Anda di halaman 1dari 5

Beragama dengan Cinta

Syamsul Arif Galib (Tribun Timur, 19 Januari 2018)

Does religion make people narrow-minded? Demikian


pertanyaan yang dilontarkan dalam sebuah Forum diskusi
online di dunia maya. Hasilnya menarik karena 65 persen
orang yang terlibat dalam diskusi tersebut memiliki keyakinan
bahwa agama menjadikan seseorang berfikiran sempit bahkan
tertutup.

Pandangan semacam ini tentu bukan hal yang baru. Bagi para
penganut agama, hal ini mungkin dianggap tidak benar dan jauh
dari tujuan agama sebenarnya. Namun sebaliknya, mereka yang
anti agama akan membenarkan pandangan bahwa agama sebagai
salah satu sumber kebencian.

Belakangan, agama memang serangkali didebat dan alih-alih


melihat agama sebagai jalan damai dan jalan cinta, agama justru
seringkali diposisikan sebagai sumber kekacauan. Religion makes
people hate people. Agama menjadikan manusia membenci
manusia lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan dan pandangan seperti ini tidak seharusnya


muncul dan tidak akan muncul jika para penganut agama
melaksanakan agama sesuai dengan ajaran masing-masing.
Beragama dengan Cinta, bukan beragam dengan benci.
Sayangnya, harus diakui bahwa seringkali para penganut agama
gagal menunjukkan wajah agama yang penuh cinta. Seruan-seruan
kebencian kepada mereka yang berbeda agama dan mazhab
bertebaran di mana-mana. Dalam titik yang paling krusial, mereka
yang berbeda agama bahkan mazhab dianggap sebagai musuh
nyata yang harus disadarkan atau bahkan dilawan.

Beragama dengan Membenci

Mereka yang beragama dengan membenci sangat rentan dengan


perilaku intoleransi baik itu intoleransi dalam perbuatan maupun
intoleransi dalam tataran ide dan wacana. Kita bersuara lantang
ketika ketidakadilan terjadi terhadap mereka yang seagama dengan
kita, namun diam dan cenderung membenarkan jika ketidakadilan
itu menimpa mereka yang berbeda agama.

Kebencian terhadap mereka yang berbeda agama seringkali


menjadikan kita bias dalam melihat kasus kekerasan. Merasa
terenyuh dan terluka jika kasus kekerasan tersebut menimpa
ummat yang seagama, namun diam-diam bersyukur jika kasus
tersebut menimpa ummat yang berbeda agama. Kita mengutuk jika
korbannya adalah saudara seagama, namun tersenyum simpul jika
korbannya adalah mereka yang berbeda agama.

Mereka yang selalu menyeret nama agama sebagai landasan


kebenciannya, menjadikan agama terlihat sebagai sumber
kebencian. Mereka menjadikan kebencian sebagai bagian dari
beragama. Seakan manifestasi dari keimanan terhadap sebuah
ajaran agama adalah membenci agama yang lain. Tanpa
membenci maka anda tidak beriman. Aku membenci maka aku
beriman. Akibatnya, beragama menjadi sangat menakutkan. Hanya
dengan menyebut identitas keagaaman seseorang bisa dicap
sebagai sosok yang radikal dan penuh amarah.

Tidak mengherangkan jika dalam beberapa kesempatan saya


mendengar alasan orang untuk memilih menjadi agnostik karena
melihat agama justru menjadi sumber kebencian, perpecahan,
ataupun sumber masalah. Mereka berfikir bahwa dengan tidak
beragama mereka dapat meminimalisir sumber kebencian yang
ada.

Beragama dengan membenci menjadikan kita lupa makna


kemanusiaan. Bahwa dalam hal kemanusiaan tidak memandang
apa agamanya atau apa mazhabnya. Setiap orang adalah manusia
dan wajib untuk dihargai sebagai manusia.

Dalam tradisi ke Islaman penghargaan terhadap kemanusian


ditunjukkan oleh sang Manusia Agung, Muhammad SAW. Dalam
sebuah hadis yang diriwaytkan oleh Imam Bukhari, tersebutlah
kisah ketika Rasulullah SAW berkumpul bersama para sahabatnya.
Lalu lewatlah pengantar mayat yang membawa orang Yahudi.
Rasulullah lalu berdiri dari duduknya. Para sahabat
mempertanyakan sikap Rasulullah SAW tersebut. Dan Rasulullah
dengan sikap agungnya menjawab dengan pertanyaannya retorik.
Bukankah dia juga adalah seorang manusia?

Senada dengan Nabi Muhammad, sahabat sekaligus menantu


beliau, Ali Karramallahu Wajhah pernah berkata; Mereka yang
bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam
kemanusia. Setidaknya dua manusia agung itu telah menunjukkan
kepada kita betapa kemanusiaan harus dijunjung tinggi. Model
keberagaman dengan benci hanya akan menjauhkan nilai-nilai
agama yang menjunjung sikap-sikap penghargaan atas nama
kemanusiaan.

Beragama dengan Cinta

Dengan beragama seseorang diharapkan menjadi lebih baik, lebih


bijak, lebih kasih dan lebih cinta. Bukan sebaliknya. Hal ini yang kita
dapat saksikan dari para tokoh agama. Baik Muhammad, Isa,
Sidharta, Mahavira, Zarathustra, Kongfutse, Lao Tse dan yang
lainnya. Mereka adalah para pecinta. Yang menyebarkan ajarannya
dengan cinta, bukan dengan benci.

Ada sebuah pandangan yang sangat menarik; Jika agamamu


menganjurkanmuk untuk membenci, maka kamu sepertinya harus
mencari agama baru. Pandangan ini sesungguhnya ingin
menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada satu agamapun yang
mangajak pemeluknya untuk hidup dalam kebencian. Agama bukan
jalan kebencian. Agama adalah jalan Cinta.

Kita tentu sepakat bahwa muara dari beragama adalah cinta. Dan
setiap ajaran agama mengajarkan cinta pada para pemeluknya.
Untuk itu penting bagi ummat beragama untuk beragama dengan
cinta. Sehingga agama dapat dilihat sebagai sumber-sumber cinta.
Seharusnya tak ada tempat bagi kebencian dalam agama. Dalam
Matius 5:44 disebutkan bahwa; Cintailah Musuhmu dan berdoalan
bagi mereka yang menganiaya kamu.

Ajaran cinta yang diajarkan agama bahkan tidak hanya terfokus


kepada ummat manusia semata namun juga mencintai sesama
mahluk hidup ciptaan Tuhan lainnya baik itu manusia hingga
tumbuhan. Beberapa penganut agama tertentu bahkan memilih
menjadi vegetarian karena kecintaannya pada hewan serta
keyakinannya bahwa hewan diciptakan bukan untuk dimakan.

Tugas kita sebagai penganut agama adalah beragama dengan


cinta. John. D. Caputo dalam bukunya On Religion (2001)
menegaskan bahwa baginya, agama adalah cinta kasih Tuhan.
Agama ada bagi mereka yang memiliki cinta. Agama hadir bagi
para pecinta.Tidak heran jika lawan kata dari manusia yang tidak
religius adalah manusia tanpa Cinta kasih.

Keyakinan beragama yang kita miliki tidak menjadikan kita menjadi


lebih baik dari orang lain. Beragam tidak serta merta menjadikan
kita mulia hanya karena menganut agama tersebut. Sebaliknya,
tingkah laku dan perbuatan kitalah yang menjadikan kita menjadi
pribadi yang lebih baik. Dengan beragama dengan cinta, manusia
akan berbuat kebaikan dengan cara-cara yang baik dan mencegah
kejahatan bukan dengan cara-cara yang jahat. Maka beragamalah
dengan cinta.

Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa manifestasi dari keberimanan


seseorang adalah rasa sayang yang dimilikinya. Sesungguhnya
mereka yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah akan
menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang (QS. Maryam:
96)

Beragama dengan cinta adalah sebuah upaya menunjukkan wajah


damai agama yang selama ini sering disalahpahami.

Wallahu A’lam bi’al-Shawwab

Anda mungkin juga menyukai