Anda di halaman 1dari 15

BAB 4 AL MASIH (KRISTUS)

Perjanjian Lama yang dilengkapi dengan ramalan Al Masih,


tetap tidak menyebutkan di manapun bahwa Al Masih berdiri
sebagai Tuhan yang harus disembah. Ia akan membawa
kedamaian di atas bumi, memperbaiki tempat-tempat yang
buruk, menenangkan hati-hati yang tersakiti, tetapi tidak
ditemukan dimanapun bahwa ia dibahas sebagai sebuah
keilahian.
-Olympia Brown, panatua perempuan pertama di Kebaktian di
Amerika Serikat pada 13 Januari, 1895

Konsep yang mengatakan bahwa Yesus diramalkan sebagai Al


Masih sudah begitu diketahui di dunia Kristen dikarenakan
adanya kebutuhan yang jelas untuk sebuah diskusi mengenai hal
ini. Akan tetapi Yesus, Al Masih, di dalam agama Islam? Fakta
bahwa kaum Muslim mengimani Yesus sebagai Al Masih telah
membuat Kristen Evangelist mencoba menyesatkan Umat Islam
kepada kepercayaan Trinitarian.

“Apakah Yesus itu Al Masih?” Tanya Kristen Evangelist, di


mana pertanyaan ini akan dijawab oleh kaum Muslim dengan
jawaban “ya”. Lalu kaum Evangelist akan bertanya lagi, “
Apakah Muhammad itu Al Masih?” Kaum Muslim akan
menjawab, “tidak”.

Kaum Evangelist lalu mencoba untuk menggiring kaum Muslim


untuk menarik kesimpulan bahwa karena Muhammad bukan Al
Masih, maka artinya Muhammad bukanlah seorang nabi, dan
bahwa Yesus adalah Al Masih yang dijanjikan, dan itu
menyebabkannya menjadi sekutu dalam keilahian.

Argumen ini sungguh menyiksa, dan hal ini mengharuskan umat


Muslim menjawab dengan pertanyaan yang sama dengan yang
mereka ajukan:
1. Selain Yesus, apakah Injil menyebutkan mengenai
keberadaan Al Masih-Al Masih lain? Jawabannya: Ya,
banyak sekali – tidak kurang dari 48 jumlahnya. (Untuk
detailnya lihat di bawah.)
2. Apakah semua Al Masih di dalam Injil, seperti Raja-raja
seperti Daud dan pendeta-pendeta tinggi dari Palestina
kuno (yang sekarang disebut Israel) adalah nabi-nabi?
Jawabannya: tidak.
3. Sebaliknya, apakah para nabi di dalam Injil, seperti
Ibrahim, Nuh, Musa dll, semuanya termasuk Al Masih?
Jawabannya: tidak.
4. Jadi, jika tidak semua nabi di dalam Injil adalah Al Masih,
bagaimana kita dapat mendiskualifikasi sebuah klaim yang
dibuat seseorang terhadap kenabian dikarenakan nabi itu
bukan Al Masih? Karena jika demikian maka Abraham,
Nuh, Musa dan nabi-nabi lain di dalam Injil seharusnya
juga ikut di diskualifikasi oleh standar yang sama.
5. Terakhir, jika ada Al Masih-Al Masih dalam Injil yang
bahkan bukan merupakan nabi-nabi, lalu mengapa status
Al Masih dapat disamakan dengan keilahian jika label
tersebut bahkan tidak sama dengan ketakwaan?

Faktanya adalah kata Al Masih hanya berarti “yang diurapi”,


dan tidak memiliki konotasi apapun dengan keilahian. Jadi umat
Muslim tidak memiliki kesulitan untuk mengimani Yesus
sebagai Al masih, atau dalam terjemahan bahasa Inggris, Yesus
sebagai Kristus, akan tetapi tanpa melanggar dan menuju
kesalahan-kesalahan pemujaan yang berlebihan (dengan
menyamakan Yesus dengan keilahian, misalnya pendewaan).
Lalu dari mana kata-kata “Al Masih” dan “Kristus” ini muncul?

Nama “Kristus” berasal dari kata Yunani christos yang


selanjutnya di Latinkan menjadi “Christ”. Theological
Dictionary of the New Testament mendefinisikan christos
sebagai “Kristus, Al Masih, yang diurapi.” Pendapat kedua
adalah sebagai berikut: “Kata Al Masih (kadang disebut dengan
Messias, sebagaimana transkrip Hellenisasi) merepresentasikan
kata ibrani mashiah, atau mashuah ‘diurapi’, dari kata kerja
mashah “mengurap”. Kata ini persis sebagaimana kata yang
diberikan oleh orang Yunani christos ‘diurapi’. Dalam bahasa
Inggris dasar, jika orang membaca Perjanjian Lama dalam
bahasa Ibrani kuno mereka akan membaca mashiah, mashuah
dan mashah. Jika dibaca dalam bahasa Yunani kuno, maka
ketiga kata di atas akan “persis berarti” christos.

Pembahasan ini menjadi menarik di titik ini karena bahasa


Aramaik, Ibrani dan Yunani kuno tidak memiliki huruf-huruf
besar, jadi bagaimana penerjemah Injil mendapatkan kata
“Kristus” dengan huruf C besar dari christos dengan huruf c
kecil merupakan sebuah misteri yang jawabannya hanya
diketahui oleh mereka. Klaim-klaim yang menyatakan bahwa
konteksnya yang memberi mandat terhadap kapitalisasi huruf
dalam hal Yesus tidak berfungsi di sini, karena christos
diaplikasikan pada berbagai macam pembahasan di sepanjang
isi Injil. Kata kerja chrio, yang berarti “untuk mengurapi”,
ditemukan 69 kali di dalam Perjanjian Lama sehubungan dengan
misalnya Saul, Daud, Solomon, Yoas, dan Yoahas. Kata benda
christos (kata christos yang sama yang diterjemahkan menjadi
“Kristus” sehubungan dengan Yesus) muncul 38 kali – 30
sehubungan dengan Raja-raja, 6 sehubungan dengan pendeta-
pendeta tinggi, dan 2 kali sehubungan dengan patriak dalam
Perjanjian Lama.

Argumen yang menyatakan bahwa “Kristus” dengan huruf C


besar berarti “diurapi Tuhan” dalam beberapa arti, berbeda
dengan “kristus-kristus” lain dengan huruf c kecil. Perbedaan-
perbedaan ini harus didefinisikan, atau argumen ini harus
dibuang. Menurut Theological Dictionary of the New
Testament, “Saul hampir selalu disebut sebagai ‘yang diurapi
Tuhan’. Selain Saul, hanya Raja-raja Daud menyandang gelar
tersebut (kecuali pada Yesaya 45:1). Ketika membaca kutipan
ini, beberapa orang mungkin akan menyadari pengecualian
mencolok yang diberi tanda kurung – sebuah alat penutup
kesusastraan. Beberapa pembaca ini, yang berhenti dan
membatalkan pengecualian kecil itu akan mendapati bahwa apa
yang merayap keluar dari Yesaya 45:1 adalah Cyrus orang
Persia – yaitu Cyrus yang merupakan raja dari kaum Zoroaster
yang menyembah api.

Graham Stanton, Professor Keilahian Lady Margaret di


Universitas Cambridge, menyimpulkan informasi di atas sebagai
berikut:

Kata Ibrani “messiah” berarti orang atau benda yang diurapi.


Kata ini diterjemahkan dengan “christos” (maka menjadi
Kristus) pada Perjanjian Lama terjemahan Yunani, yaitu
Septuagint (LXX). Pada berbagai ayat di Perjanjian Lama, “ia
yang diurapi” diaplikasikan kepada raja Agung yang ditunjuk.
(Lihat contoh, 1 Sam 12:3 (Saul) dan 2 Sam 19:22 (David)). Di
beberapa ayat “ia yang diurapi” digunakan untuk para nabi
(yang paling terlihat di Yesaya. 61:1) dan para pendeta
(Lewiatan. 4:3,5,16), tapi tanpa penegasan lebih lanjut kata ini
biasanya merujuk kepada raja Israel.

Selanjutnya, daftar “Kristus nya Tuhan” (misal “Christos nya


Tuhan” – “ia yang diurapi Tuhan”, atau “Al Masih nya Tuhan”)
akan juga menyangkut Saul yang Kristus, Cyrus yang Kristus,
dan juga banyak dari Raja-raja David – semua memiliki sebutan
“Kristus”. Atau setidaknya, demikianlah pernyataan Injil jika
julukan semua orang diterjemahkan dengan cara yang sama.

Tapi tidak demikian adanya.

Dalam kebijakan selektif para penerjemah Injil, christos


diterjemahkan menjadi “diurapi” dalam semua hal selain dalam
hal Yesus Kristus. Ketika kata “diurapi” ditemukan di dalam
Injil terjemahan bahasa Inggris, seseorang dapat dengan tenang
berasumsi bahwa kata Yunani yang dipakai adalah kata christos
yang sama dengan kata yang membuat Yesus memiliki julukan
unik bernama “Kristus”. Titel eksklusif “Kristus” dengan huruf
C besar, dan “Al Masih” dengan huruf M besar, sangat istimewa
dalam pengecualiannya. Faktanya, hal ini akan membuat
seseorang percaya bahwa kata ini memiliki arti yang memiliki
hubungan spiritual yang unik, yang berbeda dengan “al masih-al
masih” lain dengan huruf m kecil dan tanpa huruf c sama sekali
– kata christos tersembunyi pada terjemahan alternatif dari arti
“diurapi”.

Semua ini memperlihatkan noktah yang memalukan di hadapan


umat Kristen yang berpendidikan, karena hal ini
mempertanyakan ke etisan dari terjemahan Injil yang di setir
oleh doktrin. Orang-orang yang menyadari hal ini mungkin juga
akan menyadari bahwa ada satu lagi perbedaan mendasar antara
kepercayaan Unitarian/Islam dan kepercayaan Trinitarian yang
ada dalam sebuah kekosongan dukungan injil terhadap sudut
pandang kaum Trinitarian.

Agama Islam memastikan bahwa Yesus merupakan seorang


“yang diurapi” Tuhan, akan tetapi hal ini tidak berarti
meninggikannya melampaui posisi kenabian, atau agar ia
terlihat lebih unik dari orang lain yang memiliki gelar atau
penugasan kenabian yang sama. Naskah-naskah kitab suci yang
paling kuno, sebagaimana didiskusikan di atas, mendukung
kepercayaan Islam bahwa sebagaimana semua nabi dan raja-raja
Daud adalah christos, demikian pula dengan Yesus. Kesimpulan
bahwa tidak ada raja atau nabi tertentu yang dapat memiliki
label yang unik, terpisah dan bebeda dengan orang lain yang
memiliki gelar yang sama, bukanlah hal yang tidak masuk akal.

Salah satu arahan menarik dari agama Islam adalah agar umat
manusia menjadi jujur dan menghindari ekstrimisme. Dalam hal
ini, memberikan ijin kepada kesusastraan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan harus dihindari. Terjemahan yang jujur
harus dapat mencegah bias-bias prasangka doktrin. Sebuah
naskah yang dipercaya sebagai wahyu Tuhan tidak boleh
disesuaikan dengan hasrat pribadi atau sektarian. Naskah seperti
ini harus dipegang dengan penuh penghormatan, dan
diterjemahkan dengan penuh keimanan. Dan tantangan bagi
umat manusia selalu terletak pada hal ini – agar orang-orang
yang beriman membawa kehidupan mereka kepada kebenaran
dan bukan sebaliknya. Konsep ini, melingkupi pengakuan
terhadap Yesus dan bersikap waspada terhadap ekstrimisme
dalam beragama, yang dengan jelas diungkapkan dalam surah
4:171 pada kitab suci Alquran:

Wahai Ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam


agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah
kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam
itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-
Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan
tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan
rasul-Nya (QS 4:171)

BAB 5 KELAHIRAN DARI SANG PERAWAN

Seorang bayi adalah pendapat Tuhan bahwa hidup harus


berjalan.
-Carl Sandburg, Remembrance Rock

Dan pada kasus Yesus, seorang bayi merupakan determinasi


Tuhan bahwa proses turunnya wahyu harus berjalan.

Faktanya adalah umat Yahudi, dan juga beberapa gereja Kristen


“progresif”, menyangkal bahwa kelahiran dari sang perawan
merupakan sesuatu yang mengejutkan, karena Perjanjian Lama
telah meramalkan, “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan
memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang
perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang
anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” (Yesasya
7:14) Apakah ayat ini merujuk kepada Yesus Kristus ataukah
sebuah ciptaan Tuhan yang lain jangan dijadikan inti
permasalahan. Faktanya adalah kelahiran dari sang perawan
telah diramalkan, dan hal ini diramalkan di dalam konteks
sebagai sebuah tanda keilahian. Jadi, penyangkalan terhadap
sebuah legitimasi nabi berdasarkan hal ini menjadikannya
sesuatu yang sangat labil.

Sudut pandang Kristen mainstream telah sangat diketahui, dan


agama Islam sangat mendukung sudut pandang ini. Islam
mengajarkan bahwa sebagaimana Tuhan menciptakan Adam
hanya dari tanah liat, Ia menciptakan Yesus tanpa seorang ayah
biologis sebagai tanda untuk manusia - bahwa ini adalah sebuah
awal mula dari status Al Masih yang akan terjadi. Surat 19:17-
22 mendeskripsikan Maryam menerima kabar baik mengenai
anak laki-lakinya sebagai berikut:

Lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka;


lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia
menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang
sempurna.
Dia (Maryam) berkata, “Sungguh, aku berlindung kepada Tuhan
Yang Maha Pengasih terhadapmu, jika engkau orang yang
bertakwa.”
Dia (Jibril) berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah utusan
Tuhanmu, untuk menyampaikan anugerah kepadamu seorang
anak laki-laki yang suci.”
Dia (Maryam) berkata, “Bagaimana mungkin aku mempunyai
anak laki-laki, padahal tidak pernah ada orang (laki-laki) yang
menyentuhku dan aku bukan seorang pezina!”
Dia (Jibril) berkata, “Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, “Hal
itu mudah bagi-Ku, dan agar Kami menjadikannya suatu tanda
(kebesaran Allah) bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami;
dan hal itu adalah suatu urusan yang (sudah) diputuskan.”
Maka dia (Maryam) mengandung, lalu dia mengasingkan diri
dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.

Umat Islam meyakini bahwa melalui kelahiran Yesus yang


penuh mukjizat, Allah memperlihatkan kelengkapan dari
kekuatan kreatifNya dalam hal umat manusia, dengan
penciptaan Adam tanpa seorang ayah dan ibu, Hawa dari
seorang laki-laki tanpa seorang ibu, dan Yesus dari seorang
perempuan tanpa seorang ayah.

BAB 6 YESUS DIPERANAKKAN?

Mencipta adalah sebuah keilahian, bereproduksi adalah


manusiawi.
-Man Ray, Originals Graphic Multiples

Umat Kristen awam telah menerima doktrin-doktrin Yesus


sebagai keanakan ilahiyah dan ”diperanakkan, tidak diciptakan”
untuk sekian lama sampai doktrin ini telah berada jauh dari
kritikan. Sampai 3 abad yang lalu, pandangan-pandangan yang
berbeda ditekan dengan cara-cara yang menyeramkan yang
menyebabkan tantangan intelektual terhadap sudut pandang ini
menjadi tenggelam. Hanya baru-baru ini saja masyarakat Barat
terbebaskan dari opresi keagamaan, yang memungkinkan
adanya pertukaran pendapat secara bebas. Tidak demikian
halnya dengan negara-negara Muslim, di mana doktrin-doktrin
Kristen ini telah ditentang secara terbuka sejak turunnya kitab
suci Alquran, 1400 tahun yang lalu.

Pemahamam Islam adalah bahwa “beranak”, yang didefinisikan


dalam Merriam Webster’s Collegiate Dictionary sebagai
“berkembang biak dari ayah,” merupakan sebuah aksi fisik yang
menyiratkan adanya elemen duniawi berupa hubungan badan –
sebuah karakter hewani yang begitu rendah dibandingkan
dengan keagungan sang Pencipta. Jadi apa sebenarnya arti
“diperanakkan, bukan diciptakan”? Penasfiran selama hampir
1700 tahun telah gagal memberikan sebuah penjelasan yang
lebih masuk akal dari pernyataan aslinya, sebagaimana
dinyatakan pada Kredo Nicea. Yang mana hal ini bukan berarti
bahwa Kredo Nicea sendiri merupakan hal yang masuk akal,
akan tetapi karena penjelasan selain dari Kredo Nicea malah
semakin tidak dapat dimengerti. Kredo itu mencatat bahwa,
“kami beriman pada Tuhan yang satu, Yesus Kristus, satu-
satunya Anak Tuhan, yang secara abadi diperanakkan sang
Bapa, Tuhan dari Tuhan, Cahaya dari Cahaya, Tuhan
sebenarnya dari Tuhan yang sebenarnya, tidak diciptakan, yang
satu dalam keberadaan dengan sang Bapa…”

Pertanyaan yang telah diajukan sebelumnya, “Bahasa macam


apa ini?” jika ada orang yang dapat menjelaskan pernyataan di
atas pada level di mana seorang anak kecil dapat mengerti, dan
bukan karena dipaksa untuk membabi buta mempercayainya,
maka mereka akan berhasil di atas kegagalan orang lain dalam
menjelaskan hal ini. Kredo Atanasia yang sering dibacakan,
yang dibuat sekitar seratus tahun setelah Kredo Nicea, memiliki
berbagai kerumitan yang sangat mirip sampai-sampai
Gennadius, patriak dari Konstantinopel, “sangat terbelalak
dengan komposisi yang sangat aneh ini, sampai-sampai ia secara
jujur mengatakan bahwa Kredo ini merupakan hasil karya orang
yang sedang mabuk.”

Tantangan lain muncul. Jika Yesus merupakan “satu-satunya


Anak yang diperanakkan oleh Tuhan,” lalu siapakah David?
Jawabnya: Mazmur 2:7 – “Ia berkata kepadaku engkau! Engkau
telah Kuperanakkan pada hari ini.” Jadi Yesus adalah “satu-
satunya anak yang diperanakkan Tuhan,” lalu bagaimana
dengan David yang “diperanakkan” sedikitnya 40 generasi
sebelumnya? Label ‘misteri keagamaan’ mungkin tidak akan
memuaskan semua pemikir bebas.

Di hadapan konflik semacam ini, seorang yang rasional


mungkin akan bertanya apakah Tuhan tidak dapat dipercaya
(sebuah kemustahilan), atau apakah Injil mencakup berbagai
kesalahan (sebuah kemungkinan besar, dan jika ya, bagaimana
seseorang dapat mengetahui elemen mana yang benar dan
elemen mana yang salah?). Tapi baiklah, mari kita memikirkan
sebuah kemungkinan ketiga – bahwa sebuah kredo yang tidak
tepat telah dibangun di putaran nukleus ucapan sehari-hari yang
suci.
Satu tantangan yang sangat membingungkan berada di sekitar
kata monogenes/monogen. Ini adalah satu-satunya kata di dalam
naskah-naskah Injil Yunani kuno yang memiliki terjemahan
“satu-satunya yang diperanakkan.” Kata ini muncul 9 kali di
dalam Perjanjian Baru, dan terjemahan kata ini di dalam Injil
dan Surat Pertama dari kitab Yohanes membentuk fondasi dari
doktrin “diperanakkan, bukan diciptakan”. Dari 9 kemunculan
kata ini, monogenes muncul 3 kali di kitab Lukas (7:12, 8:41,
dan 9:38), tapi selalu merujuk kepada individu-individu selain
Yesus, dan tidak ada dari kata ini yang diterjemahkan menjadi
“satu-satunya yang diperanakkan.” Itu saja sudah menimbulkan
tanda tanya. Seseorang akan secara rasional mengharapkan
terjemahan tanpa bias untuk membuat kata Yunani yang sama
ke dalam kata bahasa Inggris yang sesuai dalam keadaan
apapun. Sudah jelas bahwa hal ini tidak terjadi, akan tetapi,
seseorang pasti akan berharap demikian…

Hanya Yohanes yang memakai kata monogenes untuk Yesus.


Kata ini dutemukan di 5 dari 6 kejadian di Perjanjian Baru yang
tersisa, di antaranya Yohanes 1:14, 1:18, 3:16 3:18, dan Surat
Pertama dari Yohanes 4:9. Yohanes 3:16 berbunyi, “Karena
begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal…” Mungkinkah
elemen doktrin gereja yang sedemikian krusial diabaikan oleh
ketiga penulis Injil lain dari pencatatannya? Injil Yohanes
sendiri tidak benar-benar mengusir keragu-raguan yang
menghantui ketika ketiga Injil lain dengan mencolok menutup
mulut mengenai hal ini. Dengan cara melakukan perbandingan,
kita dapat lihat bahwa ke 4 penulis Injil sepakat bahwa Yesus
menaiki seekor keledai (Matius 21:7, Markus 11:7, Lukas 19:35,
dan Yohanes 12:14), yang mana dalam hal ini akan banyak
orang yang merespon dengan ungkapan “siapa juga yang
peduli?” akan tetapi mungkinkah 3 dari ke 4 penulis Injil
tersebut gagal untuk mendukung prinsip kritis “diperanakkan,
bukan diciptakan” dari agamanya? Pasti banyak yang akan
berpikir bahwa hal ini benar-benar menunjukkan minimnya
keseimbangan dalam memberikan prioritas.
Itupun jika doktrin itu memang benar adanya.

Jadi 3 dari 9 kata monogenes yang muncul di dalam Perjanjian


Baru terdapat di Injil Lukas, yang merujuk kepada orang selain
Yesus, dan kata ini juga muncul di mana kata ini secara selektif
diterjemahkan dengan salah. Kata yang muncul dari urutan ke 4
sampai 8 ditemukan di Injil dan Surat Pertama Yohanes, dan
ditulis untuk mendeskripsikan Yesus. Akan tetapi
kemunculannya yang ke 9 menjadi sangat bermasalah, karena
“Ishak disebut sebagai monogenes di Ibrani 11:17.”

Kita digiring untuk mempertanyakan akurasi Injil di sini, karena


Ishak tidak hanya merupakan satu-satunya yang diperanakkan
oleh Abraham. Bagaimana mungkin, jika Ishmael dilahirkan 14
tahun sebelumnya? Dibandingkan dengan Kejadian 16:16 –
“Abraham berumur delapan puluh enam tahun, ketika Hagar
melahirkan Ismael baginya” – dengan Kejadian 21:5 – “Adapun
Abraham berumur seratus tahun, ketiha Ishak, anaknya, lahir
baginya” – di sini terlihat perbedaan umur Abraham. Hal ini
dikonfirmasi di Kejadian 17:25, yang memberitakan kepada kita
bahwa Ishmael dikhitan di usianya yang ke 13 tahun, satu tahun
sebelum kelahiran Ishak. Lebih dari itu, Ishmael dan Ishak
sama-sama hidup lebih lama dari ayah mereka, Abraham,
sebagaimana dicatat di Kejadian 25:8-9. Jadi bagaimana
mungkin Ishak pernah, dalam saat manapun, menjadi “satu-
satunya anak laki-laki yang diperanakkan” oleh Abraham?

Pembelaan awam dalam hal ini adalah penegasan bahwa


Ishmael adalah anak yang lahir sebagai hasil dari hubungan
terlarang antara Abraham dan Hagar, yang merupakan budak
perempuan Sarah. Oleh sebab itu Ishmael merupakan anak
haram dan tidak masuk hitungan.

Tidak ada cendekia serius di dunia ini yang dapat sepakat


dengan pembelaan semacam ini, dan penolakan ini dilakukan
dengan alasan yang tidak main-main. Pertama-tama, Ishmael
adalah anak yang diperanakkan Abraham, tanpa mamandang
status kelahiran Ishmael sah atau tidak. Validasi yang lebih
konkrit lagi dari status Ishmael sebagai anak sah Abraham
adalah mudah saja, bahwa Tuhan mengenalnya sedemikian
rupa, sebagaimana ditunjukkan di Kejadian 16:11, 16:15, 17:7,
17:23, 17:25, dan 21:11. Dan jika Tuhan mengenal Ishmael
sebagai anak Abraham, punya dasar apa kita sebagai manusia
untuk tidak sepakat dengan hal tersebut?

Tapi manusia memang pada dasarnya suka berdebat, jadi


dengan melihat semua sudut pandang seseorang harus
menyadari bahwa poligami merupakan sebuah praktek yang
diterima menurut hukum-hukum di dalam Perjanjian Lama.
Contoh-contoh lain termasuk Rachel, Leah dan budak-budak
mereka (Kejadian 29 dan 30), Lamech (Kejadian 4:19), Gideon
(Hakim-hakim 8:30), Daud (Samuel 5:13) dan pola dasar dari
pluralitas perkawinan, Solomon (1 Raja-raja 11:3). Oxford
Dictionary of the Jewish Religion menulis bahwa poligami
diijinkan dalam hukum-hukum Perjanjian Lama, dan dikenal
sebagai praktek yang sah oleh para rabi. Encyclopedia Judaica
mengamini bahwa praktek poligami yang umum dilakukan oleh
kalangan menengah keatas di periode Injil. Poligami dilarang di
kalangan Yahudi Ashkenazi pada abad ke 10, akan tetapi
prakteknya tetap dilakukan oleh sebagian Yahudi Sephardi,
bahkan di Israel sekalipun, para kepala rabi baru secara resmi
melarang praktek ini di tahun 1950 an, dan karena butuh waktu
ribuan tahun untuk menulis ulang hukum-hukum Musa, kita
memiliki alasan kuat untuk percaya bahwa peraturan di atas
lebih dimotivasi oleh politik ketimbang agama.

Jadi kesimpulan apa yang bisa kita tarik ketika Kejadian 16:3
menyatakan, “Jadi Sarai, isteri Abram itu, mengambil Hagar,
hambanya, orang Mesir itu – yakni ketika Abram telah sepuluh
tahun tinggal di tanah Kanaan – lalu memberikannya kepada
Abram, suaminya, untuk menjadi isterinya” (maksud tulisan
miring)? Mungkin poligami akan menyinggung sensitifitas
Barat, biarkan saja. Intinya di sini adalah menurut hukum-
hukum di masa Abraham, Ishmael adalah anak sah.

Hanya sekedar untuk tujuan debat, mari kita lupakan semua itu
(sebagaimana dilakukan banyak orang) dan mari kita katakan
bahwa Hagar adalah selir Abraham. Bahkan klaim itupun
memiliki jawaban tersendiri. Menurut hukum Perjanjian Lama,
selir secara legal diijinkan untuk dimiliki, dan anak-anak mereka
memiliki hak yang sama. Menurut Dictionary of the Bible
karangan Hasting, “Tidak terlihat sama sekali adanya
inferioritas pada posisi selir dibanding dengan posisi istri, dan
tidak juga terdapat ide-ide mengenai keharaman, dalam
pembahasaan kami, sehubungan dengan anak-anak mereka.
Jacob M. Myers, professor di Lutheran Theological Seminary
dan seorang cendekia Perjanjian Lama yang sangat dikenal,
memberi komentar dalam bukunya yang berjudul “Invitation to
the Old Testament/ Ajakan kepada Perjanjian Lama”:

Penemuan-penemuan arkeologi membantu kita untuk mengisi


detil-detil dari narasi Injil dan untuk menjelaskan banyak
rujukan yang tidak jelas dan adat istiadat aneh yang merupakan
hal yang lumrah dilakukan pada jaman Abraham. Contohnya,
seluruh rangkaian praktek yang berhubungan dengan kelahiran
Ishmael dan selanjutnya perlakuan terhadap Hagar,
ibunya…semua itu merupakan hal yang terjadi sehari-hari yang
diatur oleh hukum.
Kontrak perkawinan Nuzi menyatakan bahwa seorang istri yang
mandul boleh mengambil seorang perempuan dari negaranya
dan menikahkannya dengan suaminya dalam rangka
memperoleh keturunan. Tetapi dia tidak boleh mengusir anak
anak yang kemudian lahir walaupun pada akhirnya istri mandul
tersebut melahirkan anaknya sendiri. Anak yang lahir dari
seorang budak memiliki status yang sama dengan anak yang
dilahirkan oleh sang istri.

Kembali ke sudut pandang Alice in Wonderland, apa yang lebih


masuk akal? Apakah Tuhan akan mendesain seorang nabi untuk
melanggar perintah-perintah yang Ia berikan sebagai sang
Pencipta? Apakah Tuhan akan mengirim seorang nabi dengan
pesan “lakukan apa yang aku katakan, jangan lakukan apa yang
aku lakukan”? Apakah tidak lebih masuk akal jika Abraham
bertindak sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku pada masa
hidupnya dengan berhubungan dengan Hagar dalam hubungan
yang sah secara hukum?

Dengan bukti-bukti di atas, hubungan orangtua Ishmael adalah


hubungan yang sah, Tuhan mendukung Ishmael sebagai anak
laki-laki Abraham, dan hal ini menjadikan Ishmael sebagai anak
laki-laki pertama yang diperanakkan. Lihat kata Ishmael di
dalam New Catholic Encyclopedia (rujukan dari orang-orang
yang akan paling menentang dasar-dasar ideologi dalam rangka
mencari jawaban atas misteri ini), dan di sana akan ditemukan
sebuah kesepakatan sebagai berikut: “Ismael (Ishmael), anak
Abraham, anak sulung Abraham…”

Jadi apa yang harus kita simpulkan dari buku-buku Ibrani yang
menggunakan kata monogenes untuk menggambarkan Ishak
sebagai satu-satunya anak laki-laki yang diperanakkan oleh
Abraham? Sebuah metafora, kesalahan penerjemahan, atau
sebuah kesalahan? Jika hal ini adalah sebuah metafora, maka
interpretasi harfiah dari kata monogenes sehubungan dengan
Yesus tidak dapat dipertahankan. Jika itu adalah sebuah
kesalahan penerjemahan, maka baik penerjemahan yang salah
itu, maupun doktrin itu sendiri harus dikoreksi. Akan tetapi jika
itu merupakan sebuah kesalahan, maka muncul sebuah
tantangan yang lebih besar lagi – merekonsiliasi kesalahan Injil
dengan bebasnya Tuhan dari berbuat salah.

Masalah ini membutuhkan sebuah resolusi, dan terjemahan Injil


yang paling disegani (misalnya Versi Standar yang Direvisi,
atau Versi Standar Revisi Baru, Versi Internasional Baru, Injil
Kabar Gembira, Injil Bahasa Ingris Baru, Injil Yesusalam dan
lainnya) telah menjelaskan “diperanakkan” sebagai sebuah
interpolasi (pemasukan sesuatu hal ke dalam sesuatu hal yang
lain) dan telah tanpa basi-basi menghapuskan kata tersebut dari
naskahnya. Dengan melakukan hal ini, mereka telah
mempersempit celah antara teologi Kristen dan Islam, karena di
dalam kitab suci Alquran disebutkan, “Dan tidak mungkin bagi
(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak” (QS 19:92), dan
“(Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan” (QS
112:3).

Anda mungkin juga menyukai