BAB I
PENDAHULUAN
Berpikir tentang kematian atau sekadar membicarakannya saja, kerapkali dianggap tidak
sehat. Bisa menganggu dan membahayakan keseimbangan psikologis, demikian
pengalaman banyak orang. Hal yang sama pernah terasa oleh penulis. Tetapi bagi filsuf
Miguel de Unamuno, justru kesadaran akan kematian mampu menelurkan umat manusia
dan individu-individu yang matang secara spritual.
Berpikir dan sadar tentang kematian, menurutnya, menghantarkan manusia pada sebuah
refleksi transendental (beyond), sampai kepada kesadaran akan keniscayaan dan
kesementaraan kematian. Sejalan dengan itu, seorang Andre Malraux pun berujar :
“Memikirkan kematian, itulah yang membuat orang semakin manusiawi”. “Pantas
dikenangkan saat mana manusia untuk pertama kali membicarakan kematian, karena hari
itulah terjadinya metamorphosis manusia menuju ke kematangan,” demikian katanya.
Banyak orang berpendapat bahwa hidup ini bersifat ironis, karena manusia sebenarnya
tidak pernah meminta agar ia dilahirkan, tetapi begitu ia lahir, mencintai hidup, dan
kehidupannya, ia dihadapkan pada realitas yang sangat menyakitkan hatinya. Manusia
mau tidak mau harus menghadapi kematian, sebagaimana ia dilahirkan. Semua manusia
tahu bahwa kematian adalah kewajaran dalam hidup, tapi tetap saja ada alergi, phobia
yang menguntitnya, walaupun mati pada hakekatnya adalah pasangan dari hidup setiap
bernyawa.
Kematian ibarat dua sisi mata uang. Adalah peluang yang sama dari dua kemungkinan
ketika kita memutarnya. Kehidupan dan kematian diantarai oleh ruang dan waktu yang
tipis. Seorang seniman seperti Abdul Hamid bin Zainal bin Abdul Jabbar alias Hamid Jabbar
pernah berujar: “Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku? Barangkali satu denyut
lepas, o satu denyut lepas tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku: Segalanya
tehempas,o segalanya terhempas”
Kematian merupakan kepastian. Tak seorang pun dapat menghindar dan melepaskan diri
dari cengkeramannya. ”Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya,
maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata,” (Al-Jum’ah: 8), demikian kita
bisa membaca dalam Alquran, menyadarkan bahwa segala upaya kita tak mampu
menundukkannya.
Maka tidak aneh filsuf J. Paul Sartre sendiri pun bergumam: “kematian merupakan
peristiwa yang tidak terpahami. Fenomena kematian adalah kenyataan yang menyergap
secara tiba-tiba dan membuta, sehingga manusia tidak mampu mengontrolnya.
Kedatangannya tidak bisa diperhitungkan dan sangat mengejutkan manusia yang sedang
merencanakan hidupnya dan berusaha mewujudkannya.”
Kematian adalah keniscayaan, hal ini pasti disadari setiap insan. Kendati demikian,
manusia pada umumnya tidak suka, bahkan sangat takut pada kematian. Bagi sebagian
orang, kematian sangat menakutkan. Mereka membayangkan kematian sebagai peristiwa
yang amat tragis dan mengerikan.
Imam Ghazali juga Komaruddin Hidayat dalam Psikologi Kematian, menjelaskan beberapa
alasan mengapa manusia takut terhadap kematian. Pertama, karena ia ingin bersenang-
senang dan menikmati hidup ini lebih lama lagi. Kedua, ia tidak siap berpisah dengan
orang-orang yang dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama ini
dikumpulkannya dengan susah payah. Ketiga, karena ia tidak tahu keadaan mati nanti
seperti apa. Keempat, karena ia takut pada dosa-dosa yang ia lakukan selama di dunia ini.
Kematian kerapkali menjadi dramatis, apalagi kalau peristiwa itu melibatkan diri kita, orang
yang kita cintai, orang yang sangat kita butuhkan, orang yang mempengaruhi atau
menentukan jalur hidup kita. Akibatnya, meskipun kita (manusia) hidup di alam dimana
semua makhluk lahir, tumbuh dan mengalami kematian, tidak begitu mudah menerima
kematian itu sendiri, atau menerimanya sebagai sesuatu yang wajar.
Manusia takut karena ia tidak pernah ingat kematian dan tidak mempersiapkan diri dengan
baik dalam menyambut kehadirannya. Manusia, kata Ghazali, biasanya ingat kematian
hanya kalau tiba-tiba ada jenazah lewat di depannya. Seketika itu, ia membaca istirja’:
”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Namun, istirja’ yang dibaca itu hanyalah di mulut saja,
karena ia tidak secara benar-benar ingin kembali kepada Allah dengan ibadah dan amal
saleh.
Jadi, kalau demikian, agar tidak alergi dan fobia dengan kematian, manusia, menurut
Ghazali, harus sering-sering ingat kematian sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
”Perbanyaklah olehmu mengingat kematian, si penghancur segala kesenangan duniawi.”
Sadar akan kematian sebagai sesuatu yang berwujud keniscayaan, tetapi kematian an sich
tetaplah menyimpan misteri yang tetap puzzle bagi manusia. Berbagai wajah kematian
tampil dalam pengalaman manusia yang tetap menelurkan aneka pertanyaan: Apa itu
mati? Apa artinya bagi kita? Apakah kematian sekedar bermakna tidak ada lagi atau
ketiadaan (nothingness)? Ataukah kematian menyiratkan sebuah kehidupan baru (life after
death)? Di sini sampailah kita pada persoalan ontologi dan epistemologi yang serius
tentang kematian.
Sederet pertanyaan, perbincangan bisa tersembul tentangnya, sederet jawaban bisa
dikemukakan. Tetapi jawaban yang pasti, belum pernah tercipta, yang bisa memuaskan
keingintahuan manusia. Sejauh ini berbagai kalangan telah mencoba menelitinya,
merefleksikannya tetapi tetap saja minyisakan ketidaktahuan.
Sadar akan hal itu, kami pun melalui paper ini tidak berpretensi untuk memberikan sebuah
jawaban yang sahih terhadapnya.
Tujuan Penulisan
Paper ini berjudul “Kematian dan Maknanya menurut John Hick”, mencoba untuk melihat
sisi lain dari kematian itu. Studi ini mencoba untuk melihat kematian sebagai peristiwa
yang tidak mesti ditakuti, tetapi sebagai peristiwa yang menyimpan makna. Untuk sampai
ke sana, mau tak mau, penulis juga harus menyentuh sisi ontologis dan epistemologis
tentang kematian itu sendiri. Sampai akhirnya menuju pada kesadaran bahwa kematian
adalah sebuah keniscayaan. Inilah yang menjadi tujuan pertama paper ini. Selain itu, untuk
meyakinkan bahwa kematian bukanlah keberakhiran segala-galanya dalam hidup manusia.
Penulis mencoba memaparkan tentang “life after death” beserta bukti-buktinya.
Metode Penulisan
Pembahasan dan telaah tentang Kematian dan Maknanya menurut John Hick, umumnya
mengunakan sumber data sekunder. Maksudnya bahwa bahan-bahan (data-data) yang
diperoleh penulis tidak langsung dari John Hick dan apalagi mengobservasi peristiwa itu
sendiri.
Akan tetapi, sumber data diambil dari studi kepustakaan, berupa tulisan-tulisan John Hick
sendiri, opini dan kritik terhadapnya dari berbagai pemikir, tak ketinggalan sumber data
diperoleh dari internet khususnya website tentang tokoh yang bersangkutan, dan juga
benang merah yang penulis simpulkan dari perkuliahan.
Disamping itu, penulis juga menggunakan refleksi rasional (juga imani) dalam bentuk
metode analisis kritis tentang kematian. Dimungkinkan karena penulis pernah membaca
literatur tentang tema tersebut dari berbagi tokoh dan sumber.
Metode analisis dialogis dengan pembimbing, para dosen dan para kolega seperjuangan,
pun penulis lakukan. Tak terkecuali juga penulis menggunakan metode refleksi filosifis
tentang kematian terhadap pengalaman yang pernah bersinggungan dengan penulis.
Akhirnya terbangunlah tulisan ini, berkat komposisi berbagai metode dan cara, tentunya
tanpa banyak pretensi.
Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembeberan, paper ini disusun dalam pembahasaan yang satu
berkorelasi dan berinteraksi dengan pembahasaan yang lainnya.
Dalam Bab pertama, secara konvensional berisi tentang pendahuluan, yakni latar belakang
masalah, tujuan penulisan, metode dan sistematika penulisan. Dalam bab ini akan
diketahui persoalan yang muncul dan gambaran umum yang akan dibahas. Bab ini adalah
panorama sekaligus pintu gerbang (“porta”) untuk masuk ke permasalahan yang
sebenarnya.
Bab kedua berisi pemaparan ontologis dan epistemologis serta experience (praktis)
tentang kematian itu sendiri. Hal itu semua terbahasakan dengan tema: Kematian, “Pesona
dan Misterinya” yang meliputi: apa itu mati, ketakutan akan kematian, pengalaman
berhadapan dengan kematian, kematian sebagai kemungkinan baik, dan kematian sebagai
kemungkinan buruk.
Bab ketiga merupakan inti tulisan ini. Membahas tentang kematian dan maknanya : ispirasi
dari John Hick. Dalam bab ini secara detail dibahas pandangan Hick terhadap kematian dan
apa yang terjadi setelah kematian itu sendiri.
Dalam bab keempat akan dikupas kesaksian tentang “life after death” itu sendiri,
berdasarkan pengalaman dan kepercayaan umat manusia kebanyakan.
Bab kelima adalah bagian penutup. Melalui bab ini penulis mencoba menggarap makna
kematian bagi manusia, tentunya tak terlepas dari inspirator utama ditambah dengan
pemahaman penulis sendiri. Dan akhirnya ditutup dengan catatan penulis dan rangkuman
atas apa yang dijabarkan dalam paper ini, ditambah ulasan permenungan dari penulis
sendiri
BAB II
KEMATIAN : MISTERI DAN PESONANYA
Kematian Terjadi
Setiap manusia mengakhiri hidupnya di dunia ini dengan kematiannya. Sebab-sebab
kematian itu sendiri bermacam-macam. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu
pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis. Pertama, Orthohanasia, yaitu
kematian yang terjadi karena proses alamiah. Kedua, Dysthanasia, yaitu kematian yang
terjadi secara tidak wajar. Ketiga, Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan
pertolongan (atau tidak) medis.
Kematian dengan segala misterinya merupakan pengalaman manusia yang hidup.
Kematian merupakan bagian dari lingkungan biologis hidup manusia. Karenanya realitas
kematian merupakan saat yang tidak bisa ditawar-tawar atau dihindari oleh manusia yang
hidup.
Berdasarkan ketentuan medis seorang manusia dianggap telah mati jika jantungnya sudah
tidak berfungsi lagi sebagai pengedar darah ke seluruh tubuh, otaknya mulai membusuk
dalam waktu seperempat jam karena tidak memperoleh darah, dan seluruh badan tidak
dapat lagi digerakkkan dalam keadaan dingin. Inilah yang disebut dengan metode
“eletroencephalogram” (EEG) dalam dunia medis.
Tetapi metode “electroencephalogram” (EEG) ternyata pernah menuai ketidakabsahannya.
Sebab, dalam beberapa kasus orang yang otaknya dinyatakan tidak berfungsi lagi,
kemudian dapat dipulihkan dan sehat kembali.
Di sisi lain, disiplin thanologi mengemukakan bahwa kematian sungguh terjadi ketika
melalui beberapa tahap. Pertama, kematian organis atau biasa disebut kematian separuh.
Ditandai oleh tidak berfunginya organ tertentu dalam tubuh dan disusun oleh organ lain.
Kedua, kematian otak yang sering disebut kematian kematian utama. Ketiga, kematian
total yaitu kematian seluruh organisme sebagai suatu kesatuan. Inilah kematian yang tidak
bisa diragukan. Kematian yang membawa kehancuran seluruh organisme tubuh manusia
(material). Pada saat itu pula, seluruh kepribadian manusia hancur, karena sama seperti
tubuh lainnya, kepribadian merupakan salah satu bagian dari seluruh diri manusia.
Mengatasi Kegentaran
Menurut kebanyakan eksistensialis, kapan saja kita berhadapan dengan tidak-mustahilnya
ketiadaan diri pada saat itu kita mempunyai “tanggapan eksistensial” alamiah yang
mencakup sejenis kekhawatiran tertentu. Martin Heidegger dan Wittgenstein,
membedakan antara kekhawatiran eksistensial dan kekhawatiran umum.
Kekhawatiran umum adalah tanggapan empiris seorang manusia terhadap obyek yang
mengancam [dia] di dalam dunia: itu biasanya mensyaratkan bahwa kita memerangi obyek
itu dengan harapan menaklukkan ancamannya, atau, alternatif lainnya, melarikan diri dari
obyek itu dengan harapan terlepas dari ancamannya.
Sebaliknya, kekhawatiran eksistensial adalah tanggapan di dalam lubuk seorang manusia
terhadap situasi manusiawi umum, khususnya bila situasi itu mengungkap akan adanya
“ketiadaan” atau “yang-tidak-berada”.
Tanggapan manusiawi alamiah adalah melarikan diri dari ancaman itu, karena memerangi
“ketiadaan” tampaknya mustahil sikapnya bukan lagi melarikan diri melainkan
membenamkan diri sedalam-dalamnya ke dalam obyek-obyek empiris yang terdapat pada
pengalaman kita sehari-hari. Ini bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti menekuni hobi,
menonton televisi, menjadi penggemar fanatik olahraga, atau pun menjadi cendekiawan
dan membenamkan diri dalam buku-buku.
Maksud Heidegger adalah bahwa cara lazim (tak sehat) yang berupa lari dari ancaman
ketiadaan itu hanya berpura-pura bahwa itu tidak ada, dengan membenamkan diri dalam
yang berada.
Hal senada dikemukakan oleh Komarudin Hidayat, rasa takut akan kematian berakar pada
keinginan laten untuk selalu hidup nyaman, dan rasa takut itu kemudian menjalar kepada
berbagai wilayah aktivitas manusia.
Lebih jauh lagi, menurut Komarudin Hidayat, rasa takut itu kemudian melahirkan anak
pinak, yaitu takut akan bayang-bayang ketakutan itu sendiri sehingga muncul ungkapan,
musuh terbesar dan terdekat kita adalah rasa takut itu sendiri yang berkar kuat dalam diri.
Esensinya ialah sikap penolakan akan kematian karena kematian selalu diindentikkan
dengan tragedi, sakit, ketidakberdayaan, kehilangan, dan kebangkrutan hidup. Karena
adanya kesadaran akan kematian, banyak orang melakukan inovasi keilmuan, banyak
gedung-gedung megah dan indah dibangun semuanya didorong oleh keinginan agar
dirinya abadi, untuk mengalahkan kenatian yang tak mungkin dikalahkan.
Bagi seorang Paul Tillich adalah sikap yang salah (bersalah) untuk merasa takut lantaran
kehilangan keabadian sampai batas tertentu. Menurutnya sikap terbaik terhadap
kegentaran akan kematian terjadi manakala kita berpikiran jujur mengenai kematian kita
sendiri. Terjadi ketika kita sampai pada suatu derajat kesadaran bahwa kematian adalah
jalan yang harus kita tempuh, tidak bisa menghindarinya, lantaran hidup di dunia ini tidak
otentik.
Adalah suatu pengalaman yang salah, ketika kita melarikan diri dari kenyataan bahwa
kematian pasti menjemput kita, dan lompat kepada sebuah temeng keamanan yang
ditandai argumen filosofis akan keabadian atau harapan religius akan kehidupan abadi.
Sikap demikian, menurut Tillich hanya akan menambah kebergantungan berlebihan
manusia pada imaginasi religius atau penalaran logis.
Lebih lanjut menurutnya, satu-satunya tanggapan yang tepat terhadap kematian
(hilangnya keabadian) yang terungkap dalam kegentaran eksitensial adalah menghadapi
ancaman ketiadaan dengan keberanian untuk berada secara eksistensial.
Maka bagi Tillich, sejalan dengan Kiekegaard, adalah memandang ancaman ketiadaan
sebagai masalah eksistensial yang solusi mujarabnya, dan hanya akan tercapai pada tahap
religius. Baginya, kita akan siap mengalami manifestasi keberanian untuk berada yang
paling berbobot, hanya bila kita turut serta dalam melampaui diri, dalam bentuk
keberanian untuk menerima keadaan.
Pengiyaan keberanian diri bukan sekedar keberanian untuk berada secara eksistensial
sebagai diri itu sendiri, melainkan sampai kepada perbuatan paradoks (antara antipati
simpatik dan simpati antipatik) yang didalamnya seseorang diterima oleh secara yang tak
terbatas melampaui (beyond) diri sendiri tetapi lebih pada kesadaran akan adanya
kematian itu.
Setelah menjalani kehidupan kita dengan daya keberanian untuk berada yang paradoksis,
akhirnya kita akan siap untuk menyambut kematian itu sendiri bukan sebagai konfirmasi
tragis perihal kegentaran, melainkan sebagai langkah akhir dalam proses kehidupan
panjang ini.
Dalam bukunya How We Die, Nullan mengafirmasi hal yang sama. Baginya dengan
mengetahui kebenarannya dan bersiap diri menghadapinya, kita akan bisa membebaskan
diri kita dari ketakutan terra incognita akan kematian yang mengakibatkan kebohongan diri
sendiri dan disilusi. Lantas, kematian bukanlah pengalaman seorang (aku) manusia
melainkam pengalaman semua (kita), tak ada kecualinya.
Maka, bagi eksistensialis J.P. Sartre (1905-1980) perihal kematian adalah manusia tidak
berkata “saya mati” tetapi “kita mati”. Kekitaan kita, katanya, akan mengurangi kesedihan,
ketakutan mengajadapi maut, kematian.
Tahap-Tahap Kematian
Pertanyaan tentang kematian memang tak ada jawaban yang pasti, apalagi empiris, selain
misteri. Tetapi sejarah mencatat selama berabad-abad, kematian pernah menjadi obyek
yang penting bagi para pemikir dan penyair.
Adalah menarik melihat fenomena orang mempelajari sebuah mesteri yang hanya
memberikan secercah jawaban; menanyakan pertanyaan yang tidak ada jawabannya yang
pasti. Tetapi, selalu saja menarik mendiskusikanya, tidak hanya demi kepentingan
intelektual. Begitu saja terus selama bertahun-tahun orang-orang dari berbagai kalangan
(agama, intelektual, spritual, psikologi, kedokteran dll.) berusaha merenungkan kematian
dan maknanya.
Di tahun 1969 misalnya, seorang Psikiater Elisabeth Kübler Ross berusaha mengamati apa
yang terjadi pada orang yang sedang mati. Dengan serangkaian wawancara detail dengan
pasien yang sudah sekarat, ia bersiap untuk menjawap pertanyaan tersebut.
Melalui On Death and Dying ia berusaha membuka pintu, menyalakan lampu, dan
membiarkan udara segar untuk menerobos semua realita yang tidak terteliti melalui proses
kematian. Pelopor kedua dalam dunia yang gelap dan belum tergali ini, melangkah lebih
jauh lagi dengan memaparkan ambang batas dari pengalaman di alam baka.
Seorang Dr. Raymond Moody telah mendokumentasikan pengalaman menjelang kematian.
Dilaporkan bahwa 15 persen dari oang Amerika yang sempat dinyatakan sudah mati
namun karena berbagai alasan hidup kembali ke dunia.
Kalau Kübler Ross menjelaskan proses menuju kematian, Moody lebih cenderung
menjelaskan apa yang dialami orang sewaktu mengalami kematian itu.
Tepatnya tahun 1994 seorang B. Nuland menelurkan variasi yang luar biasa mengenai
tema yang sama. Dalam bukunya How We Die, ia membeberkan sederet jawaban terhadap
pertanyaan “Apa yang terjadi pada kita secara fisik di saat kita mati”.
Menurut Elisabeth Kübler-Ross, ada beberapa sikap pasien-pasien terminal yang sedang
menanti kematian akan mengalami lima tahap proses psikologis, yaitu, penolakan dan
pengasingan diri (denial), kemarahan (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi
(depresion), penerimaan (acceptance).
Pertama, tahap penolakan dan pengasingan diri. Ditandai dengan adanya reaksi dari pasien
setelah mendengar atau mengetahui hasil diagnosa tentang pengyakitnya yang semakin
parah dan sedikit demi sedikit dapat menghantarkan dirinya kepada kematian. Reaksi
pertama yang muncul dari pasien terminal itu adalah pernyatan, “Tidak…;, bukan aku; itu
tidak benar”.
Pasien terminal biasanya menuntut diadakannya pengujian ulang atas kebenaran sebuah
diagnosa dari seorang dokter. Mereka berusaha menemukan dignosa yang sungguh
melegakan hatinya tentang penyakitnya. Karena kesiapan pasien tidak memungkinkan
menerima diagnosa itu, si pasien akan berusaha menolak dan menyangkal keabsahan
diagnosa itu., dan disertai dengan kekhawatiran dan konflik batin pada diri pasien terminal
yang terus menerus dari waktu-ke waktu, bahkan hinga akhirnya si pasien menolak
kenyataan kematiannya.
Apabila pasien sudah tidak lagi menolak kenyataan kematiannya, ia mulai masuk ke tahap
kedua, yaitu tahap kemarahan. Pertanyan logis yang timbul dari si pasien dalam tahap
kedua ini adalah ”mengapa kematian begitu cepat menimpa diriku? Mengapa tidak orang
lain lebih dahulu?” Tahap ini merupakan tahap yang sangat sulit untuk menghadapi pasien-
pasien itu. Kesulitan disebabkan oleh pergeseran waktu dari masa kehidupan yang teratur
menuju situasi yang tidak pasti teatang kapan waktu kematian itu akan menimpa dirinya.
Keadaan ditandai dengan serba tidak menentu mengenai keadaan emosionalitas pasien,
dan umumnya si pasien lebih dominan dikuasai oleh situasi kemarahan yang disebabkan
oleh perasaan tidak dimegerti oleh orang-orang disekitarnya.
Manakala pasien merasa diperhatikan, maka kemarahannya semakin reda. Mereka pun
lambat laun akan merasa diri meraka sebagai insan yang masih berharga, dan mulai
menyadari bahwa mereka diikutsertakan dalam sistem masyarakat yang lebih besar.
Pada saat si pasien merasa diperhatikan dan berdialog mengenai kematian manusia
termasuk dirinya, maka si pasien lambat laun akan menyadari akan keniscayaan kematian.
Maka dengan ini, si pasien akan mulai melalui tahap proses psikologis ketiga, yaitu: tawar-
menawar.
Menurut Kübler Ross, pada tahap pertama pasien tidak mampu mampu menghadapi
kematiannya dengan penolakan dan pada tahap kedua pasien terminal memprotes
kenyataan tersebut dengan kemarahan, baik kepada Allah maupun kepada masyarakat
sekitar.
Dengan pandangan itu, pasien beranggapan bahwa mungkin ia dapat mengatasi ketakukan
dan kematiannya dengan tawar-menawar. Pasien mengangap cara itu dapat menunda
kematiannya. Pasien terminal akan berkata,” jika Allah tidak berkenan menanggapi
keinginanku untuk hidup lebih lama dengan cara marah, mungkin lebih baik aku memohon
kepada-Nya dengan cara pantas dan layak sehingga Allah berkenan menuruti
keinginanku.”
Pada tahap ini pasien mulai mengingat-mengingat masa lampau. Mengingat masa lampau
pada saat mana ia telah berbuat kebaikan seseui dengna kehendak Tuhan. Dengan
kenangan akan kebaikan-kebaikan itu, si pasien berusaha tawar menawar dengan Tuhan,
agar ia diberikan kesehatan fisik.
Tahap ini dilakukan oleh pasien kepada Allah dengan tendensi dan janji bahwa ia akan
menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Gereja dan mengabdi kepada Allah, jika
Allah sudi memperkenannya hidup lebih panjang lagi.
Tahap selanjutnya, tahap depresi, yaitu tahap yang ditandai dengan rasa kehilangan akan
kesabarannya, ketabahannya untuk menghadapi saat-saat menjelang kematiannya.
Depresi yang menimpa si pasien terminal, menurut Kubler Ross, ada dua jenis. Pertama,
depresi reaktif, yang dapat dilihat pada pasien-pasien yang mempunyai pengertian jelas
mengenai kematiannya sehingga tidak terlalu sulit bagi kita menemukan sebab-sebab
depresi itu. Kedua, depresi prepatoris, yaitu depresi yang ada pada pasien yang ditandai
dengan perhitungan akan kehilangan-kehilangan dari apa yang dimilikinya di masa
mendatang.
Pasien yang menderita depresi prepatoris tidak perlu lagi diberikan dorongan untuk melihat
sisi-sisi terang dari kehidupan ini dan ia pun tidak tidak perlu merenungkan kematian yang
akan menimpa dirinya. Setelah pasien terminal mengalami tahap-tahap penolakan, marah,
tawar menawar, depresi, maka tahap kelima, mereka akhirnya masuk dalam tahap
penerimaan.
Dalam tahap ini kematian yang akan menimpa diri mereka benar-benar tidak dapat
dielakkan atau dihindarkan lagi. Sikap menerima itu merupakan hasil dari keadaan hari dan
perasaanya yang hampa.
Kubler Ross juga melihat dua cara yang dilakukan para pasien terminal dalam menghadapi
kematiannya. Pertama, pasien menerima kematiannya dengan bantuan kondisi tubuhnya
dan keaadaan lingkungan sekitarnya. Pasien seperti ini biasanya, sudah berusia tua dan
menyadari bahwa kematian akan menjemputnya dalam waktu dekat. Ia merasa sudah siap
mati karena ia sendiri menganggap bahwa ia telah menyelesikan tugas-tugas hidupnya.
Kedua, pasien terminal telah mengerti akan akhir hidupnya maka ia memberikan waktunya
untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kematiannya. Ia mendapat bantuan, baik
dari orang-orang yang berurusan dengannya maupun dorongan-dorongan positif dari
anggota keluarganya. Dengan demikian mereka dapat menerima kematiannya sebagai
nasib yang harus dijalaninya.
BAB III
KEMATIAN DAN MAKNANYA: NSPIRASI DARI JOHN HICK
Sekilas Tentang John Hick
Profesor John Hick, lahir 20 Januari 1922 di Scarborough, adalah seorang teolog dan filsuf
Agama yang sangat penting dan berpengaruh. Dalam dunia filsafat teologi, dia telah
memberi banyak sumbangsih khususnya bagi disiplin theodicea, eskatalogi, dan kristologi.
Dalam bidang filsafat agama, pemikirannya telah berpengaruh banyak bagi perkembangan
epitemologi agama dan khususnya pluralisme agama.
Pernah mengecap pendidikan di bidang hukum pada Hull University, dan selama di sana ia
mengalami metamophosa keberimanan dari Kalvinis Orthodoks yang konservatif menjadi
Katolik.
Pengalaman dari Hull University, tidak mengurungkan niatnya untuk study lanjut, maka
pada tahun 1940, ia melanjutkan pendidikannya di bidang flsafat pada Edinburg University.
Terhambat oleh perang dunia kedua, ia harus diungsikan, untuk sementara pendidikannya
harus berhenti.
Pada tahun 1948, dia kembali ke Edinburg untuk melanjutkan study flsafatnya yang sempat
tertunda dan berhasil menyelesaikan sarjananya. Di Oriel College pada Oxford University ia
mengadakan penelitian untuk meraih gelar dktoralnya di bawah pengawasan Filsuf
H.H.Price. Thesisnya kemudian menjadi buku pertamanya, Faith and Knowledge (1957).
Pada tahun 1956, ia memutuskan untuk pergi ke Amerika dan pertama kalinya menjadi
pendidik pada Cornel University. Tiga tahun kemudian, ia juga menggambil posisi yang
sama pada Princenton Theological Seminary. Di sana ia mulai dikenal sebagai teolog yang
lain, dan mendapat sorotan dari banyak tokoh mengenai buah pikirannya yang lain.
John Hick adalah seorang filsuf dan teolog anglikan yang cukup dikenal bereaksi terhadap
sketipsisme Barat, khususnya di Inggris mengenai hidup setelah kematian (after-life), dan
mengemukakan tesis bahwa pengertian religius mengenai hidup manusia menuntut
kepercayaan akan hidup yang tak akan mati. Tanpa kepercayaan akan immortality,
demikian Hick, paham religius tidak akan masuk akal.
Dia telah mendapatkan beberapa gelar akademis penting dari berbagai universitas
ternama, seperti Danfort Professor Of The Philosophy And Religion pada “Claremont
Graduate Univerty”, Guru besar teologi pada University Birmingham, dan anggota
penelitian lanjutan bidang ilmu seni dan Sosial pada University Birmingham. Dia juga
pemimpin pada British Society fr Philosophy or Religion dan juga pamimpin utama padaThe
World Congress of Faiths.
Profesor Hick telah menulis banyak buku dan paper dari hasil penelitiannya dan telah
diterjemahkan kedalam 16 bahasa. Beberapa diantaranya: Faith And Kowledge, Philisophy
Of Religion, Evil And The God Of Love, Argument For The Existensi Of God, God and The
Universe of Faiths, The Second Cristianity, Death End Eternal Life , Problem Of Religion
Pluralism.
Di samping itu ia juga menjadi penyunting beberapa buku seperti: Faith And Philosopers,
The Exixtence of God, The Mith Of God Incarnate, The Experience Of Religious Diversity,
Christianity And Other Religious.
BAB IV
ETERNAL LIFE: SEBUAH KESAKSIAN HIDUP SETELAH MATI
Kelahiran kita hanyalah suatu tidur atau suatu pengabaian arwah yang bangkit bersama
kita, adalah bintang kehidupan kita, di lain tempat telah memiliki ketetapannya, dan komet
dari kejauhan: tidak dalam pengabaian seluruhnya, dan tidak dalam ketelanjangan
sepenuhnya, tetapi kita datang dengan mengikuti awan-awan agung, dari Tuhan tempat
kita berpulang: surga terletak pada kita saat kita kecil!
Bayangan-bayangan rumah penjara mulai mendekat atas anak yang tumbuh, namun ia
melihat cahanyanya, dan di mana itu mengalir, ia memandangnya dalam kegembiraannya;
yang muda yang setiap hari jauh dari timur harus pergi, adalah Pendeta Alam, dan oleh
pandangan yang indah dalam perjalanan mengunjungi; pada jarak dimana ia melihat mati,
dan pudar dalam cahaya hari biasa. (William Wordsworth, 1807)
BAB V
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Kematian adalah kiniscayaan, tidak satu jiwa pun mampu menghindarinya. Hanya manusia
yang sadar dan hidup dalam kesadaran itu, demikian menurut John Hick. Kendati sadar,
manusia biasanya memberontak, karena anggapan mereka fakta kematian akan
menghambat bahkan meluluhkan perwujudan citranya di dunia ini.
Tetapi John Hick, hidup yang masuk akal adalah hidup yang mengakui fakta kematian
sebagai bagian dari hidup. Adanya fakta kematian, sejatinya akan menghantarkan manusia
kepada penggalian makna hidup. Dan kematian menurutnya adalah bagian dalam proses
perkembangan hidup yang akan mencapai puncaknya pada kekekalan (immortality). Itulah
yang disebut dengan kehidupan kekal (eternal life).
Hakikat hidup adalah proses pembentukan pribadi terus-menerus menuju kesempurnaan
(ferfectio). Maka hidup tak lain adalah perkembangan yang belum berahir dan selesai
dengan kematian. Kematian hanyalah sebuah loncatan untuk memasuki gerak evolusi
menuju immortalitas. Titik immorlitas itulah yang disebut John Hick dengan titik
perkembangan. (http://nelkaonline.wordpress.com/2007/11/21/kebermaknaan-kematian-menurut-john-
hick/)