama. Lebih baik untuk
mengatakan bahwa Allah Bapa memperanakkan substansi

70
pribadi dari Allah Anak, tetapi juga mengkomunikasikan
kepada-Nya esensi ilahi dalam segala kepenuhannya.
Sebagaimana diakui oleh Yesus sendiri, “Sebab sama seperti Bapa
mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri, demikian juga diberikan-
Nya Anak mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri” (Yoh 5:26).

4) Yesus sebagai Anak Allah dalam arti ‘kelahiran’ secara Jasmani


Menurut (Berkhof, 2004) nama ‘Anak Allah’ juga
diberikan kepada Yesus berdasarkan kenyataan bahwa Ia
mempunyai hari kelahiran. Ia diperanakkan, sesuai dengan
natur manusiawi-Nya, berdasarkan tindakan supranatural dari
Roh Kudus, dan dalam pengertian inilah kita menyebut-Nya
Anak Allah. Hal ini ditunjukkan dalam Lukas 1:32, 35, dan
kemungkinan juga inilah yang dimaksud dalam Yohanes 1:13.
Sebutan Anak Allah dalam pengertian ini tidak perlu
terlalu ditekankan, karena ‘kelahiran dari anak dara Maria’
hanyalah modus, atau cara bagaimana Pribadi kedua itu
berinkarnasi, yang merupakan hakikat dari kedatangan-Nya ke
dalam dunia (Allah tentu bisa menggunakan cara lain untuk
berinkarnasi, menjadi manusia). Lagi pula kelahiran secara
mujizat tidak serta-merta berarti bahwa yang dilahirkan itu
adalah Anak Allah, atau Pribadi kedua dari Allah Tritunggal.

3. PRIBADI ALLAH ROH KUDUS


Sekali lagi, sebenarnya, wahyu yang paling lengkap tentang
Allah Tritunggal dalam Perjanjian Baru sangatlah berkaitan dengan
kenyataan bahwa: (1) Firman yang adalah Allah dan bersama-sama
dengan Allah itu itu telah menjadi daging; dan (2) Roh Kudus tinggal
di dalam gereja dan di dalam diri orang-orang percaya.
Allah adalah Roh (lih. Yohanes 4:24). Namun di dalam Alkitab,
nama Roh Kudus terutama dan secara khusus ditujukan kepada
Pribadi ketiga Allah Tritunggal. Perjanjian Lama biasanya
menggunakan istilah ‘roh’ tanpa adanya kualifikasi tertentu, atau
berbicara tentang ‘Roh Allah’ atau Roh dari Tuhan’, dan memakai
istilah yang khusus ditujukan kepada Roh Kudus, misalnya dalam
Mazmur 51:11; Yesaya 63:10, 11. Sementara itu di dalam Perjanjian
Baru istilah ini menjadi sebutan yang jauh lebih umum untuk
menunjuk kepada Pribadi ketiga Allah Tritunggal.

71
Yang perlu dicatat ialah fakta bahwa sementara Perjanjian Lama
berulang kali menyebut Allah sebagai 'Yang Kud‘s Allah Israel’ (mis.
Mzm 71:22; m89:18; Yes 10:20; 41:14; 43:3; 48:17), Perjanjian Baru
hamper secara eksklusif memakai kata sifat ‘kudus’ untuk menunjuk
kepada Roh Kudus.

a. Roh Kudus sebagai Salah Satu Pribadi Allah Tritunggal


Kesaksian dan bukti-bukti Alkitab tentang eksistensi Roh
Kudus sebuah Oknum atau Pribadi tersendiri (dan bukan sekedar
pancaran atau semacam emanasi roh dari Allah) tidak perlu
dipertanyakan lagi. Sebutan-sebutan yang menyatakan
kepribadian diberikan kepada-Nya, yang terlihat misalnya dari
pemakaian kata ganti maskulin ekeinos untuk-Nya (mis. Yoh 16:14),
atau penggunaan nama Parakletos untuk-Nya (Yoh 14:26; 15:26;
16:7). Ciri-ciri pribadi juga dilekatkan padanya. Misalnya
intelegensi (Yoh 14:26; 15:26; Rm 8:16), kehendak (Kis 16:7; 1 Kor
12:11) dan perasaan (Yes 63;10; Ef 4:30). Roh Kudus bahkan
melakukan hal-hal yang menunjukkan kalau Ia adalah pribadi: Ia
mencari, berbicara, mengakui, membuat, bersyafaat, menyatakan,
berdukacita, memerintahkan, menciptakan, membangkitkan orang
mati, dsb. (Kej 1:2; 6:3; Luk 12:12; Yoh 14:26; 15:26; 16:8; Kis 8:29;
13:2; Rm 8:1; 1 Kor 2:10, 11).
Yang perlu di tekankan dalam pembahasan kita di sini adalah
ajaran Alkitab bahwa Ia benar-benar adalah salah satu Pribadi dari
Allah Tritunggal, yang sehakikat dan setara kedudukan-Nya
dengan kedua Pribadi yang lain, yaitu pribadi Bapa dan pribadi
Anak. Ini jelas di dalam Perjanjian Lama di mana Roh, misalnya,
dibedakan dari Tuhan Allah (lih. Yes 48:16; 59:21; 63:9-10).
Sekarang, bagaimana dengan Perjanjian Baru? Jika di dalam
Perjanjian Lama Allah (Yahweh) dikatakan tinggal di antara umat
Israel dan di dalam hati mereka yang takut akan Dia (Mzm 74:2;
135:21; Yes 8:18; 57:15; Yeh 43:7-9; Yl 3:17, 21; Zak 2:10, 11, dalam
Perjanjian Baru, Roh Kuduslah yang tinggal di dalam gereja (Kis
2:4; Rm 8:9, 11; 1 Kor 3:16; Gal 4:6; Ef 2:22; Yak 4:5).
Di dalam Perjanjian Baru, relasi antara pribadi Roh Kudus
dengan Pribadi-pribadi Keallahan yang lain terlihat dari fakta
bahwa Bapa mengirim Anak-Nya ke dalam dunia (Yoh 3:16; Gal
4:4; Ibr 1:6; 1 Yoh 4:9) dan Allah Bapa dan Allah Anak mengirimkan
Roh Kudus ke dalam dunia (Yoh 14:26; 15:26; 16:7; Gal 4:6). Kita

72
juga menemukan Allah Bapa berbicara kepada Allah Anak (Mrk
1:11; Luk 3:22), Allah Anak berbicara kepada Allah Bapa (Mat
11:25-26; 26:39; Yoh 11:41; 12:27-28) dan Roh Kudus berdoa kepada
Allah Bapa di dalam hati orang-orang percaya (Rm 8:26).
Pada saat Allah Anak (sebagai manusia) dibaptiskan, Allah
Bapa berbicara dari surga, dan Roh Kudus turun ke atas Allah
Anak dalam rupa burung merpati (Mat 3:16-17). Demikianlah Roh
Kudus sebagai pribadi yang berbeda dari pribadi Allah Bapa dan
pribadi Allah Anak jelas dinyatakan kepada kita.
Keilahian, kesehakikatan sekaligus kesetaraan antara pribadi
Roh Kudus dengan pribadi Bapa dan pribadi Anak terlihat dari
penggunaan kata penunjuk tertentu ho (Ingg. the) kepada ketiga
Pribadi, penggunaan kata anoma (Ingg. name) dalam bentuk
tunggal, dan kata penghubung kai (Ingg. and) pada formulasi
Baptisan yang diajarkan oleh Yesus dalam Matius 28:19 (band. 2
Kor 13:13; 1 Pet 1:2).

b. Keilahian Roh Roh Kudus


Sekalipun, sebagaimana diakui oleh (Erickson, 2004) keilahian
Roh Kudus tidak dapat disimpulkan semudah kita menyimpulkan
keilahian Bapa dan Anak, kesaksian Alkitab akan sifat ilahi dari
pribadi-Nya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Roh Kudus berbicara sebagai Allah. Atribut-atribut
kesempurnaan Allah seperti hidup, kasih, kebenaran, kudus, kekal,
mahahadir, mahatahu, mahakuasa, dikenakan kepada-Nya (Mzm
139:7-10; Yes 40:13, 14; Rm 11:34; 1 Kor 2:10, 11; 1 Kor 12:1; Rm 15:19;
Ibr 9:14) . Roh Kudus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan oleh Allah, seperti menciptakan, memelihara, melahir-
barukan, membangkitkan (Kej 1:2; Ayb 26:13; 33:4; Mzm 104:10;
Yoh 3:5, 6; Tit 3:5; Rm 8:11). Roh Kudus menerima penghormatan
yang hanya ditujukan kepada Allah (Mat 28:19; Rm 9:1; 2 Kor
13:13). Ia juga diasosiasikan secara setara dengan Pribadi-pribadi
Keallahan yang lain (Yoh 16:14; Mat 28:19; 2 Kor 13;13; 1 Pet 1:12;
Yud 20, 21).
Karena Roh Kudus adalah pribadi, ilahi, sehakikat dan setara
dengan Bapa dan Anak, maka adalah tepat untuk memanjatkan
doa kepada Roh Kudus, sebagaimana halnya kepada Bapa dan
Anak, maupun kepada Allah Tritunggal (Erickson, 1999). Namun
doa secara Trinitarian menurut teladan Alkitab adalah: kita berdoa

73
kepada Bapa, di dalan nama Yesus Kristus, sebagaimana Roh
Kudus memimpin kita (Yoh 14:14; Ef 1:6; 2:18; 6:18).

H. Forum Diskusi
1. Selidikilah arti kata Ibrani ehad (satu, atau esa) di dalam Perjanjian
Lama. Apakah kata itu mengandung arti yang sama seperti kata ‘esa’
atau ‘satu’ sebagaimana dipahami di dalam agama-agama Unitarian?
Apakah arti kata ‘esa’ atau ‘satu’ untuk Allah di dalam Alkitab bisa
diselaraskan dengan arti penggunaan kata itu untuk Allah oleh para
penganut agama-agama Unitarian? Apakah kata ‘esa’ sebagaimana
terdapat di dalam Sila Pertama dari Pancasila itu signifikan, relevan
dan normative untuk semua agama di Indonesia, termasuk
Kekristenan? Sampai sejauh mana?
2. Debat tentang masing-masing Pribadi Ilahi, terutama debat di seputar
Allah Anak (Pribadi kedua) yakni Yesus masih terus berlangsung
sampai sekarang. Silahkan membuat pernyataan sendiri, tentang
pemahaman saudara tentang masing-masing Pribadi Ilahi, dana relasi
tak terpisahkan di antara Pribadi-Pribadi Ilahi itu sendiri

74
DAFTAR PUSTAKA
Bancroft, Emery H (1976)., Christian Theology, Systematic and Biblical. Grand
Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House
Berkhof, Luis, (2004) Teologi Sistematika: Doktrin Allah. Surabaya: Lembaga
Reformed Injili Indonesia – LRII
Buswell, Oliver J. (1980), A Systematic Theology of the Christian Religion, Volume
1. Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House
Calvin, John, (1975). Institutes of the Christian Religion. Grand Rapids: Wm. B.
Eerdmans
Erickson, Millard J. (1999), Teologi Kristen, Volume Satu. Malang: Penerbit
Gandum Mas,
Garrett, James Leo, (1996), Systematic Theology: Biblical, Historical &
Evangelical, Volume 1. Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company, 1996.
Guthrie, Donald, Teologi Perjanjian Baru 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Ryrie, Charles C., Teologi Dasar: Panduan Populer untuk Memahami Kebenaran
Alkitab, Buku 1. Yogyakarta: Yayasan Andi, 1991.
Strong, Augustus Hopkins, Systematic Theology. USA: Fleming H. Revell
Company.
Sproul, R. C., Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen. Malang: Seminari
Alkitab
Asia Tenggara, 2000.
Thiessen, Henry C., Teologi Sistematika. Malang: Penerbit Gandum Mas, 1997.

75

Anda mungkin juga menyukai