Anda di halaman 1dari 16

LECTURE NOTES

Character Building: Agama


Week ke - 3

KNOWING WHAT OR WHO GOD IS


LEARNING OUTCOMES

LO1: Explain the nature of religions and the God in general

OUTLINE MATERI :

Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:


• menjelaskan konsep-konsep Allah berdasarkan Kitab Suci
• menerapkan makna mengenal Allah melalui alam
• menerapkan makna mengenal Allah melalui sesama

2
ISI MATERI

A. PENDAHULUAN
Sebagai orang beriman dan beragama, sudah seharusnya kita memiliki pemahaman, gambaran atau
konsep tentang apa atau siapa Allah yang kita imani itu (Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi,
2016: hal. 88). Gambaran, konsep atau pemahaman kita tentang Allah sangat penting terkait penghayatan kita
tentang Dia dalam kehidupan kita. Kalau kita memiliki gambaran yang baik tentang Allah, termasuk tentang
berbagai pesan-pesan atau tuntunan moral-Nya untuk kita, tentu kita akan lebih mudah dan optimis dalam
menghayatinya dalam kehidupan kita sebagai orang beriman. Gambaran atau konsep kita tentang Allah
bukanlah sesuatu yang tidak berkaitan dengan kehidupan kita yang hakiki, yang sekedar mengisi otak atau
pengetahuan fantasi-abstraksi kita; melainkan sebaliknya, sesuatu yang sangat berkaitan dan memiliki
pengaruh dalam kehidupan manusia. Keterbukaan manusia pada Yang Adikodrati merupakan fitrah manusia
yang dimilikinya sejak lahir (Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, 2016: hal. 43).
Sumber utama pengenalan akan Allah adalah Kitab Suci atau Kitab Keagamaan, yang diyakini
sebagai warisan para nabi atau tokoh-tokoh awal agama-agamadi dunia ini (Tim CBDC, Character Building:
Agama, 2015: hal. 29-34). Selain pengenalan melalui Kitab-kitab Suci, Allah bisa dikenal juga melalui
berbagai cara lain, melalui ciptaan-Nya, melalui peristiwa-peristiwa atau kejadian, melalui pengalaman (baik
atau buruk), baik pribadi maupun bersama, melalui hati Nurani dan melalui berbagai perjumpaan lainnya.
Pengenalan akan Allah melalui Kitab suci merupakan pengenalan yang khas, karena didasarkan pada apa yang
tertulis dalam Kitab Suci. Sebagai tulisan maka konsep itu tidak berubah, bisa dihafal dan dieja dengan fasih,
tanpa salah seikitpun. Untuk pengenalan akan Allah melalui sumber-sumber atau
perjumpaan lainnya sangat dibutuhkan keterbukaan hati dan pikiran1, kepekaan religius, untuk bisa
menangkap bahkan merasakan atau mengalami kehadiran-Nya secara khas dan unik, yang menyapa dan
menyatakan kehadiran serta kehendak-Nya kepada kita. Dalam topik ini akan didalami pengenalan akan Allah
melalui Kitab Suci, melalui alam dan melalui sesama, sertamencari makna dari berbagai pengenalan tersebut,
menyangkut hubungan kita dengan Allah sendiri, dengan alam dan dengan sesama.

1
Perihal keterbukaan hati dan pikiranmerupakan salah satu implementasidari Binus Graduate Attribute (BGA)
“Growth Mindset”, yakni ‘openminded’.

3
B. PEMBAHASAN
1. Mengenal Allah melalui Kitab Suci.
a. Konsep Allah dalam Agama Islam
Ilmu tentang ketuhanan dalam agama Islam, disebut dengan istilah Al-Tauhid. Tauhid adalah suatu
konsep teologis Islam yang menegaskan hakikat keesaan Allah Swt. Sebagai konsekuensi logisnya, seorang
muslim bukan hanya memahami namun juga mengamalkan ketauhidan itu dalam tiga (3) macam pemahaman,
yakni: 1) Tauhid Rububiyah, 2) Tauhid Uluhiyah, dan 3) Tauhid Asma wa Sifat.
Tauhid Rububiyah, artinya adalah mengesakan Allah Swt dalam penciptaan, kepemilikan, pengurusan
serta menjaga seluruh alam semesta. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Quran yang berbunyi: “Allah
menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu (Surat Az-Zumar 39:62). Contoh Tauhid
Rububiyah adalah pengakuan akan Allah sebagai pencipta segala sesuatu dan bahwasanya alam semesta tidak
mempunyai dua pencipta yang setara dalam sifat dan perbuatan-Nya. Tauhid Uluhiyah, artinya beriman hanya
kepada Allah semata yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dasar hukumnya dalam Surat Al-
Imran 3: 18 berbunyi: “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Maha perkasa lagi Maha
bijaksana”. Contoh Tauhid Uluhiyah adalah Pengesaan Allah dalam ibadah yakni bahwa hanya Allah Swt
yang berhak di ibadahi. Tauhid Asma wa Sifat maksudnya beriman bahwa Allah memiliki nama dan sifat baik
(asma’ul husna) yang sesuai dengan keagungan-Nya. Contoh Tauhid Asma wa sifat adalah Umat Islam tidak
menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam nama dan sifat Nya. Islam mengenal 99 asma’ul husna
sebagai nama sekaligus sifat-sifat Allah. Dengan demikian maka seseorang yang menganut Islam wajib
mengamalkan Tauhid dan menjauhi syirik sebagai dampak lanjutan dari kalimat Syahadat yang sudah
diikrarkan oleh seorang muslim. Dalam pandangan Muslim, Tuhan adalah Allah Swt, Yang Satu, dan Tuhan itu
satu adanya. Allah itu bersifat kekal/abadi. Allah tidak dilahirkan oleh apapun. Tidak ada sesuatu apapun yang
ekuivalen dengan Allah Swt (Surat: QS Al-Ikhlas 112:1-4). Hal ini menunjukkan secara mendasar
karakteristik monoteistik di dalam Islam dalam mempersepsikan Allah Swt. Ilmu pengakuan keesaan Tuhan ini
hendaknya dibarengi dengan iman dan amal oleh umat Islam. Ilmu Tauhid tidak ada artinya apabila tidak
dilanjutkan dengan iman. Iman juga tidak benar apabila tidak
didasari oleh ilmu yang benar tentang keesaan Tuhan, apalagi tidak diwujudkan dengan amal ibadah dengan
menjaga hubungan yang baik dengan Tuhan dan hubungan yang baik dengan sesama.
b. Konsep Allah dalam Agama Kristen (Katolik dan Protestan)
Pandangan Kristiani (Katolik dan Protestan) pada dasarnya mengakui adanya Tuhan sebagai Allah
Yang Esa, sebagai Pencipta segalasesuatu yang ada di dalam alam semesta termasuk manusia. Bukti biblis
paling otentik bisa ditemukan di dalam Kitab Ulangan, bab 6:4 yang mengatakan: “Dengarlah, hai orang
Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa”. Di dalam Injil Markus bab 12:32 dikatakan “Dia (Allah) itu Esa

4
dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia”. Teks-teks ini menunjukkan secara jelas pandangan Kristiani akan
Tuhan yang pada dasarnya bersifat monoteistik. Yang unik di dalam teologi Kristen tentang Tuhan yakni
adanya konsep tentang Trinitas atau Allah Tritunggal Maahakudus. Trinitas (dari kata bahasa Latin ‘Trinus’,
artinya rangkap tiga. Ada tiga pribadi atau hipostasis yang sehakikat (konsubstansial): Bapa, Putra, dan Roh
Kudus, sebagai SATU TUHAN dalam tiga pribadi Ilahi. Konsep ketuhanan dalam Tritunggal adalah: Allah
Bapa yang ada di surga, yang menjelma menjadi manusia Yesus Kristus (yang seratus persen Allah dan
seratus persen manusia), yang diutus-Nya untuk membebaskan manusia dari dosa. Dan setelah kematian-Nya,
Ia bangkit dan naik ke surga, namun tetap berpengaruh atas manusia melalui kuasa Roh Kudus (realitas kuasa
Allah yang tetap hidup dan melindungi dunia ini hingga kini dan selamanya). Tuhan memiliki tiga pribadi
yakni: Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus dengan tugas dan peran masing- masing namun satu
dalam hakikat ke-Allah-an. Allah Bapa sebagai Pencipta, Allah Putera sebagai Penebus/Penyelamat dan Allah
Roh Kudus sebagai Penghibur, yang menguduskan dan menguatkan, yang senantiasa menyertai umat-Nya
sampai pada akhir zaman. Ketiganya satu dalam hakikat dan subtansi sebagai Allah yang Maha Esa. Beberapa
teks Kitab Suci bisa disebutkan disini: Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah
dan Firman itu adalah Allah (yoh. 1:1). Firman itu telah menjadi manusia, dan tinggal di antara kita…” (Yoh.
1: 14). Kata Yesus kepada orang banyak, “Aku telah turun dari surga bukan untuk melakukan kehendak-Ku,
tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku” (Yoh. 6:38). Kata Yesus kepada para murid-
Nya, “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan
mengajarkan segala sesuatu kepadamu …” (Yoh 14:26). Pada suatu saat setelah kebangkitan-Nya ketika Yesus
menampakkan diri kepada para murid-Nya, Ia menghembusi mereka dan berkata “Terimalah Roh Kudus…”
(Yoh. 20:22). Memang bagi kebanyakan akan sulit memahami konsep Allah Trinitas ini, namun para penganut
kristiani meyakini dan mengakui bahwa mustahil kita memahami segala hal tentang Allah. Kepercayaan akan
Allah Tritunggal tidak berarti orang Kristiani percaya pada tiga Allah atau 3 Tuhan (politeistik). Allah yang
Maha Esa itu “menampakkan” diri dalam tiga cara atau tiga modus. Kitab Suci atau Alkitab tidak mengajarkan
adanya tiga Tuhan, tetapi hanya ada satu Tuhan saja, hanya satu Allah yang Tunggal dan Esa.
c. Konsep Allah dalam Agama Hindu
Konsep dasar memahami ketuhanan dalam agama Hindu adalah bahwa Tuhan itu satu dan dipuja
dengan berbagai cara dan jalan berdasarkan etika. Sastra Veda dalam Upanisad IV.2.1. menyebutkan: Ekam
Ewa Adwityam Brahman (Tuhan itu hanya satu, tidak ada duanya). Sementara dalam Narayana Upanisad
ditegaskan: Eko Narayana Nadwityo Stikacit (Hanya satu Tuhan, sama sekali tidak ada duanya). Dan juga
terdapat di dalam Mantram atau Puja Tri Sandya. Untuk mewujudkan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa,
dengan sifat-Nya yang Acintya (tidak dapat terpikirkan), manusia dengan sifatnya yang Awidya (tidak
sempurna) memuja Tuhan dengan berbagai rupa, nama dan sebutan, serta berbagai interprestasi. Ini seperti

5
tertuang dalam kitab suci Weda: Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti (Hanya satu Tuhan, namun orang
bijaksana menyebut-Nya dengan banyak nama). Tuhan bersifat Acintya atau tidak terpikirkan oleh manusia.
Artinya, manusia tidak dapat menggambarkan Tuhan dengan sempurna. Sebagai makhluk yang dikarunia akal
dan pikiran, manusia memiliki cara untuk mewujudkan bhaktinya kepada Sang Penguasa Alam Semesta
dengan berbagai cara berdasarkan nilai-nilai dharma (kebenaran). Agama merupakan sumber yang dapat
menciptakan kedamaian di hati, kedamaian di dunia, dan kedamaian di akhirat (Moksartham Jagad Hita
Yacha Iti Darma). Konsep agama Tri Murti, atau tiga kekuatan Tuhan dalam manifestasinya: Brahma sebagai
pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa sebagai pelebur atau mengembalikan ke asalnya (Pendidikan
Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, 2016: hal. 43-44). Konsep Tri Murti dipraktekan oleh Mpu Kuturan
pada tahun 845 M, yang besumberkan pada Weda dengan menggabungkan Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan
Dewa Siwa. Ajaran Mpu Kuturan yang mengangkat konsep Tri Murti menggabungkan 15 sekte atau aliran,
agama kepercayaan yang ada di Bali dan dimanapun Hindu berkembang. Kelima belas sekte dan agama ini
dipersatukan oleh ideologi “Tri Murti”. Bagi orang bijaksana menyebutnya banyak dewa sesuai dengan
fungsinya sehingga beliau dikenal dengan “sehasra” nama sebutannya seribu dewa.
d. Konsep Allah dalam Agama Buddha
Konsep Ketuhanan dalam Buddhisme terdapat dalam kitab Udana bab VIII dengan terminologi
“ajātaṃ abhūtaṃ akataṃ asaṅkhataṃ”, yang artinya ada yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak
diciptakan dan yang Mutlak Adanya. Dengan demikian Tuhan itu tidak dapat dipersonifikasikan dan tidak
dapat digambarkan dalam bentuk apapun. Menurut perspektif Buddhisme, Tuhan tidak dipandang sebagai suatu
pribadi (impersonal), tidak berkarakter antropomorfisme (ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) ataupun
antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari manusia). Buddhisme memandang Tuhan sebagai
sebuah kondisi yang Maha Esa, Yang Mutlak, sebagai Yang Maha Tinggi, Maha Luhur, Maha Suci, Maha
Sempurna, kekal atau tanpa awal dan akhir, yang menjadi tujuan tertinggi dalam Agama Buddha. Tuhan
memang hanya bisa dideskripsikan secara parsial dari sejumlah atribut yang dikenakan
padaNya, tetapi bagaimanapun sudah melampaui konsep dualisme dan tidak dapat dijelaskan dalam kerangka
dualisme.
e. Konsep Allah dalam Khonghucu:
Konfusionisme tidak eksplisit menyebut nama Allah di dalam kepercayaannya sebagaimana Islam dan
Kristiani (Katolik dan Protestan), namun ia tetap mengakui adanya Kekuatan Tertinggi yang menciptakan
realitas alam semesta ini. Khonghucu lazimnya menyebut Tuhan dengan istilah Thian. Thian adalah Maha
Pencipta Alam Semesta (Bidang Litbang PTITD/Matrisia Jawa Tengah: Pengetahuan Umum Tridarma: 2007).
Manusia tidak dapat memahami hakikat sejati Thian sehingga Thian digambarkan dengan ciri-ciri:
a) Yuan (Yang Selalu hadir), b) Heng (Yang Indah), c) Li (Yang Selalu Membawa Berkah), d) Zhen (Yang

6
Kuasa dan Abadi Hukumnya). Di dalam Kongfusionisme, terdapat sebuah doktrin yang terkenal dengan istilah
“The Doctrin of the Mean” (Zhongyong) yang merujuk pada suatu visi kebaikan di dalam hakikat manusia
yang terpusat (zhong) untuk mengolah diri khususnya perasaan-perasaan agar bisa menjaga harmoni dan
kesatuan dengan segala unsur di dalam alam semesta (Bdk. International Encyclopedia of Social Science, Vol.
9, hal. 145). Hal ini menunjukkan bahwa Khonghucu mengakui adanya ‘prinsip etika’ di dalam menjalankan
kehidupan. Sumber etika itu terdapat di dalam Kitab Suci Khonghucu yakni Wu Jing dan Si Shu dan doktrin
ajaran iman kepercayaan Khonghucu. Prinsip etika religius Khonghucu mendorong manusia mengolah
wilayah batin demi mencapai nilai kesempurnaan dalam hidup. Terdapat etika kebaikan bagi penganut
Khonghucu untuk menjalin relasi harmonis dengan Tuhan (Thian), alam, dan sesama serta segala makhluk
yang lain. Konfusionisme sangat mementingkan relasi atau hubungan yang harmnonis dengan segala
kenyataan alam semesta yang diyakini sebagai perwujudan kekuasaan yang lebih tinggi melampaui manusia.

Dari konsep tentang Allah yang bersumberkan Kitab Suci agama-agama seperti disebutkan di atas, kita
menemukan ada keragaman konsep atau gambaran tentang apa atau siapa Allah itu. Kita bisa memaknai hal
itu, antara lain:
a. Konsep Allah seperti tertuang dalam Kitab-kitab Suci merupakan Konsep yang otentik tentang Allah.
Diyakini bahwa konsep atau pemahaman tentang apa atau siapa Allah itu seperti tertuang dalam
Kitab-kitab suci merupakan warisan dari para nabi, rasul atau tokoh-tokoh awal agama- agama.
Diyakini juga bahwa konsep atau pemahaman itu didapatkan oleh mereka melalui pencerahan atau
penerangan lahi, melalui Ilham atau pewahyuan, yang bersumber dari Allah sendiri (Winarso, 2008:
hal. 47-48). Konsep-konsep tentang Allah itu akhirnya sampai kepada kita melalui Kitab-kitab Suci
atau Kitab Keagamaan, warisan luhur mereka.
b. Konsep Allah yang berbeda-beda itu memberi kesan bahwa Allah itu ada banyak. Akan tetapi tidak bisa
langsung disimpulkan seperti itu. Yang disebut sebagai Tuhan atau Allah itu adalah sesuatu
yang gaib, tidak kelihatan di mata. Dia Tak Terbatas, Mahagaib, sementara manusia merupakan
entitas atau ciptaan yang terbatas. Dalam keterbatasan masing-masing, para nabi, rasul , atau tokoh-
tokoh awal keagamaan mendekati yang Tak Terbatas itu, dan menangkapnya atau memahaminya
dalam kapasitas mereka yang khusus dan terbatas (Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi,
2016: hal. 52).
c. Kita tidak harus menghabiskan energi memikirkan tentang konsep-konsep Allah yang berbeda- beda
itu, karena ketika kita mencoba memikirkannya lebih dalam tidak menjamin bahwa pemahaman kita
tentang-Nya akan semakin baik. Walau terdapat perbedaan dalam pemahaman dan pengungkapan
konsep Tuhan atau Allah itu dalam bahasa manusia (yang juga terbatas), namun sesungguhnya

7
terdapat kesamaan besar di antaranya, yakni bahwa semua gambaran atau konsep tentang Allah itu
serba positif adanya. Tidak ada konsep Allah yang menakutkan bagi kita. Kesamaan-kesamaan lain
bisa kita temukan lebih banyak lagi ketika kita menelusuri berbagai pesan-pesan moral utama Allah
kepada manusia yang tersebar di berbagai bagian dalam Kitab- kitab Suci. Kesamaan-kesamaan pesan
moral utama kehidupan itu bertujuan supaya manusia bisa menjadi baik sebagai manusia,
sesungguhnya jauh melebihi berbagai perbedaan lainnya seperti perbedaan konsep tentang Allah,
tentang ritual, hukum, simbol, dsb. Jadi walaupun agama berbeda-beda, namun semuanya
mengajarkan kepada umat-Nya secara keseluruhan hal-hal yang baik (Winarso, 2008: hal. 6). Bisa saja
kesamaan-kesamaan besar itu dimaknai sebagai suatu petunjuk bahwa semuanya itu berasal dari
sumber yang sama.

2. Mengenal Allah Melalui Alam


a. Bumi sebagai Satu Ekosistem
Bumi mengandung di dalamnya berbagai lapisan kehidupan, yang dalam keberlangsungannya saling
terkait satu sama lain. Di dalam laut terdapat berbagai lapisan kehidupan: ada yang di dekat pantai, di tengah
laut, di dasar laut, di pemukaan laut. Juga ada kehidupan di dalam sungai, di danau, di daratan: di daerah
dingin, daerah panas, daerah kering, daerah basah, dataran rendah, dataran tinggi, dan juga di udara.
Keseluruhan lapisan kehidupan itu disebut biosfer (dari kata Yunani bios = hidup, dan sphere = bola), yang
terdiri atas ekosistem-ekosistem yang tak terhitung jumlahnya. Ekosistem (dari kata Yunani oikos = rumah,
dan systema = keseluruhan) dimaksud sebagai unsur kehidupan sebuah lingkungan (organisme), yang
merupakan sebuah sistem, yaitu suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang saling terkait dan saling
mempengaruhi. Bumi dapat dipandang sebagai suatu ekosistem besar yang di dalamnya terdapat berbagai
ekosistem kecil: ada ekosistem lautan, ekosistem hutan, ekosistem pegunungan, ekosistem sungai, ekosistem
kawasan pantai, dan sebagainya. Semua ekosistem itu mencakup seluruh bentuk kehidupan yang ada di
dalamnya, yang saling berinteraksi satu sama lain (Fios, 2017: hal. 117).
Selain terjadi saling interaksi antara berbagai kehidupan dalam satu ekosistem, juga antara satu ekosistem kecil
yang satu dengan ekosistem kecil lainnya terjadi interaksi dan saling mempengaruhi, sehingga keseluruhan
biosfer, yakni keseluruhan lapisan kehidupan, termasuk manusia sebagai salah satu lapisan di antaranya,
merupakan satu ekosistem bumi (Gea, 2005: hsl. 50). Di dalam ekosistem itu, manusia hanya merupakan
mikrkrokosmos di tengah makrokosmos, atau hanya satu tetesan kecil di tengah lautan yang luas.
b. Alam Semesta sebagai Penampakan (Epifani) Tuhan
Tuhan semua agama dan aliran spiritual memiliki satu keyakinan mendasar bahwa alam lingkungan
termasuk manusia di dalamnya diciptakan Tuhan Yang Maha Esa, yang indah dan baik adanya sejak semula.

8
Alam adalah emanasi, pancaran atau yang mengalir keluar dari Tuhan itu sendiri. Dengan segala kekayaan,
keteraturan dan hukum-hukumnya yang luar biasa hebatnya alam ini sesungguhnya menjadi penampakan jejak
kebesaran Allah dan keagungan-Nya sebagai Mahapencipta. Agama-agama yakin dan percaya bahwa Tuhan
berbicara kepada kita umat-Nya melalui fenomena alam yang kita lihat sehari-hari. Para tokoh awal agama-
agama dan para nabi sebenarnya seperti manusia lainnya mereka berhadapan dengan peristiwa-peristiwa atau
kejadian-kejadian profan atau biasa saja sehari-hari. Namun mereka mampu melihat atau menangkap sesuatu
di balik atau di belakang peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian biasa itu, berupa sapaan atau pesan Allah
yang hendak disampaikan kepada manusia. Oleh karena itu alam semesta (universum) adalah tanda kehadiran
Tuhan. Alam semesta adalah epifani (penampakan) Tuhan itu sendiri (Fios, 2017: hal. 117). Dalam perspektif
filosofis, Wujud Tuhan dapat diamati dari keberadaan alam semesta sebagai makrokosmos, yang tidak
mungkin mengalami sebuah keteraturan hukum bila tidak ada pengatur, yang disebut Tuhan (Pendidikan
Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, 2016: hal 49). Manusia penting mengaktifkan kepekaan religius atau
spiritualnya agar mampu mambaca atau memaknai fenomena-fenomena alam ini dalam terang iman akan
kehadiran Tuhan dan penyertaan-Nya dalam kehidupannya. Adanya dunia dan proses evolusinya dalam
dinamika waktu yang panjang tidak mengurangi kualitas nilai luhur alam semesta sebagai ciptaan Tuhan dan
sekaligus sebagai tanda kehadiran-Nya yang menakjubkan.
Lingkungan alam tempat manusia hidup merupakan sebuah realitas yang bernilai intrinsik pada
dirinya sendiri. Nilai intrinsik alam tidak ditentukan oleh manusia, namun memiliki nilai internal pada dirinya
sendiri (in se) sejak awal mula diciptakan Tuhan. Nilai intrinsik lingkungan alam diberikan Tuhan sejak
proses penciptaan dan berlangsung sampai sekarang dan hingga ke masa depan sepanjang keberadaan alam
ini. Manusia tidak berhak sedikitpun menentukan nilai dan martabat lingkungan alam. Pandangan dunia
antroposentris yang telah membawa dampak kerusakan serius pada lingkungan bertentangan dengan
pengakuan akan dimensi keilahian alam ciptaan Tuhan itu sendiri (Gea, 2005: hsl. 41-42). Lingkungan alam
adalah sebuah faktisitas atau kenyataan yang terberikan oleh Tuhan untuk
manusia. Karenanya lingkungan alam adalah berkat (rahmat) instimewa Tuhan yang perlu disyukuri oleh
setiap manusia di kolong langit ini. Bentuk syukur tersebut harusnya direalisasikan dalam wujud sikap
tanggung jawab manusia dalam menggunakan, menjaga dan melestarikan lingkungan alam (Tim CBDC,
Character Building: Agama, 2015: hal. 40) .
c. Makna “Mengenal Allah melalui Alam”
Istilah mengenal Allah melalui alam bukanlah dalam arti hurufiah, bahwa kita bisa melihat Allah
secara kasat matadalam alam ini. Istilah ini merupakan ungkapan rohani-religius, sehingga harus dimaknai
secara rohani-spiritual. Salah satu makna penting dari istilah ini adalah: Kalau dalam iman kita mengakatakan
bahwa Allah adalah sumber kehidupan bagi kita, hal itu menjadi nyata bagi kita justru dalam dan melalui alam

9
ini. Kita hanya bisa hidup karena adanya makanan, minuman dan udara sehat yang senantiasa kita makan,
minum dan hirup. Tanpa semuanya itu kita akan mati. Melalui alam kita bukan hanya mengenal, melainkan
merasakan dan mengalami kehadiran Allah dalam hidup kita, yang selalu menyertai kehidupan kita, yang
membuat kita bisa melanjutkan kehidupan kita.
Dengan kesadaran pemaknaan ini maka sebenarnya alam lingkungan yang kita diami ini sudah
memiliki nilai sangat tinggi atau sangat mendalam bagi kita. Alam sudah merupakan wujud kehadiran Allah
dalam kehidupan kita. Alam adalah pemberian Allah kepada kita, dan Dia hadir dalam pemberian-Nya itu.
Maka kalau alam kita hayati sebagai wujud kehadiran Allah yang menghidupkan kita, apakah sepantasnya
kalau kita mengambil posisi merusak alam, atau membiarkannya menuju kepunahan, yang berarti juga
kebinasaan bagi kita? Sekarang ini alam sudah semakin menuju ambang kepunahannya karena kemampuan
eksplorasi dan eksploitasi manusia yang semakin tak terkendali, yang didukung oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pandangan, sikap dan perilaku manusia terhadap alam tidak hanya tertuju pada
alam itu sendiri melainkan terarah juga pada Allah sebagai Pencipta dan Pemberinya. Ujung dari semuanya itu
adalah bencana bagi kehidupan manusia, yang keberlanjutan kehidupannya bergantung pada alam itu sendiri.
Pemahaman dan kesadaran mendalam akan hal ini seharusnya menjadi titik-tolak bagi kita dalam
mengembangkan pandangan, sikap dan perilaku yang semakin tepat terhadap alam lingkungan hidup kita
(Gea, 2005: hal. 61-62).

3. Mengenal Allah Melalui Sesama


a. Manusia sebagai sesama bagi yang lain.
Sama seperti istilah mengenal Allah melalui alam, demikian juga istilah mengenal Allah melalui
sesama tidak bisa dimengerti secarahurufiah, seakan-akan kita bisa melihat Allah secara kasat mata dalam diri
sesama. Ini adalah ungkapan atau istilah rohani-religius, sehingga harus dimaknai secara rohani atau secara
religius-spiritual pula.
Apakah sesamaku manusia yang lain adalah pribadi yang lain? Iya, karena sebagai subjek otonom
mereka itu unik dan berbeda dengan saya. Mereka adalah aku-ku yang lain yang berbeda dengan saya dalam
penampilan fisik, keahlian profesional, cita-cita, tugas pekerjaan, bakat, hobi dll. Namun adakah sesamaku
yang lain memiliki kualitas kesamaan dengan diriku? Jawabannya ada! Kesamaan itu terletak pada kenyataan
humanis bahwa kita sama-sama sebagai spesis manusia dan secara religius kita sama- sama adalah makhluk
ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Jadi, manusia berbeda (disting) namun sekaligus mirip (identik). Secara rohani-
spiritual, kita semua sungguh sama yakni ciptaan Tuhan (Tim CBDC, Character Building: Agama, 2015: hal.
51). Semua agama (Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Khonghucu) meyakini satu kebenaran religius
dasar, bahwa setiap subjek manusia merupakan makhluk yang bernilai luhur dan mulia. Status keluhuran

10
esensial insan manusia seperti ini didasarkan pada suatu keyakinan religius bahwa semua manusia sungguh
diciptakan oleh Allah. Kendatipun semua manusia lahir di dalam suku, ras, agama, etnis, dan bangsa yang
berbeda-beda namun sejatinya hakikat setiap manusia sama- sama adalah makhluk ciptaan Tuhan yang Maha
Esa. Oleh karena itu terdapat adanya struktur kesamaan atau kesederajatan eksistensial semua manusia dari
perspektif religius. Kita manusia sungguh adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, yang semartabat dan
sederajat di hadapan Tuhan dan sesama. Tuhan menciptakan setiap manusia sebagai suatu kebaikan dan
keindahan sejak awalnya. Tuhan memberikan kualitas fisik dan jiwa bagi manusia untuk bisa mengenali Dia
sebagai Tuhan Pencipta melalui sesama yang lain selain alam kosmos. Tuhan menciptakan manusia dengan
kualitas lebih daripada ciptaan yang lain: dianugerahi akal budi dan kehendak bebas, perasaan moral, dan
kepekaan religius untuk bisa mengembangkan diri, mengolah alam dan memuliakan Tuhan.
Asumsi tentang semua manusia adalah ciptaan Tuhan memiliki akibat atau konsekuensi logisnya
yakni semua manusia sama-sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dan oleh karena itu di wajah sesama yang
lain Tuhan juga hadir di sana. Kehadiran atau eksistensi sesama yang lain merupakan penampakan wajah
Tuhan juga. Untuk itu bisa dikatakan bahwa setiap subjek manusia menampakan wajah Tuhan itu sendiri.
Tuhan hadir di dalam setiap subjek manusia dan realitas kemanusiaan setiap kita sebagai manusia yang
beriman dan percaya kepada-Nya. Tuhan hadir di dalam diri sesama memberikan motivasi atau inspirasi
kepada setiap kita manusia untuk berbuat baik, berlaku sopan, bertindak tulus dan penuh cinta untuk
mengasihi sesama yang lain sebagai mana kita dikasihi oleh Allah sendiri. Tuhan terlalu luar biasa mencintai
setiap kita, sehingga kita pun layak membagikan cinta itu kepada sesama kita yang lain, terutama mereka
kurang beruntung nasibnya dalam kehidupan ini.
b. Merasakan dan Mengalami Kehadiran Allah melalui Sesama
Semua umat beragama mengimani atau meyakini bahwa Allah Mahapengasih dan Penyayang, yang
Mahabaik bagi kita, yang menolong, memperhatikan, membantu, menyayangi, dsb. Namun kalau kita
merefleksikan atau merenungkannya secara mendalam, sesungguhnya kasih sayang dan segala kebaikan
Allah itu sampai kepada kita dalam dan melalui sesama. Ketika kita masih kecil dan tidak berdaya, kita hanya
bisa bertahan hidup karena kasih sayang dan bantuan orang-orang, mulai dari orang yang paling dekat dengan
kita, orangtua dan saudara-saudari lainnnya. Semakin lama kita hidup semakin banyak orang yang berjasa atau
berkontribusi dalam kehidupan kita. Tanpa kehadiran orang lain kita tidak mungkin bisa hidup. Kasih sayang,
perhatian, bantuan, pertolongan, dan berbagai kebaikan yang orang lakukan atau perbuat pada kita, yang
membuat kita bisa bertahan hidup dan bahkan menghalami kemajuan, semuanya itu dapat kita maknai sebagai
wujud kehadiran Allah dengan segala kebaikan-Nya pada kita (Gea, 2004: hal. 196-197).
c. Menghadirkan Allah dan kebaikan-Nya kepada sesama.
Pemahaman akan hal ini tentu sekaligus menyadarkan kita bahwa kita sendiri merupakan penampakan

11
wajah Allah dan kebaikan-Nya kepada sesama. Tentu sesama yang dimaksud disini terutama adalah mereka
yang sangat membutuhkan. Kepada orang-orang yang kurang bernasib baik inilah kita yang memiliki
kemampuan harus memiliki kepekaan religius, merasa terpanggil secara khusus untuk menampakkan wajah
Tuhan dan membagikan kebaikan-Nya kepada mereka. Mereka harus bisa melihat dan merasakan bahkan
mengalami kasih dan kebaikan Tuhan, yang sampai pada mereka melalui kehadiran kita pada mereka. Juga kita
bisa mengenali, mendengar, dan menangkap serta merasakan kehadiran Tuhan dalam diri sesama yang
menderita. Dengan kepekaan religius yang aktif dalam diri kita membuat kita bisa mengenali dan merasakan
kehadiran Allah dalam diri mereka, yang seakan-akan berseru-seru kepada kita, mendesak respon kesediaan
dan ketulusan kita untuk melakukan sesuatu, yang membuat mereka bisa merasakan dan mengalami kehadiran
Tuhan dalam hidup mereka. Kita manusia memiliki panggilan untuk saling menghadirkan wajah Allah dan
kebaikan-Nya kepada satu sama lain.
d. Perintah Allah untuk mencintai
Ajaran pokok agama-agama, yang bersumberkan kitab-kitab suci memuat suatu imperatif (perintah)
kepada kita untuk saling mencintai satu sama lain. Di dalam agama Hindu, Budha, Islam, Kristen (Katolik &
Protestan) serta Khonghucu diajarkan kepada kita nilai-nilai luhur yang perlu kita hayati dan terapkan dalam
hubungan dengan sesama manusia yang lain (Fios, 2017: hal. 113-114). Ini berarti mencintai sesama atau
saling mencintai adalah suatu etika religius. Lebih tepatnya suatu etika kewajiban religius yang radikal dan
mendasar dalam hubungan kita dengan sesama. Artinya mencintai sesama bukan bersifat aksidental atau
tambahan saja, melainkan unsur yang mendasar atau substansial di dalam relasi kita dengan sesama manusia
(Gea, 2004: hal. 203-211).
Dalam Islam, mencintai sesama manusia dikenal dengan istilah hablun min annas. Cinta terhadap
sesama manusia tidak dapat dilepas-pisahkan dari rasa cinta terhadap Penciptanya. Karena dalam ajaran Islam,
cinta terhadap Allah SWT, juga berarti cinta terhadap sesama insan manusia yang lain yang adalah ciptaan-
Nya juga. Rasa cinta terhadap sesama manusia tidak bisa terlepaskan dari sifat kemanusiaan. Salah
satu kisah tentang keutamaan cinta kasih dalam muslim (Islam) muncul dari sosok Nabi Muhammad SAW
yang mengubah benci jadi cinta. Dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sering diperlakukan secara sangat
tidak manusiawi di zamannya, seperti dilempari kotoran oleh orang-orang Quraisy Mekkah, namun yang
menariknya Sang Nabi selalu memaafkannya. Sewaktu ada yang hendak membantunya untuk membalas, Nabi
Muhammad SAW bersabda, ”Semoga Allah mengampuni mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka
perbuat.” Memaafkan seperti ini menandakan kematangan Muhammad dalam mencintai sesama. Cinta
mengubah benci menjadi kasih. Inilah yang membuat dunia ini sungguh damai, aman dan nyaman untuk
dihuni. Pada prinsipnya, cinta terhadap sesama manusia adalah dengan tolong- menolong, saling mengenal dan
keserasian. Menurut pandangan Islam, rasa cinta terhadap sesama manusia bisa diwujudkan, salah satunya

12
dengan keadilan dan persamaan derajat di antara manusia.
Di dalam kekristenan, cinta kasih merupakan hukum tertinggi dan terutama. Injil Matius 22:37- 40,:
Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal
budimu. Itulah hukum yang terutama dan pertama. Dan hukum yang kedua, yaitu kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah terdapat seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”. Ini
artinya isi kitab suci, terutama hukum yang terdapat di dalam seluruh Alkitab (Perjanjian Baru maupun
Perjanjian Lama) berintikan perintah untuk mengasihi, baik mengasihi Tuhan maupun mengasihi sesama.
Dalam konteks ini mengasihi sesama merupakan ekspresi cinta kepada Tuhan juga. Atau cinta kepada Tuhan
diekspresikan juga dalam cinta kasih terhadap sesama. Mengikuti perintah Tuhan di dalam Kitab Suci Alkitab
artinya kita wajib untuk mencintai sesama.
Dalam Hinduisme diyakini bahwa saling mencintai dan mengasihi siapa saja tanpa memandang
perbedaan fisik akan memberikan keseimbangan cinta kasih. Dalam Yajur Weda 32. 8 dinyatakan “Sa’atah
protasca wibhuh prajasu” yang artinya Tuhan terjalin dalam makhluk yang diciptakan. Sangat menonjol bagi
manusia modern mengenai konsep cinta dalam kehidupan berkeluarga dalam Weda adalah keterbukaan.
Masalah kehidupan rumah tangga ialah menciptakan keselarasan dan kesesuaian seperti pada alam sesuai
dengan hukum abadi (Rta). Konsep hubungan garis vertikal dan horizontal juga berlaku dalam kehidupan
keluarga agar mencapai satu tujuan luhur yaitu keharmonisan, ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan
bersama. Kebersamaan yang begitu menonjol dalam kehidupan keluarga inti menjadi parameter ke tingkat
kehidupan keluarga yang lebih besar dan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Di dalam Budhisme, aspek cinta kasih merupakan hukum utama dalam relasi antar-manusia.
Menurut Buddha, ketidakpedulian khususnya kepada orang miskin membuat kemelaratan bertambah,
pencurian meningkat, tindak kekerasan dan berbagai bentuk kejahatan berkembang cepat, pembunuhan
menjadi biasa, sehingga usia harapan hidup dari waktu ke waktu semakin pendek (D. III, 65-73). Kalau
manusia peduli pada sesamanya, hidup akan menjadi semakin indah, bermakna, penuh cinta dan damai. Peduli
pada sesama adalah suatu panggilan untuk mencintai sesama manusia. Budhisme mengakui
pentingnya cinta dalam kehidupan. Nikaya Pali memuat satu kata cinta yang berbeda dengan cinta yang lain
yakni cinta kasih yang dipancarkan secara universal (tak terbatas) kepada semua makhluk dan cinta kasih yang
tanpa pamrih, yaitu Metta. Metta adalah rasapersaudaraan, persahabatan, pengorbanan, yang mendorong
kemauan baik, memandang makhluk lain sama dengan diri sendiri. Metta juga suatu keinginan untuk
membahagiakan makhluk lain dan menyingkirkan kebencian (dosa) serta keinginan jahat (byapada).
Pengembangan metta dapat mengantarkan manusia pada pencapaian kedamaian Nibbana (Mettacetto vimutti),
seperti yang dinyatakan Sang Buddha dalam Dhammapada 368: "Apabila seorang bhikkhu hidup dalam cinta
kasih dan memiliki keyakinan terhadap Ajaran Sang Buddha, maka ia akan sampai pada Keadaan Damai

13
(Nibbana), berhentinya hal-hal yang berkondisi (sankhara)".
Di dalam Khonghucu, cinta (Ren) merupakan salah satu ajaran yang pokok. Ren artinya cinta kasih
universal, tidak terbatas pada orang tua dan keluarga sedarah belaka, namun juga meluas kepada sahabat,
lingkungan terdekat, masyarakat, bangsa, negara, agama dan umat manusia. Ren tidak membeda-bedakan
manusia dari latar belakang atau ikatan primordialnya. Ren tidak mengenal segala bentuk diskriminasi atau
pertimbangan atas dasar kelompok. Ren dalam pengertian agama Khonghucu selalu didasari pada sikap
ketulusan, berbakti, memberi, bukan meminta atau menuntut balasan dalam bentuk apapun. Namun perlu
diingat bahwa Ren tidak berarti mencinta tanpa dasar pertimbangan baik dan buruk. Dalam salah satu
sabdanya Kongzi mengatakan bahwa “Orang yang berperi cintakasih bisa mencintai dan membenci”.
Mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Balaslah kebaikan dengan kebaikan; Balaslah kejahatan
dengan kelurusan”. Ini artinya siapa pun yang bersalah, harus diluruskan, dihukum secara adil dan diberi
pendidikan secara optimal agar dapat kembali ke jalan yang benar. Setelah berada di jalan yang benar, kita tidak
boleh terkena stigma, menilai atas dasar masa lalu seseorang, melaikan mencintai orang itu secara tulus lagi.

C. PENUTUP
Mengenal Allah dan kehendak-Nya pada ciptaan-Nya, khususnya manusia, merupakan hal yang
sangat penting bagi manusia. Allah bisa dikenal dengan berbagai cara, terutama melalui Kitab Suci yang
memuat konsep yang jelas dan otentik tentang apa atau siapa Allah itu. Kitab Suci adalah sumber utama
pengenalan tentang konsep Allah karena merupakan warisan dari para nabi atau tokoh-tokoh awal agama-
agama, yang mana hal itu diyakini mereka terima melalui pencerahan atau penerangan ilahi, Ilham atau
pewahyuan yang berasal dari Allah sendiri. Konsep tentang Allah seperti tertuang dalam Kitab-kitab Suci,
merupakan hasil tangkapan para nabi atau tokoh awal agama-agama atas pewahyuan atau penerangan ilahi
Allah. Dalam kondisi mereka yang khas mereka mendekati yang Tak Terbatas itu (atau lebih tepat: mereka
membuka diri menyambut pembukaan diri Allah dan kehendak-Nya kepada manjusia), menangkap-Nya
dengan pemahaman yang khas pula, kemudian diungkapkan (dibagikan, disebarkan, dan
kemudian dituliskan) menggunakan bahasa manusia yang juga khas dan terbatas (bdk. Smith, 2008: hal. 75).
Dalam kerangka kontekstualitas inilah bisa dimaknai perbedaan-perbedaan itu, yang telah terwariskan kepada
kita dalam wujud teks-teks suci (Kitab Suci) yang tidak berubah, kendati kondisi zaman dan situasi kehidupan
terus mengalami perubahan. Itulah sebabnya mengapa perbedaan-perbedaan itu (tentang konsep Allah dan hal-
hal lainnya yang termuat dalam Kitab-kitab Suci) tidak bisa langsung menghantar kita pada penyimpulan
bahwa bahwa Allah ada banyak.
Selain pengenalan Allah melalui Kitab Suci, kita juga bisa mengenal Allah melalui alam dan sesama
manusia. Dalam dan melalui alam, yang merupakan penampakan jejak-jejak kebesaran Allah, kita bukan

14
hanya mengenal adanya Allah, melainkan dapat merasakan dan mengalami secara nyata kehadiran dan
penyertaan-Nya dalam kehidupan kita. Allah hadir menjadi kehidupan bagi kita melalui bahan-bahan
makanan, air dan udara sehat yang senantiasa kita konsumsi, kita makan dan minum serta hirup setiap saat.
Kita semakin sadarbahwa alam ini sesungguhnya wujud kehadiran Allah dan penghidupan-Nya dalam
kehidupan kita. Dengan demikian maka kita semakin faham mengenai kedudukan alam dalam keseluruhan
tatanan kehidupan kita manusia dan seluruh makhluk. Dengan itu seharusnya kita manusia lebih mampu
mengembangkan pandangan, sikap dan perilaku yang tepat terhadap alam. Menjaga dan memelihara alam,
bukan saja karena alam itu penting bagi kita, jantung kehidupan kita, melainkan karena kita mengalami
kehadiran Allah bagi kita di dalamnya. Alam memiliki nilai keilahian yang berasal dari sumber keilahian itu
sendiri, Allah Pencipta.
Selain mengenal Allah melalui Kitab Suci dan alam lingkungan hidup, kita juga bisa mengenal Allah
dalam dan melaluin sesama. Sama seperti pengenalan akan Allah melalui alam, pengenalan kita tentang Allah
melalui sesama juga merupakan hal sangat nyata bagi kita. Kita bukan hanya mengenal, melainkan merasakan
dan mengalami secara nyata kehadiran Allah dengan segala kebaikan-Nya melalui sesama dalam kehidupan
kita. Kasih dan kebaikan Allah, perhatian dan pertolongan-Nya kita rasakan dan alami secafra nyata dalam dan
melalui kehadiran sesama dalam kehidupan kita, melalui perhatian, kasih sayang, pertolongan dan berbagai
kontribusi sesama, secaralangsung atau tidak langsung, yang membuat kita bisa bertahan hidup, berkembang
dan mencapai kemajuan dan kesempurnaan kemanusiaan kita. Hal ini sama artinya juga bahwa sesama dapat
mengenal, merasakan dan mengalami kehadiran dan penyertaan Allah dengan segala kebaikan-Nya dalam dan
melalui kehadiran kita pada mereka. Kita menjadi penampakan wajah Allah dengan segala kebaikan-Nya pada
sesama kita, terutama mereka yang sangat membutuhkan bantuan dan pertolongan, yang kurang bernasib baik
dalam kehidupan ini. Semoga pendalaman ini dapat menjadi inspirasi bagi kita dalam memperdalam
pemahaman dan penghayatan iman kita secara lebih nyata dan tulus.
Tugas
Refleksi Pribadi
Melalui Kitab Suci, Anda mengenal konsep tentang apa atau siapa Allah yang Anda Imani, Anda tidak lupa,
bisa menghafalnya dan mengejanya dengan tepat, tanpa salah. Tapi apakah Anda juga punya pengenalan akan
Allah melalui pengalaman-pengalamanmu, melalui kejadian atau peristiwa dalam kehidupan ini, melalui hati
nurani, dan melalui perjumpaan lainnya? Kalau ada, yang mana lebih terasa pada Anda, lebih mendalam
pengenalannya, lebih merasa atau mengalami kehadiran-Nya dalam kehidupan Anda? Bagaimana Anda terus
memperdalam pengenalanmu akan Allah?

15
Referensi

• Fios, Frederik dan Antonius Atosokhi Gea (2017). Character Building Spiritual Development, Bina
Nusantara Media & Publishing, Jakarta.
• Diktat Matakuliah Character Building Agama, Binus University
• Gea, Antonius Atosokhi, dkk (2004), Character Building III Relasi Dengan Tuhan, Penerbit PT
ElexMedia Komputindo, Jakarta
• Gea, Antonius Atosokhi, dkk (2004), Character Building IV Relasi Dengan Dunia, Penerbit PT
ElexMedia Komputindo, Jakarta
• Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi (2016). Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan Kemeterian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Cetakan 1, Jakarta.
• Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi (2016). Kemeterian Riset, Teknologi dan
Pendidkan Tingi Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan,
Cetakan 1, Penerbit Ristekdikti, Jakarta
• Setiawan, Hendro (2014). Manusia Utuh. Sebuah Kajian atas Pemikiran Abraham Maslow,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta
• Smith, Wilfred Cantwell (2008). Kitab Suci Agama-agama, diterjemahkan oleh Dede Iswadi,
Penerbit PT. Mizan Publika, Jakarta
• Winarso, Hendrik Agus, Dr., (2008). Keimanan dalam Agama Khonghucu. Suatu Tinjauan Teologi
dan Peribadahannya. Penerbit Dahare Priza, Semarang

16

Anda mungkin juga menyukai