Mahasiswa
NIM
: James Theopilus
: 201211202
Kanonik sebagai sumber pemahaman tentang Yesus., mengabaikan aspek utama yaitu rohani;
membuang semua unsur-unsur supernatural, menghilangkan mitos dari kekristenan,
memandang Yesus sebagai manusia biasa yang baik dan bermoral tinggi dan patut diteladani
oleh orang Kristen. Penulis berpendapat bahwa fakta ini sudah dan sedang merusak
kekristenan dewasa ini.
Mengenai persoalan relasi studi pribadi Kristus dan karya Kristus, penulis menyatakan
bahwa itu adalah persoalan memisahkan kristologi yang ontologis, yang menekankan pada
pemahaman tentang siapakah Yesus dan kristologi yang fungsional, yang menekankan pada
apa yang dikerjakan Kristus bagi manusia. Persoalan ini telah bermula sejak gereja purba
sampai sekarang ini. Penulis menilai bahwa yang paling berantusias dengan kristologi
fungsional ialah kaum pluralism, yang menekankan karya Yesus bagi manusia, bukan dalam
arti penebusan tapi dalam arti pembaharuan social, dengan salah satu tokohnya adalah ChoanSeng Song. Penulis berpendapat bahwa pada hakekatnya, seorang teolog bahkan orang Kristen
pada umumnya, tidak patut memisahkan pribadi dan karya Kristus dalam berkristologi.
Memandang hanya satu sisi dari pribadi dan karya Kristus adalah bertentangan dengan hakekat
atonemen Kristus.
Berkaitan dengan persoalan titik berangkat kristologi, penulis mengungkapkan ada dua
titik berangkat atau dua metode pendekatan yaitu metode Kristologi dari atas (The Christology
From Above), dikenal sebagai strategi dasar dan orientasi gereja abad permulaan, yang pada
abad ke-20 dipakai Karl Barth, Rudolf Bultmann dan Emil Brunner. Yang kedua adalah
Kristologi dari bawah, yang memulai dengan manusia Yesus dari Nazaret kemudian bertanya
bagaimana caranya Ia menjadi Allah, dengan tokohya adalah Wolfhart Pannenberg. Penulis
berpendapat bahwa yang benar adalah perpaduan kedua pendekatan tersebut seperti yang
dilakukan C.H. Marshal, C.F.D. Moule dan M.F. Erickson.
Mengenai persoalan finalitas Yesus di antara agama-agama dunia, penulis
mengungkapkan bahwa finalitas kristus menegaskan finalitas agama Kristen, mendapat
tantangan justru dari kalangan Kristen sendiri karena adanya fakta pluralism agama dan
tuntutan kerukunan hidup beragama. Pluralitas keagamaan semakin mendesak dan memilah
kelompok Kristen eksklusif menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang semakin tertutup dan
kelompok yang inklusif. Kelompok inklusif setidaknya memiliki tiga pendekatan terhadap
pluralism keagamaan, yaitu Teosentris, Kristosentris, dan dialogis.
Pendekatan theosentris memfokuskan perhatian kepada Allah daripada pada Kristus,
dan pernyataan-pernyataan Yesus yang bersifat theosentris. Tokohnya adalah Coward, Paul
Tilick, John Hick dan Wilfres Cantel Smith. Pendekatan Kristosentris dengan dua model
2
pendekatan yaitu model pendekatan Kristologi eksklusif yang dianut oleh teolog Injili dan
yang kedua adalah model pendekatan Kristologi pluralisme, sebagai pendekatan terhadap
agama-agama lain berdasarkan Kristologi yang mengganggap bahwa Yesus Kristus adalah
penjelmaan Allah yang unik. Penulis mengganggap pada dasarnya pendekatan Theosentris dan
Kristosentris yang pluralis adalah pendekatan yang mengabaikan kebenaran Firman Tuhan
dalam Yohanes 3:16, 36 dan berusaha untuk diterima dalam sosialisasinya dengan agamaagama lain, namun rela membuang keunikan dan kefinalitasan Yesus, kebenaran-kebenaran
iman Kristen yang hakiki.
Pendekatan dialogis dipelopori oleh tiga teolog Asia, yaitu Stanley Samartha,
Raimundo Panikkar dan Choan-Seng Song yang menempuh pendekatan ini karena diwarnai
oleh latar-belakang kehidupan pribadi yang hidup sebagai kelompok minoritas. Penulis
berpendapat bahwa konsep dari pendekatan dialogis ini adalah pendekatan yang sangat
kompromistis yang merusak sendi-sendi Kekristenan yang utama, memaksa orang Kristen
untuk menyembunyikan finalitas Yesus dan kemutlakan kebenaran Alkitab, serta memaksa
orang Kristen untuk mengakui adanya kebenaran di luar Yesus, yaitu kebenaran yang
diperoleh melalui mempelajari kebenaran agama lain.
Mengenai usulan kaum pluralis dalam berdialog, penulis memaparkan pendapat
Choan-Seng Song yang megangkat tujuh tahap untuk mencapai pertobatan dialogis yaitu
langkah-langkah praktis dialog sampai pada puncaknya yaitu kehidupan bersama dengan mitra
dialog. Tahap pertama adalah mengalami perasaan dalam agama-agama dan kebudayaankebudayaan; memahami agama lain dari sudut pandang agama itu sendiri. Tahap kedua adalah
proses identifikasi yaitu pencarian hal-hal yang kita kenal di Antara yang asing. Tahap ketiga
adalah terbuka dan melihat persekutuan orang-orang bukan Kristen dengan Allah dan sesama.
Tahap keempat adalah mengalami kehidupan bersama secara mendalam dimana kita belajar
bahasa mereka, memberi perhatian kepada semantic mereka, tanggap terhadap nuansanya dan
paham akan cerita mereka.
Tahap kelima, mengakui kebodohan bahwa kita belum memahami agama-agama lain.
Tahap keenam adalah tahap pengakuan kebodohan, penilaian kembali yang radikal terhadap
diri sendiri dan melakukan perjanjian iman. Tahap ketujuh adalah berbalik dari memakai
dialog sebagai alat untuk mengubah iman dan kepercayaan lain dan melangkah masuk ke
dalam kehidupan mitra-mitra berdialog. Menurut penulis, semua konsep dan metode dialog
kaum pluralis adalah sangat berbahaya bagi misi Kristen, bukan hanya melemahkan dan
melumpuhkan melainkan juga mematikan misis Kristen.
pemaparan
ini
penulis
sangat
mengkritisi
pengaruh
pluralisme
dan
menyatakannya sebagai hal yang berbahaya bagi teologi dan iman Kristen. Semakin jelas
digambarkan bahwa teologi pluralis berangkat dari konteks. Pandangan penulis sama dengan
pandangan adiknya, Ramly Lumintang yang mengungkapkan bahwa teologi yang dibangun
atas konteks akan kemudian hilang sejalan perubahan konteks.