Oleh,
Program Pascasarjana
2017
BAB I
A. Latar Belakang
Bunuh diri sebagai masalah kesehatan masyarakat, dimana bunuh diri adalah
salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Berdasarkan data WHO,
setidaknya 800 ribu orang di seluruh dunia melakukan bunuh diri setiap tahun. Bunuh
diri menjadi salah satu faktor penyebab kematian tertinggi, khususnya usia muda 15-
29 tahun. Sebanyak 75 persen bunuh diri terjadi di negara dengan penduduk
berpendapatan rendah-menengah. Jika dirinci kasus bunuh diri di Indonesia
mencapai 3,7 per 100.000 penduduk. Dibandingkan negara-negara Asia lain,
prevalensi itu lebih rendah. Namun dengan 258 juta penduduk, berarti ada 10.000
bunuh diri di Indonesia tiap tahun atau satu orang per jam. (BPS, 2016).
Trend bunuh diri di indonesia meningkat sangat tinggi pada tahun 2010-2012
dimana menurut perkiraan WHO angka pada tahun 2010 sebanyak 5000 kemudian
meningkat dua kali lipat menjadi 10.000 pada tahun 2012. Meskipun sekarang
cenderung menurun namun dinilai masih menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah
terutama bagi kementrian kesehatan dimana bunuh diri dimasukkan ke dalam
kategori masalah kesehatan terutama kesehatan jiwa.
Bunuh diri seperti menjadi sebuah alternatif bagi sebagian orang untuk
menyelesaikan masalahnya. Mereka menganggap kondisi atau masalahnya tidak
tertanggungkan lagi dengan cara apapun, sehingga memutuskan untuk bunuh diri.
Hal ini searah dengan yang diutarakan oleh penulis dan filsuf Perancis, Albert
Camus. Pada akhirnya, orang memerlukan keberanian lebih untuk hidup ketimbang
bunuh diri. Ia pun menganggap bahwa bunuh diri sebagai jalan pengecut,
ketidakmauan dan ketidakmampuan seseorang untuk terus melangkah menapaki
hidup yang tak mulus. Berbeda dengan Bill Maher seorang komedian Amerika Serikat
yang mengatakan, Bunuh diri adalah cara manusia berteriak pada Tuhan, Hei, Anda
tak bisa memecat saya --saya mundur! walaupun sedikit anecdot, namun hal
tersebut dapat menggambarkan sebuah bentuk protes manusia terhadap tuhan
karena merasa ada sesuatu yang tidak adil.
Ada banyak penyebab orang sampai nekad untuk melakukan bunuh diri,
bahkan ada yang sampai lebih dari satu kali melakukan percobaan karena
sebelumnya gagal. Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut bahwa
terdapat tiga pemicu utama bunuh diri di Indonesia. Kasus terbanyak adalah putus
cinta, disusul masalah ekonomi, dan soal pendidikan. Melihat data tersebut, berarti
yang paling mendominasi terjadinya bunuh diri adalah faktor eksternal walaupun
faktor internal juga tidak dapat dipungkiri juga mempengaruhi hal tersebut.
Di indonesia Ada banyak contoh bunuh diri yang terjadi, mulai dari cara yang
sederhana sampai dengan cara yang tidak biasa dan untuk meninggalkan pesan
bahwasanya seseorang memang benar bunuh diri, biasanya mereka akan
meninggalkan pesan berupa surat dan sebagainya. Namun seiring dengan
perkembangan teknologi, cara orang bunuh diri menjadi semakin tidak biasa.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, publik indonesia dikejutkan dengan bunuh diri
yang dilakukan oleh seorang pria yang bernama Indrawan. Cara yang digunakannya
adalah dengan gantung diri. Sekilas memang tidak ada yang aneh dengan cara
bunuh diri yang dia lakukan, namun yang aneh justru terletak pada caranya
menyampaikan pesan sebelum dan saat melakukan bunuh diri, yaitu dengan
menyiarkannya secara live di media sosial Facebook. Hal ini menjadi sesuatu yang
mengejutkan tentunya, mengingat ini adalah pertama kalinya di indonesia seseorang
bunuh diri dengan mempertontonkannya secara live dipublik lewat media sosial.
Bahkan sebelum melakukan aksinya dia menyempatkan memperkenalkan dirinya
dan mengungkapkan permasalahan yang dia alami. Pertanyaannya adalah apakah
media sosial sudah dapat memberikan solusi dalam permasalahan manusia?
Sehingga lebih memilih membagikan masalahnya dimedia sosial. Rasanya ironis
melihat teknologi yang dibuat untuk mempermudah kegiatan manusia namun
dimanfaatkan untuk hal yang tidak pantas untuk dikonsumsi publik seperti bunuh diri,
apalagi agama dan kebudayaan ndonesia tidak pernah menganggap bunuh diri itu
sebagai suatu yang dapat dibenarkan.
Bunuh diri merupakan salah satu bentuk kegawat daruratan psikiatri. Meskipun
suicide adalah perilaku yang membutuhkan pengkajian yang komprehensif pada
depresi, penyalahgunaan NAPZA , skizofrenia, gangguan kepribadian ( paranoid,
borderline, antisocial), suicide tidak bisa disamakan dengan penyakit mental.
Apa sesungguhnya pemicu keinginan mengakhiri hidup sendiri itu? Ternyata
semua kasus horor tersebut dilandasi pada mood atau suasana hati seseorang. Dr.
Ghanshyam Pandey beserta timnya dari University of Illinois, Chicago, menemukan
bahwa aktivitas enzim di dalam pikiran manusia bisa mempengaruhi mood yang
memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Pandey mengetahui fakta tersebut
setelah melakukan eksperimen terhadap otak 34 remaja yang 17 di antaranya
meninggal akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa tingkat aktivitas protein kinase C
(PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah dibanding mereka yang meninggal
bukan karena bunuh diri
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat diungkapkan beberapa rumusan masalah yaitu :
1. Apa pengertian dan jenis-jenis bunuh diri ?
2. Bagaimana cara dan bentuk bunuh diri?
3. Apa penyebab seseorang melakukan bunuh diri?
4. Bagaimana cara mencegah bunuh diri?
5. Apakah motif seseorang bunuh diri ?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian bunuh diri
2. Dapat mengetahui cara dan bentuk bunuh diri
3. Dapat mengetahui penyebab seseorang bunuh diri
4. Dapat mengetahui cara mencegah buhuh diri
5. Dapat mengetahui motif bunuh diri
BAB II
A. Pengertian
Bunuh diri yang dalam bahasa inggris dinamakan Suicide, memiliki arti
dalam bahasa latin sui yang berarti diri sendiri (self), dan cide yang berarti
membunuh (kill), sehingga suicide adalah membunuh diri sendiri. Charleton
(Wennberg, 1990) mengungkapkan bahwa bunuh diri digambarkan sebagai
tindakan merusak diri (destroying oneself); membunuh diri (murdering oneself)
dan pembantaian terhadap diri (slaughtering oneself), tetapi Donne (Wennberg,
1990) mengungkapkan bahwa bunuh diri lebih identik dengan self homicide
daripada murdering oneself, karena dalam arti yang lebih spesifik self homicide
memiliki arti membunuh yang disengaja pada diri sendiri (a killing of self)
sementara istilah murdering oneself berarti pembunuhan yang salah pada diri
sendiri (the wrongfull killing of self).
Seorang sosiolog dari Perancis bernama Email Durkheim (Oltmanns, 2013)
memandang bunuh diri sebagai masalah sosial, dan tertarik dengan fakta sosial,
seperti kelompok religius dan partai daripada aspek psikologis atau biologisnya.
American Psychiatric Association (APA) mendefinisikan perilaku bunuh diri
sebagai upaya yang merugikan diri sendiri dengan hasil yang fatal disertai bukti
bahwa orang tersebut ingin mati (Jacobs, 2003). Sementara itu, Camus
(Darmaningtyas, 2002) dalam karyanya Shisypus secara tegas menyatakan
bahwa sebenarnya hanya ada satu masalah falsafah yang benar-benar serius
yakni bunuh diri.
Menilai bahwa hidup ini layak atau tidak layak dijalani, itulah jawaban
pertanyaan dasar filsafat. Selebihnya apakah dunia memiliki tiga dimensi, apakah
jiwa memiliki sembilan atau dua belas kategori, merupakan kelanjutan saja.
Selama ini orang memandang bunuh diri semata-mata sebagai suatu gejala sosial
belaka, tetapi Camus mencoba melihat hubungan antara pikiran individual dan
bunuh diri. Harold (1998) mengungkapkan bahwa bunuh diri adalah kematian yang
diperbuat oleh pelaku sendiri secara sengaja dan biasanya terjadi karena adanya
krisis yang membuat penderitaan yang amat sangat dan rasa putus asa serta tidak
berdaya, dan adanya konflik antara hidup dan stres yang tak tertahankan,
penyempitan dari pilihan jalan keluar yang dilihat penderita serta keinginan untuk
melarikan diri dari hal itu.
Bunuh diri adalah tindakan nyata yang menyebabkan hilangnya nyawa
seseorang oleh dirinya sendiri secara sengaja dan dalam kondiri sadar
(Darmaningtyas, 2002). Dorongan untuk melakukan tindakan melenyapkan nyawa
sendiri bisa berasal dari internal (diri sendiri) tapi juga dapat dari luar diri sendiri
(eksternal). Kartono (2000) mendefinisikan bunuh diri adalah perbuatan manusia
yang disadari dan bertujuan untuk menyakiti diri sendiri dan menghentikan
kehidupan sendiri.
Definisi yang diungkapkan Kartono (2000) mengandung 5 hal penting yaitu:
1. Merupakan perbuatan manusia
2. Ada keinginan yang disadari untuk mati
3. Memiliki motivasi-motivasi tertentu
4. Bertujuan menggapai kematian
5. Ada instropeksi penuh kesadaran mengenai satu konsep tentang kematian atau
penghentian kehidupan.
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dan sengaja dilakukan
untuk mengakhiri hidupnya sebagai satu-satunya jalan untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi dalam kehidupannya dengan cara dan waktu yang ditentukan
oleh dirinya sendiri. Seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri telah
menyerah terhadap hidup yang dijalaninya, bahkan menganggap bahwa ia tak
layak menjalani kehidupan ini. Bunuh diri menjadi suatu pernyataan dari
seseorang bahwa hidup tidak layak untuk dijalani
Beberapa tinjauan teori tentang bunuh diri :
1. Teori Psikoanalisis Freud
Menurut Freud kepribadian tersusun dari 3 sistem pokok, yaitu
1) Id
Id merupakan sistem kepribadian yang asli dan merupakan rahim
tempat ego dan superego berkembang. Id berisikan segala sesuatu
yang secara psikologis diwariskan dan sudah ada sejak lahir, termasuk
instng-insting. Id merupakan reservoir energi psikis yang menyediakan
seluruh daya untuk menjalanan kedua sistem yang lain. Id tidak bisa
menanggulangi peningkatan energi yang dialaminya sebagai keadaan-
keadaan tegangan yang tidak menyenangkan. Karena itu, apabila
tingkat tegangan organisme meningkat, entah sebagai akibat stimulus
dari luar atau rangsanganrangsangan yang timbul dari dalam, maka id
akan bekerja sedemikian rupa untuk segera menghentikan tegangan
dan mengembalikan organisme pada tingkat energi rendah dan konstan
serta menyenangkan.
Prinsip reduksi tegangan yang merupakan cirri kerja id ini disebut
prinsip kenikmatan. (Pleasure Principle) Untuk melaksanakan tugas
menghindari rasa sakit dan mendapatkan kenikmatan, id memiliki dua
proses. Kedua proses tersebut adalah tindakan reflex dan proses
primer. Tindakan-tindakan reflex adalah reaksi-reaksi otomatik dan
bawaan seperti bersin dan berkedip, tindakan-tindakan reflex tersebut
biasanya segera mereduksi tegangan. organisme dilengkapi sejumlah
reflex semacam itu untuk menghadapi bentuk-bentuk rangsangan yang
relative sederhana. Proses primer menyangkut suatu reaksi psikologis
yang sedikit lebih rumit. Ia berusaha menghentikan tegangan dengan
membentuk khayalan tentang objek yang dapat menghilangkan
tegangan tersebut. Misalnya, proses primer menyediakan khayalan
tentang makanan kepada orang yang lapar. Pengalaman halusinatorik
dimana objekobjek yang diinginkan hadir dalam bentuk ingatandisebut
pemenuhan hasrat (wish-fulfillment). Contoh proses primer yang paling
baik pada orang normal ialah mimpi di malam hari, yang diyakini oleh
Freud selalu mengungkapkan pemenuhan atau usaha pemenuhan
suatu hasrat. Proses primer sendiri tidak akan mampu mereduksi
tegangan. Orang yang lapar tidak dapat memakan khayalan tentang
makanan. Karena itu, suatu proses psikologis baru atau sekunder
berkembang, dan apabila hal ini terjadi maka struktur system kedua
kepribadian, yaitu ego, mulai terbentuk.
2) Ego
Ego muncul karena kebutuhan-kebutuhan organisme memerlekan
transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan objektif.
Orang yang lapar harus mencari, menemukan dan memakan makanan
sampai tegangan karena rasa lapar dapat dihilangkan. Ini berarti orang
harus belajar membedakan antara gambaran ingatan tentang makanan
dan persepsi aktual terhadap makanan seperti yang ada di dunia luar.
Setelah melakukan pembedaan yang sangat penting ini, maka perlu
mengubah gambaran ke dalam persepsi, yang terlaksana dengan
menghadirkan makanan di lingkungan. Dengan kata lain, orang
mencocokkan gambaran ingatan tentang makanan dengan penglihatan
atau penciuman terhadap makanan yang dialaminya melalui
pancaindera.
Perbedaan id dan ego ialah bahwa id hanya mengenal kenyataan
subjektif jiwa, sedangkan ego membedakan antara hal-hal yang
terdapat dalam batin dan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar. Ego
dikatakan mengikuti prinsip kenyataan, dan beroperasi menurut proses
sekunder. Tujuan prnsip kenyataan adalah mencegah terjadinya
tegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasan
kebutuhan. untuk sementara waktu, prinsip kenyataan menunda prinsip
kenikmatan, meskipun prinsip kenikmatan akhirnya terpenuhi ketika
objek yang dibutuhkan ditemukan dan dengan demikian tegangan
direduksikan. Prinsip kenyataan sesungguhnya menanyakan apakah
pengalaman itu ada dalam kenyataan dunia luar atau tidak, sedangkan
prinsip kenikmatan hanya tertarik pada apakah pengalaman itu
menyakitkan atau menyenangkan. Proses sekunder adalah berpikir
realistis. Untuk melakukan peranannya secara efisien, ego mengontrol
semua fungsi kognitif dan intelektual, proses-proses jiwa ini dipakai
untuk melayani proses sekunder. ego disebut eksekutif kepribadian,
karena ego mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan, memilih segi-segi
lingkungan ke mana ia akan memberikan respon, dan memutuskan
insting-insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya.
Dalam melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif ini, ego harus berusaha
mengintegrasikan tuntutan id, superego, dan dunia luar yang sering
bertentangan.
3) SuperEgo Sistem kepribadian ketiga dan terakhir dikembangkan adalah
Superego. Superego adalah perwujudan internal dari nilai-nilai dan cita-
cita tradisional masyarakat sebagaimana diterangkan orangtua pada
anak, dan dilaksanakan dengan cara memberinya hadiah-hadiah dan
hukuman-hukuman. Superego adalah wewenang moral dari
kepribadian, ia mencerminkan yang ideal dan bukan yang real, dan
memperjuangkan kesempurnaan dan bukan kenikmatan. perhatiannya
yang utama adalah memutuskan apakan sesuatu itu benar atau salah
dengan demikian ia dapat bertindak sesuai dengan norma-norma moral
yang diakui oleh wakil-wakil masyarakat. Superego sebagai wasit
tingkah laku yang diinternalisasikan berkembang dengan memberikan
respon terhadap hadiah-hadiah dan hukuman-hukuman yang diberikan
orangtua. Untuk memperoleh hadiah dan menghindari hukuman, anak
belajar mengarahkan tingkah lakunya menurut garis-garis yang
diletakkan orangtuanya.
Menurut Kartono (2000:145) bunuh diri dapat digolongkan dalam dua tipe,
yaitu :
1. Bunuh diri konvensional, adalah produk dari tradisi dan paksaan dari opini
umum untuk mengikuti kriteria kepantasan, kepastian sosial dan tuntutan
sosial.
Misalnya harakiri yang dilakukan di Jepang, mati obong yang dilakukan
semasa kerajaan jawa-bali untuk menunjukkan kesetian pada suami yang
telah meninggal ataupun Suttee atau membakar diri sendiri yang dilakukan
oleh janda di India tengah pada saat penguburan suaminya. bunuh diri ini
sudah banyak yang dihapuskan, sebagian dipengaruhi bangsa-bangsa lain
atau oleh tekanan bangsa lain, dan sebagian lagi karena adanya banyak
perubahan pada kondisi-kondisi sosial.
2. Bunuh diri personal, bunuh diri ini banyak terjadi pada masa modern, karena
orang merasa lebih bebas dan tidak mau tunduk pada aturan dan tabu perilaku
terentu. Orang tidak ingin terikat oleh kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-
konvensi yang ada untuk memecahkan kesulitan hidupnya. Sebaliknya,
mereka mencari jalan singkat dengan caranya sendiri, yaitu bunuh diri untuk
mengatasi kesulitan hidupnya, atas keputusannya sendiri. Karena itu peristiwa
bunuh diri adalah bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya
menyesuaikan diri terhadap tekanan-tekanan sosial dan tuntutan-tuntutan
hidup.
Selain itu juga terdapat bunuh diri yang dilakukan dengan adanya bantuan dari
seorang dokter atau tenaga medis, bunuh diri ini disebut Euthanasia, yaitu
tindakan menghilangkan rasa sakit pada penderita penyakit yang sulit diobati atau
menderita sakit keras. Ada dua tipe Eutanasia yaitu Eutanasia aktif dan Eutanasia
pasif. dan Eutanasia aktif terjadi apabila kematian disebabkan oleh suatu usaha
yang dengan sengaja dilakukan untuk mengakhiri hidup seseorang, seperti
dengan injeksi obat yang mematikan dan Eutanasia pasif terjadi ketika seseorang
diizinkan mati dengan mencabut perawatan yang tersedia, seperti perlengkapan
terapi penopang hidup misal mencabut alat bantu pernafasan. (Santrock,
2002:264) Hal ini bermula sekitar awal tahun 1990-an ketika seorang dokter asal
Michigan, Jack Kevorkian membantu seorang wanita asal Oregon berusia 54
tahun yang menderita Alzheimer tahap awal, suatu penyakit otak degeneratif dan
fatal, dalam kondisi belum menggalami kerusakan fisik yang serius, ia dibantu
Kevorkian untuk menekan tombol pada sebuah mesin yang dirancang Kevorkian
untuk menyuntikan obat yang menciptakan kondisi tidak sadar dan dosis
mematikan potasium klorida yang menghentikan denyut jantungnya. (Egan, 1990)
selama sepuluh tahun ia berperan aktif membantu seratus orang yang
menggalami penyakit mematikan mengakhiri hidup mereka, dari sini kemudian
diketahui banyak praktek-praktek dokter yang mencabut kabel dari pasien yang
telah mati otaknya, namun tetap bertahan hidup secara fisik dengan menggunakan
peralatan yang canggih. (Davison. 2006:436)
3) Usia
(a) Remaja dan dewasa awal
Bunuh diri menjadi penyebab kematian ketiga setelah kecelakaan dan
pembunuhan pada individu 14- 24 tahun. Keturunan Amerika-India dan remaja
asli Alaska memiliki jumlah bunuh diri tertinggi (NAHIC, 2006). Faktor resiko
paling kuat pada kaum muda adalah tindak kekerasan, agresi, perilaku depresi,
dan isolasi sosial. Faktor lain yang berhubungan dengan bunuh diri di
kalangan remaja adalah :
(1) sering melarikan diri,
(2) sering menekspresikan kemarahan,
(3) keluarga kehilangan kestabilan,
(4) sering bermasalah dengan orang tua,
(5) menarik diri dari keluarga dan teman,
(6) mengekspresikan ide bunuh diri atau berbicara tentang kematian atau
akherat ketika sedih atau bosan,
(7) kesulitan dalam berurusan dengan orientasi jenis kelamin,
(8) kehamilan tidak direncanakan
(Varcarolis dan Haalter, 2009: 413-415).
(b) Dewasa Akhir
Seseorang yang berusia 65 tahun atau lebih memiliki angka bunuh diri
tertinggi di bandingkan kelompok usia lainnya (Varcarolis dan Halter, 2009:
413-415). Faktor resiko yang menyebabkan tingginya bunuh diri pada lansia
yaitu isolasi sosial, hidup sendiri, menjanda, kekurangan sumber penghasilan,
kesehatan buruk, dan perasaan keputusasaan (Sadock&Sadock, 2007,
Townsend, 2009)
4) Status sosial ekonomi
Individu di kelas sosial yang sangat tinggi dan sangat rendah memiliki angka
kejadian bunuh diri tertinggi dibandingkan mereka uang hidup kelas menengah
(Sadock & Sadock, 2007; Townsend, 2009).
5) Etnis
Hasil statistika memperlihatkan kulit putih beresiko paling tinggi dalam bunuh
diri, disusul oleh orang Amerika asli, Afrika Amerika, Amerika hispanik, dan
Amerika Asia (National Center for Health Statistics, 2007; Townsend, 2009).
6) Faktor lainnya
Seseorang dengan gangguan mood (mayor depresi dan gangguan bipolar)
jauh lebih mungkin melakukan bunuh diri daripada kelompok resiko gangguan
psikiatrik atau medis. Sadock & Sadock (2007) melaporkan bahwa 95% orang
yang melakukan percobaan atau tindak bunuh diri terdiagnosa memiliki
gangguan mental, 80% diantaranya adalah yang memiliki gangguan depresi.
Gangguan psikiatrik lainnya yang mungkin memiliki perilaku tubuh bunuh diri
yaitu gangguan penyalahgunaan zat psikoaktif, skizofrenia, gangguan
kepribadian, dan gangguan cemas (Jacobs et.al., 2006).
7. Kondisi keluarga
Kebanyakan remaja yang memiliki prilaku bunuh diri menghadapi berbagai
problem keluarga yang membawa mereka kepada kebimbangan tentang harga
diri, serta menumbuhkan perasaan bahwa mereka tidak disukai, tidak
diperlukan, tidak dipahami dan tidak dicintai. Mayoritas mereka berasal dari
keluarga yang menerapkan system pendidikan yang tidak layak. Biasanya para
orangtua yang berada disekitar anak berlaku keras terhadapnya,
mengabaikannya, atau hanya memperhatikan pertumbuhan fisiknya saja dan
bukan prilakunya. Hilangnya cinta kadang ikut berperan bagi perkembangan
bahaya bunuh diri. Kehilangan cinta ini bisa terjadi karena faktor kematian,
perceraian, atau menurunnya kasih sayang orantua dan orang-orang yang
memiliki kedudukan penting dalam kehidupan seseorang.
8. Pengaruh media massa
Berita tentang bunuh diri kadang dapat memicu tindakan bunuh diri, terutama
bagi orang-orang yang memang telah mempersiapkan diri untuk
melakukannya. Ketika mereka tahu bahwa orang yang mati bunuh diri
sebelumnya hidup dengan posisi dan keadaan yang sama dengan yang
mereka alami, maka itu bisa mendorong mereka untuk meniru dan melakukan
perbuatan yang sama.
A. Saran
Tindakan bunuh diri adalah suatu tindakan yang bodoh karena tindakan ini
bertentangan dengan norma yang ada di masarakat serta agama. Bunuh diri jangan
dijadikan pilihan terahir dalam pemecahan masalah karena masih banyak jalan yang bisa
kita tempuh dalam memecahkan masalah, jika kita memiliki sebuah masalah dan kita
tidak mampu untuk menyelesaikannya kita bisa minta bantuan kepada sahabat atau
orang-orang yang ada didekat kita.
Kasus bunuh diri yang secara statistik sangat memprihatinkan membutuhkan
perhatian khusus dari pemerintah seperti menyusun peraturan untuk mencegah dan
meminimalisir kasus bunuh diri di Indonesia, memaksimalkan promosi kesehatan,
optimalisasi peran tenaga kesehatan dalam menangani kesehatan jiwa, optimalisasi
peran guru konseling di sekolah, bisa juga melalui kebijakan inovatif seperti satgas berani
hidup di Gunung Kidul dll.
DAFTAR PUSTAKA
CAPTAIN, C, ( 2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume 6(3),
May/June 2008, p 4653 Varcarolis, E M (2000). Psychiatric Nursing Clinical Guide, WB
Saunder Company, Philadelphia. Stuart, GW and Laraia (2005). Principles and practice
of psychiatric nursing, 8ed. Elsevier
Gerald C. Davidson dkk. 2010. Psikologi Abnormal. Jakarta : Rajawali Pers
Kumpulan Artikel & Makalah Keperawtan Farmas
Sumber: http://www.riyawan.com/p/bunuh-diri.html
Mosby, Philadelphia Shives, R (2008). Basic concept of psychiatric and Mental Health
Nursing, Mosby, St Louis. Kaplan and Saddock (2005). Comprehensive textbook of
Psychiatry, Mosby, St Louis. Carpenito, LJ (2008). Nursing diagnosis : Aplication to
clinical practice, Mosby St Louis
Richard P. Halgin, Whitbourne. 20111.Psikologi Abnormal.Jakarta :Salemba HUmanika