Anda di halaman 1dari 10

Angota Kelompok 7 :

Ingestia Nangaro

Gisela Kaligis

KEMITRAAN YANG MEMBEBASKAN DALAM PELAYANAN

 PERGUMULAN HISTORIS DAN TEOLOGIS

Sesudah konferensi Edinburgh 1910, perdebatan kemitraan dalam misi selalu


timbul setiap kali konferesi dan pertemuan misi sedunia berlansung. Konferensi selalu
membicarkan hubungan antara gereja/ badan donor dan gereja/penerima bantuan.
Konferensi Whitby di Kanada tahun 1947 mulai membicarakan prinsip saling berbagi
(mutual sharing) antara gereja di Barat dan negeri jajahan. Saling beragi dan memberi
tidak lagi dibatasi dalam masalah uang tetapi juga personel, kebijakan, dan administratif.

Setelah terbentuknya World Council of Churches- WCC (Dewan Gereja s-Dunia,


atau DGD) pada tahun 1948, masalah pembagian sumber daya sering menjadi tema
dalam sidang raya atau pertemuan DGD/WCC. Dalam pertemuan di Montreux Kanada
tahun 1977, konferensi CCPD (Church’s Commission on Participation in Devolopment)
merumuskan sebagai berikut:

1. Tujuan pembangunan adalah keadilan sosial melalui partisipasi rakyat dalam pembuatan
keputusan dan kemandirian dalam pertumbuhan ekonomi.
2. Semua masyarakat berada dalam proses pembangunan, sehingga semuanya adalah
penerima dan pemberi. Dengan demikian, semuanya saling bergantung.
3. Ada kebutuhan agar pembagian kekuasaan dapat dibagikan di semua tingkat.
4. Harus ada koordinasi dalam perencanaan dan aksi dalam pengambilan keputusan.

 DASAR TEOLOGIS KEMITRAAN DALAM MISI

1. Bukan misi manusia, tetapi misi Allah

Secara teologi, kemitraan dalam misi tidak meyangkut misi manusia atau gereja
tetapi misi Allah melalui pelayanan umat-Nya. Gereja seharusnya menjadi agen misi
Allah karena Allah dalam Yesus Kristus tidak bekerja sendiri. Gereja harus siap dipakai
Allah dalam menjalankan misi-Nya di dunia. Misi Allah bukan sekedar menanam gereja
baru yang sesuai dengan aliran gereja pengutus, tetapi pewartaan Injil kabar baik (LUK.
4:18-20), yaitu pembebasan manusia dan dunia dari dosa serta segala dampaknya.
Dengan demikian baik, pemberi dana maupun penerima dan semuanya hanya mitra dan
hamba Allah. Tidak ada yang harus lebih tinggi atau rendah dalam rangka kemitraan
dalam misi maupun pewartaan Injil sebagai kabar baik dan sukacita bagi yang miskin.

2. Sebagai tubuh Kristus dan mira kerja Allah

Kemitraan dalam misi (diakonia transformatif) sering digambarkan sebagai tubuh


Kristus sementara Kristus adalah kepalanya. Sebagai tubuh Kristus, setiap anggota yang
terlibat dalam kemitraan dalam misi harus taat pada Kristus. Terkait kemitraan dalam
misi sebagai tubuh Kristus, tubuh ini harus membawakan misi tubuh Kristus ketika hidup
didunia, yaitu pemulihan (healingi), pendamaian (reconciliation), dan penebusan
(redemption).

3. Chirstian stewardship

Ecumenical resources sharing dalam kemitraan dalam misi memanggil semua


pihak untuk menjadi penatalayanan yang baik (stewardship). Bertanggung jawab menjadi
penatalayanan yang baik merupakan landasan teologis ecumenical resources sharing,
baik dalam Kisah Para Rasul 2 dan 4 maupun ketika jemaat Mkaedonia mengirimkan
bantuan pangan pada jemaat di Yerusalem yang sendang bencana kelaparan. Dalam
kalangan gerakan oikumenis, sharing of resources tanpa sharing of power dalam
mengamil keputusan bukanlah sharing yang didasarkan kasih dan kesetaraan. Semua
resources yang dimiliki gereja berasal dari Allah sehingga hubungan yang memberi dan
menerima merupakan hubunhan kemitraan yang setara.

4. Berbagi hidup

Apa tujuan ecumenical resource sharing? Sharing dalam praktik kemitraan dalam
misi harus dilihat sebagai manifestasi iman untuk berbagi hidup. Fokus Sharing bukan
sekedar pemberian uang dan materi tetapi berbagi hidup dan tindakan solidaritas. Makna
solidaritas adalah kata lain dari koinonia atau persekutuan. Sharing kehidupan dan cinta
itulah yang sudah dilakukan oleh Yesus selamahidup-Nya di dunia. Murid-murid tidak
sekedar diajarkan untuk sharing harta tetapi juga sharing cinta dan kehidupan. Dengan
berbagi harta, orang percaya telah berbagi hidup. Ecumenical resources sharing sering
dihubungkan juga dengan perjamuan kudus yang di dalamnya roti dan anggur sebagai
simbol kehidupan material dibagikan kepada semua orang tanpa pengecualian.
Praktik kemitraan dalam misi

Wacana kemitraan dalam misi dan ecumenical resources sharing ber langsung ketika
dunia sedang berada dalam dekade pembangunan seusai perang dunia kedua. Seperti yang sudah
diterangkan, banyak kritik telah diberikan atas berlangsungnya pembangunan yang terjadi.
Keterlibatan gereja atas pembangunan juga tidak luput dari kritik semua pihak. Dalam dokumen
El Escorial (1987), disebutkan bahwa tujuan dari ecumenical sharing adalah "menyatakan suatu
sistem nilai baru secara mendasar yang berdasarkan keadilan, perdamaian, dan integritas
ciptaan." Sistem ini merupakan paradigma baru sebagai kritik sistem pembangunan di dunia
yang mengecewakan. Namun, apa yang terjadi di dunia ternyata berlangsung juga dalam
kehidupan gerakan oikumenis. Baik bentuk bantuan antarpemerintah maupun bantuan antargereja
mengalami nasib dan pola serupa dengan pola hubungan pemberi dan penerima bantuan. Pihak
Utara sebagai pemilik kekayaan sering mendikte mitranya di Selatan yang tidak memiliki
kekuatan ekonomi. Mengapa semua ini bisa terjadi? Jawabannya adalah karena baik pemberi
maupun penerima merupakan produk tata ekonomi dan politik dunia yang tidak adil. Pola "yang
kuat bisa mendikte yang lemah" tak terhindarkan.

Dalam banyak hal, banyak badan donor pembangunan sering bergantung pada bantuan
pemerintah mereka, seperti ICCO (Badan gereja untuk kerja sama pembangunan di Belanda),
EZE (Badan gereja evangelis untuk kerja sama pembangunan-sekarang bernama EED Jerman),
dan HEKS (Badan bantuan antargereja di Swiss). Pergumulan badan donor di Barat untuk bebas
dari pengaruh pemerintah dalam melakukan kemitraan dalam misi selalu terjadi. Hal ini jelas
dikemukakan oleh Johanes Verkuyl, bapak ICCO Belanda (1987): "Kita juga dipimpin oleh
motif murni, yaitu motif solidaritas, belas kasih, keadilan, perdamaian, dan kerukunan. Dalam
upaya pemerintah untuk membangun, motif yang murni dan motif yang palsu selalu
tercampur .....

Lebih lanjut, Verkuyl dalam buku ICCO berjudul Justice and Mercy (1987:24) menulis:

Program pembiayaan keuangan mungkin tidak menyediakan alasan bagi pemerintah


Belanda untuk membiarkan dirinya diarahkan oleh motif palsu dalam pekerjaan lainnya.
Pihak ICCO akan memperingatkan pemerintah seperti yang pernah dilakukan sebelumnya
walaupun hal ini mengakibatkan ketersinggungan.

Menjaga motif yang murni selalu menjadi pergumulan orang seperti Johanes Verkuyl.
Namun, tidak semua orang bisa bersikap i Johanes Verkuyl yang sangat memahami aspirasi
Dunia Ketiga. seperti. Dalam kenyataannya, semangat yang dimiliki Johanes Verkuyl hampir
tidak dimiliki oleh pejabat donor. Peran misi dan nilai teologis dari kemitraan dalam misi telah
bergeser dan luntur karena ditelan waktu dan tuntutan pemberi dana (pemerintah).

Verkuyl bukan satu-satunya orang yang bergumul tentang campur tangan pemerintah dalam
kehidupan gereja, khususnya tentang kemitraan dalam misi. Hal serupa juga dialami oleh Visser't
Hooft, sekretaris jenderal DGD yang pertama. Dalam memoarnya, Visser't Hooft menulis (Early,
1980:73):

Presiden Amerika Serikat Harry Truman mengirimkan seorang utus an, Myron Taylor,
untuk mendesak pemimpin-pemimpin dewan gereja untuk bekerja sama dengan kelompok
pemerintah dan agama, seperti Muslim, dalam sebuah aliansi antikomunis.

Selama Perang Dingin, gereja dan gerakan oikumenis selalu dibayangi kekhawatiran yang
dirisaukan oleh Verkuyl dan Hooft. Tantangan untuk menciptakan kemitraan yang sejati menjadi
tugas gereja dan gerakan oikumene dalam melaksanakan diakonia sejagat yang bebas dari
intervensi pemerintah. Motif politik dan kedudukan ekonomi sebagai pengaruh perang dingin
dan tata dunia yang tak adil ikut memengaruhi kemitraan dalam misi dalam diakonia dan kerja
sama pembangunan.

Pertemuan meja bundar

Sejak lahirnya DGD tahun 1948, bentuk resources sharing tel berubah Ressures sharing
yang diperkenalkan oleh DGD diel dengan nama "pertemuan meja bundar (round talde meeting
Apa artinya? Durasingh dari India (1987) menggambarkan pertem meja bundar sebagai bentuk
meja makan yang dipakai oleh orang Tionghoa Cara makan di atas meja bundar dengan makanan
Ting hoa sangat berbeda dengan cara makan makanan Barat. Dalam acara makan di meja bundar,
semua hidangan yang dibawa masing-masing ditaruh di atas meja, Semua orang mengambil
makanan yang sudah terkumpul di atas meja sesuai dengan kebutuhannya. Semua makanan di
atas meja menjadi milik bersama dan tidak seorang pon merasa menjadi miliknya sendiri, kecuali
yang sudah ditaruh di atas piring masing-masing. Tidak seorang pun merasa berkuasa untuk
menguasai makanan yang ditaruh di atas meja bundar. Cara menyantap makan di Barat tidak
demikian. Tuan rumah akan mengontrol dan memba gikan makanan kepada tamunya menurut
kehendaknya di atas piring masing-masing

Dengan round table sharing, predikat donor dan penerima bantuan dihapuskan. Semua dana
yang dikumpulkan akan dibagikan menu kebutuhan masing-masing dalam menjalankan misi dan
diakonya bukan berdasarkan besar-kecilnya pemberian. Tidak ada yang merasa memberikan
banyak dan tidak ada yang merasa memberikan kecil. Mereka yang memberikan sedikit bisa saja
mendapatkan porsi yang lebih banyak karena kebutuhannya. Sementara itu, yang memberikan
banyak tidak perlu mendapatkan banyak karena ia tidak membutuhkannya. Semangat berbagi
hidup ini mencerminkan ke dapan jemaat pertama yang di dalamnya tak seorang pun meras
kekurangan dan yang memberikan lebih banyak tidak merasah berkuasa. Sayangnya, semangat
round table sharing tak bertahan l setelah runtuhnya tembok Berlin Ada banyak proties dal
pelaksanaan round table sharing.

Problem yang timbul antara lain


1. Sebagian besar dana berasal dari negara Barat
Sebagian besar dana yang dikumpulkan dalam rand talle sing asal dari negara Eropa dan
Amerika. Jerman memberikan kurang lebih sepertiga dari dana yang terkumpul. Delapan
puluh persen lebih uang berasal dari Eropa dan Amerika. Sumbangan yang tak seimbang
ini menyebabkan kepincangan dalam relasi gerejawi di antara anggota round table
sharing.

2. Tidak semua donor memberikan dengan sepenuh hati


Tidak semua donor memberikan kontribusi sesuai dengan apa yang mereka miliki. Ini
karena begitu banyak uang yang dimasukan di round table sharing, donor tidak berkusa
lagi untuk mengontrol dan mendikte kehendaknya dalam pelaksanaannya. Suara mereka
dianggap sama dengan anggota yang tidak memberikan atau memberikan sedikit. Donor
lebih tertarik untuk mengadakan hubungan bilateral dengan mitranya di Selatan daripada
lewat round table sharing yang dibentuk DGD. Dengan demikian, mereka bisa mendikte
mitra mereka diselatan karena sifat hubungan yang bilateral.

3. Struktur dan mekanisme round table sharing sangat kompleks


Didalam round table sharing, birokrasi, struktur pengumpulan dan pembagian
sumbangan semakin kompleks. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak
menyebabkan rantai birokrasi menjadi sangat panjang dan memakan waktu lama.

PROBLEM BADAN DONOR

Problem dari badan donor dapat diterangkan sebagai berikut.

1. Donor berusaha mempertahankan statusnya sebagai pemberi

Kritik diberikan mitra dari Selatan bahwa donor sering berkeinginan mempertahankan statusnya
sebagai pemberi. Donor sering dituduh tidak menghendaki mitranya mandiri ketergantungan
ekonomi. Tidak ada upaya dan dukungan agar mitranya di Selatan menjadi mandiri dari
ketergantungan.

2. Dominasi budaya, politik, dan ekonomi

Banyak donor kurang memahami budaya mitra mereka di Selatan. Dominasi budaya, politik, dan
sosial ekonomisangat dirasakan dalam kemitraan dalam pelayanan karena badan donor berasal
dari negara penjajah sementara penerimanya berasal dari negara bekas jajahan. Berdaarkan
budaya dan sejarah ini sering menyebabkan slah pengertian antara pihak pemberi dan penerima
dalam hubungan kemitraan. Isu politik yang timbul akibat Perang Dingin ikut memengaruhi
hubungan donor dan penerima bantuan.

3. Banyak donor bergantung pada bantuan uag pemerintah

Ketergantungan donor pada bantuan pemerintah sering menyebabkan ada keinginan pemerintah
untuk mengunakan pengaruhnya dalam bidang politik. Sering terjadi, pemerintah berusaha
memengaruhi kebijakan yang diambil dari donor atau memperalat pekabar Injil yang kembali
dari tugas untuk memberikan informasi yang diperlukan oleh intelejen.

4. Ketidak adilan ekonomi global berkelanjutan

Adanya tatat ekonomi global yang tidak adil menjadi faktor bahwa ketergantungan pada tetesan
bantuan ekonomi dari negara di Utara pada negara di Selatan berlanjut. Hal ini juga berlaku
dalam kehidupan gereja dan kemitraan dalam misi dan diakonia.

PROBLEM DARI BADAN PENERIMA

Sebagai penerima bantuan hubungan kemitraan dalam misi, badan penerima dari Selatan juga
memiliki kelemahan dalam melaksanakan kemitraan. Adapun kelemahan dari badan penerima
Selatan antara lain sebagai berikut.

1. Tidak adanya kepemimpinan dan kapasitas

Banyak mitra di Selatan mengalami kesulitan dan hambatan dalam pelaksanaan program yang di
dukung oleh dana ecumenical resoutces skaring karena kualitas kepemimpinan dan kapistas
mereka. Mereka sering tak mampu melaksanakan program sesuai dengan komitmen yang sudah
disepakati. Sering terjadi, ada disiplin anggaran dalam melaksanakan program. Akibatnya, dana
proyek sudah habis walaupun proyek belum dimulai. Hal ini karena adanya penyalahgunaan atas
pengalihan anggaran untuk maksud lain yang lebih mendesak.

2. Problem internal organisasi

Sering terjadi bahwa badan penerima di Selatan tidak memiliki organisasasi yang teratur dan
tertib. Konflik internal dalam orgaanisasi badan penerima sering mengakibatkan program yang
didukung oleh dana kemitraan tidak berjalan. Tidak jarang banyak organisasi pelayanan di
Selatan pecah berkeping-keping karena adanya perbuatan kekuasaan dan sumber dana.

3. Akuntabilitas dan transparasi.

Masalah akuntabilitas dan transparansi sering menjadi isu dalam bangunan Utara dan Selatan.
Badan donor sering memaksakan norma dan cara akuntabilitas di luar kemampuan mitranya atau
tidak sesuai dengan budaya di Selatan. Seringkali, mitra di Selatan juga kurang brtanggungjawab
dalam melaksanakan program yang didukung oleh donor di Utara.

4. Persaingan di antara badan penerima

Persaingan ttidak saja terjadi di antara badan misi seperti yang terjadi pada abad ke-19 dan awal
abad ke-20, tetapi juga diantara badan penerima. Memasuki abad ke-21, kemampuan dana dari
badan oikumene mulai berkurang awalaupun LSM dan lembaga pelayanan di belahan Selatan
tumbuh seperti jamur pada musim hujan. Akibatnya, dana yang tersedia untuk mendukung mitra
di Selatan semakin berkurang. Persaingan diantara badan penerima di Selatan sering disertai cara
yang saling menjatuhkan. Mitra di Selatan tidak jarang proyektif demi mendapatkan uang dan
donor.

5. Makin meningkatnya ketergantunan

Pengalaman menunjukan bahwa hampir semua badan penerima di Selatan bergantung dari
kemurahan donor. Semakin banyak proyek dan program dikerjakan, semakin besar
ketergantungan pada donor Upaya untuk mandiri sering gagal karena faktor dari dalam maupun
luar. Sikap ketergantungan pada uang donor menyebabkan aktivitas LSM/LPK tidak lagi
berharap kritis atas kebijakan donor yang bersikap seperti Sinterklas dan Piet Hitam.

KEMITRAAN YANG SESUNGGUHNYA

Bagaimana menciptakan kemitraan yang sehat antara pihak Utara dan Selatan seperti yang
dikehendaki Yesus? Bagaimana menciptakan kemitraan yang membebaskan yang didalamnya
ada kesetaraan dalam kemitraan? Semua pihak tidak bisa melepaskan diri dari beban sejarah dan
tata ekonomi global yang mengurung mereka. Diperlukan I harta pemahaman yang benar tentang
kemitraan yang membebaskan dalam perspektif diakonia transformatif. Disini penulis
mengajukan beberapa usulan sebagai berikut.

1. Perlunya penyangkalan diri dari semua pihak

Penyangkalan diri menjadi kata kunci. Baik pemberi maupun penerima harus menyangkal
kepentingan diri sendiri dalam rangka kepentingan kemanusiaan dan keadilan global. Hubungan
tidak berupa antara subyek dan objek atau pemberi dan penerima. Masing-masing adalah subyek,
baik sebagai pemberi meupun sebagai penerima. Walaupun memberikan dana bagi mitra di
Selatan, pihak donor harus menyadari bahwa dana yang mereka mereka berikan pada mitranya
berasal dari system ekonomi dunia yang tidak adil. Aliran dana dari Selatan ke Utara adalah
karena ketidak adilan dan eksploitasi ekonomi yangv masih berlaku sejak masa lalu hingga kini.
Pengalaman spiritual dari pihak Selatan yang tidak bisa dinilai dengan harta. Donor akan belajar
dari mitranya di Selatan betapa pedihnya menjadi peminta dan penerima dana dari pihaklain
sebagai akibat penjajahan masa lalu maupun system ekonomi dunia yang tidak adil saat ini.

2. Ssaling percaya dan menolong

Badan donor dan penerima harus membangun hubungan saling percaya dan menolong. Saling
percaya (trusf) di dalam kemitraan menjadi dasar penting dalam hubungan antara manusia dan
organisasi. Badan donor menolong mitrannya untuk melaksanakan programnya. Sebaliknya,
badan penerima harus menolong badan donor agar dapat mempertanggungjawabkan dana yang
sudah dikeluarkan oleh komitmen mitranya di Utara.

3. Transformasi sosial sebagaii agenda utama kemitraan

Tujuan kemitraan bukan soal berba benda dan sumber dana, tetapi supa terjadi transformasi
sosial bersama menju keadilan dana, tetapi supaya terjadi transformasi sosial menuju keadilan
dan keseimbangan global. Agenda transformasi sosial bersama harus menyatuhkan badan donor
dan penerima untuk mengatasi perbedaan dan ketidak adilan yang ada. Pemanasan bumi akibat
perubahan iklim, perang, kekerasan atas nama agama, penyakit epidemic saat ini, semuanya
perlu diatasi secara bersama oleh semua negara.

4. Perlunya paradigma dan tolok ukur yang sama


Baik badan donor maupun penerima harus membangun tolok ukur dan paradigma yang
disepakati bersama untuk keberhasilan proyek dan tujuan kerja sama. Tidak adanya pemahaman
yang sama dalam tujuan proyek dan tolok ukur keberhasilan proyek mudah menimbulkan konflik
antara donor dan penerima.

5. menyembuhkan luka sejarah dan memperbaharui dunia

Semua lembaga pelayanan masih memiliki ketergantungan pada lembaga donor di Utara karena
beban sejarah dan tata ekonomi dunia. Walaupun sudah di usahakan dialog, konsultasi
ecumenical resources sharing untuk mengurangi hubungan antara donor dan penerima,
kenyataannya hal itu masih belum dapat dihilangkan sama sekali. Bantuan nyatanya hal itu
masih belum dapat dihilangkan sama sekali bantuan uang donor bak buah simalakama.

BENTUK KEMITRAAN DENGAN BADAN DONOR

Ada banyak bentuk kemitraan antara donor dan penerima bantuan. Bentuk itu dibangun
berdasarkan kedewasaan dan kesiapan masing-masing pihak yang bermitra.

Pertama, kemitraan dalam proyek, yang didalamnya donor hanya mau membiayai suatu
proyek tertentu dan meminta pertanggungjawaban atas proyek yang dibantu. Sesudah proyek
selesai, hunungan bisa berakhir atau dilanjutkan dengan proyek lain. Kemitraan ini bersifat
sesaat yang berdasarkan kontrak per proyek.

Kedua, kemitraan dalam program, yang di dalamnya donor tidak hanya melihat
kepentingan suatu proyek tertentu tetapi melihat program menyeluruh yang di jalankan mitra
mereka. Tanggungjawab adalah tanggung jawab seluruh pelaksana program, bukan pada suatu
proyek khusus, kemitraan ini membutuhkan kedewasaan dan rasa saling percaya antara pemberi
dan penerima.

Ketiga, kemitraan dalam pelayanan atau kemitraan lembaga. Di sini, kemitraan antara
donor dan lembaga pelayanan Kristen tidak sekedar masalah pembiyayaan program yang di
jalankan oleh mitrannya, tetapi ada saling pertanggungjawabkan. Kritik dan evaluasi tidak
sekedar ditunjukan pada LPK yang sedang menjalankan program pelayanan tetapi juga
ditunjukan pada lembaga donor yang sedang menjalankan tugas pelayanan dan kemitraannya.
HILANG SEMANGAT

ECUMENICSL RESOURCES SHARING

Usai perang dingin mmenyebabkan donor di Eropa dan Amerika memberikan perhatian
pada pembangunan di Eropa Timur. Bahaya komunisme telah berlalu dan perhatian pada negara
Eropa Timur menyebabkan berkurangnya bantuan pada Asia-Afrika dan Amerika Latin.
Desakan pihak di Eropa juga menurut donor untuk mengikuti paradigma dan parameter. Bank
Dunia serta ekonomi kapasitas. Parameter kemajuan ekonomi menyebabkan nilai spiritual dan
moral dal kemitraan dalam misi (partnership ini mission) di tinggalkan. Didasari atau tidak,
donor telah melakukan tekanan pada gereja di belahan Selatan untuk menikuti jalan parameter
NGO dan LSM.

Mitara di Selatan, dalam menagani isu pembangunan, sering hanya menangani isu
pembangunan yang diminati oleh donor di Utara. Krisis kemitraan dan spiritualitass diakonia
transformatif menjadi luntur di abad ke-21. Kemitraan yang disinggung diatas adalah kemitraan
antara badan donor dan pemberi. Padahal, di medan pelayanan, LPK berjumpa dan berhubungan
dengan berbagai pihak, seperti gereja, pemerintah, dan rakyat, serta sesame lembaga pelayanan
dari golongan lain.

KEMITRAAN DENGAN PEMERINTAH

Suatu lembaga pelayanan tidsk dapat menghindarkan diri dari hubungan kemitraan
dengan pemerintah. Undang-undang dan peraaturan yayasan yang berlaku di Indonesia
menharuskan semua lembaga pelayanan menaati ketentuan yang ada.

Anda mungkin juga menyukai