Anda di halaman 1dari 5

Beragama dalam Keragaman

Syamsul Arif Galib (Tribun Timur, 6 Maret 2015)

Menjelang akhir Ramadhan di tahun 2014 lalu, di pagar sebuah


gereja di daerah Manggarupi, Kab. Gowa, terpampang sebuah
spanduk yang berisi ucapan yang berbunyi; Keluarga Besar
Gereja Paroki St. Simon Petrus Gembala Mengucapkan
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H. Mohon Maaf Lahir dan
Bathin.

Sebelumnya, menjelang Natal di tahun 2013, Spanduk berisi


ucapan selamat Natal juga terlihat di depan Gereja Imanuel dan
Gereja Katedral Makassar. Spanduk-spanduk tersebut dipasang
oleh komunitas Gus Durian Makassar sebagai bentuk penghargaan
dan persaudaraan terhadap ummat Kristiani yang melaksanakan
Natal.

Beberapa dari kita mungkin pernah melihat spanduk-spanduk yang


sama di beberapa tempat yang berbeda. Ada yang membacanya,
namun banyak pula yang mengabaikannya dan menganggapnya
sebagai sesuatu yang biasa. Padahal, kehadiran spanduk-spanduk
tersebut mampu menghadirkan rasa damai. Spanduk-spanduk itu
setidaknya menjadi sebuah bukti masih adanya sikap saling
menghargai oleh para pemeluk agama yang berbeda keyakinan.

Kepekaan Hidup Beragama

Kepekaan hidup dalam beragama mutlak dibutuhkan dalam


menjalani hidup beragama di Indonesia mengigat keberagamaan
penduduk Indonesia tidaklah homogen. Penduduk Indonesia tidak
hanya menganut satu agama semata.

Kepekaan beragama adalah kemampuan untuk memahami dan


merasai bahwa saling menghormati itu penting dalam kehidupan
keberagamaan yang beragam. Kepekaan beragama termasuk di
dalamnya menghargai simbol-simbol keagamaan yang dianut oleh
penduduk yang berbeda agama.
Penghargaan terhadap sebuah keyakinan adalah sebuah
keharusan di tengah masyarakat yang memiliki kemajemukan
agama. Keyakinan akan kebenaran tunggal seringkali menjadikan
manusia tidak lagi menghargai kelompok lain karena merasa
bahwa kebenaran sejati adalah milik kelompok tertentu. Padahal
keyakinan akan kebenaran tidak seharusnya menjadikan manusia
lupa pada penghargaan terhadap yang berbeda.

Sayangnya, kepekaaan akan hidup beragama ternyata belum


sepenuhnya dipahami oleh sebahagian orang. Terkadang, kita
menuntut agar suatu kelompok menaruh respek dan penghargaan
terhadap keyakinan yang kita miliki, namun di sisi lain, kita justru
tidak menaruh penghargaan yang sama terhadap simbol-simbol
agama ummat yang lain. Kita menjadi sangat peka jika simbol yang
dipermainkan adalah simbol agama kita, namun menjadi biasa saja
jika yang dipermainkan adalah simbol agama orang lain.

Kita tentu belum lupa bagaimana majalah Jyllands-Posten atau


Charlie Hebdo mendapatkan protes di seluruh dunia atas pemuatan
kartun Nabi Muhammad yang melecehkan itu atau protes terhadap
filem The Innocence of Muslims. Kita terluka, perasaan tidak terima
karena simbol yang dianggap suci itu dipermainkan. Perasaan yang
tentu dirasakan pula oleh saudara kita yang menganut agama
lainnya jika simbol-simbol keagaamaannya dipermainkan.

Ada Golden Rule tentang bagaimana hidup beragama itu


seharusnya terjadi. Aturan itu diyakini dimiliki oleh setiap agama
dengan teks-teks yang berbeda. Golden Rule itu berbunyi seperti
ini: Do not do unto others what you do not want others to do unto to
you. Janganlah kamu melakukan sesuatu terhadap orang lain yang
kamu tidak ingin orang lain melakukan hal tersebut kepadamu.

Senada dengan hal tersebut, Socrates pernah mengatakan; “Do not


do to others what angers you if done to you by others.” Janganlah
kamu melakukan sesuatu hal yang jika hal itu dilakukan kepadamu
akan membuatmu marah.

Jika kita tidak ingin dan tidak rela jika simbol agama kita
dilecehkan, maka tentu hal yang sama tidak seharusnya kita
lakukan terhadap agama yang lain. Disinilah letak pentingnya
kepekaan beragama. Jika kepekaan terhadap keberagaman itu kita
miliki, maka tidak peduli apapun agamanya, segala bentuk
pelecehan terhadap simbol-simbol agama haruslah kita tolak.

Etika Beragama

Keberagaman dalam beragama sungguhnya adalah sunnatullah


yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Pengakuan akan adanya
keberagaman agama selain Islam dapat kita temukan dalam kitab
suci. Adanya penyebutan Nasrani, Yahudi, Majusi atau bahkan
Sabi’in menunjukkan bahwa ada pengakuan akan adanya
keyakinan lain selain Islam. Sang Tuhan sendiri, mengingatkan kita
bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Selain itu, Tuhan juga
mengingatkan kita bahwa jika dia mau, maka sesungguhnya Dia
telah menjadikan semua penduduk bumi ini sebagai ummat yang
satu, namun Dia tidak melakukannya.

Dalam hidup beragama haruslah ada etika. Dan etika dalam


beragama, adalah menghargai agama yang lain. Penghargaan
terhadap keyakinan seseorang bukan berarti bahwa kita menganut
paham relativisme yang menganggap semua agama sama dan
semua agama benar. Penghargaan tak lain adalah bentuk sikap
kita yang mampu berdamai dengan perbedaan. Mereka yang
mampu menghargai yang berbeda keyakinan, adalah mereka yang
ber-etika dalam beragama.

Seringkali, para penganut agama memiliki sikap egois dalam


menjalani hidup beragama. Bentuk egoisitas itu tercermin dengan
adanya penganut beragama yang berharap bahwa penganut
agama lain menghargainya, namun dia justru tidak menghargai
penganut agama lain.

Bukankah jika ingin dihargai, maka sudah sepatutnya kita belajar


untuk juga menghargai agama lain. Jika kita ingin orang lain tahu
tentang kita, maka mari belajar juga tentang mereka. Sikap
egoisitas tersebut juga berimbas dalam melihat ketidakadilan.
Reaksi besar muncul jika ketidakadilan menimpa saudara segama,
namun diam jika ketidakadilan itu menimpa penganut agama lain.
Tariq Ramadhan, dalam sebuah Konvensi Ummat Islam di Kanada
di tahun 2013 berujar bahwa selama ini kita hanya fokus melihat
seseorang sebagai saudara jika kita seagama. Akibatnya, dalam
menilai ketidakadilan kita seringkali bias. Kita menolak
ketidakadilan terhadap saudara kita yang seagama, namun kita
diam jika ketidakadilan itu menimpa pemeluk agama yang lain.
Padahal, kita mengenal konsep Ukhuwatul Insaniyah.
Persaudaraan antar ummat manusia. Bahwa sesama manusia kita
pun bersaudara. Jika umat Islam meyakini bahwa mereka adalah
Rahmah, maka jadilah rahmah kepada orang-orang disekitarnya
(Ruhamau Bainakum), bukan kepada penganut Islam semata.

Jika Islam adalah Rahmatan lil Alamin. Maka sudah saatnya kita
berbuat baik terhadap orang lain, hargai keyakinan mereka terlepas
dari apapun agamanya. Bukankah untuk menunjukkan bahwa Islam
itu bagus bukanlah hanya dengan kata-kata namun juga dengan
berbuat baik terhadap sesama. Termasuk kepada mereka yang
bukan Islam.

Harapan yang sama tentu saja diharapkan juga terhadap ummat-


ummat beragama lainnya.

Wallahu A’lam bi’al-Shawwab

Anda mungkin juga menyukai