Anda di halaman 1dari 10

Teologi tentang Pentingnya Baptisan bagi Keselamatan pada 4 abad

pertama

Sebagai orang yang dibaptis saya percaya bahwa baptisan adalah


syarat mutlak bagi keselamatan saya. Bagi saya yang percaya kepada
Kristus maka baptisan adalah syarat mutlak bagi saya untuk memperoleh
keselamatan. Seandainya saya tidak dibaptis, saya tidak akan selamat. Ini
bukan pendapat pribada saya sendiri, melainkan keyakinan Gereja sejak
awalnya. Bahkan keyakinan itu diungkapkan dengan semboyan yang begitu
tajam, berbunyi: “di luar Gereja tidak ada keselamatan” (extra ecclesiam
nulla salus). Semboyan itu sudah dikenal secara umum dan sering
menimbulkan salah pengertian. Secara spontan semboyan itu memang
kedengaran fanatik, militan dan sombong. Orang akan menafsirkannya
sebagai sikap arogan Gereja yang merasa diri paling benar dan
menganggap bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan. Namun kalau
kita mempelajari konteks munculnya semboyan itu dan apa arti yang
dimaksudkan oleh Gereja pada konteksnya saat itu maka kita akan paham
bahwa semboyan itu bukanlah tanda kesombangan, melainkan menjadi ciri
wajar setiap pemeluk agama apa pun juga.

1. Orang Kristen Jangan Murtad


Semboyan “di luar gereja tidak ada keselamatan” pada mulanya hanya
ditujukan kepada orang kristen yang murtad. St. Ignatius (sekitar tahun 50
– 117 Masehi), Uskup Antiokia dianggap sebagai orang pertama yang
menggunakan semboyan itu.1 Dalam perjalanan menuju kemartirannya di
Roma St. Ignatius menulis surat kepada umat di Philadelphia, dekat
Efesus, "Janganlah sesat saudara-saudara, jika seseorang mengikuti jalan
menyimpang, ia tidak mewarisi Kerajaan Allah; Jika seseorang berjalan
dalam ajaran yang aneh, ia tidak mendapat bagian dalam perjamuan
sorgawi."2
Dari kutipan surat ini, rupanya Ignatius bermaksud bahwa ungkapan

1 F. Sullivan, Salvation outside the Church, 18. DS 875.


2
F. Sullivan, Salvation outside the Church, 18
"di luar gereja tidak ada keselamatan" diperuntukkan bagi orang-orang
dibaptis namun mengikuti ajaran yang tidak sehat. Mereka bersalah karena
dengan sengaja mengikuti jalan sesat atau menempatkan diri di luar
Gereja. Orang yang tadinya sudah menjadi anggota Gereja dan percaya
kepada ajaran sehat yang berasal dari Yesus, jika kemudian ia memisahkan
diri atau disebut juga skismatik, maka orang itu tidak akan beroleh
keselamatan.
Melawan ajaran kaum Gnostic, St. Irenaeus (sekitar tahun 142-192),
Uskup Lyons, Perancis, mengajarkan:
"Di dalam Gereja, Allah telah menempatkan para rasul, nabi dan pengajar
serta banyak karya Roh Kudus lainnya. Mereka yang dikuasai oleh
kesombongan cara berfikir dan cara hidup tertentu, tidak ambil bagian dalam
anugerah itu. Sebab di mana Gereja ada, di situ Roh Allah ada. Dan di mana
Roh Allah ada, maka di situ terdapat Gereja dan segala rahmat. 3
Sama seperti pemikiran St. Ignatius, demikian pula St. Irenaeus
menilai umat kristiani yang mengikuti ajaran Gnostik yang mengandalkan
kepandaian mereka, adalah orang-orang yang bersalah karena memisahkan
diri dari Gereja. Orang kristiani yang menjadi pengikut aliran Gnostik
dianggapnya sebagai orang-orang sombong yang mengandalkan ilmu
pengetahuan mereka yang tinggi, padahal manusia hanya dapat memiliki
hidup berkat rahmat yang dicurahkan oleh Allah.
Masih dalam konteks pertentangan dengan kaum heretik (orang-orang
murtad), St. Cyprianus juga mengajarkan bahwa kaum heretik adalah
orang-orang yang dengan sengaja memisahkan diri dari Gereja. Dan mereka
itu tidak mendapat bagian dalam keselamatan. Menurut St. Cyprianus,
walaupun kaum heretik tersebut menjadi martir dengan menumpahkan
darah sekalipun, mereka tidak akan memperoleh keselamatan. "Baik
baptisan pengakuan publik (mengakui iman di bawah penganiayaan)
maupun baptisan darah (mati demi iman) tidak akan membuat para heretik
memperoleh keselamatan. Karena tidak ada keselamatan di luar Gereja.4
Dari beberapa data di atas kita dapat menyimpulkan bahwa ungkapan

3
F. Sullivan, Salvation outside the Church ,19.
4
F.Sullivan, Salvation outside the Church , 21.
extra ecclesiam nulla salus ditujukan bagi umat kristiani yang mengikuti
kaum Skismatik, Gnostik, dan Heretik. Mereka dianggap telah memisahkan
diri dari Gereja secara sengaja. Mereka dipersalahkan karena telah
mengetahui bahwa di dalam Gerejalah keselamatan itu diperoleh, namun
mereka menolaknya. Bagi mereka itu tidak ada keselamatan. Kalau
demikian, maka ungkapan "di luar Gereja tidak ada keselamatan"
lengkapnya berbunyi "Di luar Gereja tidak ada keselamatan bagi mereka
yang pernah menjadi anggota Gereja, kemudian dengan tahu dan mau
menyatakan diri keluar." Menurut Sullivan, para Bapa Gereja pada abad
pertama, secara konsisten mengenakan semboyan extra ecclesiam nulla
salus sebagai peringatan bagi orang-orang kristiani supaya tidak
memisahkan diri dari Gereja. Sebab bagi mereka yang sudah dibaptis tidak
ada keselamatan kalau berani keluar dari Gereja. Tentu saja sikap ini
adalah sah dan wajar, bahkan menjadi sikap setiap agama apapun untuk
melarang anggota umatnya murtad. Tidak satu pun agama yang
mengizinkn anggotanya murtad.
Teologi keselamatan di luar gereja pada abad ke-IV
Berbeda dari suasana sebelum abad ke-IV di mana agama kristen baru
merupakan kawanan kecil dan hidup sembunyi-sembunyi di tengah
penganiayaan yang selalu mengancam, maka pada permulaan abad ke-IV
agama kristen telah menjadi agama negara. Pada tahun 313 Kaisar
Constantinus telah menetapkan agama kristen menjadi agama kekaisaran
romawi melalui dekrit Milano. Kalau pada tiga abad pertama, orang menjadi
kristen harus menghadapi resiko penganiayaan dan kemartiran, maka
setelah abad keempat, orang yang menjadi kristen mendapatkan banyak
keistimewaan. Dalam suasana di mana agama kristen menjadi mayoritas
dibandingkan minoritas kafir, maka penggunaan semboyan “di luar Gereja
tidak ada keselamatan” pun berubah. Pada masa itu semboyan tersebut
ditujukan kepada orang-orang yang belum-kristen. Mereka dianggap
sebagai orang yang berada di luar Gereja dan di luar keselamatan. Mereka
dianggap bersalah karena mereka tidak sampai mengenal Injil. Kesalahan
mereka didasarkan pada pengandaian bahwa Injil telah diwartakan kepada
mereka semua, dan mereka tidak mau percaya kepada pewartaan yang
telah mereka dengar itu.
Beberapa Bapa Gereja dari zaman ini yang ajarannya tentang tema ini
bisa dikutip antara lain, St. Ambrosius (340 – 397), Uskup Milano. Ia
berpendapat tentang orang-orang yang menolak untuk percaya kepada
Kristus.
"Jika seseorang tidak percaya kepada Kristus ia merugikan dirinya
sendiri dari anugerah universal ini, sama seperti seseorang yang
menghindari sinar matahari dengan menutup jendela. Sebab belas kasih
Allah telah disebarkan oleh Gereja kepada segala bangsa; dan iman telah
ditaburkan bagi sekalian orang."5
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Bapa Gereja Timur St.
Yohanes Chrysostomus. Ia melawan pendapat bahwa orang kafir tidak bisa
disalahkan karena mereka tidak tahu kalau ada berita Injil. Ia menyatakan,
"Orang tidak boleh berfikir bahwa ketidaktahuan memaafkan orang-orang
kafir. Apabila kamu tidak mengetahui sesuatu hal yang dengan mudah dapat
kamu ketahui kamu akan dihukum. Oleh karena sekarang nama Allah telah
dinyatakan kepada segala bangsa, dan apa yang dinubuatkan oleh para
nabi telah menjadi kenyataan, sehingga agama orang kafir telah terbukti
sesat..., maka tidaklah mungkin orang yang dengan rajin mencari kebenaran
akan diabaikan oleh Tuhan.6
Menurut Sullivan ajaran Ambrosius dari Gereja Barat yang berbahasa
Latin dan Yohanes Chrysostomus dari Gereja Timur yang berbahasa Yunani
bisa mewakili pendapat tentang semboyan "di luar Gereja tidak ada
keselamatan" dalam artinya yang sudah diperluas, yaitu bukan lagi hanya
untuk anggota Gereja yang murtad, melainkan untuk semua orang yang
tidak menjadi anggota Gereja. Alasannya karena Injil sudah diwartakan ke
seluruh dunia dan mereka tidak mau percaya. Menurut mereka orang-
orang kafir dari segala bangsa itu tidak mendapat bagian dalam
keselamatan karena mereka tidak mau percaya kepada Injil.

5
F.Sullivan, Salvation outside the Church, 25
6
F.Sullivan, Salvation outside the Church ,27
3. Ajaran St. Agustinus (354 – 430)
Agustinus dibaptis oleh St. Ambrosius, sehingga suasana kekristenan
dalam kekaisaran Romawi yang dihadapi oleh Agustinus sama dengan yang
dihadapi oleh St. Ambrosius. Secara umum dapat dikatakan bahwa St.
Agustinus juga menganut pandangan bahwa keselamatan hanya ada di
dalam Gereja. Rahmat Allah telah dinyatakan kepada semua orang di dalam
Yesus Kristus melalui Gereja. Keselamatan hanya dapat diperoleh di dalam
Gereja itu; sehingga di luar Gereja tidak ada keselamatan. Gereja pada
masa Agustinus telah menyebar di seluruh dunia yang dikenal pada waktu
itu, yaitu daerah-daerah di sekitar laut tengah yang meliputi wilayah
kekuasaan kekaisaran romawi. Ia berasal dari Afrika Utara dan kemudian
menjadi Uskup di Hippo, yang sekarang termasuk wilayah Aljasair.
Menurut Agustinus, orang-orang heretik dan skismatik, orang-orang
Yahudi, Yunani, Romawi dan kafir, dan orang-orang yang tidak pernah
mendengar berita Injil, tidak akan memperoleh keselamatan. Alasannya
ialah bahwa mereka semua adalah orang-orang yang tidak percaya kepada
berita Injil dan dengan demikian berada di luar Gereja. Sedangkan
keselamatan hanya diperoleh di dalam Gereja. Agustinus sudah meninggal
(tahun 430) pada saat Nabi Muhammad belum lahir (sebelum tahun 600-
san)7. Sehingga Agustinus tidak menghadapi pertanyaan apakah
keselamatan ada di dalam agama Islam. Yang menarik untuk disimak ialah
bahwa orang-orang yang tidak pernah mendengar berita Injil pun tidak
akan mendapatkan keselamatan. Dan Agustinus bukanlah seorang teolog
sembarangan. Ia pun bertanya balik, “Mengapa ada manusia yang selama
hidupnya di dunia ini tidak pernah mendengar Injil dan dibaptis?” Mengapa
orang itu begitu sial sehingga lahir di tempat tertentu, pada waktu tertentu,
yang tidak memungkinkannya mendengarkan berita tentang Kristus dan
percaya kepada-Nya sehingga beroleh selamat? Pertanyaan Agustinus ini
melebar ke segala arah sejarah sampai mundur ke belakang hingga zaman
Kain dan Abil. Abil adalah orang benar yang dibunuh karena perkara iman

7 Tidak diketahui secara pasti kapan persisnya tanggal dan tahun Nabi
Muhammad lahir. Tahun-tahun yang biasa disebut ialah antara 567 sampai 573.
Umumnya diterima bahwa Nabi Muhammad SAW dilahirkan tahun 571. Lih. Maxime
Rodinson, Muhammad, New Edition, Penguin Books, 1971, 38.
oleh kakaknya sendiri Kain, sehingga Agustinus bicara tentang Ecclesia ab
Abel, Gereja mulai dari Abel.8 Tetapi juga mengarah ke depan, ke samping
kiri dan kanan kita juga. Sebab kenyataannya banyak orang yang selama
hidupnya tidak pernah mengenal Kristus dan tidak dibaptis, baik karena
belum pernah mendengar tentang Dia sama sekali atau karena sudah
memiliki agamanya sendiri. Sebelum kita membahas tema ini, kita lihat
dulu apa kata Agustinus tentang kaum heretik dan skismatik, yang artinya
adalah orang yang murtad dari kebenaran iman yang telah pernah
dipeluknya:
"Siapa saja yang memisahkan diri dari Gereja Katolik ini, hanya dengan
satu dosa ini saja yang adalah pelanggaran berat terhadap kesatuan dengan
Kristus, tidak peduli betapa baik pun tingkah laku moral orang itu, ia tidak
akan mendapat bagian dalam hidup dan murka Allah akan berlaku atas
orang itu."9
Sikap Agustinus yang keras terhadap kaum heretik dan skismatik
berdasarkan pada pandangannya tentang Gereja sebagai kesatuan atau
persekutuan cinta kasih. Dari situ ia menyimpulkan bahwa siapa saja yang
berani memisahkan diri dari persekutuan Gereja, ia melalukan dosa berat
melawan cinta kasih.
Agustinus masih menambahkan lagi dengan menyatakan bahwa orang
heretik dan skismatik, yaitu orang yang tadinya sudah menjadi anggota
Gereja kemudian murtad, apabila mereka menjadi martir sekali pun maka
hal itu tidak akan menyelamatkan jiwa mereka.
Di luar Gereja mereka dapat memperoleh segalanya, kecuali
keselamatan. Mereka dapat memperoleh kehormatan, sakramen-sakramen;
menyanyikan halleluia, dapat menjawab "amin", dapat membaca Alkitab,
mereka dapat berkhotbah demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus:
namun mereka tidak akan dapat menemukan keselamatan, kecuali dalam
Gereja katolik. Bahkan seandainya mereka mati sebagai martir dengan
mengakui Kristus, namun kenyataan bahwa mereka mati di luar Gereja

8 Francis A. Sullivan, Salvation outside the Church , 30.


9
F.Sullivan, Salvation outside the Church ,31
adalah bukti bahwa mereka tidak mempunyai cinta kasih. 10
Bagi Agustinus rupanya sangat penting menjaga kesatuan iman
katolik. Ia adalah seorang filsuf dan teolog yang telah mempelajari banyak
aliran filsafat. Sebelum bertobat kepada kekristenan, ia menganut
manikheisme. Setelah dibaptis dan bahkan menjadi Uskup pun ia berjuang
melawan ajaran-ajaran sesat. Selama 40 (empat puluh) tahun karyanya
sebagai teolog, Agustinus menghabiskan waktu 20 (dua puluh) tahun
pertama untuk memerangi bidaah Donatisme, dan selama 20 (dua puluh)
tahun terakhir untuk melawan bidaah Pelagianisme. 11 Maka kita bisa
mengerti sikap tegas Agustinus yang diharapkan bisa menjadi tuntunan
yang jelas bagi umat kristiani untuk tetap setia dalam kesatuan iman
Gereja katolik.
Sekarang kita kembali lagi ke tema yang sudah saya singgung di atas
tadi bahwa menurut Agustinus orang-orang yang dalam hidupnya di dunia
ini tidak sempat dibaptis juga tidak akan beroleh keselamatan. Orang-orang
itu tentu saja mencakup begitu banyak manusia. Pertama adalah kelompok
orang yang hidup sebelum Kristus lahir. Ada seorang teman Agustinus yang
bernama Deogratias mendapat pertanyaan serius dari seorang kafir:
“Mengapa Dia yang kamu sebut penyelamat dunia itu bersembunyi begitu
lama dan baru datang kemudian? Bagaimana nasib jiwa-jiwa orang Romawi
dan Yunani yang tidak mengenal Kristus yang baru muncul pada waktu
pemerintahan kaisar Agustus itu?
Agustinus menjawab: “Ketika kita berkata bahwa Kristus adalah Sabda
Allah, yang melalui-Nya segala sesuatu dijadikan, kita berkata pula bahwa
Ia adalah Putera Allah...sama kekal-Nya dengan Bapa, Kebijaksanaan Allah
yang tak berubah dan segala sesuatu diciptakan di dalam Dia. Dia menjadi
sumber kebahagiaan setiap jiwa yang memiliki akal budi. Oleh karena itu
sejak awal ras manusia, semua orang yang percaya kepada Allah dan
mengenal Dia dan hidup baik sesuai dengan perintahNya, maka tanpa
keraguan apapun kita percaya bahwa mereka diselamatkan...
Rahmat yang menyelamatkan dari agama kita ini, satu-satunya agama

10
F.Sullivan, Salvation outside the Church , 32
11 F. Sullivan, Salvation outside the Church, 28.
yang benar tidak pernah akan ditolak oleh orang yang layak untuk itu; dan
kalau ada orang yang menolaknya berarti orang itu memang tidak layak
menerimanya. Sejak permulaan sejarah manusia sampai pada hari kiamat
nanti, agama yang benar ini dinyatakan untuk memberikan ganjaran kepada
yang layak dan hukuman kepada yang tidak layak. Itulah sebabnya maka
tidak semua orang mendapat kesempatan mengenal Kristus. Karena Allah
dalam kemahabijaksanaan-Nya sudah dapat mengetahui sebelumnya siapa
yang akan percaya dan siapa yang akan tidak percaya. Dan kepada mereka
yang tidak percaya diberitahukannya juga sebagai peringatan bagi yang
mau percaya.12
Menurut saya penjelasan Agustinus tentang orang-orang yang tidak
sempat dibaptis dalam hidupnya di dunia ini adalah sangat menarik,
walaupun bukan tanpa kelemahan. Menariknya adalah bahwa Ia
mengandaikan adanya “predestinasi” atau “takdir” atau Allah yang maha
mengetahui segalanya sudah menentukan sebelumnya. Menurut Agustinus,
kalau ada orang yang begitu “sial” di dunia ini sampai selama hidupnya
tidak pernah mengenal Kristus dan dibaptis, maka itu disebabkan karena
Allah sudah tahu bahwa seandainya ia diberi kesempatan untuk mengenal
Kristus pun ia tidak akan mau percaya kepada-Nya dan tidak akan mau
dibaptis. Maka untuk orang itu, kenyataan bahwa ia tidak pernah mengenal
Kristus dan tidak pernah dibaptis selama hidupnya di dunia ini sampai
matinya menunjukkan “takdir”nya itu. Saya kutip lagi penggalan kalimat
Agustinus di atas, “Karena Allah dalam kemahabijaksanaan-Nya sudah
dapat mengetahui sebelumnya siapa yang akan percaya dan siapa yang
akan tidak percaya”.
Kelemahan pendapat Agustinus ialah bahwa ia tidak memberikan
tempat kepada kebebasan manusia secara cukup karena menekankan
predestinasi dari Tuhan. Dalam teologi Agustinus itu seolah-olah sudah
bisa diperkirakan sebelumnya dengan kepastian bahwa orang-orang
tertentu akan percaya kepada Kristus dan yang lainnya tidak. Padahal
misteri kebebasan manusia itu sendiri juga sama misteriusnya dengan
predestinasi, karena Tuhan juga menghormati kebebasan manusia,

12 F. Sullivan, Salvation outside the Church , 29.


sehingga sepertinya Tuhan “tidak bisa tahu sebelumnya” apa yang akan
diputuskan oleh manusia. Apakah benar bahwa Tuhan tidak bisa tahu apa
yang akan diputuskan oleh kebebasan manusia? Apakah kita harus
mengatakan bahwa oleh karena Allah Mahatahu, maka keputusan akhir
dari kebebasan manusia pun Allah dapat mengetahuinya? Tanpa
mengurangi kebebasan manusia sedikitpun dan tanpa mencampuri
keputusan yang akan diambil oleh manusia, Allah bisa tahu keputusan
akhir yang akan dibuat oleh manusia. Kalau demikian, teologi Agustinus di
atas tetap memiliki dasar logika kebenaran yang kuat; yaitu bahwa prioritas
pada predestinasi tidak usah berarti mengurangi kebebasan manusia.
Predestinasi Allah tetap menjamin kebebasan manusia. Dari lain pihak
harus dikatakan bahwa adanya kesan yang menganggap Agustinus kurang
memperhatikan kebebasan manusia tidak seluruhnya benar. Karena dalam
kutipan lainnya Agustinus menegaskan sbb:
"Allah menghendaki semua orang selamat dan tiba pada pengetahuan
akan kebenaran" (1 Tim 2:4), namun atas cara sedemikian rupa sehingga
Allah tidak mengurangi kehendak bebas manusia yang merupakan
kemampuan untuk menilai yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu orang-
orang yang tidak percaya bertindak melawan kehendak Allah, jika mereka
tidak percaya pada berita Injil."13
Kita menjadi sadar bahwa masalah yang dihadapi oleh Agustinus
bukanlah masalah yang sederhana. Dan itu adalah masalah kita semua
juga sampai sekarang. Masalah kita sekarang ialah bagaimana kita
mengambil sikap terhadap orang-orang yang tidak percaya kepada berita
Injil? Apakah kita harus mengatakan bahwa mereka bertanggungjawab atas
sikap mereka yang tidak menerima berita Injil? Agustinus menjawab bahwa
Allah sesungguhnya menghendaki keselamatan bagi semua orang (Voluntas
salvifica universalis Dei). Namun Allah tidak bisa memaksakan kehendak-
Nya, oleh karena manusia mempunyai kehendak bebas. Manusia bisa
menolak tawaran keselamatan Allah itu. Allah juga adalah mahatahu. Allah
sudah mengetahui siapakah orang yang akan menerima atau menolak
tawaran keselamatan. Kenyataan bahwa pada zaman Agustinus itu masih
13
F. Sullivan, Salvation outside the Church,35.
banyak orang yang tidak pernah mendengar berita Injil adalah tanda bahwa
orang-orang itu sudah ditentukan demikian. Allah sudah mengetahui
bahwa mereka pasti akan menolak apabila diberikan warta Injil. Maka dari
itu mereka dalam hidup di dunia ini tidak pernah mendengar berita Injil;
dan mereka tidak akan mendapat bagian dalam keselamatan Allah.
Agustinus berpendapat bahwa rahmat Allah harus efektif atau nampak
hasilnya. Rahmat Allah membuat orang dapat menerima berita Injil dan
percaya sehingga minta dibaptis. Kenyataan bahwa ada orang-orang yang
belum menerima berita Injil dan belum dibaptis menunjukkan bahwa
rahmat Allah tidak efektif dalam diri orang itu. Efektif artinya menghasilkan
buah atau ada efeknya. Jelaslah bahwa orang-orang tersebut yang
kenyataannya berada di luar Gereja juga tidak akan memperoleh
keselamatan.
Sebagai kesimpulan pendapat Agustinus bisa dikatakan bahwa
semboyan di luar Gereja tidak ada keselamatan dimaksudkan untuk tiga
kelompok orang: (1) Mereka yang murtad, yaitu mereka yang tadinya sudah
menjadi anggota Gereja dan kemudian keluar dari keanggotaan Gereja; (2)
Mereka yang sudah mendengar berita Injil tetapi tidak mau percaya kepada
Kristus dan tidak mau dibaptis; (3) Mereka yang selama hidupnya di dunia
ini sampai matinya sudah ditakdirkan untuk tidak pernah mendengar Injil,
sehingga mereka tidak terjangkau oleh pemberitaan Injil.

Anda mungkin juga menyukai