Anda di halaman 1dari 28

Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Kesehtan Masyarakat

Dosen Pengampu : Dr. dr. Sutopo Patria Jati, MM

Oleh,

Wawan Iskandar 0613517008

Fitra Juwita 0613517023

Herlin Fitriyanti 0613517025

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Program Pascasarjana

Universitas Negeri Semarang

2017
BAB I
A. Latar Belakang
Bunuh diri sebagai masalah kesehatan masyarakat, dimana bunuh diri adalah
salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Berdasarkan data WHO,
setidaknya 800 ribu orang di seluruh dunia melakukan bunuh diri setiap tahun. Bunuh
diri menjadi salah satu faktor penyebab kematian tertinggi, khususnya usia muda 15-
29 tahun. Sebanyak 75 persen bunuh diri terjadi di negara dengan penduduk
berpendapatan rendah-menengah. Jika dirinci kasus bunuh diri di Indonesia
mencapai 3,7 per 100.000 penduduk. Dibandingkan negara-negara Asia lain,
prevalensi itu lebih rendah. Namun dengan 258 juta penduduk, berarti ada 10.000
bunuh diri di Indonesia tiap tahun atau satu orang per jam. (BPS, 2016).
Trend bunuh diri di indonesia meningkat sangat tinggi pada tahun 2010-2012
dimana menurut perkiraan WHO angka pada tahun 2010 sebanyak 5000 kemudian
meningkat dua kali lipat menjadi 10.000 pada tahun 2012. Meskipun sekarang
cenderung menurun namun dinilai masih menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah
terutama bagi kementrian kesehatan dimana bunuh diri dimasukkan ke dalam
kategori masalah kesehatan terutama kesehatan jiwa.
Bunuh diri seperti menjadi sebuah alternatif bagi sebagian orang untuk
menyelesaikan masalahnya. Mereka menganggap kondisi atau masalahnya tidak
tertanggungkan lagi dengan cara apapun, sehingga memutuskan untuk bunuh diri.
Hal ini searah dengan yang diutarakan oleh penulis dan filsuf Perancis, Albert
Camus. Pada akhirnya, orang memerlukan keberanian lebih untuk hidup ketimbang
bunuh diri. Ia pun menganggap bahwa bunuh diri sebagai jalan pengecut,
ketidakmauan dan ketidakmampuan seseorang untuk terus melangkah menapaki
hidup yang tak mulus. Berbeda dengan Bill Maher seorang komedian Amerika Serikat
yang mengatakan, Bunuh diri adalah cara manusia berteriak pada Tuhan, Hei, Anda
tak bisa memecat saya --saya mundur! walaupun sedikit anecdot, namun hal
tersebut dapat menggambarkan sebuah bentuk protes manusia terhadap tuhan
karena merasa ada sesuatu yang tidak adil.
Ada banyak penyebab orang sampai nekad untuk melakukan bunuh diri,
bahkan ada yang sampai lebih dari satu kali melakukan percobaan karena
sebelumnya gagal. Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut bahwa
terdapat tiga pemicu utama bunuh diri di Indonesia. Kasus terbanyak adalah putus
cinta, disusul masalah ekonomi, dan soal pendidikan. Melihat data tersebut, berarti
yang paling mendominasi terjadinya bunuh diri adalah faktor eksternal walaupun
faktor internal juga tidak dapat dipungkiri juga mempengaruhi hal tersebut.
Di indonesia Ada banyak contoh bunuh diri yang terjadi, mulai dari cara yang
sederhana sampai dengan cara yang tidak biasa dan untuk meninggalkan pesan
bahwasanya seseorang memang benar bunuh diri, biasanya mereka akan
meninggalkan pesan berupa surat dan sebagainya. Namun seiring dengan
perkembangan teknologi, cara orang bunuh diri menjadi semakin tidak biasa.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, publik indonesia dikejutkan dengan bunuh diri
yang dilakukan oleh seorang pria yang bernama Indrawan. Cara yang digunakannya
adalah dengan gantung diri. Sekilas memang tidak ada yang aneh dengan cara
bunuh diri yang dia lakukan, namun yang aneh justru terletak pada caranya
menyampaikan pesan sebelum dan saat melakukan bunuh diri, yaitu dengan
menyiarkannya secara live di media sosial Facebook. Hal ini menjadi sesuatu yang
mengejutkan tentunya, mengingat ini adalah pertama kalinya di indonesia seseorang
bunuh diri dengan mempertontonkannya secara live dipublik lewat media sosial.
Bahkan sebelum melakukan aksinya dia menyempatkan memperkenalkan dirinya
dan mengungkapkan permasalahan yang dia alami. Pertanyaannya adalah apakah
media sosial sudah dapat memberikan solusi dalam permasalahan manusia?
Sehingga lebih memilih membagikan masalahnya dimedia sosial. Rasanya ironis
melihat teknologi yang dibuat untuk mempermudah kegiatan manusia namun
dimanfaatkan untuk hal yang tidak pantas untuk dikonsumsi publik seperti bunuh diri,
apalagi agama dan kebudayaan ndonesia tidak pernah menganggap bunuh diri itu
sebagai suatu yang dapat dibenarkan.
Bunuh diri merupakan salah satu bentuk kegawat daruratan psikiatri. Meskipun
suicide adalah perilaku yang membutuhkan pengkajian yang komprehensif pada
depresi, penyalahgunaan NAPZA , skizofrenia, gangguan kepribadian ( paranoid,
borderline, antisocial), suicide tidak bisa disamakan dengan penyakit mental.
Apa sesungguhnya pemicu keinginan mengakhiri hidup sendiri itu? Ternyata
semua kasus horor tersebut dilandasi pada mood atau suasana hati seseorang. Dr.
Ghanshyam Pandey beserta timnya dari University of Illinois, Chicago, menemukan
bahwa aktivitas enzim di dalam pikiran manusia bisa mempengaruhi mood yang
memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Pandey mengetahui fakta tersebut
setelah melakukan eksperimen terhadap otak 34 remaja yang 17 di antaranya
meninggal akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa tingkat aktivitas protein kinase C
(PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah dibanding mereka yang meninggal
bukan karena bunuh diri
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat diungkapkan beberapa rumusan masalah yaitu :
1. Apa pengertian dan jenis-jenis bunuh diri ?
2. Bagaimana cara dan bentuk bunuh diri?
3. Apa penyebab seseorang melakukan bunuh diri?
4. Bagaimana cara mencegah bunuh diri?
5. Apakah motif seseorang bunuh diri ?

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian bunuh diri
2. Dapat mengetahui cara dan bentuk bunuh diri
3. Dapat mengetahui penyebab seseorang bunuh diri
4. Dapat mengetahui cara mencegah buhuh diri
5. Dapat mengetahui motif bunuh diri
BAB II

A. Pengertian
Bunuh diri yang dalam bahasa inggris dinamakan Suicide, memiliki arti
dalam bahasa latin sui yang berarti diri sendiri (self), dan cide yang berarti
membunuh (kill), sehingga suicide adalah membunuh diri sendiri. Charleton
(Wennberg, 1990) mengungkapkan bahwa bunuh diri digambarkan sebagai
tindakan merusak diri (destroying oneself); membunuh diri (murdering oneself)
dan pembantaian terhadap diri (slaughtering oneself), tetapi Donne (Wennberg,
1990) mengungkapkan bahwa bunuh diri lebih identik dengan self homicide
daripada murdering oneself, karena dalam arti yang lebih spesifik self homicide
memiliki arti membunuh yang disengaja pada diri sendiri (a killing of self)
sementara istilah murdering oneself berarti pembunuhan yang salah pada diri
sendiri (the wrongfull killing of self).
Seorang sosiolog dari Perancis bernama Email Durkheim (Oltmanns, 2013)
memandang bunuh diri sebagai masalah sosial, dan tertarik dengan fakta sosial,
seperti kelompok religius dan partai daripada aspek psikologis atau biologisnya.
American Psychiatric Association (APA) mendefinisikan perilaku bunuh diri
sebagai upaya yang merugikan diri sendiri dengan hasil yang fatal disertai bukti
bahwa orang tersebut ingin mati (Jacobs, 2003). Sementara itu, Camus
(Darmaningtyas, 2002) dalam karyanya Shisypus secara tegas menyatakan
bahwa sebenarnya hanya ada satu masalah falsafah yang benar-benar serius
yakni bunuh diri.
Menilai bahwa hidup ini layak atau tidak layak dijalani, itulah jawaban
pertanyaan dasar filsafat. Selebihnya apakah dunia memiliki tiga dimensi, apakah
jiwa memiliki sembilan atau dua belas kategori, merupakan kelanjutan saja.
Selama ini orang memandang bunuh diri semata-mata sebagai suatu gejala sosial
belaka, tetapi Camus mencoba melihat hubungan antara pikiran individual dan
bunuh diri. Harold (1998) mengungkapkan bahwa bunuh diri adalah kematian yang
diperbuat oleh pelaku sendiri secara sengaja dan biasanya terjadi karena adanya
krisis yang membuat penderitaan yang amat sangat dan rasa putus asa serta tidak
berdaya, dan adanya konflik antara hidup dan stres yang tak tertahankan,
penyempitan dari pilihan jalan keluar yang dilihat penderita serta keinginan untuk
melarikan diri dari hal itu.
Bunuh diri adalah tindakan nyata yang menyebabkan hilangnya nyawa
seseorang oleh dirinya sendiri secara sengaja dan dalam kondiri sadar
(Darmaningtyas, 2002). Dorongan untuk melakukan tindakan melenyapkan nyawa
sendiri bisa berasal dari internal (diri sendiri) tapi juga dapat dari luar diri sendiri
(eksternal). Kartono (2000) mendefinisikan bunuh diri adalah perbuatan manusia
yang disadari dan bertujuan untuk menyakiti diri sendiri dan menghentikan
kehidupan sendiri.
Definisi yang diungkapkan Kartono (2000) mengandung 5 hal penting yaitu:
1. Merupakan perbuatan manusia
2. Ada keinginan yang disadari untuk mati
3. Memiliki motivasi-motivasi tertentu
4. Bertujuan menggapai kematian
5. Ada instropeksi penuh kesadaran mengenai satu konsep tentang kematian atau
penghentian kehidupan.
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dan sengaja dilakukan
untuk mengakhiri hidupnya sebagai satu-satunya jalan untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi dalam kehidupannya dengan cara dan waktu yang ditentukan
oleh dirinya sendiri. Seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri telah
menyerah terhadap hidup yang dijalaninya, bahkan menganggap bahwa ia tak
layak menjalani kehidupan ini. Bunuh diri menjadi suatu pernyataan dari
seseorang bahwa hidup tidak layak untuk dijalani
Beberapa tinjauan teori tentang bunuh diri :
1. Teori Psikoanalisis Freud
Menurut Freud kepribadian tersusun dari 3 sistem pokok, yaitu
1) Id
Id merupakan sistem kepribadian yang asli dan merupakan rahim
tempat ego dan superego berkembang. Id berisikan segala sesuatu
yang secara psikologis diwariskan dan sudah ada sejak lahir, termasuk
instng-insting. Id merupakan reservoir energi psikis yang menyediakan
seluruh daya untuk menjalanan kedua sistem yang lain. Id tidak bisa
menanggulangi peningkatan energi yang dialaminya sebagai keadaan-
keadaan tegangan yang tidak menyenangkan. Karena itu, apabila
tingkat tegangan organisme meningkat, entah sebagai akibat stimulus
dari luar atau rangsanganrangsangan yang timbul dari dalam, maka id
akan bekerja sedemikian rupa untuk segera menghentikan tegangan
dan mengembalikan organisme pada tingkat energi rendah dan konstan
serta menyenangkan.
Prinsip reduksi tegangan yang merupakan cirri kerja id ini disebut
prinsip kenikmatan. (Pleasure Principle) Untuk melaksanakan tugas
menghindari rasa sakit dan mendapatkan kenikmatan, id memiliki dua
proses. Kedua proses tersebut adalah tindakan reflex dan proses
primer. Tindakan-tindakan reflex adalah reaksi-reaksi otomatik dan
bawaan seperti bersin dan berkedip, tindakan-tindakan reflex tersebut
biasanya segera mereduksi tegangan. organisme dilengkapi sejumlah
reflex semacam itu untuk menghadapi bentuk-bentuk rangsangan yang
relative sederhana. Proses primer menyangkut suatu reaksi psikologis
yang sedikit lebih rumit. Ia berusaha menghentikan tegangan dengan
membentuk khayalan tentang objek yang dapat menghilangkan
tegangan tersebut. Misalnya, proses primer menyediakan khayalan
tentang makanan kepada orang yang lapar. Pengalaman halusinatorik
dimana objekobjek yang diinginkan hadir dalam bentuk ingatandisebut
pemenuhan hasrat (wish-fulfillment). Contoh proses primer yang paling
baik pada orang normal ialah mimpi di malam hari, yang diyakini oleh
Freud selalu mengungkapkan pemenuhan atau usaha pemenuhan
suatu hasrat. Proses primer sendiri tidak akan mampu mereduksi
tegangan. Orang yang lapar tidak dapat memakan khayalan tentang
makanan. Karena itu, suatu proses psikologis baru atau sekunder
berkembang, dan apabila hal ini terjadi maka struktur system kedua
kepribadian, yaitu ego, mulai terbentuk.
2) Ego
Ego muncul karena kebutuhan-kebutuhan organisme memerlekan
transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan objektif.
Orang yang lapar harus mencari, menemukan dan memakan makanan
sampai tegangan karena rasa lapar dapat dihilangkan. Ini berarti orang
harus belajar membedakan antara gambaran ingatan tentang makanan
dan persepsi aktual terhadap makanan seperti yang ada di dunia luar.
Setelah melakukan pembedaan yang sangat penting ini, maka perlu
mengubah gambaran ke dalam persepsi, yang terlaksana dengan
menghadirkan makanan di lingkungan. Dengan kata lain, orang
mencocokkan gambaran ingatan tentang makanan dengan penglihatan
atau penciuman terhadap makanan yang dialaminya melalui
pancaindera.
Perbedaan id dan ego ialah bahwa id hanya mengenal kenyataan
subjektif jiwa, sedangkan ego membedakan antara hal-hal yang
terdapat dalam batin dan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar. Ego
dikatakan mengikuti prinsip kenyataan, dan beroperasi menurut proses
sekunder. Tujuan prnsip kenyataan adalah mencegah terjadinya
tegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasan
kebutuhan. untuk sementara waktu, prinsip kenyataan menunda prinsip
kenikmatan, meskipun prinsip kenikmatan akhirnya terpenuhi ketika
objek yang dibutuhkan ditemukan dan dengan demikian tegangan
direduksikan. Prinsip kenyataan sesungguhnya menanyakan apakah
pengalaman itu ada dalam kenyataan dunia luar atau tidak, sedangkan
prinsip kenikmatan hanya tertarik pada apakah pengalaman itu
menyakitkan atau menyenangkan. Proses sekunder adalah berpikir
realistis. Untuk melakukan peranannya secara efisien, ego mengontrol
semua fungsi kognitif dan intelektual, proses-proses jiwa ini dipakai
untuk melayani proses sekunder. ego disebut eksekutif kepribadian,
karena ego mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan, memilih segi-segi
lingkungan ke mana ia akan memberikan respon, dan memutuskan
insting-insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya.
Dalam melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif ini, ego harus berusaha
mengintegrasikan tuntutan id, superego, dan dunia luar yang sering
bertentangan.
3) SuperEgo Sistem kepribadian ketiga dan terakhir dikembangkan adalah
Superego. Superego adalah perwujudan internal dari nilai-nilai dan cita-
cita tradisional masyarakat sebagaimana diterangkan orangtua pada
anak, dan dilaksanakan dengan cara memberinya hadiah-hadiah dan
hukuman-hukuman. Superego adalah wewenang moral dari
kepribadian, ia mencerminkan yang ideal dan bukan yang real, dan
memperjuangkan kesempurnaan dan bukan kenikmatan. perhatiannya
yang utama adalah memutuskan apakan sesuatu itu benar atau salah
dengan demikian ia dapat bertindak sesuai dengan norma-norma moral
yang diakui oleh wakil-wakil masyarakat. Superego sebagai wasit
tingkah laku yang diinternalisasikan berkembang dengan memberikan
respon terhadap hadiah-hadiah dan hukuman-hukuman yang diberikan
orangtua. Untuk memperoleh hadiah dan menghindari hukuman, anak
belajar mengarahkan tingkah lakunya menurut garis-garis yang
diletakkan orangtuanya.

Freud berpendapat bahwasannya tujuan dari kehidupan adalah


kematian dari sinilah kemudian muncul dorongan agresif yang
tujuannya untuk mempertahankan ego atau ke-akuan dengan cara
menyalurkan insting kematian yang sifatnya merusak ke objek luar dan
mengubahnya menjadi tindakan yang bisa diterima oleh lingkungan, hal
ini dimaksudkan untuk menyalurkan energi dari insting kematian,
namun kegagalan ego untuk menyalurkan insting kematian keluar
dirinya menyebabkan agresi berbalik kedalam dirinya sendiri dan
apabila cukup kuat orang tersebut akan bunuh diri. Hal ini menurut
Freud merupakan fase depresi, dalam tulisannya Mourning and
Melancholia (Freud, 1917/1950. dalam Davison, 2006:380) Dikatakan
bahwa potensi depresi diciptakan pada awal kanakkanak. Dalam
periode oral, kebutuhan seorang anak dapat kurang dipenuhi atau
dipenuhi secara berlebihan sehingga menyebabkan seseorang
terfiksasi pada tahap ini, dan tergantung pada pemenuhan kebutuhan
instingtual yang menjadi ciri tahap ini. Dengan terbawanya kondisi
tersebut dalam tahap pematangan psikoseksual, fiksasi pada tahap oral
tersebut, orang yang bersangkutan dapat memiliki kecenderungan
untuk sangat tergantung pada orang lain untuk mempertahankan harga
dirinya. Sedangkan akar permasalahan dari depresi sendiri yaitu karena
kehilangan cinta pada Oedipus complex yang membuat orang marah
kepada diri sendiri karena dia kehilangan cinta dari orang tua, dari
teman bahkan dari negaranya. (Alwisol, 2009:35) Freud mengatakan
bahwa kehilangan cinta, dapat menimbulkan dua hal yaitu, apabila
perasaan yang ditarik oleh ego adalah perasaan cinta dan
penghormatan maka cinta tersebut akan kembali pada ego, sehingga
dia mencintai dirinya sendiri hal ini merupakan poros dari narsisme,
namun kehilangan cinta seringkali menimbulkan perasaan benci dan
permusuhan yang gagal mengaktualisasikan dirinya, perasaan ingin
menghukum objek cinta yang telah hilang kemudian dibalikkan pada
ego sendiri ini merupakan poros sadisme, dan juga poros dari
masokhisme. Hal ini dikarenakan menyiksa diri sendiri adalah refleksi
dari objek cinta yang kejam. (Husain, 2005:47)

2. Teori sosiologis Durkheim


Emile Durkheim (dalam Siahaan, 1986:147) mengemukakan dengan jelas
mengenai hubungan integrasi sosial dengan kecenderungan untuk melakukan
bunuh diri, ia menolak anggapan teori psikologi yang mengatakan bunuh diri
disebabkan oleh penyakit jiwa. Dia menolak anggapan seorang sarjana prancis
Gabriel Tarde, yang menyatakan bahwa bunuh diri adalah. akibat imitasi atau
peniruan. Selain itu ia juga menolak teori ras, teori iklim, teori tentang
kemiskinan dan teori yang menghubungkan bunuh diri dengan alkoholisme.
Durkheim menolak teori-teori tersebut berdasarkan data statistic dari hasil
penelitian di banyak Negara.
Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang
pokok dalam masyarakat : a) Bunuh diri dalam kesatuan agama Dari data yang
dikumpulkan Durkheim menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di
negara-negara protestan dibandingkan dengan penganut agama katolik atau
lainnya. Penyebabnya terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan
oleh masing-masing agama tersebut kepada para penganutnya. b) Bunuh diri
dalam kesatuan keluarga Dari penelitian Durkheim pada orang yang menikah
dengan tidak menikah ditemukan bahwasanya bunuh diri lebih banyak terjadi
pada orang yang tidak menikah, hal ini karena semakin kecil jumlah anggota
dalam suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk hidup.
Kesatuan sosial yang semakin besar mengikat orang dalam kegiatan-kegiatan
sosial diantara anggota-anggota kesatuan tersebut. c) Bunuh diri dalam
Kesatuan Politik . Setelah membandingkan data bunuh diri dengan peristiwa
politik mulai tahun 1829-1847, Durkheim menemukan angka bunuh diri yang
rendah pada masa revolusi/pergolakan politik, dibandingkan dengan didalam
masa tidak terjadi pergolakan politik, ia berpendapat ketika dalam masa
revolusi/pergolakan politik, anggota-anggota masyarakat justru lebih
terintegrasi di dalam menghadapi musuhmusuhnya, sehingga dengan derajat
integrasi sedemikian ini, maka angka kecenderungan untuk melakukan bunuh
diri menjadi lebih kecil.

B. Klasifikasi Bunuh Diri


Sosiolog Emile Durkheim (1897, 1951) membedakan bunuh diri menjadi
empat jenis yaitu : (Upe, 2010:99)
1. Bunuh diri egoistik, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang yang
merasa kepentingan individu lebih tinggi dari pada kepentingan kesatuan
sosialnya.
2. Bunuh diri altruistik, yaitu bunuh diri karena adanya perasaan integrasi antar
sesama individu yang satu dengan yang lainnya sehingga menciptakan
masyarakat yang memiliki integritas yang kuat, misalnya bunuh diri harakiri di
Jepang.
3. Bunuh diri anomi, yaitu tipe bunuh diri yang lebih terfokus pada keadaan moral
dimana individu yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma
dalam hidupnya.
4. Bunuh diri fatalistik, tipe bunuh diri yang demikian tidak banyak dibahas oleh
Durkheim. pada tipe bunuh diri anomi terjadi dalam situasi di mana nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat melemah, sebaliknya bunuh diri fatalistik
terjadi ketika nilai dan norma yang berlaku di masyarakat meningkat dan terasa
berlebihan.

Menurut Kartono (2000:145) bunuh diri dapat digolongkan dalam dua tipe,
yaitu :
1. Bunuh diri konvensional, adalah produk dari tradisi dan paksaan dari opini
umum untuk mengikuti kriteria kepantasan, kepastian sosial dan tuntutan
sosial.
Misalnya harakiri yang dilakukan di Jepang, mati obong yang dilakukan
semasa kerajaan jawa-bali untuk menunjukkan kesetian pada suami yang
telah meninggal ataupun Suttee atau membakar diri sendiri yang dilakukan
oleh janda di India tengah pada saat penguburan suaminya. bunuh diri ini
sudah banyak yang dihapuskan, sebagian dipengaruhi bangsa-bangsa lain
atau oleh tekanan bangsa lain, dan sebagian lagi karena adanya banyak
perubahan pada kondisi-kondisi sosial.
2. Bunuh diri personal, bunuh diri ini banyak terjadi pada masa modern, karena
orang merasa lebih bebas dan tidak mau tunduk pada aturan dan tabu perilaku
terentu. Orang tidak ingin terikat oleh kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-
konvensi yang ada untuk memecahkan kesulitan hidupnya. Sebaliknya,
mereka mencari jalan singkat dengan caranya sendiri, yaitu bunuh diri untuk
mengatasi kesulitan hidupnya, atas keputusannya sendiri. Karena itu peristiwa
bunuh diri adalah bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya
menyesuaikan diri terhadap tekanan-tekanan sosial dan tuntutan-tuntutan
hidup.
Selain itu juga terdapat bunuh diri yang dilakukan dengan adanya bantuan dari
seorang dokter atau tenaga medis, bunuh diri ini disebut Euthanasia, yaitu
tindakan menghilangkan rasa sakit pada penderita penyakit yang sulit diobati atau
menderita sakit keras. Ada dua tipe Eutanasia yaitu Eutanasia aktif dan Eutanasia
pasif. dan Eutanasia aktif terjadi apabila kematian disebabkan oleh suatu usaha
yang dengan sengaja dilakukan untuk mengakhiri hidup seseorang, seperti
dengan injeksi obat yang mematikan dan Eutanasia pasif terjadi ketika seseorang
diizinkan mati dengan mencabut perawatan yang tersedia, seperti perlengkapan
terapi penopang hidup misal mencabut alat bantu pernafasan. (Santrock,
2002:264) Hal ini bermula sekitar awal tahun 1990-an ketika seorang dokter asal
Michigan, Jack Kevorkian membantu seorang wanita asal Oregon berusia 54
tahun yang menderita Alzheimer tahap awal, suatu penyakit otak degeneratif dan
fatal, dalam kondisi belum menggalami kerusakan fisik yang serius, ia dibantu
Kevorkian untuk menekan tombol pada sebuah mesin yang dirancang Kevorkian
untuk menyuntikan obat yang menciptakan kondisi tidak sadar dan dosis
mematikan potasium klorida yang menghentikan denyut jantungnya. (Egan, 1990)
selama sepuluh tahun ia berperan aktif membantu seratus orang yang
menggalami penyakit mematikan mengakhiri hidup mereka, dari sini kemudian
diketahui banyak praktek-praktek dokter yang mencabut kabel dari pasien yang
telah mati otaknya, namun tetap bertahan hidup secara fisik dengan menggunakan
peralatan yang canggih. (Davison. 2006:436)

C. Cara dan Bentuk Bunuh Diri


Metode yang digunakan sebagai percobaan bunuh diri umumnya selain
memiliki fungsi untuk mengakhiri hidup juga memiliki makna tersendiri seperti motif
atau harapan yang mendasari. Secara umum metode yang digunakan untuk
bunuh diri yaitu sebagai berikut:
1. Gantung diri
2. Melukai diri dengan benda tajam seperti tradisi harakiri di jepang, memotong
urat nadi, atau menembak dirinya dengan senjata api atau pistol
3. Menelan racun atau obat-obatan sampai over dosis
4. Menjatuhkan diri dari atap gedung
5. Membakar diri
6. Menabrakkan diri

D. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Bunuh Diri


Faktor resiko bunuh diri adalah faktor yang dapat menambah peluang terjadinya
tindak bunuh diri. Berikut ini terdapat tujuh faktor :
1) Status perkawinan
Tingkat bunuh diri seseorang yang masih sendiri adalah dua kali lipat
dibandingkan orang yang menikah. Bercerai, berpisah, atau seorang janda
memiliki kecenderungan empat kali sampai lima kali lebih besar dari mereka
yang menikah ( Jacobs et al., 2006).
2) Gender
Wanita berusaha melakukan bunuh diri lebih banyak, tapi pria lebih berhasil
dalam melakukan bunuh diri. Jumlah keberhasilan bunuh diri sekitar 70 %
untuk pria dan 30% untuk wanita. Wanita cenderung memilih over dosis; pria
menggunakan metode yang lebih mematikan seperti menggunakan senjata
api. Perbedaan antara wanita dan pria juga dapat terlihat dari kecenderungan
dari wanita untuk mencari dan menerima bantuan dari teman atau profesional,
sedangkan pria sering menganggap bahwa mencari bantuan sebagai tanda
kelemahan (Townsend, 2009:265).

3) Usia
(a) Remaja dan dewasa awal
Bunuh diri menjadi penyebab kematian ketiga setelah kecelakaan dan
pembunuhan pada individu 14- 24 tahun. Keturunan Amerika-India dan remaja
asli Alaska memiliki jumlah bunuh diri tertinggi (NAHIC, 2006). Faktor resiko
paling kuat pada kaum muda adalah tindak kekerasan, agresi, perilaku depresi,
dan isolasi sosial. Faktor lain yang berhubungan dengan bunuh diri di
kalangan remaja adalah :
(1) sering melarikan diri,
(2) sering menekspresikan kemarahan,
(3) keluarga kehilangan kestabilan,
(4) sering bermasalah dengan orang tua,
(5) menarik diri dari keluarga dan teman,
(6) mengekspresikan ide bunuh diri atau berbicara tentang kematian atau
akherat ketika sedih atau bosan,
(7) kesulitan dalam berurusan dengan orientasi jenis kelamin,
(8) kehamilan tidak direncanakan
(Varcarolis dan Haalter, 2009: 413-415).
(b) Dewasa Akhir
Seseorang yang berusia 65 tahun atau lebih memiliki angka bunuh diri
tertinggi di bandingkan kelompok usia lainnya (Varcarolis dan Halter, 2009:
413-415). Faktor resiko yang menyebabkan tingginya bunuh diri pada lansia
yaitu isolasi sosial, hidup sendiri, menjanda, kekurangan sumber penghasilan,
kesehatan buruk, dan perasaan keputusasaan (Sadock&Sadock, 2007,
Townsend, 2009)
4) Status sosial ekonomi
Individu di kelas sosial yang sangat tinggi dan sangat rendah memiliki angka
kejadian bunuh diri tertinggi dibandingkan mereka uang hidup kelas menengah
(Sadock & Sadock, 2007; Townsend, 2009).
5) Etnis
Hasil statistika memperlihatkan kulit putih beresiko paling tinggi dalam bunuh
diri, disusul oleh orang Amerika asli, Afrika Amerika, Amerika hispanik, dan
Amerika Asia (National Center for Health Statistics, 2007; Townsend, 2009).
6) Faktor lainnya
Seseorang dengan gangguan mood (mayor depresi dan gangguan bipolar)
jauh lebih mungkin melakukan bunuh diri daripada kelompok resiko gangguan
psikiatrik atau medis. Sadock & Sadock (2007) melaporkan bahwa 95% orang
yang melakukan percobaan atau tindak bunuh diri terdiagnosa memiliki
gangguan mental, 80% diantaranya adalah yang memiliki gangguan depresi.
Gangguan psikiatrik lainnya yang mungkin memiliki perilaku tubuh bunuh diri
yaitu gangguan penyalahgunaan zat psikoaktif, skizofrenia, gangguan
kepribadian, dan gangguan cemas (Jacobs et.al., 2006).

Sedangkan menurut Husain (2005:67) Terdapat banyak faktor yang dapat


mengakibatkan seseorang melakukan percobaan bunuh diri, diantaranya yaitu:
1. Adanya gangguan psikologis
Gangguan psikologis dapat menimbulkan tindakan-tindakan berbahaya,
baik itu merupakan tindakan bunuh diri yang mematikan, maupun bunuh diri
yang tidak mematikan. Depresi dan skizophrenia merupakan gangguan
psikologis yang sering berkaitan dengan percobaan bunuh diri. dalam studi
yang digelar pada tahun 1990, ditemukan bahwa dari 60% laki-laki dan 44%
perempuan yang melakukan percobaan bunuh diri menderita depresi.
(Apter&Freudenstein, 2000) selain itu antara 30% sampai 50% penderita
skizophrenia minimal sekali melakukan percobaan bunuh diri.

2. Penggunaan alkohol dan narkotik (Substance Abuse)


Penggunaan alkohol dan narkotik merupakan factor yang sangat penting
dalam percobaan bunuh diri, hal ini dapat dilihat dari berbagai penelitian yang
menunjukkan bahwa penggunaan narkotik dan obatobatan lainnya iku ambil
bagian dalam kasus bunuh diri dengan prosentase antara 25% sampai 55%.
(Murphy, 2000. Dalam Husain, 2005:73)

3. Krisis kepribadian (Personality Disorder)


Meskipun hubungan antara krisis kepribadian dan bunuh diri belum diyakini
secara umum, tapi beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa krisis
kepribadian merupakan faktor penting dalam melakukan percobaan bunuh diri.
(Linehan et al, 2000) Krisis kepribadian didapatka pada 40%-53% dari orang-
orang yang melakukan percobaan bunuh diri. (Brent et al, 1994 ; Lesage et al,
1997 ; Roy&Draper, 1996) d.

4. Penyakit-penyakit jasmani (Physical Illnesses)


Penyakit-penyakit jasmani termasuk hal-hal yang paling sering mengakibatkan
bunuh diri, khususnya bagi orang-orang tua. (Harwood&Jacoby, 2000) Rasa
sakit merupakan faktor penting dalam sekitar 20% dari kasus bunuh diri yang
dilakukan orang-orang tua. banyak riset yang mengkaji hubungan antara
penyakit jasmani yang kronis dan bunuh diri

5. Faktor-faktor genetis (Genetic Factors)


Para pakar yang akhir-akhir ini meneliti bunuh diri secara biologis menyatakan
bunuh diri memiliki kesiapan-kesiapan genetis. Meskipun tindakan bunuh diri
yang dilakukan salah satu anggota keluarga atau kerabat bukanlah sebab
langsung bagi bunuh diri, namun para anggota keluarga ini lebih rentan
terhadap bunuh diri dari pada yang lain. Hal ini mengacu pada kenyataan
bahwa depresi dan penyakit-penyakit lainnya memiliki kesiapan genetis. Jika
tidak mendapatkan penanganan, penyakit-penyakit ini bisa jadi mengakibatkan
tindakan bunuh diri.

6. Perubahan dalam bursa kerja (Labour Market)


Revolusi ekonomi dan teknologi yang terjadi di dunia telah membawa dampak
positif dan negatif, disengaja dan tidak sengaja, baik dalam bidang ekonomi,
sosial, kejiwaan, politik dan budaya. Semua ini mempengaruhi kesehatan
penduduk dunia, diantara permasalahan serius yang dihadapi dunia secara
bersama adalah semakin bertambahnya jumlah pengangguran. Krisis moneter
dan ekonomi di dunia mengakibatkan bertambahnya pengangguran dan
menimbulkan bahaya yang serius

7. Kondisi keluarga
Kebanyakan remaja yang memiliki prilaku bunuh diri menghadapi berbagai
problem keluarga yang membawa mereka kepada kebimbangan tentang harga
diri, serta menumbuhkan perasaan bahwa mereka tidak disukai, tidak
diperlukan, tidak dipahami dan tidak dicintai. Mayoritas mereka berasal dari
keluarga yang menerapkan system pendidikan yang tidak layak. Biasanya para
orangtua yang berada disekitar anak berlaku keras terhadapnya,
mengabaikannya, atau hanya memperhatikan pertumbuhan fisiknya saja dan
bukan prilakunya. Hilangnya cinta kadang ikut berperan bagi perkembangan
bahaya bunuh diri. Kehilangan cinta ini bisa terjadi karena faktor kematian,
perceraian, atau menurunnya kasih sayang orantua dan orang-orang yang
memiliki kedudukan penting dalam kehidupan seseorang.
8. Pengaruh media massa
Berita tentang bunuh diri kadang dapat memicu tindakan bunuh diri, terutama
bagi orang-orang yang memang telah mempersiapkan diri untuk
melakukannya. Ketika mereka tahu bahwa orang yang mati bunuh diri
sebelumnya hidup dengan posisi dan keadaan yang sama dengan yang
mereka alami, maka itu bisa mendorong mereka untuk meniru dan melakukan
perbuatan yang sama.

E. Motif Bunuh Diri


Kata motivasi berasal dari bahasa latin, yang berarti bergerak, menurut Wade dan
tavris (2007:144) motivasi adalah suatu proses dalam diri manusia atau hewan
yang menyebabkan organisme tersebut bergerak menuju tujuan yang dimiliki, atau
bergerak menjauh dari situasi yang tidak menyenangkan. Kartono (2000:158)
menyebutkan dua macam motivasi yang mempengaruhi bunuh diri, yaitu :
1. Motivasi interpersonal, dalam kasus bunuh diri terjadi apabila pribadi yang
melakukan tindak bunuh diri terjadi apabila pribadi yang melakukan tindak
bunuh diri tersebut lewat perbuatannya berusaha untuk mempengaruhi
terjadinya perubahan sikap pada orang lain, atau mengharapkan adanya
perubahan tingkah laku pada orang lain. Orang lain disini biasanya adalah
orang yang dekat dengan orang yang melakukan bunuh diri tersebut seperti
keluarga, teman atau kekasih. Motivasi interpersonal ini bisa ditemukan pada
semua usia akan tetapi paling banyak pada usia puber/remaja dan usia
pertengahan. Perbuatan bunuh diri digunakan sebagai ekspresi dari
kemarahan, penolakan dan pemaksaan kesediaan untuk mengubah perilaku
orang lain atau untuk menumbuhkan perasaan bersalah kepada mereka.
2. Motivasi intrapersonal, paling banyak muncul pada orang-orang yang lebih tua,
diantaranya karena:
a. Telah banyak hilang emosi ikatan-ikatan dengan orang lain.
b. Merasakan adanya tekanan-tekanan dan ketegangan-ketegangan dari
dalam dan perlunya melakukan satu perbuatan penting, yaitu bunuh diri.
c. Mereka merasa bahwa kaitan dengan orang-orang yang dekat dengan
dirinya sudah sangat longer, misalnya karena ditinggal mati suami/istri,
anak-anak sudah berumah tangga, badan sudah sakit-sakitan dan
dilupakan orang.
d. Hingga muncul kemudian emosi-emosi yang sangat kuat berupa perasaan
amat kesepian, merasa tidak diperlukan lagi, tidak bisa bekerja dengan
efektif, badan semakin lemah dan sakit-sakitan dan bahwa dia sudah
pernah hidup dan kini tidak punya apa-apa lagi. Suasana hatinya dipenuhi
unsure depresi, dibarengi keinginan mengucilkan diri dan terkuras
tenaganya secara fisik dan emosional. Lalu muncullah keinginan untuk
mati.
Motifasi bunuh diri menurut Mintz (1968) (Davison dkk, 2006:427)
a. Adanya insting kematian (Thanatos) yaitu kecenderungan untuk kembali ke
keadaan bebas tekanan yang ada sebelum kelahiran
b. Harapan positif dan oleh sikap-sikap persetujuan terhadap legitimasi dari
bunuh diri, (D. Stein dkk, 1998) orang yang membunuh dirinya sendiri
mungkin berharap bahwa mereka akan dirindukan atau dikenang setelah
kematian mereka, orang yang hidup akan merasa bersalah karena telah
salah memperlakukan mereka
c. Upaya untuk memaksakan cintanya pada orang lain
d. Upaya untuk melakukan perubahan atas kesalahan yang dilihat pada masa
lalu
e. Upaya untuk menyingkirkan perasaan yang tidak diterima, seperti
ketertarikan seksual pada lawan jenis
f. Keinginan untuk reinkarnasi
g. Keinginan untuk bertemu dengan orang yang dicintai yang telah meninggal
h. Keinginan atau kebutuhan untuk melarikan diri dari stress, kehancuran,
rasa sakit, atau kekosongan emosional. Secara umum bunuh diri merupaka
upaya individu untuk menyelesaikan masalah, yang dilakukan dalam
kondisi stress berat dan ditandai pertimbangan atas alternative yang
sangant terbatas dimana akhirnya penihilan diri muncul sebagai solusi
terbaik (Linehan & Sherin, 1988)

F. Cara mencegah Bunuh Diri

Ada beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan, menurut Edwin


Sneidman seorang pelopor yang mengembangkan strategi umum dalam
pencegahan bunuh diri mengungkapkan tiga hal yaitu sebagai berikut: (Davison.
2006:433)
1. Mengurangi penderitaan dan rasa sakit psikologis yang mendalam Menurut
beberapa ahli pelaku percobaan bunuh diri biasanya memiliki setidaknya satu
gangguan psikologis yang mendasarinya, sehingga penangganan secara
psikologis dianggap upaya yang sangat tepat untuk mencegah bunuh diri.
2. Membuka pandangan dengan penyuluhan, yaitu memperluas pandangan yang
terbatas dengan membantu individu melihat berbagai pilihan selain pilihan
ekstreem dengan membiarkan penderitaan dan ketiadaan terus berlangsung.
3. Mendorong orang yang bersangkutan meskipun hanya selangkah dari
tindakan yang menghancurkan diri sendiri.
4. Menggerakkan dukungan social dengan berkolaborasi dengan keluarga,
teman, atau yang lainnya untuk membantu meningkatkan sistem dukungan.
Hal tersebut dapat dimulai dengan membina dan meningkatkan kualitas
komunikasi

G. Contoh-contoh pencegahan dan penanggulangan kasus bunuh diri


Fenomena bunuh diri ternyata memang dapat menghampiri siapa saja dari
kalangan manapun. Tidak pandang bulu, entah di negara berkembang, maupun
di negara maju. Itulah sebabnya, kasus bunuh diri menjadi perhatian serius
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya WHO, bahkan peringatan hari
kesehatan dunia pada tahun 2017 bertemakan depresi, dimana depresi dinggap
sebagai faktor utama aksi bunuh diri.
Pencegahan tindak bunuh diri (suicide prevention) telah menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari perencanaan yang bertujuan mengurangi rata-rata
kasus bunuh diri dalam suatu negara sebanyak 10% pada tahun 2020 (WHO,
2013). Pada tahun 2012 diketahui terdapat sekitar 804.000 kasus bunuh diri yang
terjadi di seluruh dunia.
Meningkatkan Kesehatan Psikologis dan Emosional Masyarakat
Guyana, sebagai negara berkembang di Afrika, memiliki rata-rata tingkat
kematian bunuh diri yang cukup tinggi, yaitu 44,2 per 100.000 populasi di tahun
2012. Diketahui bahwa masalah emosional dan psikologis adalah penyebab
utama tren bunuh diri di Guyana. Tren ini mendapatkan perhatian tersendiri dari
WHO.
WHO menciptakan "Mental Health Gap Action Programme" (mhGAP).
Sebuah program yang memang dirancang khusus untuk negara berpendapatan
rendah sampai sedang. Tujuannya adalah untuk memberikan pelayanan mental,
neurologis, dan gangguan akibat zat tertentu. Program tersebut cukup efektif di
Guyana. Rata-rata kasus bunuh diri pada tahun 2015 menjadi sebesar 29,0 per
100.000 populasi. Menurun dibandingkan tahun 2012. Krystle Fraser, salah satu
dokter yang diterjunkan ke Guyana mengatakan bahwa titik kunci keberhasilan
tersebut adalah bahwa dalam hal mengelola depresi, tidak hanya menggunakan
metode pengobatan, tetapi juga edukasi psikososial. Di Guyana didirikan klinis
psikiatri yang mudah diakses oleh masyarakat, sehingga tim dokter tahu apa
sebenarnya motif utama masyarakat ingin bunuh diri.
Pendekatan Holistik ala Jepang
Jika bicara kasus bunuh diri, nampaknya agak kurang lengkap jika tidak
membahas Jepang. Negeri matahari terbit dikenal memiliki masyarakat yang
tingkat malunya cukup tinggi, hingga bunuh diri malah menjadi solusi. Ini tentu
sudah bukan rahasia umum.
Akan tetapi, tetap saja fenomena bunuh diri merupakan suatu hal yang
meresahkan. Atas dasar ini, pada bulan Mei 2005, organisasi nonpemerintah,
LIFELINK, berkolaborasi dengan anggota parlemen Jepang untuk mengorganisir
forum pertama untuk bunuh diri. Di forum tersebut, LIFELINK dan organisasi
nonpemerintah lainnya mengajukan proposal mendesak untuk pencegahan bunuh
diri secara menyeluruh. Selanjutnya, sebuah kelompok parlementer bipartisan
dibentuk pada tahun 2006 untuk mendukung pembentukan kebijakan pencegahan
bunuh diri. Anggota Dewan Penasihat dari partai mayoritas dan minoritas
memutuskan untuk bersama-sama mempromosikan pencegahan bunuh diri
sebagai kebijakan nasional dan untuk melindungi kehidupan masyarakat (WHO,
2017).
Pada tahun 2007, pemerintah telah mengambil serangkaian langkah,
termasuk memperkuat penelitian mengenai penyebab bunuh diri secara medis
dan sosial, menyiapkan lebih banyak hotline, mengadakan seminar untuk para
pemimpin kota, dan meningkatkan dukungan untuk orang-orang yang mencoba
bunuh diri dan untuk keluarga terdekat (Otake, 2017).
Jepang, dan hampir seluruh dunia, sempat mengalami krisis ekonomi di
tahun 2008. Isu finansial tentunya aman sensitif dan rentan memicu bunuh diri.
Apa yang dilakukan pemerintah Jepang? Mereka mengamankan dana pada tahun
2009 melalui Regional comprehensive suicide prevention emergency
strengthening fund. Itu adalah dana yang disiapkan untuk mencegah kejadian
bunuh diri, termasuk digunakan untuk meningkatkan kesadaran publik secara
intensif melalui kampanye yang kala itu gencar dilakukan pada bulan Maret, saat
rata-rata kasus bunuh diri terlihat meningkat. Tahun 2010, pemerintah Jepang
menetapkan bulan Mei sebagai Bulan Pencegahan Bunuh Diri Nasional.
Jepang menjadi semakin terbuka untuk masalah bunuh diri ini, yang
hasilnya memudahkan untuk pengumpulan data dan promosi pencegahan bunuh
diri itu sendiri. Hasilnya? Diketahui bahwa kasus bunuh diri di Jepang pada 2016
adalah sebanyak 21.897 kasus, adalah yang terendah selama 22 tahun. Akan
tetapi, 'pekerjaan rumah' bangsa Jepang belum selesai sampai di sini karena
walaupun menurun, tetap saja bunuh diri adalah penyebab kematian nomor satu
masyarakat berusia 15-39 tahun.
Satgas Berani Hidup Gunung Kidul
Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta,
membentuk "Satgas Berani Hidup" untuk menekan angka bunuh diri. Wakil Bupati
Gunung Kidul Immawan Wahyudi di Gunung Kidul, Senin, mengatakan hari
pencegahan Bunuh Diri Sedunia yang dicanangkan oleh IASP (International
Association for Suicide Prevention) dan WHO (World Health Organization) telah
mendeklarasikan di Stockholm pada 10 September 2003. "Bertepatan dengan
tanggal tersebut Pemerintah Gunung Kidul membentuk satuan tugas
penanggulangan bunuh diri di Gunung Kidul yang dinamakan Satgas Berani
Hidup," kata Immawan.
"Satgas tersebut terdiri atas wakil wakil dari lembaga kedinasan
(pemerintah) dan unsur masyarakat baik kelembagaan maupun individual. Satgas
tersebut akan membuat program tersetruktur, terorganisir dan terintegrasi untuk
bersama sama mengatasi problematika sosial yang menjadi faktor risiko bunuh
diri di Gunung Kidul,".
Immawan mengatakan satgas berani hidup adalah suatu momentum untuk
menyatakan bahwa masyarakat Gunung Kidul pada dasarnya adalah masyarakat
yang memiliki etos kerja yang tinggi, guyub rukun dan mempunyai tanggung jawab
sosial yang luar biasa dalam wujud swadaya masyarakat yang sangat besar.
Harapannya dengan terbentuknya satgas tersebut, pemerintah bersama
masyrakat dapat bergandeng tangan mengubah cara pandang, perilaku dan
pemikiran negatip menjadi lebih berpikir positip, optimis dan bersyukur dalam suka
maupun duka.
Wakil Ketua Satgas Berani Hidup Ida rochmawati menambahkan data
Polres Gunung Kidul, telah terjadi 174 kasus bunuh diri pada rentang tahun 2009-
2015, artinya jika diambil rata-rata terjadi 25 kejadian bunuh diri per tahunnya.
Sementara tahun ini, sudah mencapai 25 kasus bunuh diri, dengan 23 orang MD,
dua sisanya percobaan.
Jumlah kasus masih tergolong tinggi. Ia berharap adanya kerja sama lintas
sektoral, mulai dari pemerintah, kepolisian, pemuka agama, dan masyarakat untuk
menekan kasus bunuh diri tersebut.
BAB III
A. Kesimpulan
Bunuh diri adalah perbuatan manusia yang disadari dan bertujuan untuk menyakiti
diri sendiri dan menghentikan kehidupan sendiri dimana ada Dorongan untuk
melakukan tindakan melenyapkan nyawa sendiri bisa berasal dari internal (diri
sendiri) tapi juga dapat dari luar diri sendiri. Perilaku bunuh diri Emile Durkheim
(seorang sosiolog Prancis), mengelompokkan bunuh diri menjadi 3 jenis: Altruistic
suicide, egoistic suicide, anomic suicide sedangkan menurut kartono bunuh diri
dogolongkan menjadi dua yakni bunuh diri konvensional dan bunuh diri personal
Secara umum metode yang digunakan untuk bunuh diri yaitu: Gantung diri,
Melukai diri dengan benda tajam (memotong urat nadi, atau menembak dirinya
dengan senjata api atau pistol), Menelan racun atau obat-obatan sampai over dosis,
Menjatuhkan diri dari atap gedung, Membakar diri, Menabrakkan diri.
Faktor risiko penyebab bunuh diri antara lain: Status Perkawinan, Gender, Usia,
Status Sosial Ekonomi, Etnis dan Faktor Lainnya, sedangkan menurut Husain
(2005:67) Terdapat banyak faktor yang dapat mengakibatkan seseorang melakukan
percobaan bunuh diri, diantaranya yaitu: Adanya gangguan psikologis, penggunaan
alkohol dan narkotika, krisis kepribadian, penyakit jasmani, faktor genetik, perubahan
dalam bursa kerja, kondisi keluarga dan pengaruh media massa.
Ada dua macam motivasi yang mempengaruhi bunuh diri menurut . Kartono
(2000:158), yaitu : Motivasi interpersonal dan Motivasi Intrapersonal dengan upaya
pencegahan yang dapat dilakukan adalah : Mengurangi penderitaan dan rasa sakit
psikologis yang mendalam, Membuka pandangan dengan penyuluhan,memberikan
dorongan, dan Menggerakkan dukungan social dengan berkolaborasi.

A. Saran
Tindakan bunuh diri adalah suatu tindakan yang bodoh karena tindakan ini
bertentangan dengan norma yang ada di masarakat serta agama. Bunuh diri jangan
dijadikan pilihan terahir dalam pemecahan masalah karena masih banyak jalan yang bisa
kita tempuh dalam memecahkan masalah, jika kita memiliki sebuah masalah dan kita
tidak mampu untuk menyelesaikannya kita bisa minta bantuan kepada sahabat atau
orang-orang yang ada didekat kita.
Kasus bunuh diri yang secara statistik sangat memprihatinkan membutuhkan
perhatian khusus dari pemerintah seperti menyusun peraturan untuk mencegah dan
meminimalisir kasus bunuh diri di Indonesia, memaksimalkan promosi kesehatan,
optimalisasi peran tenaga kesehatan dalam menangani kesehatan jiwa, optimalisasi
peran guru konseling di sekolah, bisa juga melalui kebijakan inovatif seperti satgas berani
hidup di Gunung Kidul dll.
DAFTAR PUSTAKA
CAPTAIN, C, ( 2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume 6(3),
May/June 2008, p 4653 Varcarolis, E M (2000). Psychiatric Nursing Clinical Guide, WB
Saunder Company, Philadelphia. Stuart, GW and Laraia (2005). Principles and practice
of psychiatric nursing, 8ed. Elsevier
Gerald C. Davidson dkk. 2010. Psikologi Abnormal. Jakarta : Rajawali Pers
Kumpulan Artikel & Makalah Keperawtan Farmas
Sumber: http://www.riyawan.com/p/bunuh-diri.html
Mosby, Philadelphia Shives, R (2008). Basic concept of psychiatric and Mental Health
Nursing, Mosby, St Louis. Kaplan and Saddock (2005). Comprehensive textbook of
Psychiatry, Mosby, St Louis. Carpenito, LJ (2008). Nursing diagnosis : Aplication to
clinical practice, Mosby St Louis
Richard P. Halgin, Whitbourne. 20111.Psikologi Abnormal.Jakarta :Salemba HUmanika

Anda mungkin juga menyukai