Anda di halaman 1dari 15

Model mutualitas yang dalam hal ini berhubungan dengan pandangan tentang

Yesus, bagi teologi agama – agama merupakan hal yang sangat inovatif maupun
kontroversial. Pembahasan kali ini berakhir pada pada citra tentang Yesus. Bagi semua
umat kristiani, citra demikian terasa menyegarkan, namun bagi yang lain terasa
terganggu. Oleh karena itu wawasa kita akan fokus sekitar Yesus dan akan diupayakan
meringkas mengenai beberapa implikasi atau tantangan dari berbagai gambaran
tentang Yesus yang dibahas dalam bagian ini.

Sesuai dengan cara model mutualitas memahami Yesus, kita bisa menemukan
empat masalah atau tantangan utama. Pertama yaitu kebutuhan akan erbagai jawaban
baru, kedua yaitu Yesus sebagai sakramen daripada kepuasan, ketiga merupakan
kristologi Roh, dan terakhir yaitu apa yang disebut kristologi mutualitas

A. Kebutuhan akan jawaban baru

Kebutuhan akan jawaban baru ini merupakan tantangan yang termasuk paling tajam
dari model mutualitas. Dilihat dai pernyataan yang diberikan Yesus kepada para
muridnya yang masi terus mereka usahakan untuk dijawab, "Tetapi apa katamu,
siapakah Aku ini?" (Mrk 8:29), menuntut jawaban baru - jawaban yang kreatif dan jelas
dalam menghadapi berbagai pertanyaan baru dan juga tetap setia pada visi orisinial
koimunitas Kristiani tentang Yesus. Kebutuhan akan sesuatu yang benar-benar baru
dirasakan umat Kristiani di dalam semua model yang sudah paparkan sebelumnya.
Bahkan umat Kristiani yang konservatif dalam Model Paggantian dan umat Kristiani alur
utama dalam Model Pemenuhan merasakan adanya ketegangan antara, di satu pihak,
kebutuhan untuk menghormati, mengasihi dan berdialog dengan umat beragama lain
dan, di pihak lain, anggapan tradisonal umat Kristian bahwa Yesus adalah Anak Allah
dan Juru Selamat satu-satunya. Ada sesuatu yang tidak cook di sini. Ada semacam
ketegangan antara apa yang umat Kristiani alami di dalam agama-agama dan apa yang
harus mereka yakini tentang Yesus

Para penganut model mutualitas berpendapat bahwa berbagai ketegangan ini tidak
bisa diatasi kecuali umat kristiani bersedia berevisi apa yang dianggap oleh banyak
orang tidak bisa direvisi yaitu anggapan bahwa Yesus adalah sumber keselamatan
Allah satu-satunya dan kata akhir dari kehendak Allah bagi manusia dan dunia ini, ini
merupakan satu tantangan yang diberikan Allah bagi umat Kristiani yiatu suatu
tantangan yang datang dari suara Roh Allah sendiri yang didengar oleh umat Kristiani di
dalam agama – agama lain. Seorang penganjur revisi ini secara dramais mengatakan
bahwa apakah Yesus ju satu-satunya juru selamat dan ini menjadi masalah yang
berkaitan dengan kredibilitas agama Kristiani yang akan ditentukan bagi banyak orang,
yang Kristiani maupun yang non-Kristiani.

Selama berabad-abad, khususnya di dalam gereia perdana, telah terjadi pergeseran


- ada yang seismik – dalam pemahaman Kristiani tentang Yesus, baik pribadi maupun
karyany a. Bergeser dari citra Yesus sebagai nabi terakhir ke Yesus sebagai Tuhan,
atau dari Yesus sebagai Musa yang baru ke Yesus sebagai Ana Allah satu-satunya,
bukan langkah yang kecil bagi komunitas Kristian perdana. Ada "banyak krictologi",
banyak cara memahami Yesus - beragam bunga sat bibit man yang sama ditanam di
dalam lahan budaya yang berbeda-beda. Berbagai pemanaman mula-muia tentang
Yesus (misalnya pandangan Markus tentang Yesus sebagai hamba yang menderita)
kelihatannya "biasa saja", sedangkan yang datang kemudian (misalnya gambaran
Yohanes tentang Yesus sebagai Logos dan Anak satu-satunya) lebih eksklusif sifatnya.
Namun, hal in bukan berarti yang terdahulu digantikan oleh yang kemudian.

Inilah sebabnya ada sementara teolog yang berpendapat bahwa untuk melangkah
ke apa yang mereka sebut pemahaman "biasa saja" tentang peranan Yesus.aka berarti
kembali lagi ke peahaman semula yang orisinal tentang Yesus yang dipahami oleh
komunitas Kristiani perdana. Menurut mereka, tidakla benar kalau umat Kristiani tetap
berpegang pada pemahaman “absolutis” atau “satu-satunya” tentang perannan Yesus
sejak mula pertama. Dalam komunitas yang tertua, masalah apakah Yesus adalah
satu-satunya Jurus selamat merupakan “masalah selera yang sama sekali tidak
penting”.

Banyak. penganut Kristiani masa kini seperti yang terlihat di bagian ini, bersikeras
bahwa bukan citra alkitabiah tradisional Yesus seperti "Anak Allah satu-satunya" atau "
mediator salu saturya" dibuang tetapi bahwa pengertiannya, khusus menyangkut
implikasinya, dipahami secara berbeda. seperti telah dibahas sebelumnya, ada yang
mengusulkan agar ungkapan satu-satuny:" dianggap sebagai bahasa kasih yang
bermaksud memperteguh pentingnyaa Yesus, namun bukan berarti harus menyangkali
yang lain. Yang lain memahami Ungkapan "satu-satunyna sebagai penunjuk pada apa
yang khusus tentang Yesus yaitu pada apa yang telah begitu jelas dan dengan
provokatif teiah dinyatakan oleh Allah di dalam Yesus lebih daripada di dalam tokoh
lainnya (misalnya kepedulian khusus Allah terhadap mereka yang menjadi korban)
pemahaman seperti ini memberi kesempatan kepada Buddha untuk menyandang
ungkapan satu-satu-nya dari berbagai kebenaran universal yang ditemukan secara
lebih jelas daripada ara mistik lainnya (misalnya keterhubungan semua hal). Dari
prespektif ini, secara paradox, bisa terdapat banyak “satu-satunya” yaitu banyak
ungkapan unik tentang kebenaran ilahi, banyak penyataan khusus dan menonjol di
dalam berbagai agama yang berbeda. Semuanya berbeda satu sama lain, namun
semuanya mampu berbicara satu sama lain saling meningkatkan, menjelaskan,
mengimbangi, dan mengoreksi. Ini adalah isi dari dialog dengan banyak “satu-satunya.

Kristologi Roh

Tantangan berikutnya yang ada dalam pemahaman Model Mutualis terhadap


Yesus muncul dari pandangan terhadapnya sebagai sakramen keselamatan; alasan
mengapa Yesus begitu sungguh-sungguh, tanpa henti, menyatakan kekuatan universal
dari kasih Allah adalah karena ia memang dipenuhi Roh. Seperti pandangan seorang
Penganut Model Mutualis yakni John Hick, ia mendorong sesama umat Kristiani untuk
menggunakan kristologi Roh yang kaya ini agar bisa mengimbangi, atau mungkin juga
mengoreksi, berbagai akses dari apa yang disebut kristologi Logos yang dominan. Di
dalam kristologi Logos, atau Firman, kealahan Yesus digambarkan sesuai cara Firman
Tuhan, atau pesona kedua Trinitas, disatukan dengan kemanusiaan Yesus.

Dengan Kristologi Roh, umat Kristiani dapat mengimbangi berbagai kekurangan


dalam pemahaman Yesus hanya sebagai inkarnasi firman. kalau kellahan Yesus lebih
dipahami dalam hubungan dengan pemberdayaan oleh Roh, umat Kristiani umumnya
akan lebih mudah memahami bagaimana ia, baik ilahi maupun manusia, dan mengapa
mereka dipanggil untuk meneladaninya. Roh tidak menggantikan kemanusiaan Yesus,
malah memberdayakannya – yaitu menuntun, menguatkan, dan memberi pencerahan
kepada manusia Yesus. Inilah Roh yang sama, sesuai tradisi Kristiani, yang hadir
diseluruh dunia, yang memberdayakan semua orang. Umat Kristiani yakin bahwa
Yesus mewujudkan Roh ini dengan cara yang unik dan menonjol karena ia sangat
terbuka dan terbiasa dengan Roh ini. Visi dan berbagai pilihannya merupakan
kepunyaan Roh. Ia adalah teladan dan jaminan bagi semua orang.

Tetapi hal itu terjadi dalam hubungan dengan agama-agama lain dimana
kristologi Roh ini bisa memberi arti khusus kepada umat Kristiani. Roger Haight, salah
seorang penganut utama kristologi ini, memberikan kejelasan dan kepastian: pada satu
pihak, kristologi Roh menerangkan tentang normativitas (tantangan dan arti) dari Yesus
kepada manusia pada umumnya. Karena Yesus yang diberdayakan oleh Allah sebagai
Roh menawarkan keselamatan yang benar, yang relevan, dan karena itu normatif. Di
pihak lain, seperti yang disaksikan oleh firman Agama Yahudi, dan Kristiani, Allah
sebagai Roh telah hadir dan berkarya di dalam dunia untuk keselamatan manusia sejak
“awal mula”, tanpa hubungan kausal dengan permunculan historis Yesus. Kristologi
Roh, dengan mengakui bahwa Roh itu berkarya di luar lingkungan Kristiani, terbuka
untuk berbagai mediasi Allah lainnya. Roh disebarkan secara luas dan tidak perlu
menyangka bahwa Allah sebagai Roh dapat berinkarnasi hanya sekali dalam sejarah.

Kalau Haight mengatakan bahwa Roh telah berkarya di seluruh dunia “tanpa
hubungan kausal dengan pemunculan historis Yesus”, ia tidak menyangkal adanya
hubungan esensial antara Roh universal dengan Yesus. Namun, ia berpendapat bahwa
apa yang Roh lakukan di dalam dunia dan di dalam agama-agama lain itu terbebas dari
Yesus; karya Roh tidak bisa bertolak belakang dengan karya Yesus, namun Roh dapat
melampaui, atau paling kurang sangat berbeda dengan karya Yesus. Umat Kristiani
tidak bisa menganggap bahwa apa yang dilakukan dan disaksikan oleh Roh yang
melampaui Yesus secara terang-terangan menentang Yesus. Ini bukan berarti Roh
tidak bisa melampaui Yesus dan mengatakan sesuatu di dalam agama-agama lain
yang tidak dikatakan di dalam agama Kristiani.

Jadi, Haight sampai pada sebuah konklusi yang merampungkan semua yang
dikatakan oleh penganut Model Mutualis: kalau kita memahami adjektiva “normatif”
sebagai satu kebenaran yang memberi kita hak dan yang menantang kita, maka
kristologi Roh memampukan umat Kristiani memberitakan Yesus kepada dunia sebagai
“normatif”, namun bersamaan dengan itu, ia juga memampukan mereka untuk
mengakui bahwa “berbagai representasi Allah bisa secara universal normatif, dan
bahkan juga bagi umat Kristiani, bahkan yang menganggap Yesus secara universal
normatif”, atau: “Mediasi keselamatan Allah lain (agama-agama atau tokoh agama lain)
adalah atau bisa sejajar dengan Yesus Kristus.

Kristologi Mutualitas

Menghayati Yesus sebagai sakramen rahmat kasih dan keadilan Allah yang
dipenuhi Roh tidak hanya akan memampukan umat Kristiani mengakui kehadiran Roh
dalam umat beragama lain, tetapi juga akan menuntut mereka untuk mendengarkan,
belajar dari, dan karena itu terlibat dalam dialog dengan Roh itu. ini berarti bahwa
gambaran tentang Yesus yang dibuat oleh para penganut Model Mutualitas akan
menjadi sebuah kristologi mutualitas yang autentik - seorang Yesus yang meminta para
pengikutnya untuk berbicara kepada orang lain. Dalam pernyataan yang dibuat oleh
John B. Cobb Jr. : “Kristus adalah jalan yang terbuka bagi berbagai jalan lain”.
Douglass John Hall mengungkapkan keyakinan yang sama secara lebih pribadi “saya
dapat katakana tanpa ragu bahwa saya lebih terbuka kepada umat Yahudi dan Muslim
dan Sikh dan para humanis dan semua orang lain, termasuk mereka yang menyebut
dirinya sendiri sebagai ateis, karena Yesus, daripada saya harus terpisah darinya”.

Kalau umat Kristiani dapat dengan benar memberitakan kepada dunia bahwa
Yesus adalah Firman Allah, mereka harus ingat bahwa justru Firman itu bisa dipahami
hanya dalam dialog dengan berbagai Firman Allah lainnya. Seperti halnya sebuah kata
dapat dipahami dengan benar hanya dalam sebuah kalimat – yaitu dalam hubungan
dengan kata-kata lainnya, demikianlah juga Firman Tuhan di dalam Yesus hanya dapat
dipahami dalam semua kalimat yang membentuk cerita tentang Tuhan yang
berhubungan dengan manusia. Hal ini berarti bahwa bahwa umat Kristiani yang yakin
bahwa Firman Tuhan di dalam Yesus itu, “absolut” atau “definitif” harus, secara
paradoks, mengakui bahwa keabsolutan atau kedefinitifan itu “membutuhkan” yang lain
dan bahwa keyakinan itu bisa demikian kalau yang lain itu didengarkan dan diajarkan.
“Sesungguhnya”, tetapi bukan “hanya” ini merupakan penjelasan pandangan
Model Mutualitas tentang Yesus, yang lebih pribadi dan mendasar. Sesungguhnya
Tuhan telah berbicara di dalam Yesus secara penuh, final, dan menantang secara
universal, tetapi Tuhan tidak akan melakukannya hanya di dalam Yesus. Oleh karena
itu, menjadi sebuah kebutuhan untuk memberitakan dan diberitakan.

PERTANYAAN

Menjalarnya Imperialisme?

Kritik utama terhadap Model Mutualitas ini adalah pada akhirnya model ini tidak
terlalu mutual. Tujuan utama untuk mengusahakan mutualitas terkadang menyebabkan
para penganutnya mengabaikan, atau bahkan menyelewengkan-diversitas. Umat
Kristiani yang menganut pendekatan ini begitu terfokus pada dialog dan kebersamaan
sehingga mereka tidak lagi melihat bagaimana berbedanya tiap agama. Bisa dikatakan
bahwa umat Kristiani yang mutualis ini begitu getol memelihara sebuah hutan agama-
agama sehingga mereka mengabaikan, atau bahkan memotong, beberapa pohon
individu. Dengan kata lain, umat Kristiani ini dalam mengusahakan dialog akhirnya
menjadi imperialis yang bertentangan dengan tujuan baik mereka, mengambil
keuntungan dari agama-agama lain untuk tujuan agung mereka sendiri dan untuk
kepentingan mereka sendiri. Menjalarnya imperialisme semacam ini menjangkiti Model
Mutualitas dalam dua cara: dalam cara para penganutnya bersiteguh menemukan asas
bersama yang memungkinkan terjadinya dialog; dan dalam cara mereka membuat
berbagai aturan dialog.

1. Mereka yang menyetujui model ini begitu yakin bahwa ada semacam alasan
bersama yang dibutuhkan untuk berdialog sehingga mereka sama sekali tidak dapat
melihat walaupun melalui celah kecil sekalipun, kemungkinan barangkali, hanya
barangkali, karena agama-agama itu memang begitu beragam sehingga tidak ada
alasan bersama di antara mereka. Seperti kata William Placher, salah seorang kritikus:
“Mereka tidak dapat menerima kemungkinan bahwa memang mungkin saja berbagai
agama itu berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain, dan tidak ada tolak ukur yang
dapat dipakai untuk menilai mereka kecuali dari sudut pandang satu agama atau yang
lainnya.” Dengan kata lain, agama-agama dunia, dalam apa yang mereka cari dan cara-
cara mereka mencarinya, bisa saja seperti apel dan jeruk, dan bukan apel yang
berbeda warna. Apa yang para penganut Model Mutualitas tolak untuk diakui adalah
kemungkinan akibat yang luar biasa bahwa berbagai agama, seperti kebanyakan
“benda” di dunia ini, memang lebih banyak perbedaan daripada persamaan. Para
kritikus meminta para teolog mutualis untuk mengakui kesalahan dan menerima
kenyataan bahwa semua agama dimulai dari semacam posisi absolut pemberian Allah.
2. Cara kedua dalam Model Mutualis adalah sikap dimana para penganutnya
mempersiapkan lahan untuk berdialog. Ada umat Kristiani yang fanatik terhadap dialog
sudah menyusun satu “dekalog untuk dialog” yang berisi berbagai hukum yang jelas
dan diterima semua orang: tidak boleh ada yang tersisih; tiap orang harus mau belajar
sebanyak yang diajarkannya; semua harus mengakui bahwa selalu ada lebih banyak
untuk dipelajari; dan karena itu tidak boleh ada yang memaksakan anggapan absolut
atau definitif apa pun saat berdialog. Di sini para kritikus melakukan intervensi, lagi-lagi
para teolog mutualis masih senang namun membahayakan karena mereka tidak sadar
bahwa sebagian “aturan” atau “dekalog” itu berasal dari perspektif agama atau filsafat
mereka.

Kebanyakan agama dibentuk berdasarkan kebenaran-kebenaran tertentu yang


mereka yakini diberikan oleh Tuhan; kebenaran-kebenaran ini dirasakan sangat
superior atas segalanya, atau paling kurang merupakan palang yang dibawahnya harus
dilalui semua kebenaran-kebenaran agama lainnya. Tiap agama memiliki “yang
membuat lain cemburu” atau “yang tak ternegosiasi” yang tidak pernah bisa
ditinggalkan atau diperdebatkan antar agama.

Wiliam Placher pernah meminta rekan-rekannya para teolog yang disebut dalam
bab ini untuk merenungkan bagaimana, dengan mengesampaikan semua anggapan
eksklusif dalam dialog mereka sendiri menjadi para eklusivis. Mereka menutup diri
terhadap mereka yang menutup diri terhadap orang lain. “saya umumkan bahwa saya
bersedia menerima pandangan anda dengan serius. Kalau anda tidak bersedia
melakukan hal yang sama, berarti saya ‘terbuka’ dan Anda ‘tertutup’, jadi berarti saya
tidak harus menerima pandangan dengan serius”. Karena tidak satu pun yang akan
membuat anggapan eksklusif atau absolut, “hasilnya adalah umat kristiani evangelical,
umat Yahudi Hasidik, dan umat Muslim tradisional, dan sebagainya tidak memenuhi
syarat untuk terlibat dalam dialog karena mereka tidak bersedia menerima aturan main,
aturan yang muncul dari tradisi akademis Barat modern”.

Kata-kata terakhir diatas menunjuk pada aspek yang lebih dalam dari agenda
imperialis yang tersembunyi dibelakang wajah ramah Model Mutualitas. Umat Kristiani
yang mutualis pasti tidak bersedia menjadi misionaris yang maksud utamanya adalah
menjadikan orang lain Kristiani; padahal mereka merupakan misionaris dari Injil budaya
Barat yang berusaha menjadikan semua agama menerima berbagai kebenaran yang
“sudah-jelas” dari pencerahan abad ke-18. Ketika para kritikus Model mutualitas ini
meniliti batu-batu fondasi dari ketiga jembatan yang telah dibahas dalam bagian ini,
mereka menemuka bahwa semuanya” diproduksi di Eropa atau Amerika”. Semuanya
merupakan bagian dari apa yang disebut “Modernitas”- berbagai keyakinan budaya
yang dibuat ketika Immanuel kanuaan dari” pemikiran keras” dan “analisis historis”.

Membuat daftar semua itu mungkin menggoncangkan para “pemikir modern” untuk
sadar bahwa tidak satu pun dari “kebenaran yang-sudah-jelas” ini bisa dibuktikan – jadi
harus diyakini berdasarkan iman:

 Bahwa kalau ada sesuatu yang tidak terbatas, maka maka akan tersedia bagi
semua agama, namun tidak bisa dihayati secar penuh atau secara final oleh
salah satu agama apa pun;
 Bahwa semua agama bersifat simbolis dan mitos;
 Bahwa waktu itu linier dan sejarah berjalan secara evolusi;
 Bahwa agar apa saja bisa menjadi benar-benar nyata harus didasarkan pada
sejarah;
 Bahwa hak-hak asasi individu mendahului semua hak lainnya;
 Bahwa “akta yang benar” (ortopraksis) mendahului” keyakinan yang benar “
(ortoduksi);
 Bahwa semua agama harus menegakkan keadilan dan memajukan kesejahtraan
manusia/ekologi
Gavin D’Costa, yang bersama S.Mark Heim menjadi salah seorang yang getol
memperingatkan akan adanya bahaya Model Mutualitas, menjelaskan: dengan
adanya berbagai pandanya baru yang memangil semua agama untuk bekerja sama
menuju pembentukan satu etika global, maka: “satu keharusan etika universal perlu
mendapat prioritas di atas metafisika dan agama…. Semua orang menjadi subjek
‘keharusan’ etikal ini, sebelum mereka menjadi anggota komunitas agama, dan nilai
keberadaan mereka didalam komunitas itu ditentukan oleh kemampuan mereka
mnyikapi keharusan etikal ini.” Keharusan etikal ini biasanya dinyatakan dalam
bentuk keadilan.

Ketakutan tentang imperialisme yang tersembunyi di jantung Model Mutualitas


menjadi mimpi buruk saat para kritikus mengatakan bahwa Injil yang diberitakan
oleh para mutualis kepada agama-agama lain bukan hanya berasal dari Barat, tetapi
juga dari berbagai kultur dan bangsa sebagian besar sudah mendominasi sebagian
besar dunia. Bahaya di sini adalah dengan memberitakan nilai-nilai kultural dan visi
dari penguasa yang dominan didunia, umat Kristiani ini, yang begitu menginginkan
dialog antara yang setara, mungkin tanpa sadar justru menebarkan status quo dari
dominasi. Kemungkinan semacam ini bisa berkembang menjadi probabilitas saat
diketahui, mungkin dengan penuh keheranan, betapa miripnya pesan yang
disampaikan Model Mutualitas dengan pesan yang berasal dari apa apa yang
disebut bangsa-bangsa Dunia Pertama.

Ada kritikus yang memperingatkan bahwa Imbauan baru untuk dialog yang
benar-benar mutualis dengan mudah bisa mengarah pada “Mc’Donaldisasi” dialog
itu sendiri. Kenneth Surin, yang sangat vokal dalam hal ini, membandingkan dialog
antara agama tipe baru ini dengan “Big Mac” yang merupakan semacam makanan
yang disukai diseluruh dunia, sesuatu yang dihargai dan dinikmati bersama, sesuatu
yang mengikat mereka semua. “Hamburger McDonald merupakan makanan
universal pertama.” Kata Surin, namun ia langsung tambahkan: “tetapi masyarakat-
apakah dari La Paz, Bombay, Kairo, atau Brisbane – yang memakan hamburger
McDonald juga memakan cara hidup Amerika.” Dengan cara mengonsumsi cara
hidup Amerika, mereka kehilangan cara hidup mereka sendiri dan akhirnya mereka
turut menyumbang, barangkali dengan keseganan namun benar-benar terjadi, pada
dominasi ekonomi dan budaya satu bangsa terhadap bangsa-bangsa lainnya.

Oleh karena itu, mengapa mereka atau kelompok yang berkuasa senang
berdialog. Dialog itu milik mereka: mereka dapat menguasainya.

Alat utama yang dipakai oleh berbagai kelompok yang memiliki priviese untuk
menutupi kedok hegemonim mereka adalah melalui satu bentuk bahasa yang
kontributif dan kooperatif, agar kelompok-kelompok semacam itu bisa meyakinkan
mitra dialog publik mereka bahwa semua suara setara, maka sedemikian itulah
dialog akan mengalihkan perhatian dari ketidaksetaraan distribusi kekuasaan yang
mendasari dialog itu.

Menjalarnya Relativisme?

Diantara berbagai kritik yang ditunjukan pada Model Mutualitas, ada sisi lain dari
peringatan terhadap imperialisme, yaitu: relativisme. Untuk Kristiani yang
mendorong diadakannya bentuk baru dialog semcam ini bukan hanya memaksakan
nilai-nilai Barat dan agenda mereka sendiri kepada orang lain, tetapi dialog
semacam ini akan menjadi tidak menarik dan membosankan! Membosankan karena
para penganutnya begitu getol mendorong semua orang untuk menyetujui apa yang
mereka miliki bersama sampai-sampai mereka kehilangan semua kemungkinan
untuk tidak menyutujui apa yang sebenarnya membuat merekeka berbeda.

Dalam meneliti lebih mendalam asa bersama yang dikemukakan oleh ketiga
jembatan untuk membangun teologi mutualitas itu, para kritikus mengungkapkan
bagaimana jembatan itu bisa menjadi pasir hanyut yang menyerap apa saja yang
jatuh kedalamnya. “Yang Nyata”, dari John Hick, yang tersembunyi dibalik semua
agama memanang sama-sama samar dan tidak berbentuk citra apa saja dari Ilahi
atau Tuhan yang bisa dibayangkan manusia. Pikiran Hick tentang “noumenon ilahi”
yang berada diluar jangkauan fenomena religius yang ditemukan dalam sejarah
begitu jauh berada diluar jankauan sehingga bisa saja disesuaikan dengan apa yang
bisa ditemukan. Hick sendiri mampu menyediakan tempat bagi “Yang Nyata” untuk
pemahaman persona maupun impersona dari yang terakhir atau menyediakan
tempat dari berbagai pendangan yang menganggap bahwa dunia ini nyata dan
mereka yang mengatakan ini hanya berada dalam agama-agama kita.

Raimundo Pannikar, walaupun sadar akan bahaya imperialisme, dinilai oleh para
kritikus sebagai yang sangat bersalah karena relativisme. Dengan mengatakan
bahwa yang banyak tidak dapat diletakan dibawah kontrol yang satu, dengan
mengatakan bahwa yang misteri yang ditemukan dalam semua agama bukan hanya
berada dipuncak gunung tetapi terdiri drai semua jalan menuju puncak, dengan
membiarkan “sang Kristus” memiliki sebanyak mungkin nama dalam berbagai
agama dunia.

Berbagai bahaya menuruni tebing licin relatiisme juga terlihat diantara mereka
yang mengunakan jembatan etikal – mereka yang khusus komit mengambil posisi
keras yang nonrelativis terhadap masalah-masalah keadilan dan perbaiakan
lingkungan serta kesejahteraan manusia. Apa yang sebenarnya dilupakan dalam
pendekatan etikal ini ialah bahwa bahkan kepedulian yang begitu agung seperti
“keadilan”, “kesejahtraan”, dan “tanggung jawab global” merupkan istilah-istilah ini
dipahami di dalam system atau agama tertentu, mereka bisa saja seperti bunglon
yang berubah warna dan pengertian yang berbeda-beda. Bahkan realitas seperti
penderitaan manusia bisa ditafsirkan dan disikapi secara berbeda tergantung
kacamata agama yang dipakai.

Semua ini menempatkan umat Kristiani mutualis dalam dilema. Agar bisa
menghindari relativisme, mereka harus memberi isi yang spesifik dan normatif pada
asas bersama. Namun setelah itu terjadi, mereka pada agama-agama lain.

Apakah ada jalan keluar dari dilema ini?

Ya, ada seperti yang akan dibahas dalam bagian berikut, para kritikus Model
Mutualitas menawarkan satu peringatan sederhana, yang yang juga merupakan
solusi terhadap dilema tersebut: semua peserta dalam dialog antar-agama selalu,
dalam pengertian tertentu, imperialis – dan itu memang baik! Solusi ini berakar
dalam satu fakta fundamental yang terkadang salah ditanggapi ; semua peserta
dialog menafsirkan yang lain menurut pengalaman agama masing-masing karena
semua melihat yang lain melalui kacamata agama mereka masing-masing. Selain
itu, para peserta dialog harus menyadari fakta lain : bawha semua, karena mereka
tekun beragama dan mendasari hidup mereka atas agama, membawah masalah-
masalah yang tidak bisah diubah, berbagai keyakinan tertentu kedalam dialog yang
mereka yakini – secara eksplisit atau implisit – sebagai superior, normatif, tempat
berdiri yang kokoh.

Jadi, dalam pemahaman dialog semacam ini, tiap orang siap untuk
mendengarkan yang lain juga dengan dua pengakuan penting: (a) semua peserta
berbicara dari dalam komunitas mereka sendiri-sendiri, dari pengalaman dan
keyakinan religius mereka, dan dibawah arahan dari Tuhan atau kebenaran yang
mereka temui dalam tradisi dan tulisan-tulisan suci; dan (b) semua percaya bahwa
apa yang telah mereka pelajari dari Tuhan akan memampukan mereka menemukan
asas bersama yang benar, kata akhir, dan ini akan membawah semua agama
kedalam satu persekutuan baru yang belum pernah dialami atau mungkin
dibayangkan sebelumnya.

Apakah Model Mutualitas Ini Benar-Benar Kristiani?

Beberapa pertanyaan terakhir menyangkut Model Mutualitas berhubungan


dengan apa yang dianggap oleh kebanyakan umat kristiani merupakan kekurangan
yang dianggap oleh kebanyakan Kristiani merupakan kekurangan yang sangat jelas
berbahaya – citra Yesus Kristus yang direvisi.

APAKAH MODEL MUTUALIS INI BENAR – BENAR KRISTIANI?

Beberapa pertanyaan terakhir menyangkut model mutualitas berhubungan


dengan apa yang dianggap oleh kebanyakan umat Kristiani merupakan kekurangan
yang sangat jelas dan berbahahaya – citra yesus kristus yang direvisi.

1. Apakah pandangan ini merupakan satu pengingkaran dari tradisi?


Berbagai usaha para teolog mutualis untuk menguraikan istilah “satu – satunya”
dari perjanjian baru menjadi “bahasa Kasih” dimaksudkan untuk menegaskan
pengakuan mereka kepada Yesus dan bukan meletakkannya pada kedudukan atau
posisi tertentu, atau anggapan mereka bahwa citra seperti “Anak Tunggal” atau
“seorang mediator” adalah simbol yang harus diterima namun tidak secara harfia,
atau pendapat mereka bahwa sekarang Yesus lebih baik dipahami sebagai nabi
Allah daripada Anak tunggal Allah. Dengan meyakini “Bahasa Kasih” dan berbagai
“simbol” tentang yesus secara serius – dengan menyebut namanya dan berdoa
kepadanya sebagai Anak tunggal Allah, salah satunya mediator, jalan satu –
satunya menuju Bapa, nama di atas segala nama – umat Kristiani bukan hanya
menyatakan kasihnya kepada Yesus. Mereka juga memberikan tempat yang
khusus, yang penting, yang menentukan, yang terakhir kepadanya di dalam apa
yang mereka percaya sebagai hubungan Allah dengan manusia. Mereka bersikeras
bahwa apa pun yang dilakukan Allah dalam sejarah di dalam agama – agama lain
berhubungan dengan, berakar dalam, dan harus dinilai dengan apa yang Allah
lakukan didalam Yesus.

Umat kristiani menggunakan bahasa simbol semacam itu, dengan semua


implikasi memberikan Yesus “Kedudukan”, didalam duni ayang sarat dengan agama
– agama lain. Umat Kristiani mutualis rupanya melupakan hal ini. Apa yang
dihilangkan atau dipendam dalam interpretasi yang dibuat oleh para mutualis yang
baru ini tentang keunikan Yesus ialah makna dan kontribusi agama kristiani
terhadap dialog antar-agama yang terdapat bukan hanya dalam pesanya, tetapi juga
dalam pribadi yang menyampaikan dan dalam pesan itu sendiri. Paus Yohanes
Paulus Il menentang pemisahan antara Kristus dan Yesus, kalau umat Kristiani
babersaksi bahwa "Yesus adalah Kristus", mereka dapat dan harus juga
memberitakan behwa "Kristus adalah Yesus" Tanpa Yesus tidak ada Kristus,
Walaupun kristus dan Roh bisa berkarya melampaui Yesus di dalam agama agama
lain, ke duanya tidak akan mungkin terlepas dari sumbernya di dalam Yesus. Para
pemimpin agama kristiani khawatir bahwa berbagai pandangan baru tentang Yesus
sebagai salah satu dari yang banyak ini tidak akan diterima dengan baik di antara
kebanyakan umat kristiani.
2. Apakaj berbagai pandangan baru tentang Yesus ini bias menopang spiritualitas
kristiani?

Para teolog mutualis yang telah kita dengar pandangannya dalam bagian ini
menyikapi masalah ini dengan mengatakan bahwa ketika seorang Kristiani memilih
untuk mengikuti Yesus, ia melakukan hal itu karena ia telah menemukan bahwa
Yesus sesungguhnya adalah Firman Tuhan. Mengalami Yesus berarti mengalami
satu panggilan atau kuasa yang menentukan dan mengartikan kehidupan ini;
pengalaman ini mengisyaratkan seseorang untuk berbuat dan hidup dalam cara
tertentu, sesuatu yang yang bersangkutan dengan berbagai sikap atau pandangan
dunia. Para penulis perjanjian Baru menyebutkan pertobatan. Monika Hellwig
memberi satu gambaran ringkas tentang pengalaman ini: untuk menjadi seorang
pengikut Kristus berarti seseorang telah memahami bahwa ia "membuat satu
perbedaan definitif dalam berbagai kemungkinan bagi perorangan dalam sejarah
manusia pada umumnya" Dan bahwa kapan pun "manusia menggunakan berbagai
kemungkinan yang dibuka (Yesus), ada perkembangan menuju kehidupan,
pengharapan, kepada manusia - satu harapan yang mengejutkan sehingga, terlepas
dari semua kenyataan yang bertolak balkang, dunia ini bisa benar-benar berbeda
dari sekarang ini. Ini berarti bahwa tanpa Yesus, apa yang disebut umat Kristiani
dengan Kerajaan Allah tidak mungkin menjadi apa yang seharusnya dimaksudkan.
Ya, banyak yang lain, banyak agama, mungkin berusaha mencapai visi ini, tetapi
tanpa Yesus, Suatu yang esensial hilang. Jadi, Edward Schillebeeckx, yang seperti
kita tahu menegaskan validitas agama-agama lain dan menyembuhkan umat
Kristiani dari penyakit imperialisme, juga setuju dengan Hellwig "Meyakıni Yesus
sebagai Kristus berarti secara sangat mendalam mengakui bahwa Yesus memiliki
satu signifikansi yang kekal dan konstitinif bagi kedatangan Kerajaan Allah dan
karena itu kesembuhan menyeluruh umat manusia ... Oleh karena itu, bagi umat
kristiani, Yesus merupakan wahyu Allah yang menentukan dan definitif.

3. Dengan semua pandangan ini, apakah umat Kristiani bisa mengikuti Yesus Sang
nabi?
Pertanyaan ini khususnya ditunjukan kepada para mutualis yang mengatakan
bahwa Yesus adalah nabi dan liberator, apakah mereka merasa cukup kuat untuk
mengikutinya. Meneladani Yesus berarti teguh dan tegas dalam menyikapi berbagai
perbuatan dan sikap yang bagi Yesus tidak bisa diterima. Sikap yang tegas ini harus
dilakukan lintas budaya dan agama ketika berhadapan dengan berbagai anggapan
bahwa “didalam dunia kita” praktek semacam ini bisa diterima. Jadi, memang ada
yang disebut sebagai "tak-bisa-diterima secara absolut" di dalam dunia politik,
ekonomi, dan agama, dan harus dihadapi dengan sikap perlawanan yang absolut.
Namun, sikap absolut harus memiliki tempat berpijak. Di sinilah, dalam pikiran nara
kritikus Model Mutualitas bimbang Model ini mengimbau umat Kristiani untuk
mengambil posisi tegas dan pasti dalam menghadapi kejahatan, namun tidak
menyediakan dasar yang teguh bagi posisi semacam itu.
Inilah sebabnya mengapa Gregory Baum, seorang yang bersuara kenabian yang
lantang dalam komunitas Kristiani generasi vang lalu, menolak keras kalau
disejajarkan dengan Model Mutualitas. Hans Kung dan Jurgen Moltmann, dua
pengajar veteran dari dialog etikal antar-agama, memperingatkan para penganut
model mutualitas bahwa justru umat kristiani yang bersiteguh berpendapat bahwa
Allah berbicara melalui banyak suara juga gagal bersikap tegas secara profetis
menentang sosialisme Nasional (NAZI) yang menganggap suaranya adalah suara
Tuhan bagi rakyat Jerman. Ini merupakan tantangn dan tugas yang dihadapi semua
agama. “masalahnya apakah agama memiliki keteguhan yang dibutuhkan untuk
tugas yang berat ini, kecuali agama memiliki kesempatan membuat anggapan
bahwa dirinya sangat berbeda dan benar tidak tertandingi. Kerajaan Allah
dimaksudkan untuk semua orang, dan semua berhak menghubungkannya, namun
kalau tidak ada rencana induk, atau arsitek agung, para pekerjaan terkadang
bekerja saling bertentangan. Agar bisa memberitakan Yesus sebagai nabi dan
liberator dengan jelas dan konsisten, seorang juga harus mengakui sebagai arsitek
agung itu.

Anda mungkin juga menyukai