Anda di halaman 1dari 9

MATA KULIAH TEOLOGI AWAM

NAMA:WALDIA YASINTA NGAWOL


SEMESTER:V

SEKOLAH TINGGI PASTORAL(STIPAS) ST.SIRILUS RUTENG


PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN KEAGAMAAN KATOLIK
TAHUN 2018-2019
TEOLOGI AWAM
 PENGANTAR
Konsili Vatikan II menegaskan arti penting mengenai Gereja. Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus
(LG 7). Kepala tubuh itu ialah Kristus. Anggota-anggotanya ialah tiap orang beriman yang disatukan berkat
pembaptisan. Lewat baptis, tiap orang beriman dihimpun menjadi satu tubuh dalam Kristus (bdk. 1 Kor
12:12).Sebagai satu tubuh, ciri hakiki hidup Gereja adalah persekutuan, dan bukan perbedaan. Secara
teologis, persekutuan itu merupakan buah dari penebusan Kristus di salib (bdk. Ef 2:11-22). Secara
eklesiologis, persekutuan itulah yang menjadi tali pengikat di antara keaneka-ragaman anggota, kharisma,
dan jabatan dalam Gereja. Di dalam Gereja, keanekaragaman anggota tubuh Kristus itu secara nyata
mewujud dalam apa yang disebut sebagai hierarki dan kaum awam.
 Teologi:
Kata teologiberasal dari kata bahasa Yunani, yakni theos yang bearti Allah dan logos yang berarti
perkataan, uraian, pikiran atau ilmu. Secara etimologis, teologi berarti ilmu tentang Allah.Sebagai ilmu,
teologi adalah refleksi kritis, metodis, sistematis dan rasional atas wahyu yang diterima dalam iman.
Dengan demikian, teologi berusaha mengungkapkan dan menjelaskan misteri Allah dan misteri-misteri
iman dalam konteks kontemporer sehingga bisa dipahami (inteligibel) dan dapat diterima (asesibel) dan
pada akhirnya dapat diimani.
 Awam:dari kata Laos (Yunani), yang berarti kumpulan orang (people).
AWAM
 Pengertian Awam
 Kitab Suci Perjanjian Lama
Dalam Alkitab istilah awam merupakan padanan dari kata laity yang merupakan terjemahan dari
kata Laos (Yunani), yang berarti kumpulan orang (people). Istilah ini ditemukan dalam Septuaginta
(terjemahan naskah PL yg berbahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani. Tahun 70-LXX. Dibuat di
Alexandria untuk memenuhi kebutuhan orang Yahudi diaspora) untuk menyebut umat Allah. Misalnya
dalam Ul. 7:6 ditulis: Laos hagios en Kurio to Theo sou (LAI: “Engkaulah umat yang kudus bagi Tuhan
Allahmu”). Dengan demikian awam atau lay person atau Laos berarti umat Allah yang kudus! Bahkan
dalam Kel. 19:5-6, istilah ini menggambarkan Israel sebagai umat pilihan Allah dan umat perjanjian,
dimana Israel akan dijadikan bangsa yang kudus dan kerajaan imam.

 Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru, laos dipahami sebagai mereka yang dipersatukan dalam tubuh Kristus
lewat baptisan. Selain itu kata laos juga sering digunakan sebagai lawan kata ethne yaitu orang atau bangsa
yang tidak mengenal Allah.Dalam pb, peran kaum awam tampak dlm pelayanan Paulus. Ada pun orang
tersebut antara lain rekan kerja Paulus kis 15:40 yaitu silas sebagai teman perjalanan Paulus, ada juga
pembantu Paulus yaitu timotius, da nada juga teman seperjuangan Paulus yaitu priskila
 Dokumen-dokumen Gereja
 Lumen Gentium 31
Kaum Awam adalah semua orang beriman Kristiani yang tidak termasuk golongan yang
menerima tahbisan suci dan status kebiarawanan yang diakui dalam Gereja (lih. LG 31). Jadi kaum beriman
kristiani, yang berkat sakramen Baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi Umat
Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus (tria
munera Christi), dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap
Umat kristiani dalam Gereja dan di dunia.Dari definisi ini, menjadi jelas bahwa Awam adalah warga Gereja
yang tidak ditahbiskan dan juga bukan Biarawan/Biarawati. Maka dari itu Awam tidak mencakup para
Suster dan Bruder.
Dari defenisi tipologis Awam adalh bagian dari umat Kristen yang merupakan umat beriman
yang disatukan dengan kristus lewat sakramen pembaptisan.Awam mrpkan kelompok umat kristen yang di
bedakan dgn kelompok lain atas dasar jabatan dan status hidup.
Istilah “Awam” yang digunakan dewasa ini adalah sesuai dengan pengertian yang terkandung
dalam LG n. 31 yang merupakan definisi tipologis ( untuk membedakannya dengan definisi teologis:
Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan. Jadi, Awam meliputi Biarawan/Biarawati seperti
Suster dan Bruder yang tidak menerima tahbisan suci.
 Kitab Hukum Kanonik 1983
 Kan. 204 § 1
Pengertian tipologis dapat ditemukan misalnya dalam KHK kan. 204 § 1 yang mengambil alih
rumusan LG 31, “Orang-orang beriman Kristen ialah mereka yang oleh pembaptisan menjadi anggota-
anggota Tubuh Kristus, dijadikan Umat Allah dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam jabatan
Kristus sebagai imam, nabi, dan raja dan oleh karena itu sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing
dipanggil menjalankan pengutusan yang dipercayakan Allah kepada Gereja untuk dilaksanakan di dunia.”
Dari definisi yuridis ini terlihat bahwa di satu pihak awam pertama-tama adalah orang beriman
Kristen. Namun di lain pihak terdapat faktor perbedaan yakni “sesuai dengan kedudukan mereka masing-
masing” yang menggantikan rumusan “sesuai dengan kemampuan mereka” dari LG 1. Demikian juga
mengenai partisipasi dalam jabatan Kristus sebagai imam, nabi, dan raja ada tambahan “dengan caranya
sendiri”.

 KHK kan. 207


Kan. 207: “Oleh penetapan ilahi, di antara orang-orang beriman Kristen dalam Gereja
terdapat pelayan-pelayan rohani yang dalam hukum juga disebut kaum rohaniwan; sedangkan
lain-lainnya juga disebut kaum awam.”
Teks ini menunjukkan adanya ketidaksamaan fungsional dalam kesamaan serta
kebersamaan fundamental yang tidak dikurangi olehnya. Ketidaksamaan itu berdasarkan sakramen
tahbisan suci, sedangkan kesamaan serta kebersamaan berdasarkan sakramen baptis. Sekaligus
sebutan “rohaniwan” dan “awam” direlatifkan atau dilunakkan dengan tambahan kata “juga”.Kita
dapat melihat bahwa apa yang fundamental adalah sebutan kaum beriman Kristen bagi semua
warga Umat Allah yang mempunyai dasar yang sama yakni pembaptisan. Namun disadari pula
bahwa ada sekelompok orang beriman yang ditahbisan untuk pelayanan, dan mereka ini lazimnya
disebut rohaniwan, sedangkan umat Allah yang lainnya disebut awam.
 Ciri khas dan istimewa kaum awam
LG 31 menyatakan bahwa ciri khas dan istimewa kaum awam adalah sifat keduniaanya. Sebab
mereka yang termasuk golongan imam, meskipun kadang-kadang memang dapat berkecimpung dalam
urusan-urusan keduniaan, juga dengan mengamalkan profesi keduniaan, berdasarkan panggilan khusus dan
tugas mereka terutama diperuntukkan bagi pelayanan suci.
Berdasarkan panggilan mereka yang khas, kaum awam wajib mencari kerajaan Allah, dengan
mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah. Berbeda dengan golongan imam
atau pun religius, kaum awam mengejawantakan seluruh hidupnya dalam dunia. Mereka hidup dalam
dunia, artinya: menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi, dan berada ditengah kenyataan
biasa hidup berkeluarga dan sosial. Dunia, dengan demikian, menjadi tempat yang pertama dan utama bagi
kaum awam untuk memenuhi panggilannya sebagai pengikut Kristus.
Hidup mereka kurang lebih terjalin dengan itu semua. Di situlah mereka dipanggil oleh Allah,
untuk menunaikan tugas mereka sendiri dengan dijiwai semangat Injil, dan dengan demikian ibarat ragi
membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia. Begitulah mereka memancarkan iman, harapan dan
cinta kasih terutama dengan kesaksian hidup mereka, serta menampakkan Kristus kepada sesama. Jadi
tugas mereka yang istimewa yakni: menyinari dan mengatur semua hal-hal fana, yang melibatkan mereka,
sedemikian rupa, sehingga itu semua selalu terlaksana dan berkembang menurut kehendak Kristus, demi
kemuliaan Sang Pencipta dan Penebus.Apa yang ditegaskan dalam LG 31 ini juga dinyatakan secara
implisit dalam ketentuan KHK kan. 225 § 2: tugas awam meresapi tata dunia dengan semangat Injil.
II. PERAN KAUM AWAM DALAM PELAYANAN GEREJA SETELAH KONSILI VATIKAN II
Pendahuluan
Salah satu buah terindah dari Konsili Vatikan II (1962-1965) adalah membangkitkan kesadaran
baru tentang peran kaum awam dalam pelayanan Gereja. Kesadaran ini diungkapkan oleh Konsili Vatikan
II dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam. Dalam Dekrit tersebut, Konsili Vatikan II mengatakan bahwa
“kaum awam ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus, menunaikan bagian
mereka dalam perutusan segenap umat Allah dalam Gereja dan di dunia. Sesungguhnya, mereka
menjalankan kerasulan dengan kegiatan mereka untuk mewartakan Injil dan demi penyucian sesama, pun
untuk meresapi dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injil, sehingga dalam tata hidup itu
kegiatan mereka merupakan kesaksian akan Kristus dan mengabdi pada keselamatan umat manusia.”
Kesadaran Konsili Vatikan II untuk menekankan peran kaum awam dalam pelayanan Gereja,
berangkat dari kenyataan bahwa sebelum Konsili Vatikan II, ada pendapat yang mengatakan bahwa tugas
perutusan Gereja diserahkan sepenuhnya kepada hierarki. Hanya hierarki yang menjalankan tugas itu
secara aktif sedangkan kaum awam bersifat pasif menerima pelayanan para gembala. Lebih lanjut
dikatakan bahwa hanya dalam keadaan “darurat” kaum awam bisa diperbantukan kepada hierarki melalui
satu amanat khusus, misalnya: “aksi umat Katolik” menurut Paus Pius XII bertugas untuk membantu
hierarki dalam tugas untuk mewartakan Injil di tempat di mana klerus tidak diterima, seperti di antara kaum
buruh di Perancis.
Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa peranan kaum awam dalam pelayanan Gereja sebelum
Konsili Vatikan II, seakan-akan hanya merupakan “pemberian” kaum hierarki dalam situasi tertentu.
Dengan kata lain, kaum awam dibutuhkan hanya ketika kaum hierarki membutuhkannya. Namun, sejak
Konsili Vatikan II, terjadi suatu pergeseran paradigma bahwa tugas peutusan Gereja tidak hanya
dilaksanakan oleh kaum hierarki, tetapi juga kaum awam mempunyai peranan dalam pelayanan.
Bagaimana peran kaum awam dalam pelayanan Gereja pasca Konsili Vatikan II?
2.1 Peran Kaum Awam dalam Gereja Sebelum Konsili Vatikan II
Setelah melihat bagaimana terminologi pemakaian laikós untuk membedakan kaum awam dan
kaum klerus, kita melihat bagaimana peran kaum awam dalam pelayanan Gereja sebelum digaungkannya
Konsili Vatikan II (1962-1965). Peranan kaum awam dalam pelayanan Gereja sebelum Konsili Vatikan II
dapat dikatakan memiliki keterbatasan dalam arti bahwa pelayanan di dalam Gereja semata-mata hanya
diletakkan di tangan kaum klerus (kaum tertahbis).
Dengan kata lain, antara klerus dan awam terdapat pemisahan dalam hal pelayanan. Hal ini dapat
kita lihat pada abad pertengahan di mana perbedaan antara kaum awam dan klerus sangat tampak di dalam
pelayanan, di mana pelayanan yang bersifat rohani diserahkan kepada kaum klerus (tertahbis) sedangkan
pelayanan yang bersifat jasmani diserahkan kepada kaum awam. Bahkan lebih lanjut, Kardinal Humbert da
Siva Candida merumuskan pemisahan antara bidang jasmani dan rohani dengan mengatakan: “hendaknya
para awam hanya menangani perkara mereka, yaitu hal-hal jasmani, dan hendaknya para klerus hanya
mengurus perkara mereka pula, yaitu hal rohani-gerejawi. Para klerus jangan mencampuri hal duniawi,
demikian pula kaum awam jangan mencampuri perkara gerejawi.
Pembedaan antara klerus dan kaum awam sebelum Konsili Vatikan II menghantar kita kepada
suatu kesimpulan bahwa realitas pelayanan di dalam Gereja sungguh-sungguh dikuasai oleh kaum klerus.
Pelayanan kaum klerus di dalam Gereja dianggap sebagai sesuatu yang suci. Akibatnya, kaum awam tidak
mendapat tempat dalam pelayanan di dalam Gereja, karena kaum awam dilihat hanya berperan dalam hal-
hal yang bersifat jasmani. Dengan kata lain, kaum awam berada dalam posisi ketidakpastian dalam
pelayanan Gereja, kendatipun mereka mempunyai keistimewaan sebagai orang Kristiani. Keistimewaan
kaum awam yang dimaksud di sini adalah pertama-tama tidak terletak pada kehebatan prestasi manusiawi,
melainkan karena kaum awam mengakui kekuasaan Roh Kudus. Kendatipun awam terlahir karena dosa,
tetapi berkat baptis mereka diperkenankan mengambil bagian dalam hidup Bapa, Putera, dan Roh Kudus.
Oleh karena kaum awam berpartisipasi dalam hidup Ilahi melalui pencurahan Roh Kudus, mereka menjadi
bagian “communio sanctorum” untuk menjadi saksi Kristus dan berani mengakui nama-Nya di tengah umat
manusia.
2.2. Peran Kaum Awam dalam Gereja setelah Konsili Vatikan II
Angin segar yang dibawa oleh Konsili Vatikan II benar-benar menghadirkan suatu perubahan di
dalam Gereja semesta. Perubahan yang dihadirkan oleh Konsili Vatikan II mengubah wajah Gereja yang
cenderung menutup diri dan tidak mengakui eksistensi agama-agama lain menjadi semakin terbuka dan
mengakui keberadaan agama-agama lain itu sebagai agama yang benar. Dengan kata lain, Konsili Vatikan
II menghantar Gereja untuk membuka diri dari cara berpikir “egosentris” menuju kepada cara berpikir yang
“universal.” Apa yang dikatakan sebagai cara berpikir “universal” adalah merupakan sebuah pengakuan
yang betul-betul disadari oleh Konsili Vatikan II untuk melepaskan Gereja dari sikap “egosentrismenya”
yang selama ini mengakui bahwa diluar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesia nulla salus).
Undangan Konsili Vatikan II untuk merubah wajah Gereja, tidak hanya berorientasi pada
kesadaran untuk melepaskan diri dari sikap “egosentrismenya,” tetapi juga bahwa Konsili Vatikan II betul-
betul membawa pembaharuan atau perubahan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, teristimewa
dalam mengubah peran kaum awam di dalam pelayanan Gereja yang selama ini pelayanan itu hanya
dikerjakan oleh kaum tertahbis (imam).Harus disadari bahwa sebelum Konsili Vatikan II, pelayanan di
dalam Gereja merupakan tugas yang hanya dilakukan oleh para imam (klerus). Maka, tidak mengherankan
jika sebelum Konsili Vatikan II terdapat perbedaan yang begitu tajam antara klerus dan kaum awam.
Namun, angin segar yang dibawa oleh Konsili Vatikan II menghantar Gereja untuk menekankan peran
kaum awam dalam pelayanan Gereja. Pelayanan dan tanggung jawab hidup menggereja tidak semata-mata
diletakkan kepada kaum klerus (tertahbis), melainkan juga kaum awam memiliki peranan yang sangat
penting di dalamnya, di mana mereka ikut ambil bagian dalam perutusan Gereja untuk memelihara iman
umat. Lebih lagi, Konsili Vatikan II mengatakan bahwa para awam adalah orang kristiani yang bertugas
menjaga tata tertib duniawi di dalam berbagai sektor, misalnya: sektor politik, budaya, seni, perusahaan,
perdagangan, pertanian, dan lain sebagainya. Seluruh umat Allah diundang seperti Yesus sendiri untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin dan memberitakan pembebasan kepada orang-orang
tawanan. Di dalam dunia, kaum awam bagaikan ragi dan jiwa masyarakat manusia yang harus diperbarui
dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga.Kesadaran akan peran kaum awam dalam pelayanan Gereja
menghantar Konsili Vatikan II untuk mendefiniskan kaum awam. Menurut Konsili Vatikan, kaum awam
adalah: “semua orang beriman Kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam, atau status religius
yang diakui dalam Gereja (LG 31). Definisi ini tidak memaksudkan perbedaan yang sangat tajam antara
kaum klerus (imam) dan kaum awam. Definisi ini dimaksudkan untuk menujukkan peran masing-masing
pihak, yaitu kaum klerus menjalankan fungsinya sebagai pemersatu, artinya mempersatukan agar seluruh
jemaat menjadi paguyuban umat beriman. Sedangkan kaum awam menjalankan tugas pengutusan Gereja
yang sama dengan meresapi seluruh tata hidup kemanusiaan dengan iman Kristiani.Tata hidup yang
dimaksud di sini menurut Gaudium et Spes adalah, meliputi: ekonomi, politik, komunikasi sosial dan lain
sebagainya. Dalam pengertian ini, kaum awam dilihat sebagai pihak utama yang sangat berperan dengan
segala kemampuan dan profesionalismenya.
Melalui Konsili Vatikan II, Gereja menekankan bahwa kaum awam dipanggil untuk berperan serta
dalam pengudusan Gereja kendatipun mereka tidak termasuk dalam hierarki Gereja. Panggilan kaum awam
untuk menguduskan Gereja dilihat sebagai suatu bentuk kerasulan yang berangkat dari status awam sebagai
kalangan yang hidup di tengah-tengah dunia. Artinya, karena kaum awam memiliki kekhasan, yaitu sifat
keduniaannya (LG 31), maka mereka dipanggil oleh Allah untuk menunaikan tugasnya sebagai ragi di
dalam dunia dengan semangat Kristen yang berkobar-kobar (AA 2: Apostolicam Actuositatem). Dengan
kata lain, kaum awam bertugas untuk menguduskan dunia, meresapi pelbagai urusan duniawi dengan
semangat Kristus supaya semangat dan cara hidup Kristus mengolah seluruh dunia bagaikan ragi, sehingga
Kerajaan Allah dapat bersemi di tengah dunia.
Dari pernyataan ini kita dihantar pada suatu kesimpulan bahwa Konsili Vatikan II benar-benar
menyadari peran serta kaum kaum dalam pelayanan Gereja kendatipun mereka tetap berbeda dengan kaum
klerus yang tertahbis. Namun, dalam pelaksanaan tugasnya, mereka sama dengan kaum klerus berkat
sakramen permandian. Peran ini semakin disadari oleh Konsili Vatikan II dengan mengatakan bahwa
“berdasarkan panggilan khasnya, kaum awam bertugas untuk mencari Kerajaan Allah dengan
mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai dengan kehendak Allah. Mereka hidup dalam
dunia, yakni dalam semua dan tiap jabatan serta kegiatan manusia, dan dalam situasi hidup berkeluarga dan
hidup kemasyarakatan yang biasa. Di sana mereka dipanggil agar sambil menjalankan tugas khasnya,
dibimbing oleh semangat Injil, mereka menyumbang pengudusan dunia dari dalam laksana ragi. Berkat
kesaksian hidupnya, bercahayakan iman, harap dan cinta kasih, mereka memperlihatkan Kristus kepada
orang lain.Jadi, tugas mereka secara khusus ialah menerangi dan menata semua ikhwal duniawi yang
sangat erat berhubungan dengan mereka, sehingga dapat berkembang sesuai dengan maksud Kristus dan
meruapakan pujian bagi pencipta dan penyelamat.” Melalui panggilan kaum awam dalam sifatnya yang
khas, kaum awam mengingatkan para imam, kaum rohaniwan betapa pentingnya kenyataan duniawi dan
fana di dalam rencana penyelamatan Allah.
Melalui jabatan sebagai imam, kaum awam bertindak sebagai pengantara antara Allah dan
manusia untuk menyatukan Allah dan manusia, membawa Allah kepada manusia dan manusia kepada
Allah. Tindakan keimamatan Kristus yang dijalankan oleh kaum awam menekankan suatu pelayanan murni
bahwa pelayanan itu merupakan pelayanan yang sungguh-sungguh diprakarsai oleh Kristus sendiri dalam
diri kaum awam. Dengan kata lain, kaum awam dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan jemaat,
pertama-tama tidak bertindak atas kekuatannya sendiri, melainkan karena Kristuslah yang pertama-tama
bertindak dan berkarya dalam diri mereka. Kristus sendirilah yang mengarahkan kaum awam dalam
mengemban tugas dan pelayanannya di tengah-tengah jemaat untuk mewujudkan secara nyata dimensi
Kerajaan Allah di dunia.
Dalam fungsi “kenabian,” kaum awam menjadi perantara Allah untuk menyampaikan kabar suka
cita Allah kepada dunia. Sebab, nabi adalah orang yang dipenuhi dengan Roh Kudus melalui doa-doa,
pergaulan yang intim dengan Allah sendiri, orang yang setia pada pesan Allah, orang yang berani
mewartakan Sabda Allah walau mereka diterpa oleh berbagai persoalan ketika mereka menyampaikan
Sabda Allah kepada dunia.
Selanjutnya, dalam fungsi rajawi, kaum awam menjadi tonggak yang siap sedia untuk mengabdi
dan berpegang pada apa yang dimulai oleh Kristus sendiri dalam perutusan-Nya di dunia. Jadi, dalam
fungsi rajawi kaum awam benar-benar menghayati panggilannya sebagai seorang pelayan, mengabdi,
menaruh perhatian terhadap Gereja dan masyarakat.Dari pemahaman di atas, pertanyaan yang dapat kita
ajukan berkaitan dengan peran kaum awam dalam menjalankan tugas pelayanannya adalah bagaimana
kaum awam menjalankan tugas perutusan Gereja di dalam dunia dalam sifatnya yang khas?
2.3. Kerasulan Kaum Awam
Menurut Konsili Vatikan II, kaum awam menjalankan tugas perutusannya dengan mengambil
bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi, dan raja. Dengan mengambil bagian di dalam tugas
Kristus, kaum awam menjalankan perannya dalam perutusan seluruh umat Allah di dalam Gereja dan di
dalam dunia.
Peranan Awam sering diistilahkan sebagai Kerasulan Awam yang tugasnya dibedakan sebagai
Kerasulan internal dan eksternal. Kerasulan internal atau kerasulan “di dalam Gereja” adalah kerasulan
membangun jemaat. Kerasulan ini lebih diperani oleh jajaran hierarkis, walaupun Awam dituntut juga
untuk mengambil bagian di dalamnya. Kerasulan eksternal atau kerasulan “dalam tata dunia” lebih diperani
oleh para Awam. Namun harus disadari bahwa kerasulan dalam Gereja bermuara pula ke dunia. Gereja
tidak hadir di dunia ini untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia. Gereja hadir untuk membangun Kerajaan
Allah di dunia ini.
2.2.1. Kerasulan dalam tata Dunia (eksternal)
Berdasarkan panggilan khasnya, Awam bertugas mencari Kerajaan Allah dengan mengusahakan
hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai dengan kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, yakni dalam
semua dan tiap jabatan serta kegiatan dunia. Mereka dipanggil Allah menjalankan tugas khasnya dan
dibimbing oleh semangat Injil. Mereka dapat menguduskan dunia dari dalam laksana ragi (lih. LG 31).
Kaum Awam dapat menjalankan keRasulannya dengan kegiatan penginjilan dan pengudusan manusia serta
meresapkan dan memantapkan semangat Injil ke dalam “tata dunia”sedemikian rupa sehingga kegiatan
mereka sungguh-sungguh memberikan kesaksian tentang karya Kristus dan melayani keselamatan
manusia.Dengan kata lain “tata dunia” adalah medan bakti khas kaum Awam. Hidup keluarga dan
masyarakat yang bergumul dalam bidang-bidang ipoleksosbudhamkamnas hendaknya menjadi medan bakti
mereka.Sampai sekarang ini, masih banyak di antara kita yang melihat kerasulan dalam tata dunia bukan
sebagai kegiatan kerasulan. Mereka menyangka bahwa kerasulan hanya berurusan dengan hal-hal rohani
yang sakral, kudus, serba keagamaan, dan yang menyangkut kegiatan-kegiatan dalam lingkup Gereja.
Dengan paham gereja sebagai “Tanda dan Sarana Keselamatan Dunia” yang dimunculkan oleh
gaudium et Spes, di mana otonomi dunia dan sifatnya yang sekuler diakui, maka dunia dan lingkungannya
mulai diterima sebagai patner dialog dapat saling memperkaya diri. Orang mulai menyadari bahwa
menjalankan tugas-tugas duniawi tidak hanya berdasarkan alasan kewargaan dalam masyarakat atau negara
saja, tetapi juga karena dorongan iman dan tugas keRasulan kita, asalkan dengan motivasi yang baik. Iman
tidak hanya menghubungkan kita dengan Tuhan, tetapi sekaligus juga menghubungkan dengan sesama kita
di dunia ini.
2.2.2. Kerasulan dalam Gereja (internal)
Karena Gereja itu Umat Allah, maka Gereja harus sungguh-sungguh menjadi Umat Allah. Ia
hendaknya mengkonsolidasi diri untuk benar-benar menjadi Umat Allah. Ini adalah tugas membangun
gereja. Tugas ini dapat disebut keRasulan internal. Tugas ini pada dasarnya dipercayakan kepada golongan
hierarkis (keRasulan hierarkis), tetapi Awam dituntut pula untuk ambil bagian di dalamnya. Keterlibatan
Awam dalam tugas membangun gereja ini bukanlah karena menjadi perpanjangan tangan dari hierarki atau
ditugaskan hierarki, tetapi karena pembabtisan ia mendapat tugas itu dari Kristus. Awam hendaknya
berpartisipasi dalam tri tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja.
Dalam tugas Imamiah (menguduskan), awam diajak untuk terus berpartisipasi dalam kehidupan
sakramen dan liturgi. Secara konkrit, seorang Awam dapat: Memimpin upacara ibadat tanpa imam,
memimpin doa dalam pertemuan umat, memimpin koor atau nyanyian dalam ibadah, membagi komuni,
menjadi pelayan putra-putri Altar. Seorang awam juga dapat membaptis bayi (KHK kan. 861, §2: Bilamana
pelayan biasa (Uskup, imam dan diakon) tidak ada atau terhalang, baptis dilaksanakan secara licit oleh
katekis atau orang lain yang oleh Ordinaris wilayah ditugaskan untuk fungsi itu)
Dalam tugas nabiah (pewarta sabda), seorang Awam dapat: Menjadi anggota dewan
paroki,Menjadi ketua seksi, ketua lingkungan atau wilayah, mengajar agama, sebagai katekis,memimpin
kegiatan pendalaman Kitab Suci atau pendalaman iman, dsb.Dalam sebagai raja seorang awam diajak
dalam tugas pelayanan (diakonia), pelayanan pastoral, persaudaraan (koinonia) dll..
2.4. Katekismus Gereja Katolik :

Tentang tugas kerasulan kaum awam, Katekismus mengajarkan demikian:


2.4.1. KGK 900
Kaum awam, seperti juga semua umat beriman, telah menerima dari Allah tugas
kerasulan berkat Pembaptisan dan Penguatan; karena itu mereka mempunyai hak dan kewajiban,
baik sendiri-sendiri maupun dalam persekutuan dengan orang lain, untuk berusaha supaya semua
manusia di seluruh dunia mengenal dan menerima berita keselamatan ilahi. Kewajiban ini lebih
mendesak lagi, apabila orang tertentu hanya melalui mereka dapat menerima Injil dan mengenal
Kristus. Dalam persekutuan gerejani kegiatan mereka sekian penting, sehingga kerasulan pastor
sering tidak dapat berkembang sepenuhnya tanpa mereka.
2.4.2. KGK 910
Kaum awam dapat juga merasa dirinya terpanggil atau dapat dipanggil,untuk bekeja sama
dengan para gembala mereka dalam dalam melayani persekutuan gerejani, demi pertumbuhan dan
kehidupan persekutuan itu. Dalam pada itu mereka dapat mengambil alih pelayanan yang sangat
berbeda-beda, sesuai dengan rahmat dan karisma yang Tuhan anugerahkan kepada mereka (EN
73).
III.Panggilan dan Misi Kaum Awam
3.1. Ekshortasi Apostolik Christifideles Laici
Salah satu dokumen Magisterium Gereja yang dapat dipakai sebagai dasar komunitas
awam adalah Ekshortasi apostolik, Christifideles Laici (CL), tentang Panggilan dan Misi Kaum
Awam, yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 30 Desember 1988.Paus Yohanes
Paulus II mengajarkan bahwa dasar tugas panggilan dan misi kaum awam adalah persekutuan
dengan Kristus (lih. CL 8). Misteri persekutuan dengan Kristus inilah yang menyatakan martabat
panggilan dan misi kaum awam. Maka pelaksanaan tugas panggilan kaum awam pada dasarnya
merupakan 1) partisipasi kaum awam dalam ketiga misi Kristus sebagai imam, nabi dan raja (lih.
CL 14), yaitu misi yang kita peroleh setelah kita dibaptis- dan 2) sebagai langkah nyata yang
dilaksanakan untuk dapat bertumbuh dalam kekudusan (lih. CL 16-17), yang menjadi panggilan
semua umat Kristen.
Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa persekutuan dengan Kristus diperoleh di
dalam Sabda Tuhan dan sakramen-sakramen, terutama sakramen Ekaristi (lih. CL 19). Juga
karena Gereja adalah persekutuan para orang kudus dengan Kristus sebagai Kepalanya, maka
persekutuan kita dengan Kristus juga harus mengakibatkan persekutuan kita dengan anggota-
anggota Kristus lainnya (lih. CL 19), yang beragam dan saling melengkapi (lih. CL 20-21), di
mana tiap-tiap anggota menjalankan perannya masing-masing untuk membangun Gereja, demi
kebaikan umat manusia dan dunia (lih. CL 24).Terkait dengan persekutuan ini, maka semua
komunitas umat beriman harus berkomitmen untuk mengatasi segala bentuk perpecahan dan
pertentangan, sebab hal ini tidak sesuai dengan hakekat persekutuan dengan Kristus dan Tubuh-
Nya (lih. CL 31)Maka adalah hak awam untuk mendirikan komunitas awam (CL 29); namun
terdapat kriteria-nya agar bentuk-bentuk ini dapat dikatakan otentik (lih. CL 30):
1. Tujuan utamanya adalah untuk memenuhi panggilan setiap umat beriman kepada
kekudusan.
2. Bertanggung jawab untuk mengakui iman Katolik yang sepenuhnya: kebenaran
akan Kristus, Gereja dan umat manusia, sesuai dengan ajaran Magisterium.
3. Memberikan kesaksian akan persekutuan yang kuat dan otentik, dalam ketaatan
kepada Paus dan pada iman Gereja.
4. Berpartisipasi di dalam tujuan karya kerasulan Gereja, yaitu evangelisasi dan
pengudusan umat manusia dan pembentukan hati nurani umat Kristiani, agar
dapat menanamkan semangat Injil di dalam sendi-sendi kehidupan manusia.
5. Berkomitmen untuk hadir dalam masyarakat untuk melayani martabat manusia-
atas dasar bahwa semua manusia diciptakan menurut gambaran Tuhan- dan untuk
melayani kehidupan.
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa kaum awam mempunyai panggilan dan misi untuk
mewartakan Injil (lih. CL 33). Melalui evangelisasi, Gereja dibangun menjadi komunitas iman,
yaitu komunitas yang mengakui iman yang setia penuh pada Sabda Tuhan, sebagaimana
dirayakan dalam sakramen, dan komunitas yang hidup di dalam kasih yang menjadi prinsip
ajaran moral Kristiani (lih. CL 33).Prinsip utama dari pewartaan kaum awam ini adalah
membawa terang Kristus ke dalam dunia sekular, sehingga nilai-nilai kehidupan di dunia ini
dapat diarahkan kepada Kristus. Titik awal dari panggilan dan misi ini dimulai dari keluarga yang
adalah inti sel masyarakat yang terkecil (CL 40), dan tujuan dari misi ini adalah untuk melayani
kehidupan masyarakat, demi kebaikan bersama (lih. CL 42).Untuk melakukan tugas panggilan
dan misi kaum awam, diperlukan proses formasi/ pendewasaan iman di dalam kesatuan dengan
Kristus, sebagaimana ranting harus selalu melekat pada pokoknya (Lih. Yoh 15; CL 57). Tujuan
yang paling mendasar dari proses ini adalah agar setiap orang yang terlibat dapat mengetahui
dengan lebih jelas akan panggilan hidupnya dan berkemauan lebih besar untuk melaksanakan
misinya (lih. CL 58).
Untuk dapat mengetahui kehendak Tuhan di dalam hidup kita ini hanya dapat diperoleh
melalui: 1) mendengarkan Sabda Tuhan dan Gereja, 2) doa yang sungguh-sungguh dan terus
menerus, 3) bimbingan dari pembimbing rohani yang bijaksana, 4) discernmentyang terus
menerus tentang berbagai karunia dan talenta yang sudah diberikan Tuhan dan juga keadaan di
mana kita tinggal (lih. CL 58). Proses formasi ini pada dasarnya adalah proses pembentukan diri
agar dapat semakin terbuka terhadap karya Allah (lih. CL 63).Bersumber dari panggilan dan misi
sebagai umat Kristiani inilah, lahirlah karya-karya kerasulan awam. Salah satu dokumen Gereja
(dari Konsili Vatikan II) yang mengatur kegiatan ini adalah dekrit tentang Kerasulan Awam yang
berjudul Apostolicam Actuositatem.Kitab Suci dengan jelas mengisahkan keteribatan kaum
awam, sejak awal mula terbentuknya Gereja (lih. Kis 11:19-21; 18:26; Rom 16:1-16; Flp 4:3).
Sedangkan cara hidup komunitas jemaat/ Gereja awal ditulis dalam Kis 2:41-47.

Anda mungkin juga menyukai