Anda di halaman 1dari 4

Resensi Buku

Deflit Dujerslaim Lilo

Pendahuluan

Buku Teologi Sistematika – Doktrin Gereja ditulis oleh Louis Berkhof; penerjemah: Yudha
Thianto; editor: Rudy Hartono dan Hendry Ongkowidjojo; cetakan kesepuluh; Surabaya; penerbit:
Momentum, tahun 2014; xii + 202 halaman; jilid 5; ketebalan buku 21 cm; ISBN 978-602-8165-73-0.

Deskripsi
Gereja ada karena karya Kristus dan gereja bertugas memimpin umat kepada Kristus. Dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, istilah qahal (dalam PB diterjemahkan ekklesia) dan edhah
(dalam PB diterjemahkan sunagoge) secara bergantian merujuk pada Gereja sebagai sebuah
kumpulan dari jemaah atau masyarakat Israel. Kata lain yang dipakai dalam PB adalah kuriake
yang berarti sebuah bangunan rohani sebagai milik Tuhan. Selain itu, Gereja juga sering disebut
sebagai tubuh Kristus, Bait Roh Kudus, Yerusalem surgawi, dan tiang atau dasar kebenaran.
Pada masa Bapak-Bapak Gereja, perlawanan terhadap bidat-bidat sesat menuntut adanya
upaya penegasan secara eksternal mengenai gereja yang dipilih Allah sebagai yang benar dan
satu. Gereja-gereja lokal mulai diatur dalam sebuah organisasi gereja yang lebih universal. Gereja
pada masa ini bergumul pada dua pilihan, yaitu gereja sebagai kesatuan komunitas umat pilihan
Allah atau gereja sebagai milik organisasi secara eksternal. Lalu, pada abad pertengahan doktrin
tentang gereja tidak terlalu berkembang. Pemerintahan gereja melalui Paus dipandang lebih dari
pada negara oleh kaisar. Gereja mengatur segalanya dan mengklaim tidak ada keselamatan di luar
sakramen-sakramen yang dilakukan gereja. Sedangkan selama zaman reformasi, para reformator
sepakat bahwa gereja adalah sebuah persekutuan orang kudus baik yang kelihatan atau pun tidak
kelihatan. Hanya pada abad delapan belas, Rasionalisme mulai meragukan gereja yang kelihatan.
Gereja adalah komunitas sosial bukan sebuah wadah yang dibentuk oleh Tuhan.
Esensi gereja itu sendiri, menurut Roma Katolik adalah gereja yang kelihatan dan gereja
yang kelihatan ini lebih utama dari gereja yang tidak kelihatan. Gereja Ortodoks Yunani memiliki
pandangan yang sama dengan Roma Katolik, hanya mereka beranjak lebih jauh dengan menolak
pemahaman tentang gereja yang tidak kelihatan. Berbeda dengan gereja Protestan Reformasi yang
melihat esensi gereja terletak pada persekutuan orang percaya yang dikepalai oleh Kristus. Gereja
sebagai persekutuan ini mencakup baik yang tidak kelihatan maupun yang kelihatan. Gereja yang
dimaksud di sini adalah persekutuan umat yang terpanggil secara efektif oleh karya Allah,
menjalankan sakramen, dan mengakui Kristus sebagai Tuhan. Dalam hal ini, Allah secara
berdaulat memerintah persekutuan orang-orang percaya hingga kedatangan Kristus kembali.
Orang-orang percaya yang pada satu sisi adalah anggota kerajaan Allah dan pada sisi lain adalah
anggota sebuah persekutuan gereja. Gereja sejak masa PL hingga PB tetap sama esensinya
meskipun berbeda secara kelembagaan dan administratif.
Katolik memandang gereja sebagai kesatuan hierarkis berbentuk piramida di mana Paus
sebagai puncaknya, kesucian gereja tampak dalam aktivitas seremonial, dan bahwa mereka
menanggap diri sebagai gereja yang umum karena memiliki penyebaran yang lebih luas dan
besar. Protestan memandang gereja sebagai tubuh Kristus di mana Kristus adalah kepala dan
gereja adalah anggota-Nya baik yang kelihatan atau pun tidak kelihatan. Gereja harus dijalankan
menurut Firman Tuhan yang benar. Gereja pada satu Six kudus karena dibenarkan dan
dikuduskan Yesus Kristus dan pada sisi lain wajib untuk hidup dalam kekudusan. Gereja yang
umum dalam pandangan Protestan adalah gereja sebagai sebuah persekutuan yang universal,
yang mencakup semua gereja di dunia. Gereja yang umum ini adalah gereja yang berdasar pada
pemberitaan Firman Tuhan yang benar, pelaksanaan sakramen yang tepat, dan pelaksanaan
disiplin gereja yang konsisten.
Dalam perkembangannya, gereja akhirnya memiliki sistem pemerintahan yang beragam.
Sistem-sistem itu adalah: 1) Sistem Erastian yang diperintah oleh secara berdaulat oleh negara, 2)
sistem Episkopal yang diperintah secara eksklusif oleh uskup yang dipandang sebagai penerus
para rasul, 3) sistem Roma Katolik yang monarki absolut di bawah Paus sebagai penerus Rasul
Petrus, 4) sistem Kongregasioal yang deklaratif dan tidak bergantung pada gereja lain, 4) sistem
Kolegial yang diatur secara nasional, dan 5) sistem Presbiterian yang menganggap bahwa Kristus-
lah Kepala gereja yang kelihatan atau pun tidak kelihatan, pemerintahan oleh Kristus ini bukanlah
sebuah tirani tetapi melalui Roh Kudus dan Firman Tuhan sebagai standar otoritas, Kristus
memberikan kuasa dalam mengelola gereja kepada pejabat gereja dan anggota gereja secara
keseluruhan, para pejabat gereja sebagai wakil Kristus dalam memelihara pengajaran doktrin,
ibadah, dan disiplin, serta sistem ini mengakui baik otonomi gereja lokal atau pun sinodal. Akan
tetapi, Sekte Quaker dan Darbyte menolak semua bentuk sistem ini karena dipandang sebagai
bentuk perbuatan dosa.
Jabatan-jabatan dalam gereja mencakup: 1) jabatan luar biasa yaitu para rasul, nabi, dan
pemberita Injil; 2) jabatan biasa yaitu para tua-tua, guru-guru, dan diaken. Para pejabat biasa yang
dipanggil oleh Tuhan dan gereja melewati penahbisan dan penumpangan tangan sebagai tanda
resmi memulai jabatan itu. Dalam sistem Reformed, jabatan-jabatan ini terdapat dalam dewan
gereja lokal (yang terdiri dari tua-tua dan pendeta lokal), dewan klasis, sinode, dan sidang umum.
Oleh karena itu, gereja pun memiliki kuasa rohani yang diberikan oleh Tuhan Yesus untuk
dilakukan sebagai sebuah pelayanan. Kuasa-kuasa rohani itu meliputi: 1) kuasa untuk berapologia
akan kebenaran Firman Tuhan, memberitakan dan mendidik tentang Injil, melaksanakan
sakramen, membentuk sistem doktrin dan pengakuan iman yang alkitabiah, dan mengembangkan
pemahaman teologinya; 2) kuasa untuk memberlakukan hukum Kritus dengan konsisten,
menetapkan aturan-aturan dalam gereja, dan menerapkan disiplin dalam gereja; dan 3) kuasa
untuk menyembuhkan dan melakukan mukjizat serta melaksanakan pelayanan diakonial
terhadap orang miskin.
Gereja ada karena anugerah Allah dan gereja dipakai sebagai alat untuk menyatakan berkat-
Nya bagi orang percaya melalui dua alat anugerah yaitu pemberitaan firman dan pelaksanaan
sakramen. Keduanya adalah anugerah khusus yang dikerjakan oleh Roh Kudus secara resmi dan
konsisten untuk meneguhkan iman orang percaya dalam gereja. Roma Katolik lebih menekankan
realitas sakramen dan gereja sebagai alat anugerah utama dibanding dengan Firman. Lutheran
menekankan Firman Tuhan sebagai yang utama dan sifat obyektif dari sakramen. Kaum
Anabaptis dan sekte mistis pada jaman Reformasi menekankan bahwa anugerah Allah tidak harus
terikat pada alat-alat eksternal seperti itu. Kaum Socinian berpendapat bahwa pelaksanaan
sakramen adalah ritual yang bersifat moralitas manusia dan tidak melibatkan karya Roh Kudus.
Reformed menolak pandangan-pandangan di atas. Alat-alat anugerah itu bukanlah sumber berkat
atau keselamatan. Allah menggunakan alat-alat itu sebagai sarana yang dengannya Ia
memberikan berkat-Nya.
Alat anugerah yang pertama adalah Firman Tuhan yang diinspirasikan dan disampaikan.
Pemberitaan Firman Tuhan bekerja dalam penyertaan Roh Kudus. Hukum dan Injil adalah dua
bagian yang terkandung dalam Firman sehubungan dengan pelaksanaan anugerah-Nya.
Memisahkan dua bagian ini adalah sebuah kekeliruan sebab dalam PL ada Injil dan dalam PB ada
Hukum. Alat anugerah yang kedua adalah sakramen. Sakramen ini bersifat spiritual yang
merupakan tanda dan meterai, yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam penerapan anugerah
kepada orang percaya. Dalam Perjanjian Lama ada sunat dan paskah sedangkan dalam Perjanjian
Baru ada Baptisan dan Perjamuan Kudus. Baptisan yang dimaksud adalah Baptisan Kristen yang
berbeda dengan praktek baptisan bangsa kafir dan baptisan Yohanes Pembaptis. Baptisan ini
ditetapkan sendiri oleh Kristus setelah kebangkitan-Nya dengan tujuan membawa penerimanya
ke dalam satu hubungan yang khusus dengan-Nya.
Sejak jaman Didache, rumusan “dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” ditetapkan
sebagai rumusan yang tetap dalam pembaptisan. Sebelum jaman Reformasi, baptisan digunakan
sebagai syarat pengampunan dosa, hidup baru, dan masuk dalam Gereja. Pada masa Reformasi,
terdapat perbedaan persepsi mengenai baptisan. Lutheran menekankan pentingnya air yang
digunakan dan iman penerimanya. Anabaptis menolak baptisan anak. Reformed menekankan
pentingnya baptisan untuk semua orang percaya baik itu dewasa atau pun anak-anak yang lahir
dari keluarga yang percaya. Baptisan dewasa diawali dengan pengakuan iman dan untuk
menguatkan iman. Meskipun ada penolakan dari kaum Baptis, baptisan anak juga adalah baptisan
yang alkitabiah. Perjanjian Allah dengan Abraham (sunat) yang bersifat spiritual dan secara
mendasar masih berlaku pada (baptisan) Perjanjian Baru hingga sekarang. Baik PL atau pun PB
sama-sama menekankan pentingnya anak-anak sebagai bagian yang integral. Baptisan dalam PB
menggantikan sunat dalam PL. Penegasan bahwa anak-anak tidak dibaptiskan dan tidak ada
perintah yang eksplisit dalam PB pun tidak tepat sebab jika ada baptisan keluarga proselit pada
waktu itu maka anak-anak yang ada dalam keluarga itu tentu juga ikut dibaptiskan. Persoalan
berikut adalah mengenai cara baptisan yang benar. Dalam PL, baptisan Yohanes Pembaptis, dan
baptisan Yesus, semuanya melambangkan tentang pembersihan dan pemurnian spiritual, bukan
bagaimana caranya dan akibat dari cara itu yang mendapat penekanan. Kata bapto dan baptizo
tidak hanya selalu berati menyelamkan tetapi juga membasuh, memandikan, dan memurnikan
dengan cara membasuh. Dengan kata lain, cara baptisan mana pun tidak menjadi persoalan
karena baptisan bukan tentang cara bagaimana tetapi apa tujuannya.
Sakramen kedua adalah Perjamuan Kudus. Dalam PL, perayaan Paskah adalah analogi dari
perjamuan Paskah dalam PB. Hanya, PB melihat perayaan itu lebih jauh kepada makna
perjumpaan dengan Mesias yang dijanjikan. Pada masa para rasul perjamuan kudus disertai
dengan perjamuan kasih. Pada masa setelah itu, Perjamuan Kudus dimengerti dalam perdebatan
tentang teori pengorbanan dan transubstansiasi tubuh dan darah Kristus. Selama dan setelah
reformasi bergulir, doktrin tentang Perjamuan Kudus juga berkembang. Luther menekankan
konsubstansiasi, Zwingli menekankan kiasan akan kehadiran Kristus dalam perjamuan kudus,
dan Calvin menekankan penolakan terhadap teori Roma Katolik dan Luther dan mengakui
kehadiran Yesus secara spiritual yang sedikit berbeda dari pemahaman Zwingli.
Istilah-istilah yang digunakan dalam Alkitab untuk merujuk pada sakramen ini adalah
Perjamuan Tuhan, meja Tuhan, memecah-mecahkan roti, ucapan syukur (Eucharistia), dan berkat
(Eulogia). Penetapan Perjamuan Kudus itu sendiri pun dilaksanakan oleh Gereja Reformed pada
masa kini atas dasar contoh yang diberikan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya, mencakup
pemecahan roti tidak beragi dan penuangan anggur, perintah untuk makan dan minum roti dan
anggur, dan penjelasan tentang perlambangan akan frasa “inilah tubuh Ku”. Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan tentang keikutsertaan dalam Perjamuan Kudus: 1) Perjamuan Kudus
adalah simbolisasi kematian Kristus; 2) melambangkan partisipasi orang percaya dalam
penyaliban-Nya; 3) mewakili Kristus dalam iman dan anugerah yang diterima; 4) melambangkan
persatuan antar sesama orang percaya; 5) memeteraikan kebesaran kasih Kristus; 6) menjamin
orang percaya memiliki semua janji anugerah-Nya; 7) menjamin perolehan keselamatan; 8) sebagai
pengakuan dan penerimaan akan Kristus sebagai Juruselamat dan Raja. Sakramen ini ditetapkan
oleh Tuhan sendiri sebagai alat dalam pemberian anugerah yang sama dengan yang diterimanya
melalui Firman Tuhan. Sakramen ini tentu hanya ditujukan untuk orang yang sungguh-sungguh
bertobat, percaya, dan hidup kudus. Anak-anak, orang dalam gereja yang tidak percaya, orang
percaya yang berada dalam disiplin gereja, dan orang-orang di luar gereja tidak diikutsertakan
dalam sakramen ini.

Evaluasi dan Rekomendasi

Secara garis besar, Berkhof membagi pembahasan bukunya ini ke dalam dua bagian utama,
yaitu: Pertama, mengenai definisi, esensi, atribut, dan sistem pemerintahan gereja; dan Kedua,
mengenai alat-alat anugerah yang terfokus pada Firman Tuhan dan sakramen (dalam hal ini
baptisan dan perjamuan kudus). Dengan pembagian tersebut maka tentu alur pembahasan buku
ini menjadi lebih sistematis dan mudah dimengerti. Apalagi ditunjang dengan pemaparan isi yang
mengenai doktrin Alkitab tentang gereja yang benar dan alkitabiah.
Paling tidak ada beberapa hal lain yang menjadi keunggulan buku ini. Pertama, dalam buku
ini kita akan menemukan penyajian materi yang fair dan informatif. Meskipun Berkhof adalah
seorang Reformed tetapi ia berusaha secara konsisten dalam menyajikan dan menelaah
pandangan demi pandangan dari berbagai aliran gereja tanpa berkompromi pada pandangan
yang salah, sekalipun itu berasal dari kalangan Protestan. Misalnya pada halaman 176, pandangan
Protestan tentang korban Paskah dalam PL. Ini membuktikan bahwa demi sebuah kebenaran yang
alkitabiah, Berkhof benar-benar memberikan sumbangsih pengetahuan yang baik dan bermanfaat.
Kedua, dalam setiap sub pembahasan, Berkhof secara konsisten membandingkan dan menganalisa
setiap paham mulai dari Bapak-Bapak Gereja, Gereja Roma Katolik, Era Reformasi seperti
Lutheran, Calvinis, maupun Zwingli yang ada pada bagian akhir buku ini. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika kita dapat dengan mudah menemukan alur sejarah mengenai perkembangan
doktrin ini dengan baik. Ketiga, Berkhof mengolaborasikan berbagai model dan sumber dalam
pembahasan buku ini. Pemaparan historis, apologetis, eksegesis (studi kata), dan penyajian
beragam sumber termasuk dari katekismus-katekismus, tentu sangat memperkaya pemahaman
para pembaca. Keempat, Berkhof membahasakan isi buku ini dengan elegan namun sederhana
sehingga akan dengan mudah dipahami. Bagi para pembaca yang tertarik dengan doktrin Alkitab
tentang gereja dan teori-teori di seputarnya, akan terpuaskan. Jika pada bagian yang satu sebuah
penjelasan tidak terlalu jelas, maka akan menjadi jelas pada bagian yang lain. Membuat para
pembaca tertarik untuk menelusuri halaman demi halaman buku ini. Istilah-istilah teknis yang
sulit dimengerti pun diberi penjelasan pada bagian terakhir buku ini.
Meskipun begitu, memang dirasa bahwa doktrin gereja ini masih kurang lengkap. Bagi
gereja-gereja di Eropa, buku ini akan lebih mudah diterapkan. Berbeda dengan konteks Indonesia
di mana paham dalam Islam pun sangat penting untuk dijelaskan sehubungan dengan bagian
kedua buku ini yang membahas tentang pemahaman mengenai sunat, baptisan, dan pemberian
kurban. Memang Berkhof sempat memberikan penjelasan pada halaman 133 tentang pemahaman
kekafiran, tetapi tentang pemahaman Islam tidak disinggung sedikit pun. Oleh sebab itu, bagi
para pembaca yang ingin mengetahui konsep Islam tentang hal-hal tersebut, tidak akan
menemukannya dengan tuntas dalam buku ini. Begitu pula, tidak adanya pemaparan yang lebih
rinci tentang sejarah perkembangan gereja dan doktrin tentang gereja di Asia dan sekitarnya
mengingat gereja lahir di Asia. Dalam hal ini, Berkhof memang sangat berkonsentrasi pada
perkembangan gereja di Eropa dan sekitarnya.
Namun, buku ini memang sangat bermanfaat bagi para pembaca yang hendak konsen pada
doktrin Alkitab tentang gereja. Bagi para pendeta, majelis, penatu, diaken, dosen dan mahasiswa
teologi, para pendiri sebuah gereja lokal, dan bahkan kaum awam, buku ini sangat disarankan
sebagai salah satu sumber penting dalam memahami sejarah berdirinya dan perkembangan ajaran
serta sistem pemerintahan dalam gereja.

Anda mungkin juga menyukai