Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

TEOLOGI PAULUS

KEMATIAN DAN KEBANGKITAN

OLEH:

Nama: ELISA

NIM:10113029

SEKOLAH TINGGI TEOLOGIA DUTA PANISAL

TAHUN 2015-2016
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur, saya panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Esa, yang atas rahmat
dan bimbingan-Nya, saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah ini
merupakan hasil dari tugas mandiri bagi para mahasiswa, untuk belajar dan mempelajari
tentang teologi Paulus mengenai kematian dan kebangkitan. Penyusunan makalah ini
bertujuan untuk menumbuhkan proses belajar mandiri kepada mahasiswa, agar kreativitas
dan penguasaan materi kuliah dapat optimal sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam
mengetahui tentang kematian dan kebangkitan manusia di muka bumi. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat dan senantiasa menjadi sahabat dalam belajar untuk meraih prestasi yang
gemilang. Kritik dan saran dari dosen pengampu mata kuliah dan juga teman-teman sangat
saya harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan dalam belajar pada masa mendatang.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................2

DAFTAR ISI...................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................5
C. Tujuan.................................................................................................................5
D. Manfaat...............................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kematian...........................................................................................6
B. Konsep Teologi Paulus Tentang Kematian.........................................................8
C. Konsep Teologi Paulus Menyikapi Kematian....................................................10
D. Konsep Teologi Paulus Menyikapi Kematian....................................................10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .......................................................................................................15
B. Saran..................................................................................................................15
C. Daftar isi............................................................................................................16

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kematian adalah sebuah fenomena yang alami manusia, tapi tidak dengan
kebangkitan. Hampir setiap hari kita melihat kematian sebagai sebuah wacana realitas
dari kehidupan, bahwa kehidupan diakhiri dengan sesuatu yang namanya kematian.
Bagaimana dengan kebangkitan? Hal itu adalah biasa, biasa bukan karena itu terjadi
secara massif dalam hidup manusia, tapi karena sering diperbincangkan terutama
dalam kekristenan. Bahkan menjadi sebuah pengharapan yang hampir pasti akan
menihilkan kekristenan jika hal itu diboikot.
      Memaknai kematian dan kebangkitan berarti memahami hal yang fundamental
dalam kekristenan. Sebagai salah seorang peletak dasar teologi Kristen melalui
tulisan-tulisannya, maka kita akan membahas teologi Paulus tentang kematian dan
kebangkitan. Oleh karena itu penulis ingin mengangkat satu tema makalah mengenai
“Teologi Paulus Tentang Kematian Dan Kebangkitan”

4
B. Rumusan Masalah
Melalui latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam
bentuk pertanyaan-pertanyaan penting, yaitu sebagai berikut: 
1. Apa itu kematian?
2. Apa kata Teologi Paulus mengenai kematian?
3. Bagaimana Sikap Paulus dalam menghadapi kematian?
4. Apa itu kebangkitan menurut teologi Paulus?

C. Tujuan penulisan makalah


1. Untuk mengetahui apa artinya kematian
2. Untuk mengetahui apa itu kematian menurut teologi Paulus
3. Untuk mengetahui bagaimana sikap Paulus dalam menghadapi kematian
4. Untuk mengetahui apa itu kebangkitan menurut teologi Paulus

5
BAB II
ISI
A. Pengertian kematian
1. Konsep Kematian dalam Perjanjian Lama
Dalam sebagian besar PL, kematian memimpin kepada sebuah bayangan,
keadaan insubstansial dalam dunia bawah, yang disebut sheol/syeol. Di sana, semua
diturunkan pada kondisi tidak beraktivitas, dengan tidak ada prospek kemajuan atau
pelarian (Ay. 3:17-20; 7:9; 17:16). Secara khusus, penghuni dunia bawah diputuskan
dari Tuhan dan tidak dapat lagi mempersembahkan pujian atau permohonan: “dalam
kematian tidak ada kenangan tentang Engkau; dalam Sheol siapa yang akan
memujimu?” (Mazmur. 6:6, Mazmur. 88:5). Sedikit teks mengimplikasikan bahwa
dunia bawah tidak tersembunyi dari Tuhan (Ay. 26:6; Mzm. 139:8). Kematian
digambarkan bervariasi- contohnya, sebagai seorang musuh yang menjerat
mangsanya (Mzm. 18:6; 116:3) dan sebuah pelahap manusia yang tidak pernah puas
(Ams. 1:20; 27:20).1
Dalam bahasa Ibrani kata yang digunakan untuk mengacu pada kematian
adalah mawet, muncul 160 kali yang menyangkut keenam hal ini:
a. Kematian secara umum dan/atau sebagai yang berlawanan dengan kehidupan.
PL mempertentangkan kehidupan dan kematian sebagai satu-satunya opsi utama
(Ul. 30:19; 2 Sam. 15:21; Ams. 18:21; Yer. 21:8), sering kali membicarakan
eksistensi manusia sebagai sebuah jalan yang memimpin pada sesuatu atau yang
lain (Ams.14:12; 16:25; Yer. 21:8). Setiap orang memiliki “hari kematiannya”
(Pkh. 7:1; 8:8), karena itu tidak terelakkan untuk semua orang (Bil. 16:19; Yeh.
18:32), untuk orang benar (Bil. 23:10); orang jahat (Yeh. 18:23; 28:10; 33:11),
dan orang bodoh juga (2 Sam. 3:33).
b. Kematian sebagai ganjaran untuk orang jahat. Karena kelakuan yang berdosa,
orang layak untuk mati (di bawah hukuman kematian; Ul. 19:6; 21:22; Yer.
26:11, 16). Beberapa dosa secara khusus pantas untuk kematian (Ul. 22:26),
menyatakan bahwa yang lain tidak demikian, paling sedikit secara tiba-tiba.
c. Kematian adalah misterius dan menakutkan, secara eufemistis (melembutkan)
disebut tidur (Mzm. 13:3(4)). Mereka yang membenci Allah dikatakan mencintai

1
P. S. Johnston, “Kamus Perjanjian Lama: Kebijaksanaan, Puisi dan Tulisan-tulisan, (Nottingham:

IVP, 2008), 5.

6
kematian (Ams. 8:36). Prospek tentang kematian membangkitkan perasaan teror
(Mzm. 55:4(5)), panik (1 Sam. 5:11), dan kebencian (1 Sam. 15:32; Pkh. 7:26).
d. Kematian sebagai sebuah tempat. Tempat orang mati dinyatakan sebagai
kematian, yang paralel dengan syeol dan abaddon. Itu adalah tempat yang
berdebu (Mzm. 22:15(16)), satu tempat dengan banyak ruang (Ams. 7:27).
e. Kematian sebagai personifikasi. Itu sering dipersonifikasi dan dilihat sebagai
suatu musuh kemanusiaan yang kuat (Kid. 8:6). Dia mampu membunuh (Yer.
18:21), baik oleh dirinya mapun oleh penyakit parah (Ay. 18:13). Dia dapat
memanjat melalui jendela dalam pencarian terhadap kehidupan yang tidak
menaruh kasihan (Yer. 9:20(21)) dan dia meliputi korbannya seperti gelombang
laut (2 Sam.22:5). Kemenangan atas kematian. Manusia seharusnya mati, tetapi
ada harapan bahwa mereka dapat ditebus dari kematian (Hos. 13:14). Mereka
dapat ditebus bahkan dari ancaman atau prospeknya (Ay.5:20). Secara utama dan
ironis kematian sendiri akan ditelan sebagai sebuah tanda dari kemahakuasaan
Allah (Yes. 25:8).
Sebagai sebuah konsep dalam PL, kematian secara keseluruhan dipandang
sebagai istilah yang negatif atau paling sedikit terhentinya kehidupan. Dia
misterius, persangkaan, dipenuhi dengan ketidakpastian, dan tabiat yang tidak
terelakkan dan universal. Itu adalah perluasan logis dari kelemahan dan penyakit,
penyakit akhir (Mzm. 88:11(12); Yes. 38:18). Secara fenomenologis, kematian
manusia adalah seperti kematian binatang (Mzm. 104:29). Nafas kehidupan (atau
roh) berakhir dan kembali kepada Pencipta sedangkan tubuh ditaruh ke tanah
untuk membusuk dan kembali mendebu (Kej.35:18-20). Sekaligus, ada harapan
bahwa kehidupan tidak berakhir dengan kematian atau bahkan melebihi
kematian, tetapi bahwa itu memberi jalan untuk pembaharuan hidup, kepada
kekekalan (Mzm. 16:10-11; bnd. 49:15(16)), dan bahkan ke kebangkitan (Dan.
12:2).2

2
Eugene H. Merrill, Kamus Internasional Perjanjian Baru (Carlisle: Paternosfer Press, 1997), 886-

887  

7
2. Konsep Kematian dalam Perjanjian Baru
Dalam PB sebagai literatur klasik, terdapat beragam kata yang digunakan
untuk menggambarkan kematian dan mati- sebagai kejadian-kejadian yang
mengingatkan manusia bahwa kehidupan adalah sesuatu yang berakhir yang tidak
dapat dikendalikan. Selain kata qanatos thanatos (kematian), ada istilah lain yang
secara asli memiliki makna yang cukup berbeda. Tidur (upnos hypnos) yang dini
dipakai sebagai sebuah eufemisme untuk kematian dan mati bahkan digunakan lebih
banyak dalam zaman Kristen.
Istilah lain yang berhubungan adalah kaqeudw katheudo (tidur),
dan koimomai koimaomai (tertidur). Yang menyatakan tidak bernyawa, sebuah hal
mayat atau benda tak bernyawa, yaitu nekros nekros (yang
mati).teleutaw  teleutao berarti berakhir, selesai dan karena itu
mati, apokteinw apokteino(membunuh) mengindikasikan sebuah pemadaman
kehidupan secara keras.3

B. Konsep Teologi Paulus Tentang Kematian


 Kematian thanatos (juga kata apothnesko, thanatoo, apokteino, anaireo) bisa
mengacu pada penghentian kehidupan duniawi dan fisik manusia. Lebih sering hal itu
menunjukkan kondisi rohani-fisik manusia “di dalam Adam”, yang datang melalui dosa
Adam (Rm. 5:12-21; 1 Kor. 15:21-22). Kematian, daging, dan dosa dapat Paulus gunakan
dalam hubungan yang dekat, khususnya dalam Roma 5-7, di mana terlihat dalam narasi
Paulus tentang hidup dalam Adam dan hidup dalam Kristus. Kematian dan dosa berkarya
bersama, dengan kematian datang melalui dosa (Rm. 5:12). Dengan kedatangan Hukum
Taurat, dosa meningkat (Rm. 5:20), menutup kehidupan (Rm. 7:5) dan berkuasa dalam
kematian (Rm. 5:21). Kemanusiaan diperbudak oleh dosa dan kematian (Rm. 6:6, 9, 12,
14, 16, 18, 20). Paulus tidak membicarakan tentang pemisahan kekal dari Allah dan
hukuman final sebagai “kematian” sebagaimana dalam Why. 21:8), tetapi dia tampak
memikirkannya ketika mengacu pada kematian sebagai upah dosa yang utama (Rm.
6:23). Dalam Ef. 2:1, 5 dan Kol. 2:13 Paulus menyatakan orang-orang percaya sebagai

3
Eugene H. Merrill, Kamus Internasional Perjanjian Baru (Carlisle: Paternosfer Press, 1997), 886-

887.

8
yang dahulu “mati” dalam kemanusiaan berdosa yang tidak tertolong dan membutuhkan
inisiatif anugerah Allah (Ef. 2:8) dalam keselamatan.
Kematian adalah “musuh terakhir” (1 Kor. 15:26), yang pada penyempurnaan
akan ditelan dalam kemenangan akhir Yesus (1 Kor. 15:55-57; tetapi bandingkan 2 Tim.
1:10). Lagi, personifikasi kematian adalah jelas, Paulus dalam 1 Kor. 15:25-26
mendaftarkan kematian sebagai salah satu musuh dalam Mzm. 110:1, dan dalam 1 Kor.
15:54-55 mengejek kuasa kematian (bnd. Yes. 25:7; Hos. 13:14).
Paulus juga menggunakan konsep kematian dengan cara yang berbeda. Untuk
dibebaskan dari dominasi “tabiat lama” dan dari kuasa maut, seseorang harus mati
terhadap dosa. Ini menjadi mungkin melalui kematian Kristus, yang di dalamnya orang
percaya berpartisipasi (Rm. 6:8-10). Pada waktu yang sama Paulus menyebut tindakan
sadar, “memperhitungkan” atau “mempertimbangkan” seseorang “mati terhadap dosa”
dan “hidup bagi Allah” (Rm. 6:11), “menyerahkan dirimu pada Allah” sebagai yang telah
dibebaskan dari kematian (Rm. 6:13) sehingga hidup baru dalam Kristus bisa memiliki
pengaruhnya yang penuh (Rm. 8:1-17).4 Paulus ingin agar pembacanya yakin bahwa pada
saat kematian, mereka tidak akan dipisahkan dari Kristus (Rm. 8:38-39).
Bagi Paulus, “sengat” kematian adalah dosa, yang kuasanya terletak dalam Torah
(1 Kor. 15:56). Kematian adalah hukuman untuk dosa yang telah manusia perbuat;
pendosa “layak untuk mati” (Rm. 1:32). Paulus juga mengatakan bahwa dosa membayar
hutangnya dengan kematian (Rm. 6:16, 23). Demikianlah, kematian adalah kuasa yang
menguasai diri manusia, dan pada perluasannya sebuah realitas masa kini. Kematian
“rohani” dan kematian “fisik”, secara tidak terelakkan terjalin bersama, merupakan
realitas hidp dalam dosa. Hal ini memimpin orang berdosa menangis “Siapakah yang
akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Rm. 7:24). Tetapi jika kematian dianggap
sebagai konsekuensi dosa manusia, gabungan “alami” kematian manusia dengan yang
terdapat dalam ciptaan yang lain melahirkan pertanyaan mengapa makhluk hidup non-
manusia juga mengalami kefanaan. Atas pertanyaan ini Paulus, dalam garis Yudaisme
kontemporer menjawab bahwa “ciptaan” tidak mengalaminya dari kehendaknya, tetapi
sebagai sebuah hasil dari dosa manusia, pada kesia-siaan dan ketidakpermanenan.
Sekarang dia menanti untuk dibebaskan dari kematian,  bersama dengan “anak-anak
Allah” (Rm. 8:19-22). Paulus menganggap kematian bukan sebagai fenomena “alami”,
tetapi sebagai fenomena historis.5

4
J. J. Scott, Jr., “Hidup dan Kematian” (Leicester: IVP, 1993), 554.

9
C. Konsep Paulus Tentang Sikap Menghadapi Kematian
Paulus mempunyai pandangan yang optimis terhadap kematian jasmani. Ia
percaya melalui Kristus, kematian telah kehilangan sengatnya (1 Kor. 15:55-56). Paulus
tidak lagi memandang kematian sebagai musuh yang perlu ditakuti, tetapi malah sebagai
titik transisi menuju semacam kehidupan yang lebih penuh. Pengalamannya sendiri
memperlihatkan keyakinannya. Ia sering diancam maut (1 Kor. 15:31; 2 Kor. 1:8; 11:23
dst),6 tapi ia tidak takut. Ia maju terus dalam pelayanannya.
Bagi Paulus sendiri sebagai sesuatu yang harus dihadapi oleh manusia, maka
kematian baginya adalah keuntungan (Flp. 1:21). Mengapa? Karena baginya hidup adalah
Kristus dan mati serta diam bersama-sama dengan Kristus adalah jauh lebih baik (Flp.
1:21, 23). Mati tidak hanya keuntungan, tapi jauh lebih baik. Mati baginya berarti “diam
bersama-sama dengan Kristus”.7     

D. Konsep Teologi Paulus Tentang Kebangkitan


1. Latar Belakang Konsep
            Banyak ahli setuju bahwa doktrin kebangkitan tubuh adalah perkembangan
terakhir dalam tulisan-tulisan Yudaisme. Yang pertama yaitu dalam PL (mis. Dan.
12:2 dan (mungkin) Yes. 26:19) sebagai kebangkitan tubuh dan yang lainnya yaitu
kebangkitan nasional. Kebangkitan tubuh juga terdapat dalam teks apokrifa dan
pseudepigrafa Yahudi termasuk 2 Makabe, 4 Ezra, 1 Henokh dan 2 Barukh. Ada juga
anggapan, doktrin ini berasal dari Platonisme klasik yang menggambarkan
kebangkitan spiritual atau transmigrasi jiwa. Sementara tulisan-tulisan Paulus untuk
menyebutkan kebangkitan Kristus, ada indikasi bahwa ide itu adalah bagian dari
kepercayaan dan harapan Yesus sendiri yang keempat Injil rekam (beberapa menolak
hal itu diungkapkan dalam sumber ‘Q’). Paulus mungkin telah mengambil sentralitas
kebangkitan sebagai sebuah ide teologis dari Yesus sendiri.

5
W. Schmithals, “Kematian, Membunuhan, Tidur,  (Thanatos” in The New International:, Grand
Rapids: Regency Reference Library, 1986), 436-437.
6
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3 ( Jakarta: BPK GM, 2006), 187.
7
T. Yakobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius-Jakarta: BPK GM, 1984,
hlm. 296-297

10
            Namun, hal ini juga berkaitan dengan keanggotaan Paulus dalam partai Farisi
Yudaisme (Flp. 3:5; Kis. 23:6; 26:5). Dalam Kisah Para Rasul pertidaksetujuan antara
Saduki dan Farisi terhadap doktrin kebangkitan tubuh adalah tema menonjol (Kis. 4:2;
23:6-8; 24:21; bnd. Kis. 26:6; 28:20). Cukup beralasan jika Paulus menerima
pandangan Farisi tentan kebangkitan dan memahami pertemuannya dengan Tuhan
yang bangkit dalam terang hal itu.

2. Konsep Paulus Tentang Kebangkitan


            Paulus menggambarkan kebangkitan sebagai “misteri” (mysterion) dalam 1
Kor. 15:51. Menurut L. J. Kreitzer misteri kebangkitan ini bisa dijelaskan dalam
delapan bagian, yaitu:
a) kebangkitan sebagai transformasi
Hal ini adalah gambaran kebangkitan masa depan yang ditunggu oleh orang
Kristen. Transformasi itu adalah “symporphizo” yaitu menjadi seperti Dia (Flp.
3:10). Dalam Flp. 3:21 bahasa transformasi hadir 2 kali: “Yesus Kristus akan
mengubah (metaschematisei) tubuh kita yang rendah menjadi seperti
(symmorphon) tubuh mulia-Nya”. Dalam 1 Kor. 15:51-52 transfomasi tampak
dengan kata allagesometha (kita akan diubah) untuk menggambarkan apa yang
dinantikan komunitas orang percaya dalam parousia. Transformasi ini akan terjadi
pada semua orang percaya, tetapi tidak berarti bahwa semua akan dibangkitkan.
Hanya semua yang telah matilah yang dibangkitkan, sementara yang masih hidup
saat parousia transformasi itu cukup untuk menerima kekekalan.
Tampaknya secara berlawanan, transformasi terjadi sekarang
(2Kor.3:18)  dengan metamorphoumeta (kita sedang diubah). Tetapi Paulus
sebagaimana pendapat E. E. Ellis menyatakan bahwa itu bukan dualisme, tetapi
harus dipahami bahwa transformasi moral adalah proses sekarang, sementara
transformasi kefanaan menerima kebangkitan tubuh terjadi saat parousia.
b) Kebangkitan Sebagai Ketidakrusakan
Dalam 1 Kor. 15 Paulus menggunakan sejumlah istilah dan gambaran yang
berlawanan untuk menggambarkan hidup kebangkitan berbeda dari keberadaan
sekarang: kebinasaan/ketidakbinasaan, kehinaan/kemuliaan, kelemahan/kuasa,
tubuh fisik/tubuh rohani, manusia debu/manusia sorga. Ketidakbinasaan
(aphtharsia/aphtartos) memiliki hubungan yang dekat dengan kebangkitan Yesus
Kristus.
11
c) Kebangkitan sebagai Imortalitas
Dalam 1 Kor. 15:53b-54 Paulus menggambarkannya sebagai tabiat fana (to
thneton) yang mengambil imortalitas (kekekalan) Kebangkitan adalah hal yang
mana orang Kristen memperoleh kekekalan, dan kematian “ditenggelamkan dalam
kemenangan” (Yes. 25:8). Kebangkitan adalah sesuatu yang diterima sebagai
harta masa depan saat parousia.
d) Kebangkitan dan Keagungan
Terdapat hubungan yang dekat antara kebangkitan Yesus dari kematian dan
keagungan-Nya pada tangan kanan Allah (Rm. 1:3-4; Flp. 2:9-11). Keagungan
secara jelas diterima setelah kebangkitan (Rm. 8:34; Ef. 1:20; 2:6; Kol.
3:1).  Keagungan adalah konsekuensi tidak terelakkan dari kebangkitan. Paulus
mengimplikasikan bahwa orang-orang percaya akan mengalami sebuah kenaikan
fisik ke sorga pada parousia (1 Tes. 4:16-17).
e) Kebangkitan dan Pengagungan
Paulus menggunakan bahasa pengagungan untuk menggambarkan implikasi
kebangkitan Kristus untuk orang percaya. 1 Tes. 2:12 menggabungkan kerajaan
Allah dan kemuliaan, sementara 2 Tes. 2:14 menyatukan panggilan Kristen dan
pencapaian masa depan terhadap kemuliaan Yesus Kristus. “tubuh fana” (ta thena
ta somata)dan “daging fana” (thnete sarx) dikatakan akhirnya dipermuliakan
sebagai sebuah hasil dari kesatuan di antara Kristus dan gerejanya (Rm. 8:11-17; 2
Kor. 4:10-18).
f) Kebangkitan dan Hidup Kekal
Hidup kekal (zoe aionios) terdapat dalam ayat-ayat mengenai hasil dari
iman dalam Yesus Kristus (Rm. 5:21; 6:22-23; 1 Tim. 1:16; 6:12; Tit. 1:2; 3:7)
dan dengan penghakiman final orang benar (Rm. 2:7). Penerimaan hidup kekal
dalam kepenuhannya (kekekalan) adalah sesuatu di masa depan (di mana
kebangkitan menjadi satu dimensi utama bagi hal itu).
g) Kebangkitan dan Persesuaian dengan Gambar Kristus
Dalam 1 Kor. 15:49 pengharapan kebangkitan Kristen adalah “memakai
rupa dari yang sorgawi”.

h) Kebangkitan dan Penebusan Tubuh

12
Kebangkitan melibatkan penebusan tubuh fisik. Dalam Roma 8:23 Paulus
menggambarkan akibat kebangkitan dalam istilah “penebusan tubuh kita (ten
apolytrosin tou somatos hemon) (bnd. Juga Flp. 3:20-21).
Kebangkitan tubuh ini harus disamakan seperti tubuh kebangkitan Yesus
yaitu tubuh sorgawi. Kebangkitan Kristus dipandang sebagai “buah sulung” (1
Kor. 15:20,23) menjamin bahwa kebangkitan orang lain akan menyusul.8 Paulus
mengatakan bahwa ‘tubuh kita yang hina’ akan diubah ‘sehingga serupa dengan
tubuh-Nya yang mulia (Flp. 3:21). Tubuh kebangkitan Yesus dalam beberapa hal
sama seperti tubuh alamiah, tapi dalam beberapa hal lain berbeda. Pada beberapa
peristiwa Dia dikenal dengan segera (Mat. 27:9; Yoh. 20:19; dll) tapi dalam
peristiwa-peristiwa lain tidak (khususnya perjalanan ke Emaus). Ia muncul tiba-
tiba di tengah-tengah murid-murid yang berkumpul dengan pintu tertutup (Yoh.
20:19); tapi sebaliknya Ia lenyap dari pandangan kedua orang di Emaus. Ia
berbicara tentang diriNya memiliki ‘daging dan tulang’ (Luk. 24:39). Kadang-
kadang Ia menikmati makanan (Luk. 24:41-43) kendati makanan jasmaniah
bukanlah kebuthan bagi kehidupan di seberang kematian (bnd. 1 Kor. 6:13). Dan
adalah jelas, bahwa Tuhan Yesus yang telah bangkit dapat menyesuaikan diri
dengan batasan-batasan kehidupan jasmani seturut kehendak-Nya. Hal itu
memberi kesan, bahwa apabila kita bangkit kita akan memiliki kemampuan yang
sama. Tubuh ini bersifat badani, tapi memiliki kuasa-kuasa baru dan ajaib yang
berbeda dengan tubuh jasmani biasa, tetapi menembus batas-batas fisik.9

3. Konsep Paulus Tentang Kontinuitas Kematian dan Kebangkitan

8
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3, Lisda Tirtapraja Gamadhi, dkk (Terj.), Jakarta: BPK GM,
2006, hlm. 177.
9
George Eldon Ladd, Teolog Perjanjian Baru Jilid 2, (Bandung: Kalam Hidup, 2002), 31.

13
            Kontinuitas kematian dan kebangkitan menjadi sebuah dilema yang
mengkaitkan masalah tempat sementara orang-orang yang telah meninggal sebelum
kebangkitan Kristus. Karena itu, ada beberapa pengertian tentang pandangan Paulus
tentang hal ini, yaitu:
a. orang-orang percaya sedang menunggu kebangkitan sebagai roh-roh yang tidak
mempunyai tubuh, lalu pada saat itu mereka akan menerima tubuh-tubuh yang
mulia dan kekal.
b. orang-orang percaya dalam keadaan sementara mempunyai tubuh “sementara”
yang akan digantikan oleh tubuh kebangkitan yang mulia pada saat kedatangan
Tuhan (kebangkitan 2 tahap).
c. Kebangkitan orang-orang percaya terjadi pada saat kematian mereka tetapi
kebangkitan orang-orang tidak percaya terjadi hanya pada saat kedatangan Tuhan.
d. semua orang mati tetap tidak sadar sampai saat kebangkitan, pada saat itu mereka
akan dibangkitkan dan menerima tubuh yang mulia.
            Pandangan yang keempat mengenai jiwa yang tidur baru-baru ini menerima
dukungan kuat (khususnya dalam karya Cullmann). Paulus kadang-kadang
menggunakan kata kerjakoimaomai yang arti dasarnya tidur, tetapi masa
intertestamental digunakan dalam pengertian kematian. Dalam I Kor. 11:30 dan 1
Tes. 4:13 menunjuk suatu keadaan tidur terus-menerus, yang dibedakan dengan tidur
sesaat saja (juga dalam 1 Tes. 4:14-15).
            Namun, tidak ada alasan menganggap bahwa Paulus percaya tentang suatu
keadaan tidak sadar yang dimasuki orang-orang percaya saat kematiannya sehingga
unsur jiwa yang tidur itu ditolak ( Flp. 1:23; 2 Kor. 5:8). Cullmann menyatakan bahwa
kesadaran akan waktu akan berbeda sesudah kematian, dan jika dia benar, kita tidak
boleh menganggap adanya suatu tenggang waktu dalam arti biasa. Dari sudut pandang
Allah, mungkin kebangkitan pada saat kedatangan Tuhan akan segera terjadi setelah
kematian setiap orang percaya. Ini di luar pengalaman manusia.

BAB III
14
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kematian tidak dapat dihindarkan, karena itu sekarang telah menjadi
realitas historis, itu bukan sesuatu yang alami sebab sejak semula Allah tidak
memaksudkan manusia mati. Dosa yang dilakukan manusia memang
mengakibatkan kematian, tidak hanya secara spiritual dalam arti mengalami
keterpisahan dengan Allah, tetapi juga secara fisik. Paulus melihat bahwa
kematian telah mengalami kekalahan di dalam Kristus Yesus dan karena itu orang
percaya akan dibangkitkan untuk hidup yang kekal di dalam kebangkitan yang
telah dialami sekarang dan mengalami kepenuhannya di masa yang akan datang.
B. Saran
Bagi setiap orang percaya supaya tetap setia dalam melayani dan
pengenalan akan Kristus Yesus karena ketika orang percaya mati maka orang
percaya tersebut akan dibangkitkan pada saat itu juga dan bersama-sama dengan
Kristus Yesus dan memperoleh mahkota kehidupan yang Tuhan Yesus janjiakan
kepada orang yang mampu menyelesaikan pertandingan.

Daftar Pustaka
15
Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru 3. Jakarta: BPK GM, 2006
Ladd,George Eldon. Teolog Perjanjian Baru Jilid 2, Bandung: Kalam Hidup, 2002
Merrill, Eugene H., Kamus Internasional Perjanjian Baru. Carlisle: Paternosfer Press, 1997.
Schmithals, W., Kematian, Membunuhan, Tidur, Grand Rapids: Regency Reference Library,
1986
Scott, J. J., Hidup dan Kematian, Leicester: IVP, 1993
Yakobs,T.,  Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius-Jakarta: BPK GM,
1984

16

Anda mungkin juga menyukai