Anda di halaman 1dari 6

Peran Warga Negara dalam Menyikapi Konteks Permasalahan Kehidupan

Berbangsa dan Bernegara Ditinjau dari Literatur dan Wawasan Kristen

Alkitabiah

Latar Belakang

Manusia adalah ciptaan Tuhan yang diberikan akal budi dan kebebasan untuk

berkehendak. Dengan kehendak bebas tersebut manusia lebih memilih untuk tidak taat

yang akhirnya membuat manusia jatuh ke dalam dosa. Dosa telah membuat gambar dan

rupa Allah dalam diri mereka menjadi rusak, relasi dengan Allah juga ikut menjadi

rusak yang secara tidak langsung mempengaruhi relasi mereka dengan sesama. Tuhan

memberikan manusia perintah untuk terus berkembang dan menaklukkan bumi. Tapi

dengan relasi yang sudah rusak membuat manusia tidak lagi menjalankan mandat

tersebut. Manusia sekarang ini lebih cenderung mengedepankan rasio daripada iman

mereka. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan hidup modern adalah realitas

kita saat ini. Kenyataan ini akan membawa kehidupan manusia menjadi lebih baik,

namun dilain sisi menjadi tantangan yang berat. Salah satunya adalah LGBT yang

sampai sekarang masih terus menjadi problematika dalam masyarakat melihat dukungan

dari perkembangan ilmu pengetahuan dengan bukti-bukti ilmiahnya.

Tujuan Penelitian

Untuk itu penulis bertujuan untuk mengkritisi penyimpangan sosial yang terjadi

di masyarakat terkhusus penyimpangan seksual (LGBT) dari sudut pandang teori

patologi sosial dan Wawasan Kristen Alkitabiah.


Patologi Sosial dilihat dari BCW

LGBT adalah singkatan dari lesbian, guy, biseksual, dan transgender. Banyak

negara yang sudah mengakui dan melegalkan pernikahan sesama jenis, terutama untuk

negara maju yang menganut paham liberal, seperti Amerika Serikat dan Inggris.

Gerakan ini menggunakan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai acuan utama mereka

dalam mendapatkan kebebasan. Gerakan ini juga mendapatkan dukungan penuh dari

beberapa penelitian dan organisasi besar di AS seperti Human Rights Campaign (HRC)

yang mendukung sepenuhnya pernikahan sesama jenis melalui hak dan kewajiban yang

telah di sahkan oleh pemerintah [CITATION HUM12 \l 1033 ]. Di Indonesia sendiri,

kelompok ini merupakan kelompok seksual minoritas yang keberadaannya saat ini

masih menjadi perdebatan di Indonesia, baik itu dari segi HAM dan keagamaan.

Ada tiga titik acuan utama yang menjadi perbedaan antara kekristenan dan kaum

pendukung pernikahan sesama jenis, di antaranya yaitu arti dari manusia, kemutlakan,

dan kesetaraan antara ras dan seksualitas [ CITATION Zac15 \l 1033 ] . Pandangan sekuler

melihat manusia hanya terdiri dari satu bagian saja yaitu tubuh tanpa roh. Pandangan

sekuler ini berimplikasi pada pemenuhan dan kenikmatan manusia menjadi hanya bisa

dirasakan melalui tubuh fisik dan menjadikan pencarian kenikmatan tubuh sebagai hal

yang harus dipenuhi. Manusia menjadi fokus utama dari pemenuhan kebutuhan tersebut

sehingga pandangan dan orientasi kebahagiaan setiap orang tidak dapat disalahkan.

Setiap orang bebas untuk melakukan apa yang mereka sukai, yang artinya, tidak ada

sesuatu yang bisa membatasi mereka dalam mendapatkan kepuasan itu, tidak ada

batasan. Orientasi seksual menjadi tidak hanya pada lawan jenis (hetero), tapi bisa

kepada sesama jenis (lestbian, guy) dan bahkan bisa kepada sesama dan lawan jenis

(bisexual).
Dalam kekristenan, Tuhan menciptakan manusia itu terdiri dari dua bagian yaitu

tubuh dan jiwa atau roh. Kehidupan tidak terletak pada tubuh manusia yang bersifat

sementara, melainkan pada roh manusia yang bersifat kekal. Tuhan menciptakan

manusia hanya ada laki-laki dan perempuan untuk mengerjakan mandat budaya,

beranak cucu dan mengelola bumi yang secara tidak langsung menunjukkan kepada kita

bahwa ada suatu kemutlakan. Tujuan manusia diciptakannya untuk hidup memuliakan

dan menikmati Tuhan. Tujuan ini hanya bisa tercapai saat kita sudah menerima Kristus

sebagai Tuhan dan juru selamat kita.

Pernikahan dalam kekristenan adalah suatu yang sakral dan suci. Alkitab

menggambarkan pernikahan sebagaimana dalam hubungan antara Kristus sebagai

mempelai laki-laki dan gereja sebagai mempelai perempuan. Yang artinya di dalam

pernikahan ada relasi yang membawa pada kesatuan dan komitmen yang kekal. Tuhan

telah menetapkan tujuan pernikahan dalam diri manusia, sehingga manusia bisa

merasakan hidup dalam keintiman. Artinya ada sesuatu yang mutlak yang Tuhan telah

tanamkan dalam diri kita. Kita tidak bisa berdalil dari ketetapan dan peraturan Allah

meskipun kita menyangkalinya.

Patologi sosial dilihat dari sudut pandang teori Interaksionisme-simbolik

Ada beberapa teori atau perspektif yang biasa digunakan dalam melihat

permasalahan sosial. Salah satunya adalah Teori Interaksionisme-simbolik. Teori ini

mengatakan bahwa masalah sosial akan dikatakan sebagai masalah sosial jika masalah

tersebut telah dimaknai dan menjadi persoalan di masyarakat [ CITATION Soy14 \l 1033 ].

Asumsi dasar dari teori ini adalah manusia bertindak sebagai mana makna yang

diberikan kepada orang, benda, dan peristiwa [ CITATION Wes08 \l 1033 ]. Berangkat dari
dua defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa teori ini melihat patologi sosial sebagai

masalah sosial yang berasal dari manusia sebagai individu yang bertindak sesuai dengan

kepentingan masing-masing seturut dengan apa yang telah mereka defenisikan. Tidak

ada sesuatu yang mutlak, semuanya tergantung dari perspektif dan penilaian dari

masing-masing individu. Hal ini seturut dengan masalah LGBT yang sebagian besar

telah mendapatkan pengakuan di tengah masyarakat, terkhususnya negara yang telah

melegalkan pernikahan sesama jenis seperti AS, Inggris dan beberapa negara lainnya.

LGBT pada awalnya mungkin merupakan komunitas yang dipandang

menyimpang dari nilai dan norma yang ada dimasyarakat. Tapi seiring berjalannya

waktu, LGBT kemudian menyesuaikan diri dengan kondisi diri setiap individu. Dengan

demikian terjadi proses evaluasi yang membuat mereka kemudian menyesuaikan diri

dengan harapan masyarakat. Pertemuan antara pemahaman dan kebiasaan dari

kelompok LGBT dalam masyarakat, menghasilkan sebuah ruang aman bagi LGBT

untuk terus berkembang dan memperoleh hak mereka sebagai warga negara [CITATION

Hus20 \l 1033 ]. Patologi ini akan terus berkembang di negara yang telah melegalkan

pernikahan sesama jenis dan tidak menutup kemungkinan akan masuk ke negara-negara

yang lain.

Teori interaksionisme-simbolik memandang patologi ini sebagai sesuatu yang

bersifat subjektif dan relatif. Hal ini jelas bertentangan Kekristenan. “Modern people

may no longer make idols in the form of physical images, but tacitly, in their ideas

about the rules for relationships, they idolatrously twist their knowledge of

God”[ CITATION Poy11 \l 1033 ] . Penyembahan dan ketundukan kita yang berada di luar

dari Kristus akan membawa kita pada kebutaan dalam memandang sebuah kebenaran.

Kebenaran yang sejati adalah Yesus Kristus itu sendiri. Diluar daripada itu, kita akan
mendapatkan kebenaran yang semakin menyesatkan kita. Dalam menghadapi suatu

patologi, kita harus memiliki perspektif yang benar dan tidak sembarangan dalam

mengartikan ulang suatu nilai atau norma yang ada. Kita harus memiliki satu pandangan

dan pemahaman yang benar sebelum menanamkan nilai-nilai yang ada, salah satunya

adalah dalam meresponi LGBT ini.

Solusi untuk mengatasi LGBT

LGBT di sebagian besar negara telah di sahkan dan tidak menutup kemungkinan

akan menghampiri kita. Dalam mengatasi masalah ini, kita harus memiliki nilai dan

norma yang kuat dengan struktur dan organisasi masyarakat yang berjalan dengan baik.

Karena LGBT hadir karena mereka ingin mendapatkan hak dan pengakuan dalam

masyarakat. Kita tidak akan menolak orangnya, tapi kita akan menolak orientasi

seksualnya yang menyimpang. Untuk yang pertama, kita harus membawa injil di tengah

mereka untuk menemukan dan menyadari bahwa identitas kita ada ditemukan hanya di

dalam Yesus Kristus. Kita harus tunduk di bawah perintah Tuhan, yang artinya tidak

ada lagi kebenaran yang bersumber dari kita melainkan kebenaran yang ada dalam

Firman Tuhan. Secara tidak langsung hal ini akan membawa kita kepada pengenalan

akan Kristus yang akan membuat relasi kita menjadi pulih. Kesadaran kita akan

pentingnya menjaga tubuh sebagai bait Allah akan membuat kita menghargai setiap apa

yang kita lakukan, sehingga kita tidak lagi menjadikan tubuh sebagai sarana pemenuhan

kepuasan kita yang bersifat sementara.


DAFTAR PUSTAKA

H. A. (2020, 09 12). Http://www.getequal.org/. Diambil kembali dari Inilah Upaya


Aktivis Persamaan Hak dan Hukum untuk Mendukung LGBT di US:
http://www.getequal.org/inilah-upaya-aktivis-persamaan-hak-dan-hukum-untuk-
mendukung-lgbt-di-us/
Human Rigths Campaign Foundation. (2012, 07 25). ANSWERS TO QUESTIONS
ABOUT MARRIAGE EQUALITY. Diambil kembali dari web.archive.org:
https://web.archive.org/web/20120417061826/http://www.hrc.org/files/assets/re
sources/HRC_Foundation_Answers_to_Questions_About_Marriage_Equality_2
009.pdf
Poythress, V. S. (2011). Redeeming sociology: a God-Centered Appoach: Chapter 10
[Responding to God's Goverment]. Wheaton: Crossway Press.
Soyomukti, N. (2014). PENGANTAR SOSIOLOGI: Dasar Analisis, Teori &
Pendekatan Menuju Analisis Masalah-Masalah Sosial, Perubahan Sosial, &
Kajian-Kajian Strategis. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
West, R., & Turner, L. H. (2008). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi.
Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Zacharias, R. (2015, 07 16). How Wide the Divide: Sexuality at the Forefront, Culture
at the Crossroads. Diambil kembali dari www.rzim.org:
https://www.rzim.org/read/rzim-global/how-wide-the-divide-sexuality-at-the-
forefront-culture-at-the-crossroads

Anda mungkin juga menyukai