Anda di halaman 1dari 3

Memaknai Kematian

Pada hari Jumat (19/3) kita dikejutkan dengan kabar meninggalnya salah satu mahasiswa FEUI dikarenakan kecelakaan di daerah pocin, pada hari Sabtu (20/4) kemarin, gempa berkekuatan 6.6 skala richter menyerang China, setidaknya 102 orang dinyatakan meninggal dalam peristiwa tersebut, juga beberapa waktu yang lalu salah satu artis Indonesia, yaitu Ricky Joe meninggal dunia secara mendadak karena serangan jantung. Peristiwa kematian terjadi tanpa mengenal usia, ras, maupun agama, dengan berbagai sebab: sakit, kecelakaan, bencana, dan lain-lain. Kematian yang datang tiba-tiba maupun dapat diprediksi menjadi sebuah masalah bagi manusia mengingat manusia mengetahui bahwa ia akan menghadapi kematian. Pengetahuan manusia tentang kematian yang akan dihadapinya seringkali disingkapi dengan cara menolak kematian. Menolak kematian seakan-akan telah membudaya, berbagai cara dilakukan untuk menghindari pikiran kita maupun diri kita dari kematian, seperti: menyibukkan diri dengan berbagai rutinitas, menjalani berbagai pengobatan, bahkan juga mentabukan membicarakan soal kematian.

Saat ini, seringkali membicarakan kematian sama tabunya dengan membicarakan persoalan seks. Namun, seperti dibangunkan dari mimpi, manusia seringkali harus memikirkan kembali kematian, baik ketika ia mulai sakit, kerabatnya banyak yang meninggal, ataupun kejadian lain yang mengingatkan manusia akan kematian dan seringkali membawa mereka pada frustasi mendalam karena takut menghadapi kematiannya. Oleh sebab itu, rasanya penting untuk membicarakan mengenai kematian sehingga kita tahu bagaimana cara memaknai kematian agar siap menghadapinya. Menurut kedokteran, kematian (mati klinis) adalah kondisi dimana oleh karena sesuatu sebab terjadi gangguan pada ketiga sistem utama (sistem persarafan, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan) yang bersifat menetap (Idries, 1997). Sehingga tidak ditemukan adanya refleks, elektro ensefalografi mendatar dan suara napas tidak terdengar. Sedangkan menurut KBBI, kematian adalah perihal mati, yang mati itu sendiri artinya sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi. Manusia terus mempertanyakan kematian yang harus terjadi pada kehidupannya. Jawaban akan pertanyaan tentang kematian telah diungkapkan paling tidak oleh ketiga filsuf Eropa, yang akan saya uraikan dibawah ini:

1.

Heidegger (1889-1976) : Heidegger berpendapat bahwa pada dasarnya

kematian melekat pada eksistensi manusia. Sejak lahir, manusia telah ditetapkan akan kematian yang melekat padanya. Menyingkapi perihal kematian, Heidegger memandang kematian sebagai hal yang dapat dikatakan positif, ia mengatakan bahwa kematian dapat memberikan makna pada kehidupan. Ibarat pada kalimat panjang tanpa titik, maka hidup tanpa mati tidak akan memiliki arti, justru keterbatasan hiduplah yang akhirnya memberikan makna pada kehidupan. Heidegger memandang kematian sebagai erwarten (penantian) dengan tanpa pengharapan manusia harus berani menghadapi kematiannya dengan otentik (bertanggung jawab sendiri tanpa hal-hal lain yang ia dapatkan di dunia). Pandangan positif Heidegger terhadap pentingnya kematian membuat Heidegger memandang kehidupan (kaitannya dengan kematian) akan lebih baik intensif (bermakna) daripada ekstensif (memiliki waktu yang lama). 2. J.P Sartre (1905-1980): Sartre memandang sifat kematian yang serba

mendadak dan tidak dapat diprediksi hanya dapat menyebabkan frustrasi dan membuat kehidupan menjadi tanpa arti. Ia berpendapat bahwa kematian menyingkirkan makna hidup yang bebas karena kematian mematahkan setiap rencana, setiap kebebasan pribadi dan setiap makna hidup dari eksistensi. Berbeda dengan Heidegger, Sartre menganggap bahwa kematian tidak melekat pada eksistensi manusia melainkan datang dari luar diri manusia dan mematahkan eksistensinya. Kematian bukanlah kemungkinan untuk tidak lagi mampu mewujudkan kehadiranku di dunia, tetapi suatu peniadaan kemungkinanku. Maka dalam memaknai kehidupan (kaitannya dengan kematian) adalah baiklah manusia memperbanyak pengalaman dan kebahagiaan dalam hidupnya sejauh dimungkinkan kebebasan. 3. Albert Camus (1913-1960) : Camus mendalami kematian sebagai fakta

kehidupan yang membuat tidak satupun keinginan dan usaha kita memiliki makna. Ia berpendapat, segala rutinitas, cita-cita, juga harapan, hanyalah ilusi, karena selagi kita menjalankan rutinitas untuk mencapai tujuan kita, disaat yang sama kita terus mengurangi keberadaan kita untuk mencapai tujuan tersebut. Kehidupan menjadi absurd karena dihadapkan kematian, segala hal yang kita miliki dan hendak kita gapai menjadi ilusi belaka. Untuk menghadapi ke-absurdan

kehidupan, kita hanya bisa berontak untuk mendapatkan kembali kebebasan (meski tidak dapat memecahkan masalah). Kebebasannya pun bukanlah kebebasan metafisik yang diberikan oleh Tuhan (menurut kepercayaan agama) namun hanyalah sekedar kebebasan untuk menyadari dan menerima diri kita yang tidak bebas. Ketiga filsuf diatas telah memberikan gambaran mereka mengenai makna kematian, bagaimana dengan kita? Apa makna kematian bagi kita? Siapkah kita memaknai dan menghadapinya?

Oleh : Essensia Kasih

Anda mungkin juga menyukai