Anda di halaman 1dari 7

Materi MK Dogmatika III/8A/B

Ekklesiologi
Senin, 14 Februari 2022
Pdt.Dr.Jordan H.Pakpahan

1. Perjanjian Baru dan Paulus berbicara gereja sebagai tubuh Kristus. Kita tau
bahwa Yesus mengumpulkan murid-muridNya. Tetapi kumpulan itu belum
disebut sebagai gereja. Dalam perkembangan selanjutnya ada persekutuan yang
menyandang nama Kristus, yang kemudian menyebut diri gereja. Gereja lalu
dipahami sebagai tubuh Kristus. Dan Kristus adalah Kepala Gereja. Kristus
sebagai Kepala Gereja menyatukan di dalam diri-Nya semua orang percaya di
seluruh dunia. Ada dua konsep Paulus yang harus diingat terkait arti gereja.
Pertama: perbandingan Adam dengan Kristus (Rom. 5.12-21; 1 Kor. 15.2).
Kedua: Kristus sebagai Kepala Gereja dalam Efesus dan Kolose. Kemanusiaan
kita yang lama, yang berdosa ditemukan di dalam Adam lama. Kemanusiaan kita
yang baru, yang dibenarkan ada di dalam Kristus (en Christo). Kristus sebagai
Kepala dan Gereja sebagai Tubuh merupakan dua hal yang menyatu dan tidak
terpisahkan. Gereja adalah tubuh kristus artinya gereja itu Tubuh Kristus
sendiri. menjadi anggota gereja berarti berada di dalam tubuh Kristus. Berada di
dalam Kristus.
2. Mari sejenak melihat visi Lukas tentang gereja. Komunitas yang kita temui di
bab-bab awal kitab Kisah Para Rasul adalah para pengikut Yesus di Jerusalem
yang berkumpul di rumah-rumah dan di bait suci (sinagoge). Komunitas itu
belum memiliki nama. Kita menyebut mereka sebagai Gereja di Jerusalem.
Ekklesia kristen pertama. Namun Injil Lukas tidak menyebut demikian. Orang
percaya yang berkumpul itu disebut sebagai 'semua yang membaktikan dirinya
dengan satu hati berdoa,' 'saudara-saudara,' semua yang berkumpul di tempat
yang sama,' 'komunitas' - plethos mereka yang telah percaya (Kis.1.14, 15; 2.1,
44, 47; 4.23,32). Komunitas baru itu didefinisikan melalui kesetiaan mereka
kepada Yesus Mesias yang bangkit. Khotbah Pentakosta Petrus mengungkap
Yesus sebagai raja ilahi (Tuhan dan Kristus). Di bawah pengakuan inilah seluruh
komunitas orang percaya bersatu. Hanya dengan percaya kepada Yesus tersalib
yang adalah Tuhan dan Kristus (Kis. 2.36) orang itu menyeberang dari 'generasi
yang bobrok' ke dalam komunitas yang diselamatkan, dan menereima sakramen
baptisan dan baptisan Roh Kudus. Lukas memahami komunitas baru itu sebagai
laos Allah selanjutnya, dan adalah pewaris berkat-berkat perjanjian Abraham
(Kis.3.25-26). Hal primer spiritual dari komunitas baru itu adalah kepemilikan
Roh Kudus. Baru kemudian di Kisah 5.11 komunitas itu diberi nama untuk
pertama kali. Nama yang dipakai adalah ekklesia, untuk menyebut perkumpulan
kristen, dan membedakan mereka dari perkumpulan sinagoge. (p.45-63,
lanjutkan baca David Seccombe, "Luke's Vision for the Church," dalam Markus
Bockmuehl/Michael B.Thompson (ed.), A Vision for the Church: Studies in Early
Christian Ecclesiology in Honour of J.P.M.Sweet (Edinburgh: T&T Clark, 1997)
3. Gereja menurut Martin Luther. Luther menjelaskan arti gereja dalam kaitannya
dengan Firman Allah. Gereja lahir dari Firman Allah. Gereja diciptakan oleh
Firman Allah. Di dalam Ad Librum Ambrosii Catharini Responsio (1521) Luther
berkata: "The Whole life and nature of the church exists in the Word of God.
Gereja dan Firman Allah menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Demikianlah
bahwa: "God's Word can not be without God's People. And God's People can not
be without God's Word." Umat Allah adala nama yang diberi Luther untuk
gereja. (Gereja sebagai umat Allah terdiri dari orang Yahudi dan non-Yahudi.
Orang kristen disebut umat Allah berdasarkan pada Yesus Kristus. Dan tanda
orang kristen sebagai umat Allah adalah imannya kepada Kristus. Sehingga,
umat Allah dipahami sebagai persekutuan orang-orang percaya di dalam
Kristus). Nama lainnya oleh Luther untuk menyebut gereja adalah Tubuh
Kristus. Tubuh Kristus yang dimaksud adalah tubuh yang didiami oleh RohNya,
yakni orang-orang percaya di seluruh dunia. Dengan konesp gereja seperti ini,
gereja dipahami tidak lagi sebagai sebuah organisasi gereja yang dapat dilihat.
Gereja adalah komuni ril yang menyatu di sekitar Kristus yang adalah Kepala.
Kesatuan gereja tidak lagi ditemukan di dalam suksesi episkopal katolik
(successio episcoporum), tetapi di dalam kontinuitas orang percaya yang tidak
terputus (successio fidelium). Di dalam artikel Smalkald, dan dalam tulisannya
Of Councils and Churches (1539) Luther menyatakan: "gereja adalah komuni
orang kudus yang adalah persekutuan (assembly) umat kristen yang kudus.
Umat Kristen yang kudus yang percaya dalam Kristus dan memiliki Roh Kudus."
Konsep persekutuan atau pertemuan yang dimaksud Luther adalah partisipasi
atau berbagi bersama. Communio sanctorum berarti persekutuan orang kudus
dan persekutuan dalam Yang Kudus dalam Perjamuan Kudus. Di dalam
communio sanctorum itulah orangg-orang kudus ambil bagian dalam berbagi
hal-hal material dan spiritual (jasmaniah dan rohaniah) secara bersama-sama.
Dalam khotbahnya (LW, Jld. 35, hl.51 - The Blessed Sacrament of the Holy and
True Body of Christ) tentang Sakramen, Luther menyatakan bahwa gereja
adalah: "penyatuan dengan Kristus dan semua orang Kudus..Pesekutuan ini
terdiri dari hal ini bahwa semua harta rohani Kristus dan orang-orang kudus
dibagikan dan menjadi milik bersama dari dia yang menerima sakramen ini.
Sekali lagi semua penderitaan dan dosa juga menjadi milik bersama, dengan
demikian cinta melahirkan cinta sebagai balasan dan secara mutual yang
mempersatukan." Luther memahami bahwa: Kristus adalah Kepala Gereja; -
bahwa gereja adalah karya Roh Kudus; bahwa gereja adalah karya Firman (Injil);
bahwa Firman Allah dan umat merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan;
aktifitas penebusan dan pembenaran Allah terjadi di dalam dan melalui gereja.
4. Pandangan Teologi Reformasi yang Diradikalisasi tentang gereja. Kini sangat
krusial bagi kita mendengar jeritan rakyat di seluruh dunia, rakyat merasakan
apa yang tidak dilihat gereja; gereja yang mengabaikan penderitaan,
penindasan, dan realitas kultur saat ini (Mat.25:31dst). Gerakan Reformasi
memahami gereja bukan terlebih sebagai lembaga melainkan sebagai umat
Allah yang dibaptis yang berkumpul di komunitas-komunitas lokal. Gereja harus
dilihat sebagai komunitas dalam pemuridan Yesus. Gereja seperti itu adalah
ruang yang suci dimana Firman Universal Allah didengarkan, dan sakramen
dirayakan dengan banyak suara, tradisi, konfesi demi penyembuhan dunia.
Untuk membangun lembaga gereja yang kuat maka perlu menekankan teologi
keimamatan am semua orang percaya. Panggilan universal itu boleh
diterjemahkan sebagai seruan untuk semua manusia dan pemerataan setara
kesejahteraan. Gereja sebaiknya tidak perlu lagi terperangkap dalam struktur
dan praksis yang bersifat patriarkal, hierarikis, dan kepentingan ekonomi dan
politik. Gereja harus kembali menjalankan pemuridan di dalam Kristus yang
mempraktikkan kontemplasi, penyucian spiritual, pencerahan dan penyerahan
diri kepada kehendak Allah. Gereja bukanlah hak milik orang tertentu dan tidak
boleh tertawan oleh kepentingan institusional serta definisi-definisi doktrinal.
Tetapi dengan kuas Roh yang bergerak kemana Roh suka, maka gereja dalam
kusa Roh harus membarui dirinya terus-menerus. Roh menghasilkan
pembaruan dan kebangunan di dalam gereja dan msyarakat. Membarui person
by person, menyanggupkan orang percaya berjuang bersama gerakan sosial,
agama dan ideologi lainnya, dan tabah melalui penderitaan akbiat komitmen
untuk mengasihi, bersolidaritas dan berkeadilan. Dengan mengatakan salib
adalah tanda gereja, Luther hendak membangun satu kriteraia: menjadi gereja,
gereja perlu menjadi rapuh dengan bersama kaum miskin dan mengambil resiko
karena status sosial dan politiknya dengan memprotes secara publik struktur
dan kebijakan yang tidak adail. Gereja perlu memfokuskan diri pada sifat
komunitas kritisnya untuk resistensi dan transformasi. Dengan begitu, gereja
dapat senantiasa menentang ketidakadilan dan dominasi yang dijalankan oleh
imperium jahat. Gereja yang reformis adalah gereja yang bersedia
diperdamaikan dengan dirinya, dan berusaha selalu untuk mengatasi
perpecahan antara Timur dan Barat, antara Protestan dan Katolik, antara
berbagai gereja Reformasi, supaya semuanya dapat merayakan Perjamuan
Kudus bersama. Gereja lebih baik didiskusikan dalam semangat penemuan
kembali peran krusial teologi Alkitab dan pendidikan teologi kritis, supaya
karakter gereja yang selalu membarui dirinya tetap berlangsung dalam
komunitas kristen abad 21. ( - Ulrich Duchrow/Carsten Jochum-Bortfeld (ed.),
Liberation Towards Justice (Berlin: Lit Verlag, 2015), p.24-68)
5. Gereja ada di dalam dunia. Di dalam sejarah. Pemahaman akan gereja menjadi
tepat dan benar jika dihubungkan dengan sejarah Kristus darimana ia berasal,
dimana ia hidup, dan yang di dalamnya ia mendapat penggenapannya; gereja
juga dihubungkan dengan situasi historis di dunia tempat dirinya berada, situasi
yang diperhitungkan dalam rangka menafsirkan tanda-tanda zaman; dan lebih
dari itu gereja dihubungkan dengan sejarah Trinitarian karya Allah di dunia.
Gereja harus mengakui bahwa ia memperoleh terang – bukan dari dirinya –
melainkan dari Kristus. Jadi ia memancarkan terang Kristus. Gereja yang
memancarkan terang Kristus berarti memancarkan kemuliaan Bapa, yang juga
adalah kemuliaan Anak dan Roh Kemerdekaan. Dari sifat gereja yang Trinitarian
itu dapat dibangun ekklesiologi relasional. Yakni gereja berrelasi dengan
Kristus, berrelasi dengan situasi historisnya, dan berrelasi dengan sejarah karya
Allah yang Triune di dunia. Lebih jauh, gereja harus juga berrelasi dengan alam
ciptaan.
6. Dalam diskusi tentang gereja, kita perlu memahami adanya
kesalingterhubungan antara gereja sebagai tubuh Kristus dengan gereja sebagai
umat Allah. Gereja sebagai tubuh Kristus memberikan arti bahwa gereja itu
adalah perpanjangan (prolongasi) Kristus di dunia. Gereja seperti ini cenderung
dianggap sebagai yang tidak memiliki kelemahan dan kekurangan seperti
Kristus. Dan kritik terhadap gereja cenderung dianggap kurang penting. Untuk
itulah gereja perlu juga dipahami sebagai umat Allah. Gereja sebagai umat Allah
adalah gereja dan komunitas orang percaya yang tidak sempurna, yang masih
memiliki kelemahan dan kekurangan. Gereja seperti ini akan selalu berjuang
melekatkan kepada dirinya sifat-sifat Kristus. Serta berupaya untuk menghidupi
hubungan intim – atau kesatuan batin – dengan Kristus.
7. Pokok penting lainnya yang perlu direnungkan secara teologis adalah kaitan
antara klaim gereja bahwa dirinya adalah tubuh Kristus dengan klaim Kristus
bahwa orang miskin adalah tubuh Kristus. Gereja yang menyatakan dirinya
sebagai Tubuh Kristus memuat pemahaman bahwa gereja memiliki kuasa ilahi
untuk memerintah seluruh kehidupan gereja. Hal ini tidak jadi masalah ketika
gereja benar-benar mewujudkan misi pewartaan dan pelayanannya sesuai
dengan kehendak Kristus Raja Gereja. Pemahaman seperti ini mestinya
diseimbangkan dengan pemahaman bahwa Kristus sendiri mengklaim bahwa
kaum miskin adalah tubuh-Nya sendiri. Yesus pernah berkata bahwa ‘segala
sesuatu yang kita lakukan kepada salah seorang saudaranya yang paling hina,
kita sudah melakukannya untuk Dia’ (Mat.25.40). Dan lagi Yesus juga sudah
mamaklumkan bahwa misi dan pelayanannya tertuju terutama bagi orang
miskin, tawanan, orang buta, dan orang tertindas (Lks. 4.18-19). Artinya Yesus
sendiri mengidentifikasi dirinya dengan mereka yang miskin dan tertindas.
Bertitik tolak dari itu, maka kehadiran gereja di dunia sebagai tubuh Kristus
adalah memberikan pelayanan terutama bagi mereka yang paling hina, miskin,
dan tertindas itu. Pelayanan gereja dapat dinilai dari apakah dia memberikan
diri berpihak bagi kaum miskin dan melayani mereka seperti Kristus melayani.
Akan sulit mengakui bahwa gereja adalah tubuh Kristus ketika gereja tidak
melayani kaum miskin yang adalah tubuh Kristus itu sendiri.
8. Gereja dan Kerajaan Allah. Kisah Para Rasul menggambarkan Pentakosta
sebagai basis eksistensi gereja, peristiwa itu tidak hanya sebagai aksi
antusiasme kolektif tetapi sebagai titik awal pewartaan kebangkitan Yang
Disalibkan dan penakhtaanNya ke posisi kuasa eskatologis sebagai Anak Allah
dan Kyrios. Kerajaan dan gereja tidak identik. Gereja tidak dipandang sebagai
bentuk tak komplit dari kerajaan. Seperti umat Allah dalam perjanjian lama,
gereja sungguh-sungguh berdiri dalam relasi dengan kerajaan yang adalah unsur
pembentuk eksistensinya. Tetapi ada perbedaan dalam relasi itu. Di Israel
pengharapan akan pemerintahan Allah berkembang sebagai harapan akan masa
depan dimana kehendak Allah yang adil akan dilakukan tanpa terputus atau
batasan, baik di Israel sendiri maupun juga di antara bangsa-bangsa. Murid-
murid Yesus membentuk kelompok orang yang tebuka kepada klaim
keTuhanan Allah yang diwartakan oleh Yesus. meskipun demikian kerajaan
Allah tidak terungkap secara penuh di dalam diri kelompok ini. Bagi mereka,
kerajaan Allah masih sesuatu di masa depan (Mat. 20:20-28). Komunitas murid
adalah tanda sementara pemerintahan Allah meskipun memang di dalam
mereka masa depan pemerintahan itu sudah hadir, meskipun belum
sepenuhnya. Hal sama beraplikasi bagi gereja. Gereja masih belum merupakan
kerajaan Allah. Gereja dalah tanda pendahuluan akan persekutuan masa depan
kemanusiaan di bawah pemerintahan Allah. Kebenaran ini khususnya
terungkapkan di dalam pusat hidup liturginya, perayaan Sakramen Tuhan, yang
melanjutkan praksis persekutuan Yesus sebagai antisipasi persekutuan manusia
di dalam pemerintahan Allah masa depan yaang disombolkan oleh jamuan
makan itu. Maka gereja tidak identik dengan Kerajaan Allah. Gereja adalah
tanda masa depan kerajaan keselamatan. Keadaan itu berlaku dengan cara
bahwa masa depan Allah sudah hadir di dalam gereja dan [Kerajaan Allah itu]
sudah dapat dimasuki oleh orang-orang melalui gereja melalui pewartaan dan
kehidupan liturginya.

Anda mungkin juga menyukai