Pada masa-masa nomadik yang lalu, kepentingan suku selalu harus didahulukan
daripada kepentingan pribadi. Setiap anggota suku mengetahui bahwa mereka saling
bergantung satu sama lain untuk mempertahankan hidup. Untuk membantu masyarakat
menanamkan semangat komunal yang esensial bagi pertahanan hidup, orang Arab telah
mengembangkan sebuah ideologi yang disebut muruwah, suatu konsep etik yang banyak
mengandung fungsi agama. Nilai-nilai muruwah menuntut seorang Arab untuk mematuhi
sayyid atau pemimpinnya setiap saat, tanpa peduli keselamatan dirinya sendiri. dia harus
mendedikasikan diri kepada tugas-tugas mulia melawan semua kejahatan yang dilakukan
terhadap suku dan melindungi anggota-anggotanya yang lemah. Untuk menjamin
kelangsungan hidup suku, sayyid membagi kekayaan dan harta miliknya secara merata dan
membalas kematian satu anggotanya dengan membunuh satu anggota suku si pelaku
pembunuhan.
Namun, tidak seperti Taurat yang menurut kisah biblikal diwahyukan kepada Musa
dalam satu waktu secara sekaligus di Gunung Sinai, Al-Quran diwahyukan kepada
Muhammad secara sepenggal-sepenggal, sebaris demi sebaris dan seayat demi seayat dalam
kurun waktu dua puluh tiga tahun. Di dalam Al-Quran, Tuhan memerintahkan Muhammad
untuk mendengarkan makna yang tidak koheren itu dengan saksama dan dengan apa yang
disebut oleh Wordsworth sebagai "kepasifan” yang bijaksana. Dia tidak boleh tergesa-gesa
memaksakan kata atau makna konseptual tertentu pada wahyu itu sebelum maknanya yang
sejati terungkap pada saat yang tepat. Al-Quran tidak turun kepada Muhammad dalam
susunan seperti yang kita jumpai pada masa sekarang, tetapi dalam susunan yang lebih acak,
sesuai peristiwa-peristiwa yang datang dan penyimakannya atas makna yang lebih dalam.
Para editor meletakkan surah-surah terpanjang pada bagian awal dan yang tersingkat di
bagian akhir. Susunan seperti ini tidaklah seacak kelihatannya, karena Al-Quran bukanlah
sebuah narasi atau argumen yang membutuhkan tatanan berurutan. Susunan itu merefleksikan
berbagai tema: kehadiran Tuhan di dunia, kehidupan para nabi, atau Hari Akhir. Al-Quran
tidak mengajarkan sesuatu yang baru kepada kaum Quraish. Bahkan, kitab itu dengan teguh
mengklaim sebagai "pengingat" akan hal-hal yang telah diketahui, yang diungkapkannya
dengan lebih jelas.
Rukun Islam yang pertama adalah syahadat, pengakuan keimanan seorang Muslim:
"Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah." Ini
bukan sekadar penegasan atas eksistensi Tuhan tetapi sebuah pengakuan bahwa Allah
merupakan satu-satunya realitas sejati, satu-satunya bentuk eksistensi sejati. Mengatakan
bahwa Allah itu satu bukan sekadar sebuah definisi numerik, melainkan seruan untuk
menjadikan keesaan itu sebagai faktor pengendali kehidupan individu dan masyarakat.
keberhasilan Muhammad yang menakjubkan itu telah menunjukkan kepada orang-
orang Arab bahwa paganisme yang telah melayani mereka dengan baik selama berabad-abad
sudah tidak sesuai lagi untuk dunia modern. Agama Allah memperkenalkan etos kasih sayang
yang merupakan ciri agama yang lebih maju, persaudaraan dan keadilan sosial merupakan
kebajikan yang diutamakannya. Egalitarianisme yang kuat akan senantiasa mencirikan cita-
cita Islam.
Dalam masa kehidupan Muhammad, cita-cita ini juga mencakup persamaan gender.
Pada zaman sekarang telah menjadi kecenderungan umum di Barat untuk menggambarkan
Islam sebagai agama yang secara inheren bersifat misoginis. tetapi, sebagaimana Kristen,
agama Allah pada dasarnya berpandangan positif terhadap perempuan. Akan tetapi, begitu
Islam menempati posisinya di dalam dunia berperadaban, kaum Muslim mengadopsi adat
Oikumene yang menempatkan kaum wanita pada status warga kelas dua. Mereka
mengadopsi kebiasaan Persia dan Kristen Byzantium untuk menutup wajah kaum wanita dan
mengurung mereka di dalam harem. Dengan cara ini kaum wanita menjadi terpinggirkan.
Pada masa ke-khalifahan Abbasiyah (750-1258), kedudukan kaum wanita Muslim menjadi
sama jeleknya dengan rekan-rekan mereka di kalangan masyarakat Yahudi dan Kristen. Pada
masa sekarang, para feminis Muslim menuntut kaum pria untuk kembali kepada semangat
asli Al-Quran.
Ini mengingatkan kita bahwa, seperti agama-agama lain, Islam dapat ditafsirkan ke
dalam sejumlah cara yang berbeda, akibatnya berkembanglah berbagai sekte dan aliran. Yang
pertama di antaranya yakni antara Sunnah dan Syiah yang terbentuk dalam persaingan
memperebutkan kepemimpinan politik setelah mangkatnya Muhammad yang terjadi secara
tiba-tiba itu. Karena menyangkut soal kepemimpinan, perpecahan Sunni dan syiah lebih
bersifat politik ketimbang doktrinal, dan ini menandai makna penting politik di dalam Islam,
termasuk konsepsinya tentang Tuhan.
Oleh karena itu, pada tahun-tahun awal sejarah Islam, spekulasi tentang kodrat
Tuhan sering lahir dari perbincangan politik tentang kekhalifahan dan kekuasaan. Solusi yang
paling populer ditawarkan oleh para fuqaha dan ahli hadis yang berupaya untuk kembali
kepada idealisme Muhammad dan khulafa' al-rasyidun. Ini mengakibatkan pembentukan
hukum syariat, undang-undang serupa Taurat yang didasarkan pada Al-Quran serta
kehidupan dan ucapan Nabi. Pada saat itu telah beredar sejumlah besar tradisi lisan tentang
ucapan (Hadis) dan perbuatan (Sunnah) Muhammad dan para Sahabatnya. Tradisi-tradisi ini
telah dikumpulkan selama abad kedelapan dan kesembilan oleh sejumlah editor. Yang paling
terkemuka di antara mereka adalah Ismail Al-Bukhari dan Muslim ibn Al-Hijjaj Al-Qusyairi.