Anda di halaman 1dari 22

60

BAB III

INTERPRETASI INTERTEKSTUAL

Secara bahasa, interteks terbentuk dari kata inter dan teks. Inter berarti jaringan atau hubungan
sedangkan teks (textus, bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan
jalinan. Interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain. Produksi
makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian
dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih.
Hubungan yang dimaksud tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya
sebagai pertentangan, baik sebagai parody maupun negasi.1 Dengan demikian, kajian
intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga
mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan
unsur-unsur intrinsic seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya,
di antara teks yang dikaji.2
Interpretasi intertekstual pertama diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin,
seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan
intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan
atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau
kutipan.3
Kemudian, interpretasi intertekstual tersebut diperkenalkan atau dikembangkan oleh Julia
Kristeva. Menurut Kristeva, istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu
teks dengan teks lain. Tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan
penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain.4 Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin
dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang
akan mengambil komponen-komponenteks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan
karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin
ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.5

1
Lihat: Nyoman Kutha Ratna, Penelitian Sastra (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 172-173.
2
Lihat: ibid.
3
Redyanto Noor, “Perspektif Resepsi Novel Chiklit dan Teenlit Indonesia” dalam Makalah Diskusi Program
Studi S3 Sastra, 2007, h. 4-5.
4
Michael Worton dan Judith Still. 1990. Intertextuality and Practices. New York: Manchester University Press,
1990), h. 1; lebih lanjut lihat: Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language a Semiotic Approach to Literature and Art.
(Oxford: Basil Blackwell, 1980), h. 66.
5
Lihat, ibid.
61

Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna
karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi
dari karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan,
melainkan bagaimana memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan
karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi. Intertekstual
menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri dalam penelitian karya sastra, antara
lain: (1) interteks melihat hakikat sebuah teks yang di dalamnya terdapat berbagai teks; (2) interteks
menganalisis sebuah karya itu berdasarkan aspek yang membina karya tersebut, yaitu unsur-unsur
struktur seperti tema, plot, watak, dan bahasa, serta unsur-unsur di luar struktur seperti unsur
sejarah, budaya, agama yang menjadi bagian dari komposisi teks; (3) interteks mengkaji
keseimbangan antara aspek dalaman dan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran
teks-teks tersebut; (4) teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan
karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca, tetapi meneliti teks-teks
lainnya untuk melihat aspek-aspek yang meresap ke dalam teks yang ditulis atau dibaca atau dikaji;
(5) yang dipentingkan dalam interteks adalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya
unsur-unsur lain kedalam sebuah karya.6
Secara khusus, dapat pula dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-
aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih
kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh
terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya
dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan
dengan unsur kesejarahan itu.7
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa interpretasi intertekstual dapat diartikan
sebagai memahami teks dengan adanya teks lain, baik di dalam satu teks ataupun di luar teks karena
adanya hubungan yang terkait. Penggunaan istilah interpretasi intertekstual dalam kajian hadis dapat juga
disebut sebagai teknik munasabah (dalam istilah kajian tafsir). Di dalam buku ini, interpretasi intertekstual
diartikan sebagai interpretasi atau pemahaman terhadap matan hadis dengan memperhatikan sistimatika
matan hadis bersangkutan, atau hadis lain (tanawwu’) dan/atau ayat-ayat al-Qur’an yang terkait.
Dasar penggunaan teknik ini adalah penegasan bahwa hadis Nabi adalah perilaku terhadap
Nabi saw. yang merupakan satu kesatuan dengan hadis lain dan/atau ayat-ayat Al-Qur’an.
Bukankah hadis Nabi berfungsi sebagai bayan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, Allah swt. Berfirman
di dalam Qs. al-Nahl: 44, berbunyi:

6
Abdul Rahman Napiah, Tuah Jebat dalam Drama Melayu: Satu Kajian Intertekstualiti (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1994), h. Xv.
7
Lihat: A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 62-65.
62

ْ‫ﻌَﻠﱠ ُﻬ ﻢ‬ ‫ﻣَﺎ‬ َ‫ﻟِﺘُﺒَﻴﱢ ﻦ‬ َ‫ﻟَﻴْ ﻚ‬ ‫ﻣَﺎ‬ َ‫ﻟِﺘُﺒَﻴﱢ ﻦ‬ ...

Terjemahnya:
“... Dan, Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka meikirkan,”
Ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw. diberi tugas sebagai orang memiliki
kewenangan untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an. Penjelasan beliau itulah kemudian disebut
sebagai Hadis Nabi. Dengan demikian, pemahaman terhadap hadis seharusnya tidak memisahkan
dan/atau mengabaikan petunjuk Al-Qur’an yang terkait dengannya. Ini berarti bahwa syarahan
hadis yang mengabaikan atau memisahkannya dengan Al-Qur’an perlu ditinjau kembali. Seringkali
ditemukan ada syarahan hadis tampak ada pertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an bahkan ada
hadis yang dinilai menasakh ayatAl-Qur’an.
Di sisi lain, Rasulullah saw. sebagai utusan Allah menyampaikan hadis-hadis secara
bertahap, sehingga memungkinkan suatu hadis dengan hadis yang lain dalam satu tema berbeda
dan bahkan tampak bertentangan. Dengan memahami hadis secara interteks, maka diharapkan
syarahan hadis dapat mengungkap kandungan yang lebih komprehensip dan sesuai dengan misi
kerasulan beliau.
Pendekatan yang dapat digunakan untuk teknik interpretasi intertekstual menghendaki
pendekatan interdisipliner dan bahkan multidispliner. Dengan demikian, teknik interpretasi
intertekstual menguatkan makna formal untuk menegaskan makna subtansial. Aplikasi teknik
intertekstual dapat bersifat universal, lokal, dan/ataupun temporal.
Aplikasi teknik interpretasi intertekstual terhadap hadis Nabi dapat dilakukan dengan cara
memahami hadis dengan memperhatikan sistematika matan hadis bersangkutan; memahami hadis
dengan memperhatikan hadis lain yang semakna atau terkait; dan/atau memahami hadis dengan
memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait; memperhatikan fungsi hadis sebagai bayan
terhadap al-Qur’an, yakni bayan al-tafsir wa al-tafshil; bayan al-taqrir wa al-tawkid; dan bayan al-tasyri’
wa al-nasakh.
Pada prinsipnya, Hadis Nabi – seperti halnya Al-Qur'an – tidak bertentangan antara satu hadis
dengan hadis yang lainnya (Q.s. al-Nisa’/4:82). Artinya, jika suatu hadis Nabi yang tampak
mengandung kemusykilan dan/atau pertentangan, maka diperlukan tadabbur terhadap hadis-hadis
tersebut. Yakni, kajian yang mendalam dengan menggunakan metodologi yang tepat di dalam
melakukan interpretasi terhadap hadis-hadis tersebut, sehingga hadis yang bersangkutan tetap
sejalan dengan misi kerahmatan Rasulullah saw. Bukankah ucapan-ucapan dan tingkah laku Nabi
63

Muhammad saw tidak terlepas dari koridor kewahyuan (Q.s. al-Najm: 3 – 4). Bukankah hadis Nabi
dan Al-Qur'an tidak dapat dipisahkan, sehingga jika Al-Qur'an dinyatakan sebagai sesuatu yang
berasal dari sisi Allah Swt, maka hadis Nabi pun tidak terlepas dari sesuatu yang berasal dari sisi
Allah Swt. Dan, bukankah Rasulullah saw. diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (Q.s.
al-Anbiya: 107).
A. Keserasian dan Keragaman Lafal
1. Penjelasan Kosa Kata
Salah satu gaya bahasa yang digunakan oleh Rasulullah di dalam redaksi hadis-hadis nya
adalah terkadang menjelaskan term-term tertentu dengan penjelasan yang berbeda dengan apa
yang dipahami umumnya orang atau menggunakan kata-kata gharīb. Oleh karena itu, maka
penjelasan yang dimaksudkan oleh beliau tentang suatu term itulah kandungan hadis yang
bersangkutan. Salah satu contoh hadis dalam hal ini adalah hadis tentang al-muflis. Beliau bersabda:

ْ‫ﻋَ ﻦ‬ ْ‫ﻋَ ﻦ‬ ‫ ﻋَ ِﻦ‬- ٍ‫ﺟَْﻌﻔَ ﺮ‬ - ‫ْﺑ ُﻦ ﺣُ ﺠْ ﺮٍ ﻗَﺎ َﻻ َﺣ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬ ٍ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﻗُﺘَﻴْﺒَﺔُ ﺑْ ﻦُ ﺳَﻌِﻴ ﺪ‬
» َ‫ ﻓ‬. ‫ﻟَُﻪ‬ ‫ﻓِﻴﻨَﺎ ﻣَ ْﻦ َﻻ‬ .« ‫ﻣَﺎ‬ » - ‫ ﺻﻠ ﻰ ﻋﻠﻴﻪ‬-
‫ﻗَ ﺪْ ﺷَﺘَ َﻢ‬ ‫ﻳَﺄْﺗِ ﻰ‬ ‫ﻣِ ْﻦ‬
ْ‫ﻣِ ْﻦ ﺧَ ﻄَﺎﻳَﺎ ُﻫ ﻢ‬ ‫ﻓَﻨِﻴَ ْﺖ ﺣَ ﺴَﻨَﺎﺗُﻪُ ﻗَﺒْ َﻞ ﻳُْﻘ ﻀَ ﻰ ﻣَﺎ ﻋَﻠَﻴِْﻪ‬ ِ‫ِﻣ ﻦْ ﺣَ ﺴَﻨَﺎﺗِﻪ‬ ِ‫ﻓَﻴُﻌْ ﻄَ ﻰ ﻣِ ﻦْ ﺣَ ﺴَﻨَﺎﺗِﻪ‬
٨
« ‫ﻓِ ﻰ‬ ‫ﻓَ ﻄُ ﺮِ ﺣَ ﺖْ ﻋَﻠَﻴِْﻪ ﺛُ ﱠﻢ‬

Qutaibah bin Said dan Ali bin Hujr telah menceritakan kepada kami, keduanya berkata: Ismail (ibn
Ja’far) telah menceritakan kepada kami dari al-Alai dari Bapaknya dari Abu Hurairah Bahwasanya
Rasulullah saw., telah bersabda: “Apakah kalian tahu orang yang rugi? Mereka berkata: “bagi kami
orang yang tidak memiliki dirham dan perhiasan. Maka, Beliau bersabda: sesungguhnya orang
yang rugi dari ummatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa,
zakat dan datang pula (dengan dosa) mencaci ini, menuduh ini, memakan harta ini, menumpahkan
darah ini, memukul ini, maka yang ini mengambil kebaikannya, yang ini juga mengambil
kebaikannya, maka habislah kebaikannya dan sebelum ditetapkan baginya hukuman maka
diambillah kesalahan dari mereka dan dilemparkan kepadanya kemudian dia dilemparkan ke
dalam neraka.
Secara umum, al-muflis atau bangkrut dipahami dalam konteks perdagangan, yaitu orang
yang rugi atau tidak untung dan bahkan berkurang modalnya. Namun, jika mencermati penjelasan
Nabi di dalam hadis itu sendiri ternyata term al-muflis tidaklah dipahami dalam konteks
perdagangan harta tetapi dipahami dalam konteks amal perbuatan. Yakni, orang yang telah

Abū Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy, Shahih Muslim, (Beirut: Dār al-Jail, tth), Juz
8

VII, h. 18.
64

membelanjakan hartanya dengan berzakat, atau dirinya dengan shalat atau puasa, dan/atau yang
lainnya tetapi pada saat yang sama orang tersebut juga telah melakukan cacian, tuduhan bahkan
memakan harta dengan batil, mengikutu hawa nafsunya, dan semacamnya, sehingga ia berdosa
bahkan timbangan dosanya lebih berat daripada pahalanya. Dengan begitu, pahala ibadah shalat,
puasa, zakat, dan hajinya tidak dapat menyelamatkan dari siksaan neraka atasnya.
2. Keserasian Bahasa
Seperti dikemukakan pada bab sebelumnya, salah satu gaya bahasa yang digunakan di
dalam hadis Nabi adalah bahasa simbolik. Karena itu, struktur bahasa di dalam matan hadis Nabi
pun harus menjadi salah satu aspek yang harus diperhatikan, termasuk dalam kaitannya dengan
hubungan gaya bahasa dalam satu kalimat atau frase dengan kalimat atau frase lainnya. Salah satu
contoh hadis Nabi tentang hal ini adalah hadis tentang Dajjal, berbunyi:

ٍ‫ ﻋَ ﻦْ ﻧَﺎِﻓ ﻊ‬- َ‫ﻋُﻘْﺒَﺔ‬ ‫ ﻫُ َﻮ‬- ‫ ﻋَ ﻦْ ﻣُﻮ ﺳَ ﻰ‬- ‫ ﻳَﻌْﻨِ ﻰ‬- ٌ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﻧَ ﺲ‬ ُ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ُﻣ ﺤَ ﱠﻤ ﺪُ ﺑْ ﻦ‬

» ‫ﻴ َﺢ‬ َ‫ ﻳَ ﻮْﻣًﺎ ﺑَﻴْ ﻦ‬- ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ ﺻﻠ ﻰ‬- ‫ﺑْ ﻦُ ﻋُ ﻤَ َﺮ‬ ُ‫ﻋَﺒْ ﺪ‬


٩
ٌ‫ﻋَﻴْﻨَﻪُ ﻋِﻨَﺒَﺔٌ ﻃَﺎﻓِﻴَﺔ‬ ِ‫ﻋَﻴْ ﻦ‬ ‫ﻟَﻴْ َﺲ‬
Artinya:
Muhammad bin Ishaq al-Musayyabī telah menceritakan kepada kami, (katanya) Anas ibn ‘Iyādh
telah menceritakan kepada kami, (katanya) dari Musā ibn ‘Uqbah dari Nāfi’ telah berkata bahwa
Abdullah ibn Umar berkata: Suatu hari Rasulullah saw. pernah menyebut al-Masih al-Dajjāl di
tengah kerumunan manusia, Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah yang mahasuci dan
mahatinggi tidak buta sebelah (bi a’war). Ketahuilah bahwa al-Masīh al-Dajjāl buta sebelah
(a’war), mata kanannya, matanya seperti buah anggur yang menonjol.” (HR. Muslim)
Secara tekstual, hadis di atas menunjukkan bahwa ciri al-Masih Dajjal adalah buta mata
kanannya, berbeda dengan Allah swt. Dia tidak buta matanya sebelah. Pemahaman seperti ini dapat
bertentangan dengan salah satu sifat Allah Swt. Mukhālafah li al-hawādis “berbeda dengan
makhluNya”, seperti diisyaratkan di dalam Q.s. al-Syūrā/42:11: ... laysa kamitslihi syay’.
Dengan demikian, jika Allah dinyatakan laysa bi a’war (tidak buta matanya sebelah)
menyalahi petunjuk Al-Qur’an sehingga pernyataan ini harus ditakwilkan, misalnya Allah itu Maha
Adil karena tidak hanya mempertimbangkan salah satu aspek saja atau dengan ungkapan simbolik
‘melihat sebalah mata saja’. Maka, demikian pula al-Masih al-Dajjāl tidak diartikan ‘buta matanya

9 Ibid., Juz I, h. 107.


Abū ‘Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhārī, Jāmi’ al-Shāhīh al- Bukhārī (Beirut: D Ibn al-Kasīr,
1987), Juz III, h. 1113.
65

sebelah, yakni mata kanannya’ tetapi ditakwilkan sehingga berarti al-Masih al-Dajjāl adalah mereka
yang berbuat zalim dan lalim karena tindakannya hanya mempertimbangkan salah satu aspek atau
dengan ungkapan ‘melihat dengan mata kirinya saja’ sedangkan ‘mata kanannya buta, tidak
melihat’. Dengan demikian, kandungan hadis di atas menunjukkan bahwa Allah itu Maha Adil dan
bijaksana sedangkan al-Masih al-Dajjāl itu zalim dan lalim. Ini berarti bahwa siapa pun yang
bertindak zalim atau lalim, tidak adil dan hanya untuk kepentingan atau keuntungan salah satu
pihak saja, maka dapat disebut al-Masih al-Dajjāl. Boleh jadi Rasulullah saw. mengajarkan doa di
setiap akhir shalat agar berlindung dari kejahatan al-Masih al-Dajjāl karena setiap saat al-Masih al-
Dajjāl `ada di sekitar kita.
3. Keserasian Kandungan Hadis
Munasabah hadis dalam satu matan, misalnya HR. Imam al-Bukhari tentang penghuni
surga dan neraka, berbunyi:

- ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ ﺻﻠ ﻰ‬- ‫ﺑْ ِﻦ ُﺣ ﺼَﻴْ ﻦٍ ﻋَ ِﻦ‬ ‫ﻋَ ْﻦ‬ ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬ ُ‫َﺣ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺳَﻠْ ُﻢ ْﺑ ﻦ‬ ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬
١٠
« ‫ﻓِ ﻰ‬ ، ‫ﻓِ ﻰ‬ »
Artinya:
Abu al-Walid telah menceritakan kepada kami, (katanya) Salm bin Zarir telah
menceritakan kepada kami, (katanya) Abu Raja telah menceritakan kepada kami,
(katanya) dari ‘Imran bin Husain dari Nabi saw., telah bersabda: “Saya melihat di Surga,
maka saya melihat penghuninya pada umumnya al-fuqarā’. Dan, saya melihat di neraka,
maka saya melihat penghuninya pada umumnya al-nisā’.”
Secara teks, hadis di atas menunjukkan bahwa umumnya penghuni surga dari
kalangan al-fuqarā’ dan umumnya penghuni neraka adalah al-nisā’. Jika term al-fuqarā’
diartikan orang-orang fakir atau miskin, artinya orang miskin (harta) yang umumnya calon
penghuni surga, maka seharusnya yang umumnya masuk neraka adalah al-ghanī atau
orang kaya (harta). Sebaliknya, jika term al-nisā’ diartikan sebagai jenis kelamin perempuan,
artinya kaum perempuan yang umumnya calon penghuni neraka, maka seharusnya yang
umumnya masuk surga adalah al-rajāl (kaum lelaki).
Ternyata, redaksi hadis di atas tidak menyebutkan bahwa term al-fuqarā’ sebagai
lawan kata dari al-ghanī atau term al-nisā’ sebagai lawan kata dari al-rijāl. jika demikian,

10
Abū Husain Muslim bin Hujjaj bin Muslim al-Qusyairī al-Naisabūrī, Shahīh Muslim. Beirut: Dār al-Jail, Juz
VIII, h. 88.
66

maka struktur kalimat di dalam hadis tersebut seharusnya tidak dipahami bahwa
umumnya calon penghuni surga adalah mereka yang faqir (harta) dan umumnya calon
penghuni neraka adalah mereka yang berjenis kelamin perempuan. Akan tetapi, jika
sturktur kalimat di dalam hadis tersebut dikaitkan dengan makna yang lain bagi term al-
fuqarā’ seperti dinyatakan di dalam Q.s. Fāthir/35:15, maka term al-fuqarā’ dapat dipahami
sebagai orang yang menggantungkan hidupnya kepada Allah swt. Dan, jika term al-nisā’
juga dipahami dengan makna lain, seperti dinyatakan di dalam Q.s. Āli Imrān/3:14, maka
term al-nisā’ dapat dipahami sebagai orang yang menggantungkan hidupnya pada syahwat
seksualnya.
Dengan demikian, jika memperhatikan keserasian makna di dalam hadis di atas,
maka dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan adalah “Umumnya calon penghuni surga
adalah fuqarā’ dalam pengertian mereka yang menggantungkan hidupnya kepada Allah
Swt. dan umumnya calon penghuni neraka adalah al-nisā’ dalam pengertian mereka yang
menggantungkan hidupnya pada syahwat seksualnya.

B. Tanawwu’ fī al-Hadīs
Salah satu hal yang perlu diperimbangkan di dalam memahami hadis adalah adanya
tanawwu’ fi al-Hadis ‘hadis dalam satu tema namun memiliki perbedaan peristiwa’. Dalam kaitan
ini, maka untuk memahami suatu hadis, maka perlu memperhatikan hadis yang lain dalam satu
tema. Seringkali terjadi suatu pemahaman yang ‘keliru’ karena mengabaikan hadis-hadis lain dalam
satu tema. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat beberapa contoh hadis, sebagai berikut.
1. Hadis tentang Jihad
Kata ‘jihad’ sering diidentikkan dengan qitāl ‘perang’ atau perjuangan secara fisik,
perlawanan bersenjata, sehingga jika seseorang diperintahkan berjihad di jalan Allah, maka maksud
yang dipahami dari perintah itu adalah perintah ‘membunuh’ musuh-musuh Allah. Salah satu teks
hadis yang sering diartikan sebagai qital ‘berperang’ adalah hadis Nabi berbunyi:

‫ﻋﻨﻪ‬ ‫ﺿﻲ‬ ‫ﻋﻦ‬ ‫ﻋ ﻦ ﺳﻌﻴ ﺪ‬ ‫ﺑ ﻦ ﺳﻌ ﺪ ﻋ ﻦ‬ ‫ﺣ ﺪﺛﻨﺎ‬ ‫ﺑ ﻦ ﻋﺒ ﺪ‬ ‫ﺣ ﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒ ﺪ‬


) ‫؟‬ ‫ ﻗﻴ ﻞ‬. ( ‫ﺑﺎ ﷲ‬ ) ‫؟‬ ‫ﺻﻠ ﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺳﻠ ﻢ‬ ‫ ﺳﺌ ﻞ‬:
( ‫؟ ) ﺣﺞ‬ ‫ ﻗﻴ ﻞ‬. ( ‫ﺳﺒﻴ ﻞ‬
Artinya:
Abd al-Azīz bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami, Ibrahim bin Sa’d telah
menceritakan kepad kami, (katanya) dari al-Zuhri dari Sa’id bin Musayyab dari Abu Huraerah
r.a. telah berkata: Rasulullah saw. pernah ditanya tentag amal apakah yang paling utama?
67

Rasulullah menjawab: “Beriman kepada Allah.” Ditanya lagi, kemudian (amal) apa? Beliau
menjawab: “Berjihad di jalan Allah.” Ditanya lagi, kemudian (amal) apa? Beliau menjawab:
“Haji mabrur.”11
Pernyataan jihād fī sabīlillah sering diidentikkan dengan berperang yang dilakukan oleh
Rasulullah saw. bersama sahabat-sahabatnya untuk menegakkan agama Allah. Bukankah beliau
telah berperang melawan kaum kafir dalam perang Badr, perang Uhud, dan selainnya. Pemahaman
seperti ini tidaklah keliru jika konteks untuk menegakkan agama Allah adalah dalam bentuk
‘perang’ seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. bersama sahabatnya. Namun, jika
konteks untuk menegakkan agama (jalan) Allah justeru diperhadapkan dengan mereka yang
beragama Islam itu sendiri, misalnya kepada penguasa yang zalim, pedagang yang tidak jujur, dan
hakim yang tidak adil, maka tentu makna jihad akan lebih luas lagi dan tidak terbatas dalam
pengertian ‘perang’ melawan kaum kafir Quraisy.
Kata ‘jihād’ dan seluruh derivasinya, maknanya bermuara pada “mencurahkan seluruh
kemampuan” atau “menanggung pengorbanan”. Mujahid adalah seorang yang mencurahkan
seluruh kemampuannya dan berkorban dengan nyawa dan tenaga, pikiran, emosi, dan apa saja
yang berkaitan dengan diri manusia, sedangkan jihad adalah cara untuk mencapi tujuan. Jihad
tidak mengenal putus asa, menyerah, dan tidak pula pamrih.12
Di dalam hadis Nabi, penggunaan kata jihād digunakan dalam konteks yang beragam. Di
lihat dari segi sasaran dan cara berjihad, antara lain ditemukan perintah berjihad kepada kaum
musyrikin. Rasulullah saw. bersabda:

ْ‫ﺑْ ﻦُ ﺳَﻠَ َﻤَﺔ ﻋَ ﻦْ ُﺣ ﻤَﻴْ ﺪٍ ﻋَ ﻦ‬ ‫ﻧْﺒَﺄَﻧَﺎ‬ ُ‫ﻗَﺎ ﻻَ َﺣ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﻳَ ﺰِﻳ ﺪ‬ ِ‫ﺑْ ﻦ‬ ُ‫ﺑْ ﻦ‬ ِ‫ﺑْ ﻦُ ﻋَﺒْ ﺪ‬

١٣
« ْ‫ﻨَﺘِ ﻜُ ﻢ‬ » - ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ ﺻﻠ ﻰ‬- ‫ﻋَ ِﻦ‬
Artinya:
Harun bin Abdullah dan Muhammad bin Ismail bin Ibrahim telah memberitakan kepada kami
keduanya telah berkata, Yazid menceritakan kepada kami, Hammad bin Salamah dari Humaidi
dari Anas dari Nabi saw., berdabda: “Perangilah Kaum Musyrikin dengan hartamu, kedua
tanganmu dan lisanmu”.
Secara tekstual, hadis di atas menegaskan tentang berjihad dengan harta, tangan, dan lisan.
Hadis tersebut, secara aksplisit maupun inplisit tidak membatasi kalau jihad hanya secara fisik dalm

11 Al-Bukhāri, op.cit., juz II, h. 553.


12 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an. 1994, h. 106.
Abu Abd al-Rahman Ahmad al-Nasa’iy, Sunan al-Nasa’iy, (juz V; Semarang: Toha Putra, 1930
13

M/1348 H), h. 6
68

bentuk al-qital ‘berperang’. Dengan demikian, jihad dapat dilakukan dengan menyumbangkan
harta, dengan kekuatan (tenaga, pikiran, emosi, nyawa dan/atau kekuatan lain yang dimiliki), dan
dengan lisan atau berdakwah, baik dalam bentuk perjuangan secara fisik maupun secara non fisik.
Pernyataan di atas bahwa jihad dapat dilakukan, baik fisik maupun non fisik dan tidak
terbatas dalam pengertian ‘perang’ juga dikuatkan oleh hadis lain yang menyatakan bahwa jihad
yang paling agung adalahmenyatakan kebenaran di depan penguasa yang zalim. Rasulullah
saw.bersabda:

َ‫ﻋَ ﻦْ ﻋَ ﻄِﱠﻴﺔ‬ ِ‫ﻋَ ﻦْ ﻣُ َﺤ ﻤﱠ ِﺪ ﺑْ ﻦ‬ ‫ﻳَ ﺰِﻳ ﺪَ َﺣ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬ ٍ‫ﺑْ ﻦُ ُﻣ ْﺼﻌَ ﺐ‬ ُ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﻋَْﺒ ﺪ‬ ُ‫ﺑْ ﻦ‬ ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬

ٍ‫ﺟَﺎﺋِ ﺮ‬ ‫ﻋِﻨْ َﺪ‬ َ‫َﻛﻠِ ﻤَﺔ‬ ‫ﻣِ ْﻦ‬ » - ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ ﺻﻠ ﻰ‬- ‫َﺳﻌِﻴ ٍﺪ‬ ْ‫ﻋَ ﻦ‬
١٤

Artinya:
Al-Qashim bin Dinar al-Kūfī menceritakan kepada kami, Abdurrahman bin Mus’ab Abu Yadzid
menceritakan kepada kami, Israil telah menceritakan kepada kami, (katanya) dari Muhammad
bin Juhadah dari Athiyah dari Abi Sa’id al-Khudriy, bahwasanya Nabi saw., bersabda:
“Sesungguhnya jihad yang paling agung adalah mengungkapkan perkataan yang benar di
hadapan penguasa jahil.” (HR. Al-Turmudzi)
Hadis di atas menegaskan bahwa justeru jihad yang paling agung adalah ketika seseorang
mampu menyakatan suatu kebenaran, mengingatkan dan meluruskan perilaku penguasa yang
zalim secara langsung di hadapannya. Hal ini menunjukkan bahwa jihad dengan lisan bolehjadi
nilainya lebih mulia daripada berjihad dengan cara berperang atau secara fisik.
Di sisi lain, Rasulullah saw. bersabda:

- َ‫ﺑْ ﻦ‬ َ‫ﺳَ ﻤِْﻌ ﺖُ ﻋَﺒْ ﺪ‬ َ‫ﺸﱠﺎ ﻋِ ﺮ‬ ُ‫َﺳ ﻤِْﻌ ﺖ‬ ٍ‫ﺛَﺎﺑِ ﺖ‬ ُ‫َﺣ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺷُﻌْﺒَﺔُ َﺣ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺣَﺒِﻴ ﺐُ ﺑْ ﻦ‬ ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬

.« » ‫ﻓِ ﻰ‬ - ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ ﺻﻠ ﻰ‬- ‫ﺟَﺎَء‬ - ‫ﻋﻨﻬ ﻤﺎ‬


١٥
« ْ‫» ﻓَﻔِﻴ ﻬِ ﻤَﺎ ﻓَ ﺠَﺎ ﻫِ ﺪ‬ . ‫ﻧَﻌَ ْﻢ‬
Artinya:

Abu Isa Muhammad bin Isa ibn Surat al-Tirmiziy, Sunan al-Tirmiziy, (Juz III; Bairut: Dar al-Kutub
14

al-Ilmiyah, t. th.), h. 318


Abu Abdillah bin Mughirah bin Ismail al-Bukhariy, Shahih Bukhariy, juz IV (Indonesia: Maktabah
15

Dahlan, t. th.), h. 17
69

Adam telah menceritakan kepada kami, Syu’bah telah menceritakan kepada kami, Habib bin
Abu Sabit telah menceritakan kepada kami, (katanya) saya telah mendengar Abu Abbas Asyāir.
(katanya) Saya telah mendengar Abdullah bin Amr r.a., berkata: “Seorang laki-laki pernah
mendatangi Nabi saw., lalu ia meminta izin berjihad! Lalu, Nabi saw., bertanya: “Apakah anda
memiliki orang tua? Dia menjawab: “Ya”. Maka Nabi saw. berkata: “Berjihadlah kepada
keduanya”.
Berdasarkan hadis di atas, maka bentuk jihad dapat pula berupa berbuat baik atau berbakti
kepada kedua orang tua. Sebagai salah satu bentuk jihad, berbakti kepada kedua orang tua tidaklah
berarti bahwa seluruh keinginan dan perintah keduanya wajib dilakukan karena jika perintah
keduanya menyangkut sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam tentu tidak boleh diikuti,
seperti jika mereka mengajak untuk menyekutukan Allah (Qs. Luqman: 15). Namun, seorang anak
tetap harus berbuat kebajikan, antara lain dengan cara menjelaskan kepada mereka tentang
kekeliruan perilaku tersebut sekalipun harus mendapatkan cercaan.
Dengan demikian, pernyataan bahwa jihād fī sabilillah ‘berjihad di jalan Allah’ dapat
diartikan adalah segala upaya untuk konsisten dan berupaya melakukan apasaja yang telah
diperintahkan oleh Allah; atau konsisten dan berupaya melawan dan tidak melakukan apasaja yang
telah dilarang oleh Allah, dengan niat untuk mencapai ridhaNya. Hal ini berarti bahwa bentuk jihad
setiap orang dapat berbeda-beda. Misalnya, jihad bagi seorang muballigh adalah menyampaikan
kebenaran, terutama di hadapan penguasa yang zalim jika penguasa tersebut zalim; jihad bagi
seorang pemimpin adalah amanah dengan memberikan pelayanan secara bijaksana dan adil kepada
seluruh rakyatnya, sekalipun kepada mereka yang sebelumnya bukan termasuk pendukung; jihad
bagi seorang hakim adalah memutuskan perkara secara adil, sekalipun kepada mereka yang
dibenci; jihad bagi seorang pedagang adalah melakukan transaksi jual-beli secara jujur, sekalipun
‘terancam’ rugi; jihad bagi seorang dosen adalah melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran
serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat secara benar dan sungguh-sungguh, sekalipun
kepada mahasiswa yang ‘bandel’; jihad bagi seorang mahasiswa adalah belajar dengan sungguh-
sungguh, termasuk melaksanakan seluruh tugas-tugas dosen; dan seterusnya.
Dalam hal ini, M. Quraish Shihab berpendapat bahwa dahulu ketika kemerdekakan belum
diraih, jihad mengakibatkan terenggutnya jiwa dan hilangnya harta benda. Kini jihad harus
membuahkan terpeliharanya jiwa, mewujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab serta
berkembangnya harta benda.16 Berjihadlah dengan berbagai cara yang sesuai. Jihad tidak hanya
mencakup upaya membela agama dengan senjata, tapi juga dengan pena dan lidah serta cara-cara

16 Shihab, 1994, h. 108.


70

yang lain sesuai dengan situasi dan perkembangan ilmu dan teknologi.17 Perintah jihad
mengandung makna bersungguh-sunguhlah mencari jalan dan cara yang dibenarkan-Nya yang
mendekatkan diri pada ridha-Nya termasuk berjihad melawan hawa nafsu supaya mendapat
keberuntungan. Yaitu, memperoleh apa yang kamu harapkan baik keuntungan duniawi maupun
ukhrawi.18
Dengan demikian, berjihad di jalan Allah berarti mencurahkan semua kemampuan untuk
tetap di jalan Allah dan menghadapi kaum musuh-musuhnya, baik dengan mengankat senjata yang
melukai fisik dan mencabut nyawa, maupun dengan kalimat-kalimat yang menyentuh nalar dan
kalbu, serta berinfaq di jalannya dengan harta benda untuk menguatkan eksistensi Islam dan umat
Islam.
2. Hadis tentang Isbal
Salah satu perkara yang sering menjadi kontroversial yang didasarkan pada hadis Nabi
adalah hadis tentang isbāl ‘menyeret pakaian atau menjulurkan pakaian melewati matakaki’.
Menurut Ibnu manzhur, isbāl berarti menurunkan pakaian, memanjangkan dan melabuhkan
pakaiannya sampai menyentuh tanah.19 Ibnu Atsir menyatakan, orang musbil adalah orang yang
memanjangkan pakaiannya dan membiarkannya sampai ke tanah saat berjalan.20 Ternyata hadis
tentang perkara ini diriwayatkan beragam. Keragaman tersebut boleh jadi karena telah terjadi
periwayatan lafal dan makna (lihat pembahasan sebelumnya), atau periwayatan secara tāmm
(sempurna) atau nāqish (tidak sempurna); dan/atau periwayatan secara tanawwu’. Beberapa teks
hadis tentang perkara ini, antara lain sebagai berikut.
٢١
. ‫ﻓَ ﻬُ ﻮَ ﻓِ ﻰ‬ ِ‫ﻣِ ﻦَ ﻟْﺎ‬ َ‫ ﻣَﺎ ﺳْﻔَ ﻞَ ﻣِ ﻦ‬: ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ﺻﻠ ﻰ‬ ِ‫ﻋﻨﻪ ﻋَ ﻦ‬ ْ‫ﻋَ ﻦ‬
Artinya :
(Hadis riwayat) dari Abu Huraerah r.a. dari Nabi saw.: “Kain yang berada dibawah kedua
mata kaki akan masuk neraka.”
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Huraerah di atas, maka secara umum
dinyatakan kain - dalam segala bentuknya – jika telah melewati mata kaki, maka (balasannya)
adalah neraka. Bahkan, Syeikh Abd al-‘Azīz bin Abdullah bin Bāzz secara tegas menyatakan bahwa

17 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, danKeserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati,

2002). Volume 5, h. 603 – 604.


18 Ibid., Volume 3, h. 87.
19 Ibn Manzhūr, Muhammad bin Mukran, Lisān al-‘Arab (Meshir: Dār al-Mishriyah, Mesir) Juz VI, h.
163.
20 Ibnu Atsir, al-Nihāyah fī Gharīb al-Hadīs. Juz ..., h. 339.
21 Al-Bukhārī, op.cit., Juz V, h. 2182.
71

isbāl itu haram, apapun alasannya, dengan niat atau tanpa niat riya’; apapun bagian pakaian yang

lewat darii matakaki adalah dosa besar dan menyeret pelakunya masuk neraka.22 Imam al-Nawawī

mengatakan, yang dimaksud di dalam hadis tersebut adalah memanjangkan ujung pakaian.23
Sementara Ābadī mengatakan yang dimaksud isbāl adalah menurunkan dan memanjangkan

pakaian melewati matakaki.24


Hadis tersebut di atas, tidak menyebutkan adanya llat yang tegas. Artinya, siapapun yang
mengenakan kain atau pakaian melewati matakaki, laki-laki atau perempuan, tua dan muda,
niatnya sombong atau tidak sombong, maka baginya adalah neraka. Pemahaman seperti ini
memberi kesan bahwa cara berpakaian umat Islam terkesan memberatkan dan bagi perempuan
adalah bertentangan. Bukankah, kaki perempuan adalah bagian dari auratnya. Untuk itu perlu
mencermati hadis lain yang setema dengannya. Salah satu hadis Nabi yang menjelaskan tentang
perkara ini adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr, sebagai berikut.

ِ‫ ﻣَ ْﻦ َﺟ ﺮﱠ ﺛَ ﻮْﺑَﻪُ ﺧُﻴَ ﻼََء ﻟَ ْﻢ ﻳَﻨْ ﻈُ ﺮ‬: ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ﺻﻠ ﻰ‬ ‫ﻋﻨﻬ ﻤﺎ‬ ‫ﺑْ ِﻦ ﻋُ ﻤَ َﺮ‬ ِ‫ﻋَ ﻦْ ﻋَْﺒ ﺪ‬
٢٥
.

"Artinya :
(Hadis riwayat) dari Abdullah bin Umar r.a. berkata, Rasulullah saw. telah bersabda: “Barang
siapa yang menjulurkan kainnya dengan kesombongan, maka Allah tidak akan

memadangnya pada hari kiamat."

Hadis riwayat Abdullah bin Umar di atas memberi batasan tentang menjulurkan pakaian
melewati mata kaki yang digolongkan sebagai perbuatan yang dapat menjadi penyebab seseorang
masuk neraka adalah adalah mereka yang menjulurkan pakaian melewati matakaki atau menyeret
pakaian adalah karena khuyālā’ atau batharā (redaksi lain) ‘kesombongan’. Artinya, yang
dikatagorikan isbāl adalah cara berpakaian karena disertai kesombongan. Namun, tidak
diharamkan memanjangkan kain atau isbāl jika selamat dari sikap sombong.26

22 Syeikh Abd al-‘Azīz bin Abdullah bin Bāzz sebagaimana dinukil dari Majalah Ad Da’wah, h. 218.
23 Imam al-Nawāwī, Syarah Shahīh Muslim. Juz II, h. 116.
24 Ābadī, Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haq , ‘Awn al-Ma’b­d Syarh Sunan Abi Dawūd (Beirut:
Dār al-, Cet. III, 1399 H/1979 M). Juz XI, h. 136.
25 Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasā’ī, Sunan al-Nasā’ī. (Halb: Maktabah al-Majmu’ah
al-Islāmī), Cet. II, 1986, Jilid VIII, h. 207.
26 Al-Asqakānī, Fath al-Bārī (hadis 5345).
72

Pernyataan di atas juga mendapat dukungan dari hadis lain, berbunyi:

‫ﻋﻨﻬ ﻤﺎ‬ ‫ﺑ ﻦ ﻋ ﻤﺮ‬ ‫ﻋ ﻦ ﻋﺒ ﺪ‬ ‫ﺑ ﻦ ﻋﺒ ﺪ‬ ‫ﻣﻮ ﺳ ﻰ ﺑ ﻦ ﻋﻘﺒﺔ ﻋ ﻦ‬ ‫ﻋﺒ ﺪ‬ ‫ﺑ ﻦ ﻣﻘﺎﺗ ﻞ‬ ‫ﺣ ﺪﺛﻨﺎ‬


‫ﻮ ﺑ ﻜﺮ‬ .( ‫ﻋﻠﻴﻪ ﺳﻠ ﻢ ) ﻣ ﻦ ﺟﺮ ﺛﻮﺑﻪ ﺧﻴ ﻼء ﻳﻨ ﻈﺮ‬ ‫ﺻﻠ ﻰ‬ :
. ( ‫ﺧﻴ ﻼء‬ ‫ﻟ ﻦ ﺗ ﺼﻨ ﻊ‬ ) ‫ﺻﻠ ﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺳﻠ ﻢ‬ ‫ﻣﻨﻪ ؟‬ ‫ﻳ ﺴﺘﺮ ﺧ ﻲ‬ ‫ﺷﻘ ﻲ‬
٢٧
‫ﺛﻮﺑﻪ‬ ‫؟‬ ‫ﻋﺒ ﺪ ﻣ ﻦ ﺟﺮ‬ ‫ﻣﻮ ﺳ ﻰ ﻓﻘﻠ ﺖ‬
Artinya:
Muhammad bin Muqātil telah menceritakan kepada kami, Abdullah telah memberitakan
kepada kami, Musa bin Uqbah telah memberitakan kepada kami, (katanya) dari Salim bin
Abdullah dari Abdullah bin Umar r.a. telah berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: ‘Barang
siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan memandangnya
kelak pada hari kiamat.” Lalu Abu Bakr menyela, sarungku sering melorot (lepas ke bawah)
kecuali aku benar-benar menjaganya? Maka, Rasulullah saw. menyatakan: “Sesungguhnya
engkau tidak termasuk golongan orang yang melakukan yang demikian itu karena
kesombongan.”

Berdasarkan hadis dari Abdullah bin Umar di atas, dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud
orang yang melakukan isbāl atau menjulurkan pakaian sehingga melewati matakaki sehingga Allah
tidak akan memandangnyapada hari kiamat adalah mereka yang melakukan dengan sikap
kesombongan. Artinya, jika pakaian melewati matakaki bukan karena khuyalā’, maka tidak
termasuk dalam katagori isbāl. Namun demikian, bersikap berhati-hati dan menghindari berpakaian
yang terkesan berlebihan dan/atau rentang kena kotoran atau najis, maka sebaikanya pakaian tidak
sampai melewati matakaki apalagi menyeret pakaian.
C. Hadis Sebagai Bayan Al-Qur’an

Otoritas hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an dianut oleh hampir
seluruh umat Islam, kecuali oleh sebagian kecil mereka yang biasa lebih populer dikenal sebagai
kelompok munkir al-Sunnah.28 Kelompok ini walaupun menolak eksistensi hadis Nabi, namun
mereka kadang juga menjadikan hadis Nabi sebagai salah satu dasar argumentasi untuk menolak
hadis Nabi.29 Keberadaan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam adalah sebuah kemestian. Hal itu

27 Al-Bukhārī, op.cit., juz III, h. 1340.


28Kelompok munkir al-Sunnah itu terdiri dari beberapa kelompok, diantaranya yaitu: kelompok yang
menolak otoritas sunnah Nabi secara keseluruhan, kelompok yang hanya menolak hadis Nabi yang berstatus
dzanni al-Wurud dan tidak menolak hadis mutawatir, kelompok yang menerima semua hadis selama hadis
itu sejalan dengan ayat-ayat al-Qur’an ( al-Sunnah la Ya’ti illa walaha Asluha fi al-Qur’an), dan beberapa model
lagi yang lainnya.
29Seperti ketika mereka mengutip hadis berikut: ‫ﻣﺎ اﺗﺎ ﻛ ﻢ ﻋﻨ ﻲ ﻓﺎ ﻋ ﺮ ﺿ ﻮه ﻋﻠﯨﻜﺘﺎب ﷲ ﻓ ﻜﺘﺎ ب ﷲ ﻓﺈ ن واﻓ ﻖ ﻛﺘﺎ ب ﷲ ﻓﺎ م اﻗﻠﮫ‬
.‫ وإﻧ ﻤﺎ اﻧﺎ ﻣ ﻮاﻓ ﻖ ﻛﺘﺎ ب ﷲ وﺑﮫ ھﺪاﻧﻰ ﷲ‬, Hadis ini menurut ulama termasuk hadis yang berstatus lemah bahkan ada
73

didasarkan pada pertimbangan bahwa al-Qur’an hanyalah terdiri dari jumlah ayat yang sangat
terbatas, sedang disisi lain ia dituntut untuk menjadi petunjuk bagi manusia diberbagai belahan
dunia disepanjang zaman.

Jumlah ayat al-Qur’an yang sangat terbatas, telah menuntut al-Qur’an untuk menggunakan
bahasa yang global, umum, dan universal kecuali pada beberapa bagian kecil dari ayat-ayat yang
berbicara tentang (tema-tema tertentu), al-Qur’an tak jarang menggunakan bahasa yang sedikit
merinci.30 Karakteristik bahasa al-Qur’an yang seperti di atas, telah memberikan ruang dan peran
yang besar terhadap Nabi untuk memberikan penjelasan dan menguraikan persoalan-persoalan
secara lebih detil, sebagaimana hal ini juga telah mendapatkan legitimasi dari Allah swt dalam al-
Qur’an QS: al-Nahl (16); 44.

Penjelasan Nabi saw terhadap ayat-ayat al-Qur’an oleh ulama disepakati kehujjahannya
selama penjelasan itu bersifat bayan Ta’kid (menguatkan) dan bayan Tafsir (menjelaskan), namun
ketika penjelasan itu telah memasuki wilayah bayan Tasy’ri yaitu menetapkan suatu hukum baru
yang tidak terdapat dalam al-Qur’an,31 maka ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapat terjadi
ini antara lain didasari pada perbedaan pandangan dalam memposisikan Nabi Saw. Kelompok yang
menerima kehujjahan bayan Tasy’ri menempatkan Nabi saw pada posisi ma’shum (keterpeliharaan
dari dosa dan kesalahan) sehingga apapun yang berasal dari beliau merupakan tuntunan yang
harus diikuti. Berbeda dengan kelompok yang menolak fungsi Nabi dalam bayan Tasy’ri. Bagi
mereka sumber hukum itu hanyalah Allah Swt. in al-Hukmu illa lillah sehingga rasul pun harus
merujuk dan tunduk kepada Allah (al-Qur’an) ketika hendak menetapkan hukum.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Hadis Nabi merupakan penjelasan


(bayān) terhadap Al-Qur’an (Q.s. al-Nahl:44). Dengan demikian, memahami hadis Nabi hendaknya
berupaya untuk mengaitkan dengan Al-Qur’an sebab ia merupakan bayān terhadap Al-Qur’an itu
sendiri. Tidak sedikit masalah atau perkara yang tidak dapat dipertemukan (khilafiyah) yang
didasarkan pada hadis Nabi karena masalah tersebut mengabaikan petunjuk Al-Qur’an yang
berkenaan dengannya. Kalangan ulama ada yang membagi fungsi hadis terhadap Al-Qur’an
sebagai bayān al-tafsīr wa al-tafshīl, bayān al-tawkīd wa al-taqrīr, dan bayān al-tasyrī’ bahkan ada yang
menyebutkan hadis sebagai bayān al-nasakh terhadap Al-Qur’an.

ulma yang menilainya palsu. Untuk lebih jelasnya lihat, Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela,
Pengingkarnya dan Pemalsunya (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.18, 59.
30 Untuk kasus seperti ini dapat dilihat ketika al-Qur’an berbicara tentang ayat-ayat kewarisan,
muharramat al-Nisa’, mustahiq al-Zakat, dan beberapa lagi yang lainnya.
31 Walaupun dalam pandangan ulama tafsir ketika Allah Swt. Menuntut keta’atan kepada-Nya dan
kepada Rasulnya QS: ali-Imran (3); 32, al-Nisa’ (4); 59, menggunakan redaksi yang berbeda, yaitu 1) Athi’u
Allah wa al-Rasul, 2) Athi’u Allah wa Athi’u al-Rasul.
74

1. Bayān al-Tafsīr/al-Tafshīl
Salah satu fungsi hadis Nabi terhadap Al-Qur’an adalah sebagai bayan al-tafsir. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai sabda Nabi yang berfungsi sebagai penjelasan atas ayat-ayat Alquran, misalnya
penjelasan hadis hadis tentang kata-kata, seperti al-Dzulm.

ْ‫َﺣ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ﺪُ ﺑْ ُﻦ َﺟﻌْﻔَ ﺮٍ ﻋَ ﻦ‬ ٍ‫ﻣُ َﺤ ﱠﻤ ﺪ‬ ٍ‫َﺣ ﺪﱠﺛَﻨِ ﻲ ﺑِ ﺸْ ﺮُ ﺑْ ﻦُ ﺧَﺎِﻟ ﺪ‬ ُ‫َﺣ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ُﺷﻌْﺒَﺔ‬ ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬

‫ﺑِ ﻈُﻠْ ٍﻢ‬ ْ‫َﻟ ﻢ‬ ‫َﻟ ﻤﱠﺎ ﻧَ ﺰَﻟَ ْﺖ‬ ‫ﻋَ ْﻦ ﻋَْﻠﻘَ ﻤََﺔ ﻋَ ﻦْ ﻋَﺒْ ِﺪ‬ ‫ﻋَ ْﻦ‬ ‫ﺷُﻌْﺒَﺔَ ﻋَ ْﻦ‬

٣٢ ( ) ‫ﻟَ ُﻈﻠْ ٌﻢ ﻋَ ﻈِﻴ ٌﻢ‬ ‫ﻋَ ﱠﺰ‬ ْ‫َﻟ ﻢْ ﻳَ ﻈِْﻠ ﻢ‬ ِ‫َﻋﻠَﻴْﻪ‬ ‫ﺻَﻠﱠ ﻰ‬

Artinya:
Abu al-Walid telah menceritakan kepada kami dan Bisyr bin Khālid Abū Muhammad al-‘Askarī
telah menceritakan kepadaku, katanya Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami,
(katanya mereka menerima) dari Syu’bah dari Sulaiman dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari
Abdullah, telah menyampaikan bahwa ketika turun ayat walam yalbisū īmanahum bi zhulm. Para
sahabat Rasululla saw. bertanya: Siapa di antara kami yang tidak berbuat zhalim, maka Allah
Azza wa Jalla menurunkan ayat: Inna al-syirka lazhulm ‘azhīm.”
Hadis di atas menjelaskan bahwa ketika ayat di atas turun, beberapa sahabat Nabi merasa
khawatir jika mereka termasuk orang yang dimaksudkan oleh ayat ‘telah berbuat zhalim’. Mereka
menanyakannya hal tersebut kepada Rasulullah, maka turunlah ayat yang menjelaskan bahwa
kezhaliman yang dimaksud adalah kemusyrikan.
Contoh hadis lain yang dapat dikatagorikan sebagai bayān al-tafsīr adalah hadis tentang
penetapan awal dan akhir Ramadhan. Hadis Nabi berbunyi:

ِ‫ْﺑ ﻦ‬ ِ‫ ﻋَ ﻦْ ﻧَﺎِﻓ ٍﻊ ﻋَ ﻦْ ﻋَﺒْ ﺪ‬- َ‫ﺑْ ﻦُ ﻋَﻠَْﻘ ﻤَﺔ‬ - ُ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺳََﻠ ﻤَﺔ‬ ُ‫َﺣ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺑِ ﺸْ ﺮُ ﺑْ ﻦ‬ ُ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨِ ﻰ ُﺣ ﻤَﻴْ ﺪُ ﺑْ ﻦ‬

َ‫ﻓ‬ ‫ﺗِ ْﺴ ٌﻊ‬ »- ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ ﺻﻠ ﻰ‬- - ‫ﻋﻨﻬ ﻤﺎ‬ - ‫ﻋُ ﻤَ َﺮ‬


٣٣
.« ‫ﻟَُﻪ‬ ْ‫ُﻏ ﻢﱠ ﻋَﻠَﻴْ ُﻜ ﻢ‬
Artinya:
Humaid bin Mas’adah al-Bāhilī telah menceritakan kepada kami, Bisyr bin al-Mufadhdhal telah
menceritakan kepada kami, Salamah bin ‘Alqamah telah menceritakan kepada kami, (katanya)
dari Nāfi’ dari ‘Abdullah bin Umar r.a. telah berkata, Rasulullah saw. telah bersabda: Bulan itu

32Bukhariy, op.cit., Juz I, h. 21.


33 Muslim, op.cit., Juz III, h. 122.
75

dua puluh Sembilan hari, apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka berpuasalah dan jika
kalian melihat bulan (hilal Syawwal), maka berbukalah (ber’īd al-fithri) dan jika berawan maka
perkirakanlah (hitungannya).”
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hadis di atas terkadang diperhadapkan dengan
redaksi hadis yang lain yakni hadis Nabi riwayat Abu Huraerah yang berbunyi:

‫ﺳﻠ ﻢ‬ ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ﺻﻠ ﻰ‬ : ‫ﻋﻨﻪ‬ ‫ﺑﻦ‬ ‫ﺣ ﺪﺛﻨﺎ ﺷﻌﺒﺔ ﺣ ﺪﺛﻨﺎ‬ ‫ﺣ ﺪﺛﻨﺎ‬


‫ﻋ‬ ‫ﻋﻠﻴ ﻜ ﻢ‬ ) ‫ﺻﻠ ﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺳﻠ ﻢ‬
٣٤
.(‫ﺛ ﻼﺛ ﲔ‬
Artinya:
Ādam telah menceritakan kepada kami, Syu’bah telah menceritakan kepada kami,
Muhammadi bin Ziyād telah menceritakan kepada kami, katanya saya telah mendengar Abu
Huraerah berkata bahwa Nabi saw. atau Abu al-Qāsim saw. pernah bersabda: “Berpuasalah
karena melihat bulan dan berbukalah karena melihat bulan. Jika bulan terhalang atas kalian,
maka genapkan bilangannya bulan Sya’bān menjadi 30 hari.”
Kedua redaksi matan hadis di atas diriwayatkan oleh Muslim namun terdapat perbedaan
kalimat yang digunakan dan perbedaan redaksi pada frase fakmilū dalam riwayat Abu Huraerah
dan frase faqdurū pada riwayat Ibn Umar. Frase fakmilū berarti “genapkanlah” maksudnya jika hilal
belum terlihat, maka bulan digenapkan 30 hari (30 hari bulan Sya’ban jika ingin menetapkan bulan
Ramadhan atau 30 hari bulan Ramadhan jika ingin menetapkan bulan Syawal). Sedangkan, frase
faqdurū berarti “perkirakanlah” maksudnya, jika hilal terhalang, maka dapat diperkirakan apakah
bulan berikutnya sudah hadir atau belum. Adapun cara memperkirakan dapat menggunakan
metode yang beragam, yakni boleh dengan ilmu hisab atau metode lainnya. Dengan demikian, jika
menggunakan frase fakmilū, maka perintah ini hanya menghendaki satu makna, yakni
menggenapkan 30 hari bilangan bulan berjalan sedangkan jika menggunakan frase faqdurū, maka
perintah ini menghendaki lebih dari satu makna, yakni perkiraan itu adalah menggenapkan 30 hari
bilangan bulan yang berjalan atau 29 hari saja.
Dengan mengemukakan kedua hadis yang berbeda lafal di atas, ternyata belum dapat
memastikan metode yang sama dalam menetapkan hadirnya bulan Ramadhan atau awal setiap
bulan Qamariyah karena ada kalangan dengan tegas dan konsisten menggunakan metode ru’yat al-
hilāl (melihat bulan dengan mata) dan sebagian yang lain juga dengan tegas dan konsisten
menggunakan metode hisāb (perhitungan). Ini berarti bahwa terdapat hadis yang kandungan
maknanya belum dapat dipahami secara sempurna dan sejalan dengan misi kerahmatan Islam jika

34 Al-Bukhāri, op.cit., Juz II, h. 674.


76

hanya dipahami secara tekstual. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hadis-hadis tentang
penetapan awal dan akhir Ramadhan harus mempertimbangkan ayat yang dijelaskan oleh hadis
tersebut.
Hadis tersebut merupakan bayān al-tafsīr ‘menjelaskan’ kandungan ayat, antara lain pada
potongan Q.s. Al-Baqarah ayat 185, berbunyi:

... ‫ﻓَﻠْﻴَ ﺼُ ﻤُْﻪ‬ ‫ ﻓَ ﻤَ ْﻦ ﺷَ ﻬِ ﺪَ ﻣِﻨْ ﻜُ ُﻢ‬...


Artinya:
....Karena itu, barang siapa di antara kamu syahida ‘menyaksikan’ bulan itu, maka berpuasalah
.... (QS. Al-Baqarah:185)

Kata “syahida” sendiri mengandung makna dan pengertian yang luas. Kata Žsyahida’ antara
lain berarti Žmenghadiri•, Žmenyaksikan•, Žmengakui•, dan/atau Žmengetahui•; al-syahādah berarti
Žbukti•, Žkesaksian•, Žpengakuan•, surat keterangan, dan/atau ijazah•.35 Kata ini sering digunakan
dalam makna persaksian seseorang sebagai pernyataan ketauhidan Allah dan kerasulan Muhammad
melalui kalimat syahadatain. Dan, juga digunakan dalam persaksian dengan dalam makna verbal,
yakni menyaksikan dengan mata telanjang. Dengan demikian, penggalan ayat di atas, menurut M.
Quraish Shihab, dapat diartikan: “Maka barangsiapa di antara kamu hadir pada bulan itu (yakni
berada di negeri tempat tinggalnya/atau mengetahui menuculnya awal bulan Ramadhan), sedang dia
tidak berhalangan dengan halangan yang dibenarkan agama, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu.” 36 Penggalan ayat ini, lanjut M. Quraish dapat juga berarti: “Maka barangsiapa di antara kamu
mengetahui kehadiran bulan itu, dengan melihatnya sendiri atau melalui informasi dari yang dapat
dipercaya, maka hendaklah ia berpuasa.”37 Hal ini berarti bahwa penetapan awal bulan Ramadhan
dan bulan-bulan (qamariayah) lainnya melalui proses syahādah.

Menetapkan kehadiran awal bulan puasa Ramadhan melalui proses syahādah dapat dilakukan
dengan melihat melalui mata kepala atau ru’yat al-hilal dan/atau melalui perhitungan atau hisāb.
Bahkan, kata M. Quraish, seseorang yang mengetahui kehadiran bulan Ramadhan melalui orang
terpercaya – bukan ru’yat atau hisāb, maka hendaklah ia berpuasa.38

Bagaimana menyelesaikan kontroversi jika metode ru’yat dan hisāb berbeda? M. Quraish
menjelaskan dengan mempertimbangkan di mana bulan itu dilihat oleh yang melihatnya. Yakni, di

35

36
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan. Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Juz. I (Cet. I; Jakarta: Lentera
Hati, 2000), h. 379.
37
Ibid.
38
Ibid.
77

kawasan tempat ia berada. Namun, ia mengisyaratkan bahwa tempat yang paling tepat untuk dapat
mengatasi perselisihan tentang masalah ini serta menghemat banyak watu, tenaga, dan biaya adalah
Mekah. Jika masyarakat muslim Mekah yang melihatnya, maka baik masyarakat di Indonesia
maupun di Amerika kesemuanya telah wajib berpuasa, karena betapapun perbedaan waktu terjadi,
semuanya - ketika di satu tempat terlihat bulan – masih dalam keadaan malam.39

Bagi ulama yang menempatkan hadis Nabi sebagai penjelas bagi al-Qur’an dalam hal ini
sebagai bayan ta’kid, maka mereka memahami makna kata syahida pada ayat di atas, dalam arti
melihat (‫) رأ ى‬, sebagaimana yang termaktub secara eksplisit dalam matan hadis di atas. Kata (‫) رأ ى‬
dalam pengertian ini dipahami oleh ulama dalam makna terlihatnya bulan dengan mata kepala.
Lahirnya pemahaman lafadz ra’a dalam arti melihat dengan mata kepala itu sangat koleratif dengan
kondisi sosial masyarakat pada saat itu, dimana perkembangan pengetahuan dan tekhnologi masih
sangat sederhana dan terbatas sehingga memaknainya dengan makna selainnya menjadi tidak
relevan.

Berbeda dengan konteks sekarang, jika ada pemahaman yang mencoba memaknai kata
syahida dalam pengertian (hisab) dengan berlandaskan pada surah Q.s. Yunus (10): 5 dan dan frase
faqdurū dalam riwayat Ibnu Umar, maka makna hisāb pun termasuk dalam kandungan syahida di
dalam Q.s. al-Baqarah: 85 di atas dan di sisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
telah mampu menetapkan posisi bulan secara tepat dengan tekhnik hisab, sekian waktu sebelum
mata kepala manusia dapat melihatnya.

Perbedaan pemahaman akan terjadi, jika hadis di atas ditempatkan dalam posisi sebagai teks
yang otonom (bayan tasyri’), terlepas dari relasi makna surah al-Baqarah 185 di atas. Maka,
kemungkinan pemahaman yang dilahirkannya tidak seuniversal dengan pemahaman sebelumnya,
karena ia hanya terbatas pada makna melihat dengan mata telanjang, tidak dengan makna lainnya.

Mencermati uraian di atas, maka menempatkan hadis-hadis tentang penetapan awal dan akhir
Ramadhan sebagai bayān al-tafsir dan/atau bayān al-ta’kīd, maka kandungan hadis tersebut
menunjukkan bahwa penetapan awal Ramadan dan Syawal didasarkan pada metode hisab40 dengan
melakukan interpretasi intertekstual. Jika demikian, maka penetapan tersebut dapat dilakukan satu
tahun atau beberapa tahun sebelumnya. Namun, bagi kalangan yang tidak dapat melakukan atau

39
Ibid.
40 Metode Hisab adalah metode yang menyajikan data dengan sistim perhitungan dengan

menggunakan kaidah-kaidah ilmu-ilmu ukur. Penjelasan tentang metode hisab, antara lain lihat: Wahyu
Widiana, "Penetuan Awal Bulan Qamariyah dan Permasalahannya di Indonesia" dalam Khaerul Fuad Yusuf
dan Bashori A. Hakim, Hisab Ru'yah dan Perbedaanya (Jakarta: Depag RI, 2004), h. 7.
78

tidak dapat memeroleh informasi tentang hal itu, maka metode ru’yat al-hilāl masih menjadi pilihan
di dalam mentapkan awal dan akhir bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya.

2. Bayān al-Taqrīr wa al-Ta’kīd


Bayān al-taqrīr disebut juga dengan bayān al-ta’kīd atau bayān al-isbat. Bayan ini adalah
menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam
hal ini hanya memperkukuh kandungan al-Qur’an. Salah satu contoh hadis yang dapat
dikategorikan sebagai bayān al-Taqrir adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī, dari Ibnu
Umar tentang pondasi Islam, sebagai berikut.

- ‫ﻋﻨﻬ ﻤﺎ‬ - ‫ﻋُ ﻤَ َﺮ‬ ‫ﻋَ ْﻦ ﻋِ ﻜْ ﺮِﻣََﺔ ﺑْ ﻦِ َﺧﺎﻟِ ٍﺪ ﻋَ ِﻦ‬ ُ‫ﺣَﻨْ ﻈَﻠَﺔُ ﺑْ ﻦ‬ ‫ﺑْ ﻦُ ﻣُﻮ ﺳَ ﻰ‬ ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﻋُﺒَﻴْ ُﺪ‬

‫َﻻ‬ ٍ‫ﻋَﻠَ ﻰ َﺧ ﻤْ ﺲ‬ َ‫ » ﺑُﻨِ ﻰ‬- ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ ﺻﻠ ﻰ‬-


٤١
« ، ، ، ،
Artinya:
‘Ubaidullah bin Musa telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Handzalah bin Abi Sofyan
mengabarkan kami dari Ikrimah bin Khalid dari Ibn ‘Umar r.ama., keduanya berkata: Rasulullah
saw., telah bersabda: Islam itu dibangun atas lima pondasi, yaitu persaksian bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, haji, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.
Hadis di atas memperkuat ayat-ayat berikut:

…… ….
Terjemahnya:
“…Laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat … (Qs. Al-Baqarah:43)

…… ُ‫ﻛُِﺘ ﺐَ ﻋَﻠَﻴْ ﻜُ ﻢ‬ ‫ﻳَﺎ‬


Terjemahnya:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa…. (Qs. Al-Baqarah: 183)

.‫ﺳَﺒِﻴﻠًﺎ‬ ِ‫ﻣَ ﻦ‬ ‫ﺣِ ﱡﺞ‬ ‫ﻋَﻠَ ﻰ‬ …


Terjemahnya:
“… Dan di antara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah, bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” (Qs. Ali Imran: 97)

41 Al-Bukhārī, op.cit., Juz I, h. 12.


79

3. Bayān al-Tasyrī’
Kata al-tasyri’ berarti pembuatan, perwujudan atau penetapan aturan atau hukum. Yang
dimaksud dengan bayān al-tasyri’ adalah penjelasan hadis berupa mewujudkan, mengadakan, atau
menetapkan suatu hukum atau aturan syarak yang tidak didapati nash-nya di dalam al-Qur’an.
Nabi Muhammad saw., berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap beberapa
persoalan yang muncul pada saat itu dengan sabdanya sendiri. Beliau berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan para sahabat dengan menunjukkan bimbingan dengan menjelaskan duduk
persoalannya.
Hadis-hadis yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya hadis tentang penetapan
haramnya beberapa makanan dan hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, sebagai
berikut.

‫ﻧَ ﻬَ ﻰ‬ ِ‫ﻋَ ﻦ‬ ‫ﺑْ ِﻦ‬ َ‫ﻋَ ْﻦ ﻣ‬ ِ‫َﺣ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺷُﻌْﺒَُﺔ ﻋَ ﻦ‬ ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬ ‫ﺑْ ُﻦ‬ ‫ﻋُﺒَﻴْ ُﺪ‬
٤٢
.ِ‫ﻣِ ﺨَْﻠ ٍﺐ ﻣِ ﻦَ ﻴْ ﺮ‬ ‫ﻛُ ﱢﻞ‬ َ‫ﻣِ ﻦ‬ ‫ ﻋَ ْﻦ ﻛُ ﱢﻞ‬- ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ ﺻﻠ ﻰ‬-
Artinya:
‘Ubaydullah bin mu’adz al-‘Anbarī telah menceritakan kepada kami, (katanya) bapaknya telah
menciritakan kepada kami, Syu’bah telah menceritakan kepada kami, (katanya) dari al-Hakam
dari maymūn bin Mihrān dari Ibnu Abbas, telah berkata: Rasulullah saw. telah melarang setiap
binatang buas yang mempunyai gigi taring dan setoap jenis burung yang memiliki cakar
(pemangsa).
Kandungan hadis di atas menunjukkan bahwa setiap hewan buas, baik yang memiliki gigi
taring ataupun yang memiliki cakar pemangsa hukumnya haram di makan. Jika mencermati secara
saksama, kandungan teks hadis tersebut tidak ditemukan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an sehingga
digolongkan sebagai bayān al-tasyrī’. Namun, jika yang dimaksud adalah keharaman dimakan untuk
binatang-binatang tertentu, maka tema utama tentang hewan yang dilarang dikonsumsi juga
ditemukan di dalam Al-Qur’an. Bukankah hadis Nabi sebagai bayān terhadap Al-Qur’an, termasuk
menjelaskan rincian yang masih global dan/atau mengungkapkan yang masih abstrak?
Adapun hadis tentang rajam, sebagai berikut:

‫ﻋﻨﻪ ﺣِ َﲔ‬ ‫ﻋَ ﻦْ ﻋَﻠِ ﻰﱟ‬ ُ‫َﺳ ﻤِْﻌ ﺖ‬ ٍ‫َﺣ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ُﺷﻌْﺒَﺔُ َﺣ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺳَﻠَ ﻤَﺔُ ﺑْ ﻦُ ﻛُ ﻬَﻴْ ﻞ‬ ‫ﺣَ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬
٤٣
‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ ﺻﻠ ﻰ‬- ِ‫ﺑِ ﺴُﻨﱠﺔ‬ ْ‫ﻗَ ﺪ‬

42
Muslim, op.cit. Juz VI, h. 60.
43
Al-Bukhārī, op.cit., Juz VI, h. 2498.
80

Artinya:
Adam telah menceritkan kepada kami, Syu’bah menceritakan kepada kami, Salamah bin Kuhail
telah menceritakan kepada kami, ia berkata: saya pernah mendengar al-Sya’biy bercerita tentang
berita dari ‘Ali r.a., ketika merajam seorang perempuan pada hari jum’at dan beliau berkata:
“Sungguh saya telah merajamnya sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.

Hadis riwayat Ali r.a. tersebut mendapat dukungan melalui jalur yang lain, sebagai berikut.

َ‫ْﺑ ﻦ‬ ‫َﺳﺄَْﻟ ﺖُ ﻋَﺒْ َﺪ‬ ‫ َﺣ ﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﻋَﻠِ ﱡﻰ ﺑْ ﻦُ ﻣُ ﺴْ ﻬِ ﺮٍ ﻋَ ْﻦ‬- ُ‫َﻟﻪ‬ - ‫ﺷَﻴْﺒََﺔ‬ ‫ﺑَ ﻜْ ﺮِ ﺑْ ُﻦ‬

َ‫ﻻ‬ ‫ﻗَﺒْﻠَ ﻬَﺎ‬ ُ‫ﺳ‬ ‫ﻗُﻠْ ُﺖ ﺑَﻌْ َﺪ ﻣَﺎ‬ .ْ‫ﻧَﻌَ ﻢ‬ - ‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ ﺻﻠ ﻰ‬- ْ‫ﻫَ ﻞ‬
٤٤

Artinya:
Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami –berdasarkan lafal Abu Bakr- Ali
bin Mushir telah menceritakan kepada kami dari Abu Ishaq al-Syaibaniy, ia berkata: Saya
menanyai Abdullah bin Abu Aufa, Apakah Rasulullah saw., pernah merajam? Ia berkata: Ya. Ia
berkata: saya tanyakan (apakah) setelah turun surah al-Nūr ataukah sebelumnya? Dia
menjawab: “Saya tidak tahu.”
Kedua hadis yang disebutkan terakhir menunjukkan bahwa pada masa Rasulullah saw.
pernah terjadi rajam bagi pezina muhshān. Kalangan ulama memposisikan hadis-hadis tersebut
sebagai bayān al-tasyrī’ karena tidak ditemukan tema tersebut di dalam Al-Qur’an. Hemat penulis,
oleh karena hadis sebagai bayān terhadap Al-Qur’an, maka seharusnya seluruh hadis nabi yang
shahih adalah bagian dari bayān terhadap Al-Qur’an. Masalah hukuman rajam adalah salah satu
hukuman yang dijatuhkan kepada pezina, yakni pezina muhshan. Artinya, tema utama tentang
hukuman bagi pezina sudah ada di dalam Al-Qur’an, hanya saja masih ada yang belum dijelaskan
secara detail. Salah satu di antaranya adalah tentang hukuman bagi pezina muhshā,.
Istilah bayān al-tasyrī’ dengan maksud bahwa kandungan matan hadis yang bersangkutan
tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an tampaknya harus ditinjau ulang karena ada beberapa ayat Al-
Qur’an sendiri dapat bertentangan dengan maksud tersebut, antara lain isyarat Q.s. al-An’am: 38,
berbunyi:

‫ﻣِ ْﻦ ﺷَ ﻲْءٍ ﺛُ ﻢﱠ‬ ‫ﻣَﺎ ﻓَ ﺮﱠ ﻃْﻨَﺎ ﻓِ ﻲ‬ ِ‫ﺑِ ﺠَﻨَﺎ ﺣَﻴْﻪ‬ ٍ‫ﻃَﺎﺋِ ﺮ‬ ‫ﻓِ ﻲ‬ ْ‫ﻣِ ﻦ‬
Terjemahnya:

44
Muslim, op.cit., Juz V, h. 123.
81

“Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak
sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab (Al-Qur’an), kemudian kepada Tuhan mereka
dikumpulkan.”
Ayat tersebut menegaskan bahwa tidak ada yang dialpakan di dalam Kitab (Al-Qur’an).
Hanya saja, perlu bayān, apakah untuk merinci yang global, ataukah menegaskan kembali untuk
memperkuat, dan/atau mengungkapkan atau menjelaskan yang masih abstrak.
Di sisi lain, ada kalangan ulama juga memasukkan bayān al-nasakh ‘hadis menjelaskan
dengan menghapus hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an’ sebagai salah satu jenis fungsi
hadis terhadap Al-Qur’an. Hemat penulis, tampaknya jenis ini juga kurang tepat dijadikan sebagai
salah satu fungsi hadis terhadap Al-Qur’an karena seharusnya senuah penjelasan tidak
menghilangkan subtansi yang dijelaskan tetapi hanya dapat memberi alternatif lain dari sisi cara
mengamalkannya.
Dengan demikian, dilihat dari sisi fungsi hadis sebagai bayān terhadap Al-Qur’an
dimaksudkan untuk memperjelas, merinci, dan memperkuat ayat-ayat Al-Qur’an. Perbedaan dalam
menempatkan dan memposisikan hadis sebagai bayān terhadap Al-Qur’an berimplikasi pada
lahirnya interpretasi yang berbeda. Di sisi lain, pemhaman terhadap hadis Nabi dengan hanya
berdasar pada fungsi hadis terhadap Al-Qur’an pun belum optimal. Karena itu, masih perlu
mempertimbangkan teknik yang lain.

Anda mungkin juga menyukai