Anda di halaman 1dari 22

BAB 7 YESUS KRISTUS; ANAK TUHAN?

Salah satu perbedaan yang paling mencolok antara seekor


kucing dan sebuah kebohongan adalah bahwa seekor kucing
hanya memiliki 9 nyawa.
-Mark Twain, Pudd’nhead Wilson’s Calendar

Anak Tuhan, anak Daud, atau anak manusia? Yesus


diidentifikasikan sebagai “anak Daud” 14 kali di dalam
Perjanjian Baru, dimulai dari ayat paling pertama (Matius1:1).
Injil Lukas mencatat ada 41 generasi antara Yesus dan Daud,
sementara Matius menyatakan ada 26 generasi di antara
keduanya. Yesus, seorang keturunan jauh, hanya dapat
menggunakan titel “anak Daud” secara metafora. Akan tetapi
bagaimana kita harus memahami julukan “anak Tuhan” yang
diberikan kepada Yesus?

“Trilema” ini, sebuah ide misionaris Kristen, menyatakan bahwa


Yesus bukan seorang yang hilang akal, bukan seorang
pembohong, dan bukan pula seorang anak Tuhan – sebagaimana
yang Yesus nyatakan sendiri. Demi keberadaan argument
mengenai hal ini, mari kita sepakati bersama bahwa Yesus
memang persis seperti apa yang ia katakan tentang dirinya
sendiri. Akan tetapi apa maksud dari pernyataan itu? Yesus
menjuluki dirinya sendiri sebagai “anak manusia” dengan sangat
sering, secara konsisten, dan bahkan mungkin dengan penuh
empati, akan tetapi di mana ia memanggil dirinya sendiri dengan
julukan “anak Tuhan”?

Mari kita mundur sedikit. Apa arti dari kata-kata “anak Tuhan”?
Tidak ada sekte Kristen yang berpendapat bahwa Tuhan
mengambil seorang istri lalu memiliki anak, dan hampir dapat
dipastikan bahwa tidak ada yang percaya bahwa Tuhan menjadi
ayah atas seorang anak lewat seorang ibu manusia di luar
pernikahan. Lebih dari itu, pernyataan bahwa Tuhan secara fisik
berkumpul dengan sebuah elemen dari ciptaanNya merupakan
hal yang betul-betul jauh keluar dari batas toleransi keagamaan
karena itu sama saja dengan penistaan, dan sama saja dengan
upaya untuk mensejajarkan agama dengan mitologi Yunani.

Tanpa adanya penjelasan rasional dalam prinsip-prinsip doktrin


agama Kristen, yang bisa dilakukan untuk membungkus isu ini
adalah dengan menambalnya dengan satu lagi misteri doktrin.
Inilah yang diingat oleh umat Muslim sebagai pertanyaan yang
ditanyakan di dalam Alquran, “ Bagaimana Dia mempunyai
anak padahal Dia tidak mempunyai istri?” (QS 6:101) –
sementara yang lain berteriak, “Akan tetapi Tuhan kuasa untuk
melakukan segalanya!” Akan tetapi posisi Islam dalam hal ini
adalah bahwa Tuhan tidak harus melakukan hal-hal yang tidak
pantas, Tuhan hanya harus melakukan hal-hal keTuhanan.
Dalam sudut pandang Islam, karakter Tuhan merupakan hal
yang integral dengan keberadaanNya dan konsisten dengan
keagunganNya.

Jadi sekali lagi, apa arti dari “anak Tuhan”? Dan jika Yesus
Kristus memiliki hak eksklusif untuk julukan ini, mengapa Injil
juga mencatat, “ Sebab aku telah menjadi bapa Israel, Efraim
adalah anak sulung-Ku.” (Yeremia 31:9) dan “Israel adalah
anak-Ku, anak-Ku yang sulung.” (Keluaran 4:22)? Dengan
mengambil konteks dari kitab Roma 8:14 yang berbunyi,
“Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah,”
sebagaimana disimpulkan oleh banyak cendekiawan Kristen
bahwa “anak Tuhan” adalah julukan metafora, sedangkan kata
christos tidak mengandung arti eksklusif. Lagipula, Oxford
Dictionary of the Jewish Religion memastikan bahwa dalam
idiom Yahudi “anak Tuhan” itu jelas-jelas sebuah metafora.
Umat Yahudi mengutip, “anak Tuhan”, kata-kata yang kadang
ditemukan di dalam kesusastraan Yahudi, Injil dan karya sastra
pasca Injil, tapi tidak pernah menyiratkan keturunan secara fisik
dengan Tuhan utama.” Bibli Dictionary karangan Hasting
memberi komentar:

Penggunaan “keberanakkan” dalam bahasa Semit merupakan


sebuah konsepsi yang secara longgar dipakai untuk membuat
denotasi hubungan moral ketimbang hubungan fisik atau
metafisik. Jadi “anak-anak Belial (Jg 19:22 dll) adalah orang-
orang yang jahat, bukan keturunan dari Belial: dan dalam
Perjanjian Baru “anak-anak dari kamar pengantin perempuan”
maksudnya adalah para tamu undangan perkawinan, jadi
seorang “anak Tuhan” adalah seorang manusia, atau bahkan
sekelompok orang, yang memiliki refleksi karakter dari Tuhan.
Hanya ada sedikit bukti yang memperlihatkan bahwa julukan
tersebut digunakan oleh orang-orang Yahudi untuk merujuk Al
Masih, dan sebuah hubungan keberanakkan yang disiratkan
lebih dari sekedar sebuah hubungan moral di mana hal itu akan
bertentangan dengan monoteisme Yahudi.

Dan dalam hal apapun, daftar kandidat “anak Tuhan” dimulai


dari Adam, di mana dalam Lukas 3:38 disebutkan: “Adam, anak
Allah.”

Orang-orang yang menyangkal dengan mengutip Matius 3:17


yang berbunyi, “Inilah Anak-Ku, yang Kukasihi, kepada-Nyalah
Aku berkenan.” telah melupakan inti bahwa Injil
menggambarkan banyak orang, termasuk Israel dan Adam,
sebagai “anak-anak Tuhan.” Baik 2 Samuel 7:13-14 dan 1
Tawarikh 22:10 berbunyi, “Dialah (Solomon) yang akan
mendirikan rumah bagi nama-Ku dan dialah yang akan menjadi
anak-Ku dan Aku akan menjadi Bapanya.”

Seluruh bangsa-bangsa dirujuk sebagai anak-anak, atau anak-


anak Tuhan, sebagai contoh misalnya:

1. Kejadian 6:2, “Maka anak-anak Allah melihat, bahwa


anak-anak perempuan manusia itu…”
2. Kejadian 6:4, “Pada waktu itu orang-orang raksasa ada di
bumi, dan juga pada waktu sesudahnya, ketika anak-anak
Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia…”
3. Ulangan 14:1,”Kamulah anak-anak Tuhan, Allahmu.”
4. Ayub 1:6, “Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah
menghadap Tuhan.”
5. Ayub 2:1, “Pada suatu hari datanglah anak-anak Tuhan.”
6. Ayub 38:7,” Pada waktu bintang-bintang fajar bersorak-
sorak bersama-sama, dan semua anak Allah bersorak-
sorai.”
7. Filipi 2:15, “supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda,
sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-
tengah angkatan yang bengkok hatinya dan sesat ini.”
8. 1 Yohanes 3:1-2, “Lihatlah betapa besarnya kasih yang
dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut
anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak
Allah,”
Dalam Matius 5:9 Yesus berkata,”Berbahagialah orang yang
membawa damai, karena mereka kan disebut anak-anak Allah.”
Lalu di Matius 5:45 Yesus memberikan atribut mulia kepada
pengikutnya di mana ia berkata, “Karena dengan demikianlah
kamu menjadi anak-anak Bapamu di sorga.” Bukan Ayah nya
secara eksklusif, akan tetapi ayah-ayah mereka. Lebih lanjut
lagi, Yohanes 1:12 berbunyi, “tetapi semua orang yang
menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak
Allah, yaitu mereka yang percaya.” Demi menghormati isi Injil,
maka setiap orang yang memiliki ketakwaan kepada Tuhan
dapat secara resmi menjadi “anak Tuhan.”

Graham Stanton berkomentar, “Di dalam dunia Romawi-


Yunani, para pahlawan, pemimpin, dan filsuf disebut sebagai
anak Tuhan. Dalam Perjanjian Lama “anak Tuhan” digunakan
untuk malaikat-malaikat atau makhluk-makhluk penghuni surga
lainnya (misalnya di Kejadian 6:24, Ulangan 32:8, Ayub 1:6-12)
Israel atau orang-orang Israel (misalnya di Keluaran 4:22, Hosea
11:1), dan juga raja (misalnya dalam 2 Samuel 7:14 dan
Mazmur 2:7). Dan Yoel Carmichael pun menjelaskan:

Julukan “anak Tuhan” tentunya sangat familiar di kalangan


umat Yahudi di masa kehidupan Yesus dan pastinya berabad-
abad sebelumnya: semua umat Yahudi adalah anak-anak Tuhan,
faktanya hal inilah yang membedakan mereka dengan orang-
orang lain…
Sepanjang periode postexilic (periode setelah penangkaran
Babilonia) dalam sejarah Yahudi dunia lebih jauh memberikan
julukan ini kepada siapapun yang bertakwa; yang pada akhirnya
julukan ini menjadi julukan yang umum digunakan untuk
menyebut Orang yang Benar atau sang Pangeran.
Dalam hal penggunaannya oleh orang-orang Yahudi, kata-kata
ini digunakan hanya sebagai metafora untuk menegaskan sebuah
koneksi khusus yang dekat antara kebaikan seseorang dengan
otoritas Keilahian.

Jadi jika kata-kata “anak Tuhan” hanya digunakan “sebagai


metafora saja”, mengapa agama Kristen meninggikan Yesus
Kristus menjadi “anak Tuhan” dalam arti literal dari kata-kata
itu? Pertanyaan ini bergema ke sebuah pertanyaan yang lagi-lagi
tak terjawab, “Dari mana Yesus mendapat julukan eksklusif
sebagai “anak Tuhan”?

Jika hal ini tidak cukup membingungkan, ada Ibrani 7:3, di


mana Melchizedek, Raja Salem, digambarkan sebagai orang
yang “tak punya ayah, tak punya ibu, tak punya silsilah, tidak
punya awal maupun akhir dari kehidupan, tetapi dibuat seperti
anak Tuhan, dan menjadi pendeta terus-menerus.” Seorang
immortal atau kekal, yang terus hidup tanpa awalan dan tanpa
kedua orangtua? Bukankah ini sebuah pemikiran yang aneh jika
kita berpikir bahwa Yesus memiliki sebuah pesaing dalam kitab
suci?

Yang mengejutkan, Yesus menyebut dirinya sendiri sebagai


“anak manusia” di dalam Injil, dan bukan sebagai “anak
Tuhan”. Harper’s Bible Dictionary menyimpulkan, “Yesus pasti
telah menggunakan kata-kata “anak Tuhan” hanya sebagai
sebuah penunjukkan diri, mungkin sebagai cara untuk
menonjolkan diri sendiri dengan merujuk dirinya sebagai
seorang manusia biasa. New Catholic Encyclopedia
menjelaskan mengenai “anak manusia” sebagai berikut,
“julukan ini memiliki kepentingan khusus karena julukan ini
dipakai sendiri oleh Yesus dengan preferensinya dalam
menyebut diriNya sendiri dan juga misiNya.”

Secara detil, Yesus menggambarkan dirinya sendiri sebagai


“anak manusia” 88 kali di dalam Perjanjian Baru. “Anak Tuhan”
muncul 47 kali di Perjanjian Baru, tetapi kata ini selalu keluar
dari lisan orang lain. Sebagaimana disebutkan oleh Harper’s
Bible Dictionary,

Walau tradisi sinopsis memiliki dua perkataan di mana Yesus


merujuk dirinya sendiri sebagai “anak” sehubungan dengan
Tuhan sebagai Bapanya (Markus 13:32, Matius 11:27(Q)),
otentisitas perkataan-perkataan ini sangat dipertanyakan, dan
terus-menerus menjadi tidak jelas apakah Yesus sebenarnya
menyebut dirinya sendiri sebagai “anak” sehubungan dengan
Tuhan sebagai Bapa…
Namun patut dicatat, bahwa Yesus tidak pernah mengklaim
dirinya sendiri dengan julukan “anak Tuhan.” Bahwa ketika ia
menerima disebut demikian di Markus 14:61-62, baik Matius
(26:64) dan Lukas (22:67) dengan susah payah
menyederhanakan penerimaan Yesus terhadap titel itu
sebagaimana yang ia katakan kepada Pendeta Agung, “kata itu –
sebagaimana kata Al Masih – adalah kata-katamu, bukan kata-
kataku.”

Hasting’s Bible Dictionary menyimpulkan, “merupakan hal


yang sangat meragukan mengenai apakah Yesus sendiri
menyebutkan (“anak Tuhan”) atau tidak…

Mungkinkah kata-kata “anak manusia menyiratkan keunikan?


Sepertinya tidak – Kitab Ezekiel memiliki 93 rujukan yang
menyebut Ezekiel sebagai “anak manusia”.

Semua ini akan membuat periset yang objektif membuat


kesimpulan sebagai berikut:
1. Yesus diasumsikan sebagai orang yang persis seperti yang
ia sebut untuk dirinya sendiri.
2. Yesus memanggil dirinya sendiri dengan julukan “anak
manusia” sebanyak 88 kali.
3. Tidak ada di manapun di dalam Injil di mana Yesus
memanggil dirinya sendiri dengan harfiah sebagai “anak
Tuhan”. Tidak pernah sekalipun, di manapun.
4. Dan dalam hal apapun, dalam idiom Yahudi kata-kata
“anak Tuhan” mungkin saja adalah kata-kata metafora atau
kata-kata yang bertentangan dengan monoteisme.

Cendekiawan Kristen dengan terbuka menyadari hal di atas,


namum mereka mengklaim bahwa walaupun Yesus tidak pernah
menyebut dirinya sendiri sebagai “anak Tuhan”, orang lain
menyebutnya demikian. Hal ini pun dapat dijawab.

Dengan melakukan investigasi terhadap naskah-naskah yang


membentuk Perjanjian Baru, seseorang akan menemukan bahwa
“keberanakan” Yesus yang dituduhkan dibuat berdasarkan
kesalahan penerjemahan dari dua kata Yunani – pais dan huios,
di mana kedua kata ini diterjemahkan sebagai kata “anak”.
Namun, penerjemahan ini terlihat tidak asli. Kata Yunani pais
berasal dari kata Ibrani ebed, yang memiliki arti utama hamba,
atau budak. Jadi, terjemahan utama dari kata pais theou adalah
“hamba Tuhan,” di mana arti “anak” atau “anak laki-laki”
merupakan penambahan yang berlebihan. Menurut Theological
Dictionary of the New Testament, “kata asli Ibrani pais pada
frase pais theou, misalnya, ebed, memberikan penekanan pada
hubungan personal dan memiliki arti “hamba” sebagai arti
utama nya. Hal ini menjadi semakin menarik karena hal ini
betul-betul sesuai dengan ramalan dalam Yesaya 42:1, yang
didukung oleh Matius 12:18: “Lihatlah, itu hamba-Ku
(maksudnya dari kata Yunani pais) yang Kupilih, yang kepada-
Nya jiwa-Ku berkenan…”

Baik ketika orang membaca Versi Raja James, Versi Raja James
yang Baru, Versi Standar Revisi Baru, atau Versi Internasional
Baru, kata yang disebut di semua versi adalah “hamba”. Dengan
mengingat bahwa tujuan dari turunnya wahyu adalah membuat
kebenaran Tuhan menjadi jelas, maka mungkin akan ada yang
berpikir bahwa ayat ini merupakan sebuah titik hitam yang tidak
elok di wajah doktrin keberanakkan ilahi. Lagipula, di mana lagi
Tuhan seharusnya mendeklarasikan bahwa Yesus adalah anak
laki-lakinya? Mana lagi tempat yang lebih baik untuk
menyatakan, “Lihatlah, anak-Ku yang Aku peranakkan…?”
Akan tetapi Tuhan tidak menyatakan itu. Dalam hal ini, doktrin
kekurangan dukungan Injil pada kata-kata yang tercatat baik
yang diucapkan oleh Tuhan maupun oleh Yesus, dan ini
harusnya menjadi alasan untuk mempertanyakan mengapa hal
ini bisa terjadi. Kecuali, jika Yesus memang hanyalah seorang
hamba Tuhan sebagaimana digambarkan oleh ayat ini.

Mengenai kegunaan religius dari kata ebed, “kata ini berperan


sebagai sebuah ekspresi kerendahan hati yang digunakan oleh
orang yang beriman di hadapan Tuhan.” Lebih lanjut, “Setelah
100 tahun sebelum Masehi, pais theou lebih memiliki arti
sebagai “hamba Tuhan”, sebagaimana diaplikasikan kepada
musa, para nabi, atau ketiga orang anak (Barnabas 1:20, 2:20,
Daniel 9:35).” Seseorang dapat dengan mudah mendapatkan
penyebutan doktrin dari pais theou di Perjanjian Baru, di mana
hanya 5 yang merujuk Yesus (Matius 12:18; Kisah Para Rasul
4:25). Jadi Yesus tidak memiliki hak eksklusif terhadap kata-
kata ini, dan para ahli menyimpulkan bahwa, “Pastinya kita
memiliki tradisi awal pada beberapa kejadian di mana Yesus
dipanggil pais theou.”

Lebih lanjut lagi, terjemahan tersebut, jika dilakukan secara


imparsial, harus berarti sama – semua individu yang dilabel pais
theou pada bahasa Yunani harusnya diberi penerjemahan yang
sama. Namun hal yang terjadi tidak demikian. Di mana pais
theou telah diterjemahkan sebagai “hamba” sehubungan dengan
Israel dan Daud pada ayat-ayat yang disebut di atas, kata pais
diterjemahkan sebagai “Anak” atau “anak suci” sehubungan
dengan Yesus. Perlakuan yang sangat istimewa ini seharusnya
dilakukan secara konsisten, namun yang terjadi adalah
penerjemahan menjadi cacat secara logika.

Terakhir, sebuah paralel kunci yang menarik telah ditemukan:


“Maka kata-kata Yunani pais tou theou,”hamba Allah”,
memiliki konotasi yang sama persis dengan nama Muslim
Abdallah – yang berarti hamba Allah.”

Simetri ini semakin mengejutkan lagi, karena kitab suci Alquran


mengubungkan Yesus yang mengidentifikasi dirinya sendiri
sebagai – Abdallah (abd adalah kata arab yang berarti hamba
atau budak, Abd-Allah (juga dibaca “Abdullah”) berarti hamba
atau budak Allah). Menurut ceritanya, ketika Maryam kembali
ke keluarganya dengan Yesus yang baru lahir, mereka
menuduhnya sebagai perempuan yang tidak suci. Bayi Yesus,
berbicara dari buaian dengan mukjizat yang kemudian
membenarkan klaim nya, pun membela ketakwaan ibundanya
dengan kata-kata, “Inni Abdullah…” yang berarti,
“Sesungguhnya aku adalah seorang hamba Allah…” (QS
19:30).

Terjemahan kata Yunani huios menjadi “anak” di dalam


Perjanjian Baru (dalam penggunaan kata ini secara harfiah) juga
menjadi cacat. Pada halaman 1210 dari Theological Dictionary
of the New Testament karangan Kittel dan Friedrich, kata huios
berubah dari arti hafiahnya (Yesus anak Maria), menjadi arti
yang sedikit bermetafora (orang yang beriman sebagaimana
anak-anak laki-laki Raja (Matius 12:25-26)), menjadi metafora
yang sopan (Pilihan Tuhan yaitu anak-anak Abraham (Lukas
19:9)), menjadi metafora sehari-hari (orang-orang yang beriman
lalu menjadi anak-anak Tuhan (Matius 7:9 dan Ibrani 12:5)),
menjadi metafora secara spiritual (murid-murid sebagaimana
anak-anak kaum Farisi (Matius 12:27, Kisah Para Rasul 23:6)),
menjadi metafora secara biologis (seperti di Yohanes 19:26, di
mana Yesus menggambarkan murid kesayangannya kepada
Maria sebagai “anak Maria”), menjadi metafora yang membabi-
buta sebagaimana dalam penyebutan “anak-anak dari kerajaan”
(Matius 8:12), “anak-anak dari perdamaian” (Lukas 10:6),
“anak-anak cahaya” (Lukas 16:8), dan menjadi luas sekali mulai
dari “anak-anak dari dunia ini” (Lukas 16:8) sampai “anak-anak
halilintar” (Markus 3:17). Hal ini seakan-akan kata “anak laki-
laki” yang sangat tidak dimengerti ini sedang melambaikan
sebuah tulisan besar yang ditulis dengan huruf tebal yang
berbunyi: METAFORA! Atau sebagaimana dijelaskan oleh
Stanton, “Hampir semua cendekiawan keagamaan sepakat
bahwa di balik kata Aramaik atau Ibrani “anak laki-laki”
terdapat kata “hamba”. Jadi sebagaiman Roh itu turun ke atas
Yesus di saat pembaptisannya, Yesus dipanggil oleh sebuah
suara dari surga sebagaimana terdapat di Yesaya 42:1:
“Lihatlah, itu hamba-Ku…yang Kupilih… yang kepada-Nya
jiwa-Ku berkenan…Aku telah menaroh Roh-Ku ke atasnya”.
Jadi walaupun Markus 1:11 dan 9:7 mengafirmasi bahwa Yesus
dipanggil sebagai Tuhan untuk melakukan sebuah tugas
istimewa seorang Al Masih, penekanan di sini adalah bahwa
peran Yesus sebagai seorang hamba yang diurapi, ketimbang
sebagai Anak Tuhan.

Seorang periset yang obyektif sekarang harus memperluas daftar


catatannya sebagai berikut:
1. Yesus diasumsikan sebagai seseorang yang persis dengan
apa yang ia sebut kepada dirinya sendiri.
2. Yesus memanggil dirinya sendiri sebagai “anak manusia”.
3. Tidak ada di manapun di dalam Injil terdapat klaim yang
diucapkan oleh Yesus bahwa ia secara harfiah adalah
“anak Tuhan”.
4. Dalam dalam hal apapun, pada idiom Yahudi, kata-kata
“anak Tuhan” mungkin saja adalah kata-kata metafora atau
bertentangan dengan monoteisme.
5. Terjemahan awal dari kata kata pais theou adalah “hamba
Tuhan” dan bukan “anak Tuhan”.
6. Huios, yang diterjemahkan dari Perjanjian Baru bahasa
Yunani menjadi “anak”, digunakan secara metafora
sedemikian sering dalam upaya membuat terjemahan
harfiahnya menjadi tidak dapat dipertahankan.
7. Jadi, ketika orang lain membicarakan Yesus sebagai “anak
Tuhan” metafora dari kata-kata ini dapat diasumsikan
sebagai pertimbangan dari idiom Yahudi, yang
digabungkan bersama keketatan monoteisme Yahudi.
Jadi bagaimana dunia keKristenan dapat mempertahankan klaim
mereka terhadap keberanakkan Ilahiyah?

Akan ada orang yang berkata bahwa Yesus adalah anak Tuhan
karena ia menyebut Tuhan dengan kata “Bapa”. Tapi bagaimana
orang lain menyebut Tuhan? Dalam hal ini, apa yang tercatat
sebagai perkataan Yesus sebagaimana yang diajarkan di dalam
Injil, jika tidak, “Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami…”
(Matius 6:9)? Jadi bukan hanya Yesus mengajarkan bahwa
setiap orang dapat menjabat julukan “anak Tuhan”, ia juga
mengajarkan pengikutnya untuk mengidentifikasi Tuhan sebagai
“Bapa”.

Ada yang berpendapat bahwa Yesus adalah manusia ketika ia


hidup akan tetapi berubah menjadi sekutu keilahian setelah
penyalibannya. Tapi di dalam Markus 14:62, ketika Yesus
berbicara mengenai hari pembalasan, ia mengatakan bahwa
orang-orang akan melihatnya sebagai “anak manusia yang
duduk di tangan kanan sang Kuasa, dan datang dengan awan-
awan surga”. Jadi jika Yesus adalah “anak manusia” di hari
pembalasan nanti, apa status Yesus di antara masa sekarang dan
nanti?

Pertanyaan pun berulang kembali, “Dari mana konsep


keberanakkan ilahiyah ini datang?”

Jika kita menoleh ke ulama-ulama gereja untuk mencari


jawabannya, maka kita akan temukan bahwa “toh, di Konsul
Nicea gereja telah diikat oleh begitu banyak situasi untuk
memperkenalkan kategori-kategori non-Injil kepada deskripsi
asli dari hubungan sang Anak dengan sang Bapa. Kontroversi
Arius lah yang menyebabkan penentuan ini.”
Hmmm…” terikat oleh situasi”…”diikat oleh situasi” – lalu apa
maksudnya semua itu? Seseorang tidak mungkin tidak membuat
sebuah paralel seperti “saya terikat oleh situasi-situasi – saya
tidak memiliki uang yang cukup, jadi saya mencuri, “ atau,
“kebenaran tidak menguntungkan, jadi saya berbohong.”

Apa persisnya situasi-situasi yang mengikat gereja? Apakah


situasi itu berarti bahwa Arius yang memperlihatkan bahwa
mereka tidak dapat mempertahankan doktrin mereka lewat
naskah kitab suci, dan mereka merespon dengan satu-satunya
cara yang mereka tahu demi menyelamatkan posisi mereka?
Tidak ada masalah dengan Injil sampai di saat ketika buku itu
gagal mendukung teologi mereka, lalu mereka
mengenyampingkan “aturan buku” yang suci dan kemudian
datang dengan aturan mereka sendiri? Apakah itu yang terjadi?
Karena sepertinya itulah yang mereka sampaikan – bahwa
mereka tidak dapat membuat Injil bekerja untuk mereka, jadi
mereka pun menoleh ke sumber-sumber non-Injil sebagai
dukungan.

Hey! Apakah itu dapat dibenarkan?

Mari kita lihat apa yang terjadi.

Arius berargumen bahwa keilahian Trinitas terdiri dari 3 realitas


yang berbeda dan terpisah, dan bahwa Yesus Kristus adalah
seorang makhluk fana yang diciptakan. Dengan kata lain,
seorang manusia. Karya paling hebat milik Arius, Thalia (yang
artinya “Perjamuan”), pertama kali diterbitkan pada tahun 323
dan menimbulkan kekacauan yang begitu besar di mana Konsul
Nicea dibuat di tahun 325 untuk menyikapi tantangan-tantangan
Arius. Sebagai contoh, silogisme Arius berpendapat bahwa jika
Yesus adalah seorang manusia, maka kita seharusnya tidak
menyebutnya sebagai Tuhan, dan jika Yesus adalah Tuhan, kita
tidak boleh mengatakan bahwa ia wafat. Arius berpendapat
bahwa konsep Tuhan-manusia tidak dapat bertahan melawan
analisa kritis, dan konsep ini menentang penjelasan.
Tantangan Arius terhadap teologi Trinitarian dapat saja
tenggelam di bawah permukaan sejarah jika ada orang yang
dapat menjelaskan konsep Tuhan-manusia. Akan tetapi kegiatan
Trinitarian menyaring pasir-pasir apologis selama 1700 tahun
telah gagal menghasilkan penjelasan sebening permata untuk
memberikan penjelasan kepada orang-orang yang skeptis.
Pertanyaan-pertanyaan menantang selalu saja timbul dan
bergema beriringan dengan argumen Arius. Sebagai contoh, kita
dapat dengan mudah bertanya, “ketika Tuhan dicatat berubah
menjadi manusia, apakah ketika itu ia menyerahkan kuasa
ilahiyahnya? Karena jika demikian adanya, maka ia tidak lagi
menjadi Tuhan, dan jika ia tidak menyerahkan kuasa
ilahiyahnya maka ia bukan seorang manusia. “Jika Tuhan-
manusia wafat di tiang salib, apakah ini artinya Tuhan telah
mati?” Tentu saja tidak. Jadi siapa yang mati? Apakah hanya
bagian ”manusianya” saja yang mati? Tapi jika demikian
halnya, pengorbanan itu bukanlah pengorbanan yang paripurna,
karena klaim yang ada adalah bahwa hanya sebuah pengorbanan
ilahiyah yang dapat menghapuskan dosa umat manusia.
Masalahnya, bagian-manusia dari tri-kesatuan yang sedang
sekarat tidak dapat lagi memberikan kontribusi kepada
pembebasan dosa dibanding kematian dari seorang manusia
yang tanpa dosa. Hal ini menyisakan penjelasan lain yang
bergeser kepada klaim bahwa beberapa elemen dari keilahian
mati. Yahudi yang sangat monoteis, Kristen Unitarian dan umat
Islam pastinya akan bersaing untuk mengatakan bahwa bagi
mereka yang mengatakan Tuhanlah yang telah mati, yah, lebih
baik mereka pergi saja ke neraka. (Harapannya adalah Tuhan,
yang hidup dan yang abadi, akan sepakat dengan ini.)

Untuk melanjutkan pemikiran ini, doktrin Trinitarian


mengklaim bahwa Tuhan tidak hanya berubah menjadi manusia,
akan tetapi Tuhan tetap sebagai Tuhan – sebuah konsep di mana
Unitarian akan menbandingkan pernyataan ini dengan sketsa
“konstruksi mustahil” milik Escher. Pernyataan ini memuaskan
persyaratan tata bahasa Inggris dalam membuat sebuah kalimat,
akan tetapi liuk-liuk kemustahilannya tidak dapat dibuat
menjadi sebuah kenyataan. Sebuah pohon tidak dapat dirubah
menjadi furnitur tapi tetap menjadi pohon sebagaimana sepanci
daging panggang dapat menjadi seekor sapi. Ketika sesuatu
bertransformasi, maka kualitas dari eksistensinya yang asli akan
hilang. Tetapi agama Katolik tetap saja membuat sebuah agama
dari transubstansiasi (konversi dari substansi elemen ekaristi
kepada badan dan darah Kristus pada konsekrasi, di mana hanya
penampakkan roti dan anggur yang tersisa), yang mengkliam
kebalikannya – bahwa dua substansi yang berbeda itu adalah
satu.

Deklarasi Unitarian adalah bahwa Tuhan adalah Tuhan dan


manusia adalah manusia. Orang-orang yang mencampur aduk
antara keduanya gagal paham bahwa Tuhan tidak dapat
menyerahkan keTuhananNya, karena entitas Tuhan di
definisikan oleh atribut-atribut ilahiyahNya. Tuhan tidak perlu
mengalami eksistensi manusia untuk dapat memahami
penderitaan umat manusia. Tidak ada yang mengetahui keadaan
buruk umat manusia lebih dari Penciptanya, karena Ia
menciptakan umat manusia dengan seluruh pengetahuan yang
ada, mulai dari thermoreceptor (neuron tertentu dari kulit untuk
mendeteksi perubahan suhu) sampai dengan pemikiran, dari
bulu mata sampai bawah sadar. Tuhan tahu persoalan, keadaan
buruk, dan penderitaan umat manusia – Ia menciptakan jagad
raya di mana kerumitannya jauh di atas dimensi dangkal dari
keberadaan manusia.

Lalu apa respon standar kaum Trinitarian? Bahwa orang-orang


hanya akan beriman kepada apa yang mereka pahami. Standar
respon Trinitarian? Bahwa tidak ada orang yang mengerti
Trinitas, tidak satupun. Itulah sebabnya mengapa Trinitas adalah
sebuah misteri keagamaan. Bicaralah cukup lama dengan
pendeta Trinitarian, angkat keberatan-keberatan di atas (dan hal-
hal yang sehubungan dengan keberatan tersebut), dan pada
akhirnya Trinitarian yang mantap akan menjawab, “itu adalah
sebuah misteri”. Pembelaaan bahwa anda cuma harus punya
iman saja pasti dibawa-bawa dalam pembelaan mereka. Kaum
Unitarian biasanya menjelaskan bahwa, dalam hal apapun,
beberapa saat sebelumnya kaum Trinitarian berpendapat bahwa
orang-orang akan percaya, hanya jika mereka paham. Akan
tetapi, jika sebuah usaha yang sah dilakukan untuk mencapai
sebuah pemahaman, dengan cara mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang relevan, klaim itu berubah menjadi
sebuah misteri keagamaan (maksudnya tidak ada orang yang
paham). Sebuah pembelaan akhir adalah pendapat bahwa,
“Satu-satunya cara seseorang dapat percaya adalah dengan cara
beriman” (maksudnya satu-satunya cara untuk beriman adalah
dengan beriman). Akan tetapi jika iman yang dimaksud adalah
iman yang dilakukan dengan membabi buta dan tidak
menggunakan akal adalah metodologi yang Tuhan ijinkan
kepada kita, mengapa Ia memerintahkan kita untuk mencari tahu
(“Marilah, baiklah kita berperkara! – Firman Tuhan – “ Yesaya
1:18)?

Jadi apa arti dari sumber non-Injil? Seseorang dapat dengan


tenang berasumsi bahwa jika sesuatu bukan berasal dari kitab
suci (maksudnya, bukan dari Tuhan), maka hal itu pasti berasal
dari pikiran-pikiran orang-orang (dan apa persamaan dari
pikiran manusia jika bukan imajinasi manusia?) Semudah apa
jadinya mengubah doktrin gereja untuk membuatnya sesuai
dengan argumen rasional dan, yang lebih penting, sesuai dengan
kitab suci?

Tidak diragukan lagi bahwa pendapat Trinitarian telah


mengukuhkan pekerjaan pengawalan terhadap pendeta
Trinitarian, meskipun atas prinsip-prinsip keimanan yang
diragukan, yang ditutupi oleh persetujuan gereja. Begitu pula,
tidak dapat diragukan bahwa kepercayaan diri ajaran gereja
menjadi sesuatu yang lemah di dalam pikiran para pemikir
seperti Arius – para pemikir yang terus-menerus
menggarisbawahi fakta bahwa Yesus tidak pernah mengklaim
keberanakkan atau persekutuan ilahiyah, dan klaim itu juga
tidak pernah dibuat oleh murid-muridnya. Dan banyak bukti
menunjukkan bahwa Paulus juga tidak melakukannya.

Setelah mengakui bahwa pandangan gereja mengenai hubungan


Yesus Kristus dengan Tuhan dibuat berdasarkan “kategori-
kategori non-injil”, New Catholic Encyclopedia
menggarisbawahi beberapa doktrin yang terbangun, seperti
keberadaan yang sama di dalam suatu substansi
(konstubstansialitas), diperanakkan dan tidak dibuat, dll.
Berikutnya, mereka membuat pendapat lantang bahwa
Augustine melihat ideologi ini sesuai dengan pemahaman
bawaan manusia (maksudnya “Augustine mencari tahu pada
psikologi manusia atau cara mancari tahu analogi alami dalam
rangka memahami generasi abadi dari sang Anak.”)

Tidak ada orang yang dapat disalahkan jika ketika membaca


pernyataan ini mereka akan bergumam,
“Pasti…mereka…bercanda. Pasti.” Toh, bukankah ini sebuah
doktrin yang bertanggungjawab atas penyelidikan di Abad
Pertengahan, 6 gelombang perang salib Kristen, dan
pemindahan agama secara paksa terhadap warga asli yang tak
terhitung jumlahnya di sepanjang era konolialisme? Doktrin
yang membuah lebih dari 12 juta orang kehilangan nyawa akibat
penyiksaan karena mereka menolak melihat prinsip-prinsip
keimanan Trinitarian sebagai hal yang wajar? 12 juta! Doktrin
yang membuat warga asli Afrika sampai hari ini dibujuk untuk
pindah agama dengan pancingan makanan dan obat-obatan
terlihat wajar?

Orang awam di jalan pun dapat menyimpulkan bahwa jika


penyiksaan dan bujuk rayu dibutuhkan untuk menyegarkan
memori, maka seseorang harus mendefinisi ulang arti dari
“pamahaman bawaan”.

Dan mengapa tidak? Banyak sekali nilai-nilai yang sudah


ditafsir ulang.
Paus Gregory IX membentuk Penyelidikan Kepausan pada
tahun 1231, tapi tidak dapat menerima dosa penyiksaan.
Seorang Paus butuh 20 tahun untuk mengemban tanguungjawab
tersebut, dan di tengah-tengah semua ironi ini, sang Paus
memutuskan untuk menamai dirinya sebagai Paus Innocent
(innocent artinya tidak bersalah) IV. Di tahun 1252 ia
memerintahkan pelaksanaan penyiksaan dengan mengeluarkan
hukum Kepausan bernama Ad Extirpanda. Namun, beberapa
pendeta pastinya ingin ambil bagian dalam hal kotor ini, secara
dekat dan personal. Untuk mengakomodir sentimen Kristen
yang sangat mulia ini, “pada 1256 Paus Alexander IV
memberikan mereka hak untuk saling membebaskan satu sama
lain dan memberikan dispensasi untuk kolega mereka. Dengan
dielakkannya isu moral dan legal ini, satu penyidik dapat
melakukan penyiksaan dan kawannya lalu dapat
membebaskannya.’

Jadi pemahaman bawaan tidak juga berperan penting dalam


prosesnya.

Para simpatisan dapat saja berpikir sejenak untuk


membayangkan seorang individu yang tidak pandai, tidak
terdoktrinasi, dan terisolasi dari peradaban. Bayangkan individu
ini mencari realitas Tuhan lewat hidup sunyi yang penuh
kontemplasi. Kita dapat bayangkan orang-orang asli yang hidup
di tempat yang jauh, orang-orang buta huruf, atau seorang
individu penyendiri di sebuah pulau tropis. Berapa orang dari
mereka kira-kira yang akan menyentik jari jemari mereka dan
menampar dahi-dahi mereka ketika mereka mendapat
pencerahan lalu memproklamirkan adanya Tuhan Bapa, Anak
dan Roh Kudus?

Kemungkinannya kecil sekali dan dari sini dapat disimpulkan


bahwa keputusan Augustine dibuat berdasarkan sebuah
prospektif yang dipelajari dengan kebutaan total, terkontrol dan
sudah ditentukan. Jika jutaan Kristen Unitarian yang “sesat”
yang telah dieksekusi oleh kaum Trinitarian yang intoleran itu
ditanya, pastinya mereka akan memiliki alasan-alasan yang
masuk akal (untuk penolakan mereka). Di era modern, beberapa
dari mereka mungkin saja malah akan merujuk alquran: “Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…”(QS 2:256).

Tapi kembali ke isu “anak Tuhan”, terdapat satu lagi


permasalahan yang menyangkut kutipan-kutipan di bawah ini:

Pada Injil Santo Yohanes, dua kali julukan Anak Tuhan tidak
mengandung arti lebih dari seorang Al Masih. Oleh sebab itu
pengakuan keimanan Nathanael, “Rabi, Engkau anak Allah,
Engkau raja orang Israel!” (Yohanes 1:49) menyiratkan kedua
julukan ini sebagai julukan yang sama.
Tidak selalu jelas apa arti dari kata-kata (Anak Tuhan) ketika
kata-kata ini diucapkan oleh setan; kata-kata ini mungkin saja
hanya berarti manusia milik Tuhan.
Dalam penggunaannya oleh para centurion (perwira angkatan
darat Romawi kuno), kata-kata ini (Anak Tuhan) sepertinya
hanya memiliki arti seorang manusia yang adil.

Kutipan-kutipan di atas menyatakan bahwa satu dari dua


skenario yang mungkin terjadi. Pertama, “Anak Tuhan” dapat
dipahami berarti Al Masih, Raja Israel, “manusia Tuhan”, “yang
suci dari Tuhan,” atau lebih sederhana lagi kata ini dapat berarti
orang yang benar, karena injil-injil secara paralel
menghubungkan semua julukan ini seakan-akan semua julukan
itu serupa. Sebagai contoh, setan mengidentifikasi Yesus
sebagai “yang suci dari Tuhan” di satu masa dan “Anak Tuhan”
di masa yang lain, dan para centurion mengidentifikasi Yesus
sebagai “Anak Tuhan” pada Matius dan Markus, tapi mereka
mengidentifikasi Yesus sebagai “orang yang benar” di dalam
Lukas. Jadi mungkin saja julukan-julukan ini memiliki arti yang
sama.

Skenario ke dua, masa-masa yang paralel mencatat kejadian-


kejadian yang sama dengan kata-kata berbeda dapat
merepresentasikan ketidak akuratan injil. Apapun yang terjadi,
ada persoalan di sini. Jika julukan-julukan yang berbeda itu
serupa dan seseorang tidak dapat cukup mempercayai Injil
untuk memahami arti dari “Anak Tuhan” pada suatu kejadian,
bagaimana seseorang dapat menginterpretasikan kata-kata yang
sama dengan penuh percaya diri pada kejadian yang lain? Dan
jika ketidaksepakatan ini merepresentasikan ketidakakuratan
Injil, di mana pada satu Injil sang penulis menuliskan hal yang
benar sementara di Injil lain sang penulis melakukan kesalahan
dalam penulisannya, lalu pada kejadian yang mana harus kita
percayakan hal yang seharusnya dapat menyelamatkan kita?

Sebuah contoh kecil adalah bahwa ada dua dari Injil-injil yang
dirujuk di atas menceritakan cerita yang berbeda, walaupun
yang disaksikan adalah kejadian yang sama. Matius 8:28-29
mencatat dua orang yang kesurupan di dalam kuburan dan
Lukas 8:26 mencatat hanya ada satu orang yang kesurupan.
Walaupun seandainya seseorang membela Injil sebagai kata-
kata yang diinspirasi Tuhan – bukan kata-kata Tuhan yang
sebenarnya, tapi kata-kata yang terinspirasi Tuhan – akankah
Tuhan memberikan inspirasi terhadap sebuah kesalahan?
Walaupun kesalahan itu hanyalah sebuah kesalahan kecil?

Akan ada yang bertanya-tanya mengapa kaum Kristen


melicinkan perbedaan-perbedaan pada Injil. Sementara yang
lain membuat pandangan yang lebih sakit lagi. Pemeluk Kristen
ingin percaya bahwa otoritas gereja berdedikasi untuk
kebenaran dan bukan untuk penipuan. Tapi berapa banyak orang
yang akan membengkokan kebenaran untuk meraih 10% dari
pendapatan kotor dari keseluruhan sebuah jemaat? Hal ini
menjadi sebuah kecurigaan yang besar, di mana George Bernard
Shaw mengatakan, “sebuah pemerintahan yang merampok Peter
untuk membayar Paulus dapat selalu bergantung kepada
dukungan Paulus.” Dengan kata lain, sebuah gereja yang
membayar jemaatnya untuk mendanai gaji dan tunjangan hidup
dari para pendeta dapat selalu bergantung pada dukungan para
pendetanya.
Lalu timbul pertanyaan, “Ada berapa pimpinan dari gereja-
gereja yang mengajarkan Injil dan mengajar di sekolah yang
akan membengkokan kebenaran di bawah tekanan harta?” orang
yang tidak melakukannya pastinya gila, polos, atau berbohong.
Berita-berita saat ini telah mencatat begitu banyak pendeta dan
panatua yang tidak hanya telah membengkokan kebenaran, akan
tetapi mereka juga telah membengkokan pemuda-pemuda altar.
Yesus telah memperingatkan tentang “orang-orang Tuhan”
palsu ini dalam Matius 7:15-16 ketika ia berkata, “Waspadalah
terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan
menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah
serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal
mereka…”

Walau begitu, kita mendapati diri kita kembali sekali lagi ke


pertanyaan yang belum terjawab, yaitu, apa arti “Anak Tuhan”?
Apakah bahasa Ibrani yang asli menerjemahkan ebed menjadi
“budak”, “hamba” atau “anak laki-laki”? Walaupun seandainya
terjemahan yang benar adalah “anak laki-laki”, mengapa arti ini
menjadi berbeda dari “Anak-anak Tuhan” yang lain yang
memiliki arti tidak lebih dari individu-individu yang benar, atau
paling tinggi, nabi-nabi? Mengomentari kritik sejarah R
Bultmann terhadap Perjanjian Baru, new Catholic Encyclopedia
menulis, “Anak Tuhan belum lama ini ditolak di dalam teologi
karena, berdasarkan tulisan-tulisan di dalam Perjanjian Baru, hal
ini merupakan sebuah helai mitologi yang dipakai gereja
primitif untuk membungkus keimanannya…Masalah dalam
mengkonfrontasi seorang yang membangun sebuah ide teologis
yang mumpuni terhadap Anak Tuhan adalah memutuskan
konten yang diungkapkan oleh ide tersebut.”

Dikarenakan tidak adanya kesesuaian dalam pemahaman,


seseorang akan memahami keharusan untuk menyelamatkan diri
yang menjadi dasar dari gereja awal untuk mendefinisikan
sebuah sistem kepercayaan, baik sistem itu benar atau tidak.
Dan inilah yang dilakukan pada tahun 451 di Konsul Kalsedon,
yang mendeklarasikan sebuah definisi dogmatis yang telah
mendominasi agama Kristen setelahnya: “Kristus yang sama
dan Kristus yang satu, Anak laki-laki, Raja, yang diperanakkan
dengan tunggal, yang diketahui dalam dua alam, tanpa
kebingungan, tanpa perubahan, tanpa pembagian, tanpa
pemisahan.”

Siapapun yang memeluk bukti dari bab ini akan memahami


kutipan di atas sebagai sebuah pernyataan, tapi tidak sebagai
kebenaran. Walaupun jika pendeta-pendeta gereja membawa
keberadaan Yesus sebagai hal yang “tanpa kebingungan”, hal
yang sama tidak dapat dikatakan kepada para pengikutnya.
Kebingunan, pembagian dan pemisahan telah menjangkiti para
pencari kebenaran di agama Kristen sejak masa Yesus.

Sebagaimana dikatakan oleh Johannes Lehmann dalam bukunya


The Jesus Report,

Jadi konsep “Anak Tuhan” telah membawa kepada


kesalahpahaman yang telah menyebabkan konsekuensi-
konsekuensi yang tak terbayangkan. Siapapun yang memiliki
pengetahuan yang dangkal mengenai budaya Timur tahu bahwa
orang-orang Oriental sangat menyukai pidato-pidato
indah…Sebuah kebohongan sederhana adalah anak dari banyak
kebohongan, dan siapapun yang dapat membuat kebohongan
yang lebih baik lagi menjadi ayah dari kebohongan. Demikian
pula dengan kata-kata “Anak Tuhan”.

Dalam linguistik Semit penggunaan deskripsi ini tidak memiliki


arti lebih dari sebuah hubungan yang terjalin antara seorang
manusia dan Tuhan. Seorang Yahudi tidak akan pernah
bermimpi untuk berpikir bahwa anak Tuhan berarti sebuah
hubungan asli antara seorang ayah dan seorang anak. Seorang
Anak Tuhan adalah manusia yang terberkahi, sebuah motor
yang terpilih, seorang laki-laki yang melakukan apapun yang
dikehendaki Tuhan. Usaha apapun untuk mengambil gambaran
dari kata-kata ini secara harfiah telah menyimpulkan keilahian
sang anak dan sangat bertolak belakang dengan fakta yang ada.”
Memahami “anak Tuhan” sebagai sebuah metafora ketimbang
arti harfiahnya memberi resolusi terhadap berbagai
permasalahan doktrin Kristen. Selain itu, memahami “anak
Tuhan” sebagai nabi atau individu yang benar, dan tidak lebih
dari itu, memberi tantangan kepada umat Kristen untuk
berhadapan dengan ajaran-ajaran Alquran yang terfokus. Allah
secara spesifik mengajarkan, “…Orang-orang Nasrani berkata:
“Al Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka
dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang
kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana
mereka sampai berpaling?” (QS 9:30)

Akan tetapi kalau orang tidak mengerti, intinya bukanlah bahwa


satu buku benar dan buku yang lain salah. Sama sekali tidak
demikian. Intinya adalah ketiga buku –Perjanjian Lama,
perjanjian Baru, dan kitab suci Alquran – benar adanya. Ketiga
buku tersebut mengajarkan keesaan Tuhan dan kemanusiaan
Yesus, dan ketiga buku ini saling memperkuat satu sama lain.
Jadi ketiga buku ini benar. Yang salah bukanlah bukunya atau
naskahnya, akan tetapi doktrinnya lah yang salah yang
bersumber dari sumber yang salah karena telah diambil dari
“kategori-kategori non-Injil”.

Anda mungkin juga menyukai