Anda di halaman 1dari 4

RESUME KEESAAN : TUHAN ISLAM

Pada masa-masa nomadik yang lalu, kepentingan suku selalu harus didahulukan
daripada kepentingan pribadi. Setiap anggota suku mengetahui bahwa mereka saling
bergantung satu sama lain untuk mempertahankan hidup. Untuk membantu masyarakat
menanamkan semangat komunal yang esensial bagi pertahanan hidup, orang Arab telah
mengembangkan sebuah ideologi yang disebut muruwah, suatu konsep etik yang banyak
mengandung fungsi agama. Nilai-nilai muruwah menuntut seorang Arab untuk mematuhi
sayyid atau pemimpinnya setiap saat, tanpa peduli keselamatan dirinya sendiri. dia harus
mendedikasikan diri kepada tugas-tugas mulia melawan semua kejahatan yang dilakukan
terhadap suku dan melindungi anggota-anggotanya yang lemah. Untuk menjamin
kelangsungan hidup suku, sayyid membagi kekayaan dan harta miliknya secara merata dan
membalas kematian satu anggotanya dengan membunuh satu anggota suku si pelaku
pembunuhan.

Sebagaimana kebanyakan orang Arab, Muhammad percaya bahwa Allah, Tuhan


Tertinggi dalam keyakinan Arab kuno, yang namanya secara sederhana berarti "Tuhan”
identik dengan Tuhan yang disembah oleh orang-orang Yahudi dan Kristen.

Sejarahwan Kristen Palestina, Sozomenos, mengemukakan kepada kita bahwa pada


awal abad kelima beberapa orang Arab di Suriah telah menemukan kembali apa yang mereka
sebut agama asli Ibrahim, yang berkembang sebelum Tuhan menurunkan Taurat atau Injil
dan, dengan demikian, bukan Yahudi atau Kristen.

Namun, tidak seperti Taurat yang menurut kisah biblikal diwahyukan kepada Musa
dalam satu waktu secara sekaligus di Gunung Sinai, Al-Quran diwahyukan kepada
Muhammad secara sepenggal-sepenggal, sebaris demi sebaris dan seayat demi seayat dalam
kurun waktu dua puluh tiga tahun. Di dalam Al-Quran, Tuhan memerintahkan Muhammad
untuk mendengarkan makna yang tidak koheren itu dengan saksama dan dengan apa yang
disebut oleh Wordsworth sebagai "kepasifan” yang bijaksana. Dia tidak boleh tergesa-gesa
memaksakan kata atau makna konseptual tertentu pada wahyu itu sebelum maknanya yang
sejati terungkap pada saat yang tepat. Al-Quran tidak turun kepada Muhammad dalam
susunan seperti yang kita jumpai pada masa sekarang, tetapi dalam susunan yang lebih acak,
sesuai peristiwa-peristiwa yang datang dan penyimakannya atas makna yang lebih dalam.
Para editor meletakkan surah-surah terpanjang pada bagian awal dan yang tersingkat di
bagian akhir. Susunan seperti ini tidaklah seacak kelihatannya, karena Al-Quran bukanlah
sebuah narasi atau argumen yang membutuhkan tatanan berurutan. Susunan itu merefleksikan
berbagai tema: kehadiran Tuhan di dunia, kehidupan para nabi, atau Hari Akhir. Al-Quran
tidak mengajarkan sesuatu yang baru kepada kaum Quraish. Bahkan, kitab itu dengan teguh
mengklaim sebagai "pengingat" akan hal-hal yang telah diketahui, yang diungkapkannya
dengan lebih jelas.

Persepsi tentang keunikan Tuhan merupakan basis moralitas Al-Quran. Menyembah


benda-benda material atau meletakkan kepercayaan pada wujud yang lebih rendah adalah
syirk (keberhalaan). Al-Quran menumpahkan celaan terhadap dewa-dewa pagan dalam cara
yang sangat mirip dengan kitab suci Yahudi, dewa-dewa itu sama sekali tak bisa berbuat apa-
apa. Dewa-dewa itu tak mampu memberikan makanan atau rezeki. tidak ada gunanya
meletakkan mereka sebagai pusat dalam kehidupan seseorang karena mereka tidaklah
berdaya. Sebaliknya, seorang Muslim juga harus yakin bahwa Allah adalah Realitas Tertinggi
dan Unik. Al-Quran kembali kepada gagasan Semitik tentang ketunggalan ilahi dan menolak
membayangkan bahwa Tuhan dapat "memperanakkan" seorang putra. Tak ada Tuhan kecuali
Allah, Pencipta langit dan bumi. Hanya Allah yang dapat menyelamatkan manusia dan
menganugerahkan rezeki fisik maupun spiritual yang dibutuhkan manusia. Islam menekankan
bahwa kita hanya bisa melihat Tuhan melalui aktivitasnya, yang menyesuaikan wujudnya
yang tak terlukiskan itu dengan pemahaman kita yang terbatas. Di dalam Al-Quran,
disebutkan sembilan puluh sembilan nama atau sifat Tuhan. Ini menekankan bahwa dia "lebih
besar", sumber dari semua kualitas positif yang kita jumpai di alam semesta. Dengan
demikian, dunia menjadi ada hanya karena dia adalah Al-Ghani (kaya dan tak terbatas);
memberi kehidupan (Al-Muhyi); mengetahui segala sesuatu (Al-'Alim), berbicara (Al-
Kalim). tanpa dia, karenanya, takkan ada kehidupan, pengetahuan, atau kata-kata. Ini
merupakan penegasan bahwa hanya Allah yang memiliki eksistensi yang sejati dan nilai
positif.

Rukun Islam yang pertama adalah syahadat, pengakuan keimanan seorang Muslim:
"Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah." Ini
bukan sekadar penegasan atas eksistensi Tuhan tetapi sebuah pengakuan bahwa Allah
merupakan satu-satunya realitas sejati, satu-satunya bentuk eksistensi sejati. Mengatakan
bahwa Allah itu satu bukan sekadar sebuah definisi numerik, melainkan seruan untuk
menjadikan keesaan itu sebagai faktor pengendali kehidupan individu dan masyarakat.
keberhasilan Muhammad yang menakjubkan itu telah menunjukkan kepada orang-
orang Arab bahwa paganisme yang telah melayani mereka dengan baik selama berabad-abad
sudah tidak sesuai lagi untuk dunia modern. Agama Allah memperkenalkan etos kasih sayang
yang merupakan ciri agama yang lebih maju, persaudaraan dan keadilan sosial merupakan
kebajikan yang diutamakannya. Egalitarianisme yang kuat akan senantiasa mencirikan cita-
cita Islam.

Dalam masa kehidupan Muhammad, cita-cita ini juga mencakup persamaan gender.
Pada zaman sekarang telah menjadi kecenderungan umum di Barat untuk menggambarkan
Islam sebagai agama yang secara inheren bersifat misoginis. tetapi, sebagaimana Kristen,
agama Allah pada dasarnya berpandangan positif terhadap perempuan. Akan tetapi, begitu
Islam menempati posisinya di dalam dunia berperadaban, kaum Muslim mengadopsi adat
Oikumene yang menempatkan kaum wanita pada status warga kelas dua. Mereka
mengadopsi kebiasaan Persia dan Kristen Byzantium untuk menutup wajah kaum wanita dan
mengurung mereka di dalam harem. Dengan cara ini kaum wanita menjadi terpinggirkan.
Pada masa ke-khalifahan Abbasiyah (750-1258), kedudukan kaum wanita Muslim menjadi
sama jeleknya dengan rekan-rekan mereka di kalangan masyarakat Yahudi dan Kristen. Pada
masa sekarang, para feminis Muslim menuntut kaum pria untuk kembali kepada semangat
asli Al-Quran.

Ini mengingatkan kita bahwa, seperti agama-agama lain, Islam dapat ditafsirkan ke
dalam sejumlah cara yang berbeda, akibatnya berkembanglah berbagai sekte dan aliran. Yang
pertama di antaranya yakni antara Sunnah dan Syiah yang terbentuk dalam persaingan
memperebutkan kepemimpinan politik setelah mangkatnya Muhammad yang terjadi secara
tiba-tiba itu. Karena menyangkut soal kepemimpinan, perpecahan Sunni dan syiah lebih
bersifat politik ketimbang doktrinal, dan ini menandai makna penting politik di dalam Islam,
termasuk konsepsinya tentang Tuhan.

Oleh karena itu, pada tahun-tahun awal sejarah Islam, spekulasi tentang kodrat
Tuhan sering lahir dari perbincangan politik tentang kekhalifahan dan kekuasaan. Solusi yang
paling populer ditawarkan oleh para fuqaha dan ahli hadis yang berupaya untuk kembali
kepada idealisme Muhammad dan khulafa' al-rasyidun. Ini mengakibatkan pembentukan
hukum syariat, undang-undang serupa Taurat yang didasarkan pada Al-Quran serta
kehidupan dan ucapan Nabi. Pada saat itu telah beredar sejumlah besar tradisi lisan tentang
ucapan (Hadis) dan perbuatan (Sunnah) Muhammad dan para Sahabatnya. Tradisi-tradisi ini
telah dikumpulkan selama abad kedelapan dan kesembilan oleh sejumlah editor. Yang paling
terkemuka di antara mereka adalah Ismail Al-Bukhari dan Muslim ibn Al-Hijjaj Al-Qusyairi.

Perjalanan Islam telah memperlihatkan bahwa gagasan tentang Tuhan yang


transenden, namun personal cenderung memunculkan jenis persoalan yang sama dan
mengarah pada bentuk pemecahan yang sama pula. Eksperimen kalam telah membuktikan
bahwa meskipun mungkin untuk menggunakan metode-metode rasional untuk
memperlihatkan bahwa secara rasional "Tuhan" memang tidak bisa dijangkau oleh akal,
kenyataan ini tetap sulit diterima oleh sebagian Muslim. Kalam tak pernah menjadi sepenting
teologi di kalangan Kristen Barat. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang mendukung Mu'tazilah
menemukan bahwa mereka tidak mungkin memaksakan doktrin-doktrinnya kepada kaum
beriman. Rasionalisme terus mempengaruhi pemikir-pemikir selanjutnya selama abad
pertengahan, tetapi tetap merupakan kelompok minoritas, dan kebanyakan Muslim tidak
menaruh kepercayaan pada usaha semacam itu. Sebagaimana Kristen dan Yahudi, Islam lahir
dari pengalaman Semitik, tetapi bertemu dengan rasionalisme Yunani di pusat-pusat
kebudayaan Helenis Timur Tengah. Sebagian Muslim yang lain mengupayakan proses
Helenisasi yang bahkan lebih radikal terhadap konsepsi ketuhanan Islam dan
memperkenalkan unsur filosofis baru ke dalam ketiga agama monoteistik. Yudaisme, Kristen,
dan Islam akhirnya tiba pada kesimpulan yang berbeda, tetapi sangat signifikan tentang
keabsahan filsafat dan relevansinya dengan misteri Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai