PERSPEKTIF BIBLIS
Abstract
This study aims to explain the Theology of Death. For many people, death is a
frightening specter, because it will separate them from their loved ones. Death means the end
of life. There are so many causes of death, such as suffering from illness, due to natural
disasters, landslides, earthquakes, floods, even being killed and other causes of death including
the pandemic. For victims of natural disasters, this death becomes something frightening and
injures the bereaved family because often the bodies of those who died cannot be found so that
the funeral process cannot be carried out normally like funerals in general. In the current
context, the pandemic has caused the number of people who have died to increase rapidly.
Understanding the meaning of death cannot be separated from the human unity in body, spirit
and soul. Humans are one and inseparable so that when a person dies, it is not only the
body/flesh that dies, but the totality of death. There is nothing eternal in man, eternity exists
only in God (cf. 1 Tim 6:16) Nevertheless, there is hope for believers. The hope that grows in
the life of a believer is hope in God as the only person who covers human history in terms of
the gift of His love. That hope is life after death for those who believe in Jesus Christ. Believers
who experience death will be resurrected to receive life and happiness in Jesus Christ.
Keywords: Death, Hope, Resurrection, Life, Jesus Christ
I. Pendahuluan
Kematian selalu menyedihkan, menakutkan dan menyengsarakan bagi manusia.
Kematian merupakan duka cita yang sangat mendalam dengan orang yang kita kasihi dan
mengasihi kita. Suka atau tidak suka manusia harus menerimanya sebagai sebuah fakta
kehidupan yang tak terelakkan dan tak terbantahkan. Pada umumnya manusia sadar, dirinya
akan mengalami kematian, sekalipun kapan, di mana dan bagaimana cara kematiannya serta
bagaimana hidupnya setelah kematian tetap menjadi sebuah pertanyaaan yang kita tidak tahu
jawabannya. Kematian antonim dengan kehidupan karena orang yang sudah mati tidak bisa
menjalani/ melakukan aktivitas layaknya orang yang masih hidup di dunia. Pemazmur dan
Nabi Yesaya menyebut bahwa orang yang sudah mati tidak dapat mengucap syukur dan tidak
dapat lagi memuji Tuhan (bnd. Mazm. 30:10; Yes 38:18-19) (Sipayung, 2021: 64).
Kematian juga menunjukkan putusnya komunikasi dengan mahkluk hidup yang lain.
Bahkan putusnya hubungan manusia dengan Tuhan. Tegasnya kematian merupakan fakta
kehidupan yang terbantahkan manusia. Menolak kematian/ rasa takut berlebih terhadap
kematian sebagaimana dijelaskan oleh Gladys Hunt, bisa berujung kepada kepelbagian
penyakit kejiwaan (Hunt, 2001: 3). Menolak kematian itu berarti menolak hakekat dan kuasa
Allah dalam hidup manusia. Dan memang banyak manusia yang belum siap menghadapi
kematiannya, meskipun memang itu sesuatu yang pasti yang akan dijalaninya. Ketidaksiapan
menerima fakta kematian itu bukan hanya berasal dari personal, tetapi juga dari pihak keluarga
yang mengalinya.
Kematian menjadi momok yang menakutkan bagi banyak orang karena pada umumnya
pemahaman yang berkembang, orang mati tidak mempunyai akses lagi kepada orang yang
hidup. Orang Israel sendiri mengembangkan pemahaman mereka tentang kematian dengan
konsep Syeol. Istilah ini menunjuk pada dunia orang mati. Hal ini boleh dibandingkan dalam
Ayub 17:13-14 “Apabila aku mengharapkan dunia orang mati sebagai rumahku, menyediakan
tempat tidurku di dalam kegelapan dan berkata kepada liang kubur: Engkau ayahku, ibuku dan
saudara perempuanku….”. Tentang orang mati ada memahaminya berada di Syeol, bukanlah
sebagai tempat penghukuman, dalam artian siksaan atau deraan, sebaliknya Syeol menandakan
keterbuangan dari Allah, yang pada manusia itu merupakan nasib yang pantas disesalkan.
Dalam kepercayaan umat Israel, hakikat dari kehidupan adalah kemampuan untuk memuliakan
Allah. Dalam hal ini, keberadaan orang mati di Syeol tidak memungkinkan lagi untuk memuji
Tuhan karena tidak ada lagi kontak dengan Sang Ilahi (King & Stager, 2010: 428-429). Tentu
pemahaman seperti ini akan semakin membuat rasa takut bagi seseorang dalam menghadapi
kematian karena tidak akan bisa lagi komunikasi dengan orang-orang yang disayangi, demikian
juga sebaliknya orang akan kehilangan keluarga yang disayangi. Ketidakmampuan orang mati
berkomunikasi dengan orang hidup maupun untuk memuji Sang Ilahi bisa dilihat dalam kata-
kata Raja Hizkia setelah sembuh dari sakitnya, dalam Yesaya 38:28 menyebutkan “Sebab dunia
orang mati tidak dapat mengucap syukur kepada-Mu, dan maut tidak dapat memuji-muji
Engkau, orang-orang yang turun ke liang kubur tidak menanti-nanti kesetiaan-Mu”. Sekalipun
di dalam prakteknya masih sering dipraktekkan bahwa seolah-olah yang meninggal itu masih
memiliki kemauan untuk berkomunikasi dengan orang yang hidup. Misalnya dengan perkataan
seseorang, di mana orang tuanya yang meninggal menggatakan demikian: “Biarlah bapak
menjadi pendoa bagi yang hidup kami…” Artinya seolah–olah yang meninggalnya itu akan
menjadi pendoa bagi keluarga yang masih hidup.
Orang Yahudi sendiri mendambakan kematian di masa tua, dengan keturunan yang
lengkap dan kehidupan yang baik (bnd. Kej 25:18; 46:30) (Sipayung, 2021: 63). Sama halnya
dalam konteks warga Gereja di Indonesia, termasuk suku Batak sendiri, maupun suku lainnya
pada umumnya mengkehendaki kematian yang demikian. Hanya saja, bagaimana jika kematian
itu tidak di masa tua? Apakah manusia akan mengutuknya? Atau apakah Allah tidak menerima
orang yang mati di masa muda? Dan banyak sekali orang meninggal di usia yang belum
mencapai seperti yang dikatakan Mazmur 90:10. Bahkan dewasa ini banyak orang yang
meninggal di bawah usia setengah abad (50 tahun). Kadang kala juga manusia lebih memilih
mati yang membawa ketenangan daripada hidup yang mencelakakan. Mati itu pasti, sudah
defenitif, sudah jelas. Tidak terbantahkan. Hidup tidak dapat diperkirakan, terbuka lebar.
Sesuatu yang terdapat pada diri manusia digoda supaya memiliki kematian karena setidak-
tidaknya, ia akan tahu apa yang akan ia dapatkan. Sehingga ada orang yang menderita dalam
kehidupan, mencoba mencari jalan keluar dengan bunuh diri (Nouwen, 2012: 339). Realita ini
menunjukkan ada orang yang mengakhiri hidupnya dengan caranya sendiri, misalnya dengan
meminum racun. Kemudian ada juga yang meninggal karena korban bencana alam,
pembunuhan, kecelakaan, bahkan seperti situasi saat ini, karena dampak pandemi. Proses
kematian seseorang tentu tidak serupa dengan orang lain. Tentu berbagai cara proses kematian
manusia, yang tidak terprediksi bagaimana proses kematian itu sendiri. Hal itu menjadi sebuah
fakta kehidupan yang tidak terbantahkan. Kematian mendadak, kematian ini sering terjadi
secara tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda kematian seperti sakit, sehingga kematian itu
menimbulkan rasa kejut yang sangat besar bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal yang
demikian sering sekali manusia baru menyadari bahwa dirinya tidak pernah tahu kapan
hidupnya akan berakhir. Kematian juga dapat disebabkan oleh bencana seperti bencana alam
tanah longsor, gempa, banjir dan sebagainya. Kematian ini menjadi sesuatu yang menakutkan
dan melukai keluarga yang ditinggalkan karena sering sekali mayat dari korban yang
meninggal tidak dapat ditemukan sehingga dalam proses pemakamanya tidak bisa
dilangsungkan secara normal seperti pemakaman pada umumnya. Kematian karena
pembunuhan dan bunuh diri, kematian dengan cara ini menimbukan kemarahan yang
mendalam, kekerasan yang diterima oleh korban menjadi mengerikan bagi keluarga maupun
orang yang melihat/ mendapat berita proses kematian tersebut (Raharjo, 2003: 39-46). Kondisi
kesehatan yang kurang baik juga sering sekali merenggut nyawa manusia, tidak bekerjanya
organ-organ tubuh terutama di bagian vital menjadi alasan yang kuat seseorang itu kehilangan
nyawanya, bahkan seperti situasi saat ini, karena pandemi Covid-19.
Berbicara tentang kematian, tentu sesuatu yang meninggalkan duka dan ada air mata.
Kematian bisa saja meninggalkan duka yang dalam bagi keluarga yang ditinggalkan (Sipayung,
2021: 60). Alkitab mencatat, pada akhirnya semua manusia akan menghadapi kematian (Pkh.
3:19-21), kecuali Henokh dan Elia (Kej.5:24, Ibr. 11:5, 2 Rj. 2:11). Tentu waktu kapan tiba
seseorang mengalami kematian masih menjadi misteri dan rahasia Ilahi meskipun hal ini juga
menimbulkan perbedaan pendapat tentang intervensi Ilahi tersebut, sebab ada juga manusia
yang mati bunuh diri (dalam artian dia menentukan kematiannya) dan juga kerena dibunuh
(dalam artian orang lain menentukan kematianya). Tetapi pembahasan kali ini, bukan fokus ke
hal tersebut melainkan kematian di masa pandemi Covid ini sangat banyak menelan korban
jiwa. Kematian di masa pandemi ini menimbulkan pertanyaan dan diskusi hangat di ranah
teologi, khususnya berangkat dari munculnya pandemi ini. Pertanyaannya adalah mengapa
semua ini terjadi? Adakah yang menciptakannya? Unde Mallum? Apakah Tuhan yang
menyebabkan pandemic ini? Atau Iblis tetapi dalam “kerjasama” dengan Allah seperti kisah
Ayub untuk menguji iman? Kalau malapetaka/ pandemi ini dari Tuhan, bukankah Ia
Mahakasih? Tentu hal ini menimbulkan pro-kontra di kalangan warga Gereja maupun teolog
akan eksistensi Allah, sehingga ada yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan Allah adalah
baik (Ngelow, 2021: 173). Tentu belum ada kajian mendalam yang diakui secara bersama akan
hal ini, tapi satu hal yang menjadi catatan penting bahwa dampak pandemi ini dapat
menimbulkan banyak kematian, tanpa membedakan latar belakang status, sosial dan agama.
Dalam faktanya virus Covid-19 dapat mempercepat kematian seseorang karena
menyerang ke pernapasan (Sipayung, 2021: 412). Kuantitas orang meninggal pun bertambah
pesat. Tentu karena jumlah yang meninggal dalam watu yang sama/ waktu yang berdekatan
semakin bertambah banyak, maka masalah baru juga muncul. Lahan pemakaman juga kian
sulit untuk ditemukan karena besarnya jumlah orang yang meninggal. Adapun tempat
pemakaman, bisa jadi bukan lokasi yang diinginkan oleh keluarga, sebab tradisi kita masih
memegang erat acara ziarah. Tentu konteks negara Indonesia, termasuk orang Kristen yang
meninggal, pada umumnya jenazahnya dimasukkan ke dalam tanah (dikuburkan). Jika
berangkat dari tradisi Israel, mayat yang tidak terkubur merupakan kehinaan dan sebagai tanda
dari hukuman ilahi (King & Stager, 2010: 414). Pemakaman orang mati sesuai tradisi dan
keimanan merupakan perhatian yang penting. Semuanya situasi ini telah menimbulkan
problem bersama mengingat kuantitas orang yang meninggal di masa pandemi meningkat
menyebabkan sumber daya lahan yang digunakan untuk tempat memakamkan orang-orang
yang meninggal juga sangat pesat. Berbeda lagi konteks di India, yang mayoritas beragama
Hindu, tradisi yang dianut adalah pembakaran jenazah (kremasi). Tetapi karena pasokan kayu
bakar tidak memadai dibanding dengan jumlah yang meninggal di masa pandemi, maka banyak
mayat dibuang begitu saja ke sungai Gangga (Lihat https://www.bbc.com/indonesia/dunia-
57167592).Selain persoalan pro kontra etis akan hal ini, hal ini juga berdampak pada
pencemaran lingkungan dan berujung pada efek negatif terhadap kesehatan manusia. Persoalan
mengenai pemakaman terhadap orang yang meninggal akibat Covid-19 semakin diperkeruh
dengan pelaksanaan praktek penguburan tidak sesuai dengan keimanannya dengan cara
penguburan yang hanya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu saja dalam rangka meminimaliser
penyebaran Covid-19.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas muncullah pertanyaan-pertanyaan teologis
yang kontekstual khususnya dalam situasi saat ini dan untuk menjawab tantangan kekinian ini
mendorong penulis menelitinya dalam sebuah penelitian dengan judul: “Kematian Di Masa
Pandemi” Perspektif Biblis.
IV. Kesimpulan
1. Kematian berarti berhentinya segala aktivitas manusia. Dengan berhentinya aktivitas
otak dan yang berkaitan dengan hal-hal biologis, maka dipahami manusia itu tidak lagi
memiliki akses komunikasi baik kepada Allah, maupun terhadap manusia lainnya.
Orang yang sudah mati tidak dapat menaikkan pujian terhadap Allah dan komunikasi
terhadap manusia lainnya. Dalam kitab Yesaya tegas menyebutkan “Sebab dunia orang
mati tidak dapat mengucap syukur kepada-Mu, dan maut tidak dapat memuji-muji
Engkau, orang-orang yang turun ke liang kubur tidak menanti-nanti kesetiaan-Mu”
(Yes.38:28).
2. Dalam dunia Yunani, kematian manusia dipahami hanya kematian sepihak, artinya
kematian hanya berlaku untuk tubuh manusia, sedangkan jiwa tidak mengalami
kematian. Kematian hanya dialami oleh tubuh jasmani manusia sedangkan jiwa
manusia tetap hidup. Orang Yunani sangat merendahkan tubuh dan meninggikan jiwa.
Tubuh adalah penjara bagi jiwa. Bagi orang Yunani kematian merupakan sebuah suka
cita bagi jiwa sebab dengan kematian itu sendiri jiwa terlepas dari tubuh yang selama
ini menjadi penjara bagi jiwanya.
3. Orang Yahudi memahami kematian berkaitan dengan ketidaktaatan manusia
melakukan kehendak Allah. Pelanggaran manusia terhadap aturan dan hukum Allah
menjadi faktor penyebab kematian. Kematian manusia adalah dampak dosa atau
pelanggaran. Orang Yahudi sangat menekankan paham “tabur tuai”. Perbuatan baik
manusia menjadi syarat memperoleh kehidupan, sebab kehidupan adalah milik orang
yang mampu melakukan perbuatan baik. Oleh sebab itu, teologi Yahudi selalu
menekankan konsep “reward” dan “punishment”. Reward bagi yang berjasa, yang
mampu melakukan kebaikan dan punishment kematian bagi orang yang melanggar
aturan.
4. Kematian dalam perspektif Biblis, memiliki kesamaan dalam kitab Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru. Alkitab menekankan pelanggaran dan dosa manusia adalah
penyebab kematian (bnd. Amsal 8:35-36; Rom 6:23). Kematian itu juga dipahami
sebagai keterpisahan manusia dengan Allah. Secara Biblis, kematian itu dapat dibagi
dalam tiga bagian, yaitu kematian fisik, kematian spiritual dan kematian yang kekal.
Kematian fisik orientasinya kepada kematian manusia dan kematian mahkluk ciptaan
lainnya. Hanya Allah saja pribadi yang tidak takluk kepada maut (bnd. 1 Tim 6:16).
Kematian spiritual artinya menunjukkan bahwa secara biologis manusia masih hidup,
namun secara teologis ia sudah sudah mati. Hal ini lah ditekankan oleh Kitab Yakobus.
Di mana iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati (bnd. Yak 2:17, 26).
Kematian seperti ini sering terjadi dalam kehidupan manusia hingga saat ini. Dan
kematian ketiga yaitu kematian yang kekal. Kematian yang kekal artinya kematian
untuk selama-lamanya (bnd. Dan 12:2). Dalam pemahaman Biblis, kematian itu
hakekatnya adalah kematian totalitas (bnd. Kej 2:7), berbeda dengan kematian dalam
dunia Yunani. Artinya tubuh dan jiwa adalah satu kesatuan. Namun sekalipun ada
kematian totalitas, lewat kebangkitan Kristus sebagai anak sulung kebangkitan itu,
maka setiap orang yang percaya kepada Kristus akan dibangkitkan untuk mendapatkan
kehidupan dan tinggal bersama-sama dengan Kristus. Orang yang percaya di dalam
Kristus memiliki identitas yang jelas yaitu berdiam bersama Kristus (bnd. Fil 1:23).
Pandangan kematian totalitas memang masih tetap dalam perdebatan, artinya tidak
menerima pandangan di atas dengan berbagai alasan. Misalnya ketika Yesus bercerita
tentang Lazarus dan seorang kaya, dan juga Abraham yang sudah lama mati namun di
dalam cerita yang disampaikan Yesus itu mereka sama-sama berkomunikasi (Luk. 16:
19-31). Dengan bukti ini jelas menunjukkan bahwa jiwa itu tetap hidup dan bukan
mati. Memang itu merupakan alasan yang teologis namun kisah itu hanya lah sebuah
perumpamaan saja. Tanpa mempertentangkan paham kematian secara totalitas atau
tidak, saya menyetujui bahwa manusia itu bukan lah terpisah-pisah, tapi satu kesatuan.
Demikian juga dengan kematian manusia adalah kematian yang totalitas.
5. Pandemi Covid-19 adalah wabah penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang disingkat
dengan Covid-19. Pandemi ini adalah sesuatu yang menyengsarakan. Pandemi ini
mendatangkan dan menyisakan luka yang dalam, khususnya bagi keluarga yang
mengalami kematian. Pandemi ini bukanlah kutukan dari Allah, sehingga orang yang
mengalami kematian itu bukanlah yang dikutuk Allah (bdn. Borong: Ekologi: Bencana
dan Ciptaan, 2021: 119; bnd. Munthe: Gempa Rohani: 73). Banyak misteri yang tidak
kita mengerti terjadi di dalam kehidupan, namun dalam iman percaya dan pengharapan
kepada Kristus, kita semakin diteguhkan dan dikuatkan, “Sebab aku yakin, bahwa
penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan
dinyatakan kepada kita” (Roma 8:18).
V. Kepustakaan
Sumber Utama:
LAI. (1974). Alkitab dengan Kidung Jemaat, Jakarta: LAI.
Sumber Buku:
Borong, Tobert P. (2021). “Ekologi: Bencana dan Ciptaan”, Teologi Pandemi,
Panggilan Gereja di Tengah Pandemi Covid-19, Intim: Yayasan Oase Intim.
Brown C. (1986). “spil”, Dictionary of New Testament Theology Vol 3, Mic.
Zondervan: Colin
Brown general Ediitor.
Fleming, Don. (1990). Bible Knowledge Dictionary, Colorado Springs: Scripture
Press.
Gulley, Norman R. (1992). “Death New Testament”, The Anchor Bible Dictionary,
vol 2, D-G, David Noel Freedman, editor in Chief, New York: Doubleday.
Hunt, Gladys. (2001). Pandangan Kristen tentang Kematian. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
King, Philip J & Lawrence E. Stager. (2010). Kehidupan Orang Israel Alkitabiah.
Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Lukito, Daniel Lucas. (2020). Iman Kristen Di Tengah Pandemi: Hidup Realitas
Ketika Penderitaan dan Kematian Merebak. Malang: LP2M STT SAAT.
Luther, Martin. (2020). Katekismus Kecil Luther dan Penjelasannya, terj.
Rawamangun: Luheran Heritage Foundation.
Munthe, Pardomuan. (2020). Gempa Rohani. Medan: PT Penerbit Mitra Grup.
Ngelow, Zakaria dkk. (2021). Teologi Pandemi – Panggilan Gereja di Tengah
Pandemi Covid-19. Makasar: Oase Intim.
Nouwen, Henri. (2012). The Road to Peace. Yogyakarta: Kanisius.
Pfeiffer, Robert H. (1949). History of the New Testament Times with an
Introduction to the Apocrypha. New York: Harper & Brothers Publsihers.
Phan, Peter C. (2005). 101 Tanya Jawab tentang Kematian & Kehidupan Kekal.
Yogyakarta: Kanisius.
Raharjo, Tulus. (2003). Sekolah Kematian. Yogyakarta: ANDI.
Schmithals, W. (1986). “Death, Kill, Sleep”, Dictionary of New Testament
Thdeology Vol. I Gen.editor Collin Brown. Mic. Grand Rapids: Zondervan.
Sipayung, Jon Riahman. (2021). Layanilah Tuhan dengan Semangat Menyala-
nyala. Medan: CV. Sinarta.
Sudirgo, Jeffry. (2019). Bersama Tuhan Dalam Kekelaman. Italia: PaInT
Ministry.
Vaux, Roland de. (1961). Ancient Israel It’s Life and Institution. New York:
Mcgraw-Hill Book Company.
Veyne, Paul. (1997). The Roman Empire. Massachusetts: The Belknap Press of
Harvard University Press.
Yaconelli Mark. (2019). Karunia Penderitaan Menemukan Allah dalam Situasi
Sulit dan Mencekam. trans., Jakarta: Literatur Perkantas.
Sumber Jurnal:
F, Ingravallo. (2020). Death in the Era of the Covid-19 Pandemic, dalam jurnal N,
Sardono, E. E., Hermiawan, N & Wekin, O. K, Makna Fenomena Kematian Massal
Di Tengah Pandemi Covid-19 Berdasarkan Refleksi Dari Ayub 1:1-22 Visio Dei:
Jurnal Teologi Kristen.
Sumber Internet:
Https://Covid19.go.id/ diakses tanggal 30 November 2021 pukul 20:00 WIB
Virus Corona: Pangeran Charles, Ahli Waris Tahta Kerajaan Inggris Terkena
Covid-19 Dan Lakukan Isolasi Mandiri Dalam Https://Www.bbc.Com/Indonesia
diakses tanggal 30 November 2021 pukul 23:00 WIB.