Anda di halaman 1dari 6

TOLERANSI SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA (KELAS XI )

A. Pengertian Toleransi

Toleransi berasal dari bahasa latin “Tolerare” yang berarti dengan sabar membiarkan
sesuatu. Jadi pengertian toleransi adalah suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak
menyimpang dari aturan, di mana seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan
yang orang lain lakukan. Toleransi juga dapat dikatakan istilah dalam konteks sosial budaya
dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap
kelompok – kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu
masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama dimana penganut mayoritas dalam suatu
masyarakat mengizinkan keberadaan agama – agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan
dengan menggunakan definisi “kelompok” yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi
seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-
prinsip toleransi baik dari kaum liberal maupun konservatif. Jadi toleransi antar umat beragama
berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk
menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain.

Dalam masyarakat berdasarkan pancasila terutama sila pertama, bertaqwa kepada tuhan
menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua agama menghargai
manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib saling menghargai. Dengan demikian
antar umat beragama yang berlainan akan terbina kerukunan hidup.

B. Pentingnya Toleransi

“Dan di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepadanya (Al Quran), dan di antaranya
ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Yunus/10 : 40)

“Dan jika mereka (tetap) mendustakan kamu (Muhammad), maka katakanlah: "Bagiku
pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan
akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan".” (Q.S. Yunus/10 : 41)
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan hal – hal berikut:

1. Umat manusia yang hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW. terbagi menjadi 2
golongan, ada umat yang beriman terhadap kebenaran kerasulan dan kitab suci yang
disampaikannya dan ada pula golongan orang yang mendustakan kerasulan Nabi Muhammad
SAW. dan tidak beriman kepada Al-Qur’an.
2. Allah SWT. Maha Mengetahui sikap dan perilaku orang – orang beriman yang selama hidup
di dunia senantiasa bertaqwa kepada-Nya, begitu juga orang kafir yang tidak beriman kepada-
Nya.
3. Orang beriman harus tegas dan berpendirian teguh atas keyakinannya. Ia tegar meskipun hidup
di tengah – tengah orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya.
4. Ayat di atas juga menjelaskan perlunya menghargai perbedaan dan toleransi. Cara menghargai
perbedaan dan toleransi dengan tidak mengganggu aktivitas keagamaan orang lain.

C. Menghindarkan Diri dari Perilaku Tindak Kekerasan

Manusia dianugerahi oleh Allah SWT. berupa nafsu. Dengan nafsu tersebut, manusia
dapat merasa benci dan cinta. Dengannya pula manusia bisa melakukan persahabatan dan
permusuhan serta bisa mencapai kesempurnaan ataupun kesengsaraan. Hanya nafsu yang
berhasil dijinakkan oleh akal yang akan menghantarkan manusia kepada kesempurnaan.
Begitupun sebaliknya.

Permusuhan berasal dari rasa benci yang dimiliki oleh setiap manusia. Sebagaimana
cinta, bencipun berasal dari nafsu yang harus bertumpu di atas pondasi akal. Permusuhan di
antara manusia terkadang karena kedengkian pada hal – hal duniawi seperti pada kasus Qabil
dan Habil ataupun pada kisah Nabi Yusuf as. dan saudara – saudaranya. Terkadang pula
permusuhan dikarenakan dasar ideologi dan keyakinan.

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang
membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain (qisas), atau bukan karena
berbuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan – akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah – olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak
diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan
dimuka bumi.” (Q.S. Al Maidah/5 : 32)

Allah SWT. menjelaskan dalam ayat ini, bahwa setelah peristiwa pembunuhan Qabil
terhadap Habil, Allah SWT. menetapkan suatu hukum bahwa membunuh seseorang sama
dengan membunuh seluruh manusia. Begitu juga menyelamatkan kehidupan seseorang sama
dengan menyelamatkan seluruh manusia. Ayat ini menyinggung sebuah prinsip sosial di mana
masyarakat bagaikan sebuah tubuh, sedangkan individu – individu masyarakat merupakan
anggota tubuh tersebut. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh lainnya
pun ikut merasakan sakit.

Dalam Q.S. Al Maidah/5 : 32 terdapat 3 pelajaran yang dapat dipetik:

1. Nasib kehidupan manusia sepanjang sejarah memiliki kaitan dengan orang lain. Sejarah
kemanusiaan merupakan mata rantai yang saling berhubungan. Karena itu, terputusnya sebuah
mata rantai akan mengakibatkan musnahnya sejumlah besar umat manusia.
2. Nilai suatu pekerjaan berkaitan dengan tujuan. Pembunuhan seorang manusia dengan maksud
jahat merupakan pemusnahan sebuah masyarakat, tetapi keputusan pengadilan untuk
melakukan eksekusi terhadap seorang pembunuh dalam rangka qisas merupakan sumber
kehidupan masyarakat.
3. Mereka yang memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan penyelamatan jiwa manusia,
seperti dokter, perawat, polisi harus mengerti nilai pekerjaan mereka. Menyembuhkan atau
menyelamatkan orang yang sakit dari kematian bagaikan menyelamatkan sebuah masyarakat
darikehancuran.

Tugas kita bersama adalah menjaga ketentraman hidup dengan cara mencintai tetangga,
orang – orang yang berada di sekitar kita. Artinya, kita dilarang melakukan perilaku – perilaku
yang dapat merugikan orang lain, termasuk menyakitinya dan melakukan tindakan kekerasan
kepadanya.

Di Indonesia ada hukum yang mengatur pelarangan melakukan tindak kekerasan,


termasuk kekerasan pada anak dan anggota keluarga, misalnya UU No. 23 Tahun 2002 dan
UU No. 23 Tahun 2004.

D. Manfaat Toleransi Hidup Beragama dalam Pandangan Islam

▪ Menghindari Terjadinya Perpecahan


Bersikap toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama.
Sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud
interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya dengan
eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.
▪ Memperkokoh Silaturahmi dan Menerima Perbedaan
Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali
silaturahmi antarumat beragama dan menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya. Pada
umumnya manusia tidak dapat menerima perbedaan antara sesamanya, perbedaan dijadikan
alasan untuk bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan agama merupakan salah satu faktor
penyebab utama adanya konflik antarsesama manusia.
Merajut hubungan damai antarpenganut agama hanya bisa dimungkinkan jika masing – masing
pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi beragama, bahwa setiap
penganut agama boleh melakukan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas tanpa tekanan.
Oleh karena itu, hendaknya toleransi beragama kita jadikan kekuatan untuk memperkokoh
silaturahmi dan menerima adanya perbedaan. Dengan ini akan terwujud perdamaian,
ketentraman, dan kesejahteraan.
▪ Pembangunan berjalan dengan lancar
▪ Masyarakat menikmati hasil-hasil pembangunan
▪ Kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan

E. Menerapkan Perilaku Mulia

Kondisi bangsa Indonesia yang berbhineka ini harus kita pertahankan demi
ketentraman dan kedamaian penduduknya. Salah satu cara mempertahankan kebhinekaan ini
adalah dengan toleransi atau saling menghargai.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, kerukunan hidup antarsuku, ras, golongan dan
agama harus selalu dijaga dan dibina. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah belah saling
bermusuhan satu sama lain karena masalah di atas.

Berikut perilaku – perilaku toleransi yang harus dibina sesuai dengan ajaran Islam.

1. Saling menghargai adanya perbedaan keyakinan. Kita tidak boleh memaksakan kehendak pada
orang lain agar mereka mengikuti keyakinan kita. Orang yang berkeyakinan lain pun tidak
boleh memaksakan keyakinannya pada kita. Dengan memperlihatkan perilaku berakhlak
mulia, insyaallah orang lain akan tertarik. Rasulullah SAW. selalu memperlihatkan akhlak
mulia kepada siapa pun termasuk kepada musuh – musuhnya. Banyak orang kafir yang tertarik
pada akhlak Rasulullah SAW. lalu masuk Islam karena kemuliaannya.
2. Saling menghargai adanya perbedaan pendapat. Manusia diciptakan dengan membawa
perbedaan. Kita mencoba menghargai perbedaan tersebut.
3. Belajar empati, yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, lalu bantulah orang yang
membutuhkan. Sering terjadi tindak kekerasan disebabkan hilangnya rasa empati. Ketika mau
mengganggu orang lain, kita harus sadar bahwa mengganggu itu akan menyakitkan.
Bagaimana kalau itu terjadi pada diri kita? Tentu kita juga akan merasa risih jika diganggu oleh
orang lain.
4. Islam mengajarkan menolong siapa pun, baik orang miskin maupun orang yang sakit.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ ‫فِى ُك ِل َك ِب ٍد َر‬
‫طبَ ٍة أَجْ ر‬
“Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.” (HR. Bukhari
no. 2363 dan Muslim no. 2244).
Lihatlah Islam masih mengajarkan peduli sesama.
5. Tetap menjalin hubungan kerabat pada orang tua atau saudara non muslim.
Allah Ta’ala berfirman,

‫ْس لَ َك ِب ِه ِع ْلم فَال ت ُ ِط ْع ُه َما‬


َ ‫على أ َ ْن ت ُ ْش ِر َك ِبي َما لَي‬ َ ‫اك‬َ َ‫و ِإ ْن َجا َهد‬
‫اح ْب ُه َما ِفي الدُّ ْن َيا َم ْع ُروفًا‬
ِ ‫ص‬َ ‫َو‬
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15).
Dipaksa syirik, namun tetap kita disuruh berbuat baik pada orang tua.
Lihat contohnya pada Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
“Ibuku pernah mendatangiku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan membenci Islam. Aku pun bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau menjawab, “Iya, boleh.” Ibnu
‘Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu turunlah ayat,

ِ ‫ع ِن الهذِينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِى الد‬


‫ِين‬ ‫الَ يَ ْن َها ُك ُم ه‬
َ ُ‫َّللا‬
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu….” (QS. Al Mumtahanah: 8) (HR. Bukhari no. 5978).
6. Boleh memberi hadiah pada non muslim.
Lebih-lebih lagi untuk membuat mereka tertarik pada Islam, atau ingin mendakwahi mereka,
atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

– ‫ع فَقَا َل ِللنه ِب ِى – صلى هللا عليه وسلم‬ ُ ‫علَى َر ُج ٍل تُبَا‬ َ ً‫ع َم ُر ُحلهة‬ ُ ‫َرأَى‬
ُ ‫ فَقَا َل « ِإنه َما َي ْل َب‬. ُ‫ا ْبت َْع َه ِذ ِه ْال ُحلهةَ ت َْل َب ْس َها َي ْو َم ْال ُج ُم َع ِة َو ِإذَا َجا َء َك ْال َو ْفد‬
‫س‬
ُ ِ ‫َهذَا َم ْن الَ َخالَقَ لَهُ ِفى‬
ِ ‫سو ُل ه‬
– ‫َّللا‬ ُ ‫ى َر‬ َ ‫ فَأ ِت‬. » ‫اآلخ َر ِة‬
. ‫ع َم َر ِم ْن َها بِ ُحله ٍة‬ ُ ‫س َل إِلَى‬ َ ‫صلى هللا عليه وسلم – ِم ْن َها بِ ُحلَ ٍل فَأ َ ْر‬
‫ت قَا َل‬ َ ‫ت فِي َها َما قُ ْل‬ َ ‫س َها َوقَ ْد قُ ْل‬ُ َ‫ْف أ َ ْلب‬َ ‫ع َم ُر َكي‬ ُ ‫فَقَا َل‬
» ‫سوهَا‬ ُ ‫ ت َ ِبيعُ َها أ َ ْو ت َ ْك‬، ‫س َها‬ َ َ‫س َك َها ِلت َْلب‬
ُ ‫« ِإنِى لَ ْم أ َ ْك‬
‫خ لَهُ ِم ْن أ َ ْه ِل َم هكةَ قَ ْب َل أ َ ْن يُ ْس ِل َم‬ ٍ َ ‫ع َم ُر ِإلَى أ‬ ُ ‫س َل ِب َها‬ َ ‫ فَأ َ ْر‬.
“’Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada
tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Sesungguhnya
yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di
akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan beberapa pakaian
dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku
diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian
seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak
mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan
pakaian tersebut kepada saudaranya di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam.
(HR. Bukhari no. 2619).
.

Anda mungkin juga menyukai