A. Deskripsi Umum
Dalam Kegiatan Belajar 3 ini, kita mempelajari fakta-fakta dari ketiga
Pribadi Allah Tritunggal tersebut. Ini penting, karena suatu pengetahuan
yang lengkap tentang Allah ialah pengetahuan berdasarkan fakta-fakta
dan juga bersifat pribadi. Mengetahui fakta-fakta tentang seseorang tanpa
mengenalnya secara pribadi adalah terbatas; sebaliknya mengenal
seseorang tanpa mengetahui fakta-faktanya adalah dangkal (Ryrie, 1991).
Allah telah menyatakan banyak fakta mengenai diri-Nya, yang
kesemuanya penting agar hubungan kita dengan Dia dekat, cerdas dan
berguna.
C. Capaian Pembelajaran
mampu mengelaborasi dan menganalisis fakta-fakta mengenai
Pribadi-Pribadi Allah Tritunggal, yaitu Pribadi Allah Bapa, Pribadi Allah
Anak dan Pribadi Allah Roh
59
D. Sub Capaian Pembelajaran
1. Menelaah Pribadi Allah Bapa
2. Menelaah Pribadi Allah Anak
3. Menelaah Pribadi Allah Roh Kudus
E. Pokok Materi
1. Pribadi Allah Bapa, Pribadi Pertama Allah Tritunggal
2. Pribadi Allah Anak, Pribadi Kedua Allah Tritunggal
3. Pribadi Allah Roh Kudus, Pribadi Ketiga Allah Tritunggal
G. Uraian Materi
Perjanjian Lama memang menekankan keesaan Allah. Pengakuan
iman (shema) orang Israel yang paling penting di awali dengan kata-kata,
“Dengarlah hai orang Israel: ‘TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!’” (Ul
6:4). Namun kata ‘esa’ yang digunakan di dalam ayat ini, bahkan di
seluruh Perjanjian Lama, tidak mengandung pengertian tunggal
matematis seperti yang diajarkan dalam doktrin tauhid, yaitu tunggal
secara absolut. Kata Ibrani ehad, selalu mengandung pengertian
gabungan dari beberapa unsur. Sebagai contoh, dalam Kejadian 2:24
Allah berfirman, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Di sini, kata ‘satu’ (ehad) adalah kesatuan yang merupakan gabungan dari
dua unsur: laki-laki dan perempuan. Dalam Kejadian 1:2, pagi dan petang
itulah ‘satu’ hari. Dengan kata lain, satu hari adalah gabungan dari pagi
dan petang. Dalam Bilangan 13:23, setandan buah anggur juga
60
menggunakan kata ehad, karena satu tandan itu terdiri dari banyak buah
anggur.
Perhatikan bahwa Perjanjian Baru, bahkan dengan pernyataan-
pernyataannya yang jelas tentang Ketritunggalan Allah, juga
menguatkan keesaan Allah ini (mis. Ef 4:6; 1 Kor 8:6; 1 tim 2:5). Ini berarti
bahwa ketiga Pribadi Allah Tritunggal itu adalah ‘satu’. Ketika Yesus
berkata, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30), kata Yunani untuk
‘satu’ (hen) adalah padanan kata dari kata Ibrani ehad, yang mengandung
pengertian satu dalam tabiat atau hakikat (karena berbentuk netral),
bukan satu dalam pribadi (yang menuntut bentuk maskulin). Jadi Yesus
membedakan pribadi diri-Nya dari pribadi Bapa, namun tetap
menyatakan bahwa diri-Nya satu dan setara dengan Bapa.
Tidak ada tunggal absolut (monisme) atau jamak absolut (pluralisme)
di dalam alam ciptaan, demikian pula di dalam diri Allah. Sang Pencipta
adalah tunggal sekaligus jamak. Allah itu Tritunggal: Ia adalah esa (ehad)
dalam esensi dan tiga dalam Pribadi, dan Perjanjian Baru memberitahu
kita bahwa ketiga Pribadi itu adalah: Bapa, Anak (Yesus Kristus) dan Roh
Kudus. Ketiganya adalah Pribadi-pribadi berbeda yang setara, namun
satu (esa) dalam hakikat.
Manusia memang diciptakan oleh Allah sebagai makhluk uni-
personal. Masing-masing kita adalah satu hakikat (apa) dalam satu
pribadi (siapa). Kalau Anda bertanya kepada saya, “Kamu apa?” maka
saya akan menjawab, “Saya adalah manusia.” Kalau Anda bertanya
kepada saya, “Kamu siapa?” maka saya akan menjawab, dengan
menyebutkan nama saya” Namun teolog Perjanjian Baru, (Guthrie, 1996)
mengingatkan, “Apabila kita berbicara tentang kepribadian di dalam
Keallahan, kita harus berhati-hati agar tidak mengukur Allah dengan
pola kepribadian manusia. Kepribadian di dalam diri Allah pastilah
merupakan sesuatu yang sangat berbeda dengan kepribadian di dalam
diri manusia”.
Allah adalah keberadaan yang tri-personal. Ia adalah satu hakikat
(apa) dalam tiga pribadi (siapa). Kalau Anda bertanya kepada Allah,
“Kamu apa?” maka Allah akan menjawab, “Aku adalah Allah.” Kalau
Anda bertanya kepada Dia, “Kamu siapa?” maka Ia akan menjawab,
“Aku adalah Bapa, Aku adalah Putera, dan Aku adalah Roh Kudus.”
Sebagian orang menuduh Allah orang Kristen Allah yang kontradiktif di
dalam diri-Nya sendiri, karena ‘satu’ dan ‘tiga’ sekaligus. Namun mereka
keliru. Ketritunggalan Allah bisa disebut paradoks (seakan-akan
kontradiktif), namun bukan kontradiksi. Kenapa?
61
Untuk menjawab pertanyaan ini, ambillah salah satu contoh kata-kata
paradoks Tuhan Yesus: “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia
akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya
karena Aku, ia akan memperolehnya” (Mat 10:39). Sepintas, pernyataan
ini seperti mengandung kontradiksi. Bagaimana bisa seseorang
mempertahankan nyawanya dan kehilangan nyawanya sekaligus?
Bagaimana bisa seseorang kehilangan nyawanya sekaligus memperoleh
nyawanya? Namun, yang Yesus maksudkan sebenarnya adalah apabila
seseorang kehilangan nyawanya dalam pengertian tertentu, maka ia akan
mendapatkannya kembali dalam pengertian yang lain. Oleh karena
kehilangan nyawa (putus nafas – secara jasmani) dan memperoleh nyawa
(keselamatan jiwa di dalam Kristus – secara rohani) merupakan dua hal
yang berbeda pengertiannya, maka tidak ada kontradiksi dalam hal ini.
Demikian pula dengan Ketritunggalan Allah. Allah adalah satu dan tiga
dalam pengertian yang berbeda.
Kalau Allah itu satu dan tiga dalam pengertian yang sama (satu dan
tiga dalam hakikat, atau satu dan tiga dalam pribadi), maka kita bisa
menyebut-Nya kontradiktif artinya saling bertentangan. Namun Allah
itu satu dan tiga dalam pengertian yang berbeda: satu dalam hakikat
(‘apa’) dan tiga dalam pribadi atau oknum (‘siapa’).
Demikianlah, ada tiga pribadi (siapa) di dalam Keallahan, yaitu
pribadi Bapa, pribadi Anak, dan pribadi Roh Kudus. Ketiganya saling
berbeda, namun satu dalam hakikat (apa). Masing-masing Pribadi
memiliki peranan khusus yang menonjol, namun secara ultimat,
Ketiganya setera dalam kuasa, selalu selaras dalam sifat, kehendak dan
tujuan.
62
Yesus. Terdapat segi-segi yang unik dalam ajaran Yesus tentang Allah
sebagai Bapa. Meskipun demikian, gagasan tentang Allah sebagai
Bapa bukannya tidak terdapat di dalam Perjanjian Lama.
63
Di dalam Perjanjian Baru, dalam arti yang sepenuhnya berbeda,
nama ‘bapa’ diterapkan kepada Pribadi pertama Allah Tritunggal
dalam hubungan-Nya dengan Pribadi kedua, yaitu Anak – Yesus
Kristus (Yoh 1:14-18; 5:17-26; 8:54; 14:12, 13). Perhatikan bahwa
Pribadi pertama adalah Bapa dari Pribadi kedua dalam arti
metafisis (bukan biologis). Dan inilah Kebapakan yang
sesungguhnya dari Allah, yang dari pada-Nya semua kebapakan
manusia di dunia ini hanyalah refleksi samar-samarnya (Berkhof,
2004).
Injil Yohanes adalah kitab yang paling jelas memperlihatkan
kebapaan Allah dalam hubungan dengan Yesus. Dalam kitab-
kitab Injil Sinoptik, bagian yang menunjukkan hubungan ‘bapa-
anak’ antara Pribadi pertama dan Pribadi kedua Allah Tritunggal
hanya terdapat di dalam Matius 11:25-27 di mana terdapat sebutan
“Bapa” dan “Bapa-Ku.” Munculnya sebutan-sebutan ini secara
berulang-ulang dalam perikop Injil Matius tersebut membuktikan
bahwa gagasan itu bukanlah hasil khayalan Yohanes.
Nanti kita akan membahas “Allah sebagai Bapa dari orang
Kristen.” Yang harus kita ingat nanti adalah bahwa hubungan
istimewa ‘bapak-anak’ antara Allah dengan orang-orang Kristen
itu sekali-kali tidak mengurangi keunikan hubungan ‘bapak-anak’
antara Allah dengan Kristus.
Yohanes misalnya, mengingatkan bahwa ada perbedaan antara
Allah sebagai Bapa dari Yesus Kristus dan Allah sebagai Bapa dari
murid-murid Yesus, atau orang Kristen. Kata-kata Yesus kepada
Maria (pasca kebangkitan-Nya) begitu tegas, sehingga
memperjelas perbedaan ini. Ia berkata, “Janganlah engkau
memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi
pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada
mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan
Bapa-mu, kepada Allah-Ku dan Allah-mu” (Yohanes 20:17).
Perhatikan sebutan ‘Bapa-Ku’ dan ‘Bapa-Mu.’
Hubungan ‘bapak-anak’ antara Pribadi pertama (Allah Bapa)
dan Pribadi Kedua (Allah Anak – Yesus) adalah hubungan dalam
kekekalan (Ibr 7:3). Yesus disebut Anak, bukan setelah kelahiran-
Nya dari perawan Maria pada dua ribu tahun yang lalu. Ingat,
Yesus adalah Anak, ketika Bapa mengutusnya ke dalam dunia
(Yoh 3:17; Rm 8:3; Gal 4:4; 1 Yoh 4:9).
64
d. Allah sebagai Bapa dari Orang Kristen
Di dalam Perjanjian Baru, Allah adalah Bapa dalam pengertian
etis dari semua anak-anak rohani-Nya, atau murid-murid Yesus
(lih. Mat 5:45; 6:6-15; Rm 8:16; 1 Yoh 3:1).
Penting untuk diperhatikan bahwa di dalam Perjanjian Baru,
hubungan ‘bapak-anak’ yang bertitik tolak pada Allah hampir
seluruhnya ditujukan bagi orang-orang percaya. Hubungan itu
terjadi karena tindakan penebusan oleh Kristus.
Contoh yang paling terkenal yang memperlihatkan Allah
sebagai Bapa bagi murid-murid-Nya ditunjukan oleh Yesus dalam
bentuk doa yang Ia ajarkan kepada mereka, yaitu doa ‘Bapa Kami’
(lih. Mat 6:9-13; Luk 11:2-4). Dalam Khotbah di Bukit, misalnya,
Yesus juga berbicara tentang “Bapamu yang di sorga tahu…” (Mat
6:32).
Di dalam Surat-surat, kadang-kadang gelar ‘bapa’ diperkaya.
Allah sering digambarkan sebagai Bapa yang mulia (Ef 1:17), Bapa
segala roh (Ibr 12:9), Bapa segala terang (Yak 1:17). Bahkan
kebapaan dari semua keturunan manusia berasal dari kebapaan
Allah (Ef 3:14-15). Semua itu menunjukkan bahwa Allah disebut
‘Bapa’ bukan atas dasar analogi dengan manusia, seolah-olah
kebapaan dan keanakan manusia adalah penggambaran yang
paling dekat bagi hubungan antara Allah dengan manusia.
Nampaknya kebapaan merupakan sifat Pribadi pertama Allah
Tritunggal yang sudah melekat.
Penting untuk diingat bahwa penekanan akan hubungan
‘bapak-anak’ secara pribadi antara Allah dan orang Kristen tidak
pernah dimaksudkan untuk mengurangi rasa hormat manusia
dalam hubungannya dengan Allah. Sebagaimana dikatakan oleh
(Guthrie, 1996) kita harus berhati-hati agar tidak menurunkan
pandangan Perjanjian Baru tentang kebapaan Allah pada tingkat
pengalaman manusia. Tidak ada hubungan ‘bapak-anak’ secara
manusiawi yang sempurna, karena tidak ada ayah yang
sempurna. Sebaliknya, di dalam diri Allah selalu terlihat pola yang
sempurna dari kebapaan yang sejati.
Hal lain yang harus diingat adalah bahwa kita adalah anak-
anak Allah Bapa kita di sorga dalam pengertian yang berbeda dari
Yesus sebagai Anak-Nya. Kita adalah anak-anak angkat (adopsi)
“Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa untuk
65
menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-
Nya” (Yoh 1:12). Kita (jamak) disebut anak-anak Allah (children of
God). Yesus disebut putera tunggal-Nya (His only Son). Yesus
adalah satu-satunya dari jenis-Nya. Jadi ketika Yesus disebut Anak
dari Allah Bapa, maka hubungan Bapa-Anak yang dimaksud
bersifat unik.
Tentang Kebapaan Allah bagi murid-murid-Nya, Yesus pernah
mengingatkan kita, “…janganlah kamu menyebut siapa pun bapa
di bumi ini, karena hanya satu Bapa-mu, yaitu Dia yang di sorga”
(Mat 23:9). Maksud Yesus adalah, secara rohani, Allah adalah Bapa
kita. Kita tidak boleh memberikan kepada manusia gelar dalam
arti khusus ini, yang hanya menjadi milik Allah. Ingat, Yesus-pun
hanya dipanggil ‘guru’, tidak pernah dipanggil ‘bapa’. Ketika
Rasul Paulus menyebut dirinya ‘bapa’ dalam 1 Kor 4:15, ia
menggunakan istilah itu sebagai analogi secara rohani bagi orang
yang memenangkan orang lain, bukan sebagai gelar. ‘Bapa’ adalah
gelar khusus untuk pribadi pertama Allah Tritunggal.
66
pengakuan akan Ketritunggalan Allah tanpa pengakuan akan
Ketuhanan Kristus.
Sekali lagi, Allah Anak (Firman, Yesus Kristus) adalah salah
satu Pribadi dari Allah Tritunggal. Sebenarnya, wahyu yang paling
lengkap tentang Ketritunggalan Allah di dalam Perjanjian Baru
sangatlah berkaitan dengan kenyataan bahwa Firman yang adalah
Allah, dan yang pada mulanya bersama-sama dengan Allah itu, telah
menjadi daging, dan Roh Kudus tinggal di dalam gereja dan di dalam
diri orang-orang percaya. Jika di dalam Perjanjian Lama Yahweh
dikatakan sebagai Pembebas dan Penyelamat umat-Nya (Ayb 19:25;
Mzm 19:14; 78:35; 106:21; Yes 41:14; 43:3, 11, 14; 47:4; 49:7, 26; 60:16;
Yer 14:3; 50:14; Hos 13:3), di dalam Perjanjian Baru, Allah Anak benar-
benar ada dalam keadaan itu (Mat 1:21; Luk 1:76-69; 2:17; Yoh 4:42; Kis
5:3; Gal 3:13; 4:5; Flp 3:30; Tit 2:13, 14).
67
(Mzm 40:7, 8). Ia melakukan semuanya itu, terutama di dalam
inkarnasi, penderitaan dan kematian-Nya (Ef 1:3-14).
68
b) Ia disebut ‘Anak Tunggal Allah’ atau ‘Anak Tunggal Bapa’,
satu sebutan yang tidak akan mungkin diterapkan kepada-
Nya seandainya Ia adalah Anak Allah dalam pengertian
jabatan atau pengertian etis saja (lih. Yoh 1:14, 18; 2:16, 18; 1
Yoh 4:9; band. 2 Sam 7:14; Ayb 2:1; Mzm 2:7; Luk 3:38; Yoh
1:12).
c) Dalam berbagai ayat jelas sekali terbukti dari konteksnya
bahwa nama itu jelas menunjuk kepada Yesus (lih. Yoh 5:18,
25; Ibr 1:2).
d) Ketika Yesus mengajar murid-murid-Nya untuk menyebut
Allah sebagai ‘Bapa kami’, Ia sendiri menyebut-Nya sebagai
‘Bapa’ atau ‘Bapa-Ku’. Dengan demikian menunjukkan
bahwa Ia sadar akan adanya hubungan yang unik dengan
Bapa (Mat 6:9; 7:21; Yoh 20:17).
e) Menurut Matius 11:27, Yesus sebagai Anak Allah mengklaim
pengetahuan yang khusus tentang Allah, yaitu suatu
pengetahuan yang tidak dimiliki oleh siapapun juga.
f) Orang-orang Yahudi tahu pasti bahwa ketika Yesus
menyebut dirinya sebagai Anak Allah, maka Ia sedang
memaksudkannya dalam arti metafisik, sebab mereka
menganggap Dia sedang melakukan penghujatan (Mat 26:63;
Yoh 5:18; 10:36).
69
Kor 11:31; band. Ef 1:3) dan kadang-kadang disebut sebagai
Allah yang berbeda dari Tuhan Yesus, sebagaimana diucapkan-
Nya sendiri, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka
mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar dan mengenal
Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh 17:3; band. 1 Kor 8:6;
Ef 4:5, 6).
70
pribadi dari Allah Anak, tetapi juga mengkomunikasikan
kepada-Nya esensi ilahi dalam segala kepenuhannya.
Sebagaimana diakui oleh Yesus sendiri, “Sebab sama seperti Bapa
mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri, demikian juga diberikan-
Nya Anak mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri” (Yoh 5:26).
71
Yang perlu dicatat ialah fakta bahwa sementara Perjanjian Lama
berulang kali menyebut Allah sebagai 'Yang Kud‘s Allah Israel’ (mis.
Mzm 71:22; m89:18; Yes 10:20; 41:14; 43:3; 48:17), Perjanjian Baru
hamper secara eksklusif memakai kata sifat ‘kudus’ untuk menunjuk
kepada Roh Kudus.
72
juga menemukan Allah Bapa berbicara kepada Allah Anak (Mrk
1:11; Luk 3:22), Allah Anak berbicara kepada Allah Bapa (Mat
11:25-26; 26:39; Yoh 11:41; 12:27-28) dan Roh Kudus berdoa kepada
Allah Bapa di dalam hati orang-orang percaya (Rm 8:26).
Pada saat Allah Anak (sebagai manusia) dibaptiskan, Allah
Bapa berbicara dari surga, dan Roh Kudus turun ke atas Allah
Anak dalam rupa burung merpati (Mat 3:16-17). Demikianlah Roh
Kudus sebagai pribadi yang berbeda dari pribadi Allah Bapa dan
pribadi Allah Anak jelas dinyatakan kepada kita.
Keilahian, kesehakikatan sekaligus kesetaraan antara pribadi
Roh Kudus dengan pribadi Bapa dan pribadi Anak terlihat dari
penggunaan kata penunjuk tertentu ho (Ingg. the) kepada ketiga
Pribadi, penggunaan kata anoma (Ingg. name) dalam bentuk
tunggal, dan kata penghubung kai (Ingg. and) pada formulasi
Baptisan yang diajarkan oleh Yesus dalam Matius 28:19 (band. 2
Kor 13:13; 1 Pet 1:2).
73
kepada Bapa, di dalan nama Yesus Kristus, sebagaimana Roh
Kudus memimpin kita (Yoh 14:14; Ef 1:6; 2:18; 6:18).
H. Forum Diskusi
1. Selidikilah arti kata Ibrani ehad (satu, atau esa) di dalam Perjanjian
Lama. Apakah kata itu mengandung arti yang sama seperti kata ‘esa’
atau ‘satu’ sebagaimana dipahami di dalam agama-agama Unitarian?
Apakah arti kata ‘esa’ atau ‘satu’ untuk Allah di dalam Alkitab bisa
diselaraskan dengan arti penggunaan kata itu untuk Allah oleh para
penganut agama-agama Unitarian? Apakah kata ‘esa’ sebagaimana
terdapat di dalam Sila Pertama dari Pancasila itu signifikan, relevan
dan normative untuk semua agama di Indonesia, termasuk
Kekristenan? Sampai sejauh mana?
2. Debat tentang masing-masing Pribadi Ilahi, terutama debat di seputar
Allah Anak (Pribadi kedua) yakni Yesus masih terus berlangsung
sampai sekarang. Silahkan membuat pernyataan sendiri, tentang
pemahaman saudara tentang masing-masing Pribadi Ilahi, dana relasi
tak terpisahkan di antara Pribadi-Pribadi Ilahi itu sendiri
74
DAFTAR PUSTAKA
Bancroft, Emery H (1976)., Christian Theology, Systematic and Biblical. Grand
Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House
Berkhof, Luis, (2004) Teologi Sistematika: Doktrin Allah. Surabaya: Lembaga
Reformed Injili Indonesia – LRII
Buswell, Oliver J. (1980), A Systematic Theology of the Christian Religion, Volume
1. Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House
Calvin, John, (1975). Institutes of the Christian Religion. Grand Rapids: Wm. B.
Eerdmans
Erickson, Millard J. (1999), Teologi Kristen, Volume Satu. Malang: Penerbit
Gandum Mas,
Garrett, James Leo, (1996), Systematic Theology: Biblical, Historical &
Evangelical, Volume 1. Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company, 1996.
Guthrie, Donald, Teologi Perjanjian Baru 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Ryrie, Charles C., Teologi Dasar: Panduan Populer untuk Memahami Kebenaran
Alkitab, Buku 1. Yogyakarta: Yayasan Andi, 1991.
Strong, Augustus Hopkins, Systematic Theology. USA: Fleming H. Revell
Company.
Sproul, R. C., Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen. Malang: Seminari
Alkitab
Asia Tenggara, 2000.
Thiessen, Henry C., Teologi Sistematika. Malang: Penerbit Gandum Mas, 1997.
75