Anda di halaman 1dari 35

BAB II

KEHILANGAN DAN KEDUKAAN, PENDAMPINGAN DAN KONSELING


PASTORAL KEDUKAAN SERTA SOLIDARITAS SOSIAL

Bagian ini akan membahas mengenai pastoral yang mencangkup dua


pendekatan yakni pendampingan dan konseling budaya dan solidaritas sosial,
bagaimana kedudukan, fungsi pendampingan dan konseling pastoral budaya
secara holistik dalam hidup manusia yang berduka. Diawali dengan pembahasan
tentang kehilangan (loss), dan kedukaan (grief).

A. Kehilangan Dan Kedukaan


Kehilangan (loss) adalah suatu keadaan ketika individu berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada atau dimiliki, baik sebagian atau keseluruhan. 1
Kehilangan tidak selalu berkaitan dengan kematian, tetapi bisa juga karena
kehilangan kesehatan (fisik dan mental), kehilangan pekerjaan, status, kehilangan
harta benda, ditinggalkan anak-anak karena menikah atau pindah rumah, dan lain-
lain. Bertha Simon menyatakan bahwa kematian seseorang dianggap sebagai
kehilangan yang paling hebat. Hal ini, menjadi peristiwa yang sangat menguncang
pikiran dan yang merupakan awal dari proses dukacita.2 Kenapa? Sebab Kematian
melenyapkan segala kemampuan manusia. Kematian adalah sesuatu yang belum
dimengerti manusia, sesuatu pengalaman yang tidak dapat terjajaki. Namun, di
sisi lain kematian juga menyadarkan manusia untuk mengevaluasi nilai-nilai
pribadi untuk mendapatkan sebuah nilai tentang hidup yakni kemampuan untuk
melihat berbagai kenyataan dan pengalaman yang saling berkaitan agar hidup ini
lebih bermakna. Membuat perspektif ini dapat menjadi salah satu pengalaman
paling konstruktif yang memperkaya dan memenangkan hidup. 3

1
Sujono Riyadi dan Teguh Purwanto, Asuhan Keperawatan Jiwa (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2009),102.
2
Bertha G. Simon, “A Time To Grief: Loss as A Universal Human Experience”, (New York:
Family Servive Association Of America, 1979)10-11,28-29.
3
Gladys Hunt, Pandangan Kristen Tentang Kematian, (Jakarta: BPK.Gunung Mulia,2001),1-7.

12
Dalam kebudayaan mana saja, rasanya berbicara masalah kematian,
merupakan sesuatu yang tabu atau orang mau segera menghindarinya. Orang lebih
banyak menjauhi pokok tersebut dan lebih suka berbicara hal-hal yang berkaitan
dengan kegembiraan, sukses dan sejenisnya. 4 Sebab, kematian menyisahkan
kehilangan dan dukacita bagi orang-orang terdekatnya bukan saja karena kematian
itu telah memisahkannya dari orang-orang yang dikasihinya melainkan dalam
kondisi itu juga mereka yang ditinggalkan kehilangan makna hidup secara
mendalam.5

Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa kematian adalah suatu


peristiwa yang menimbulkan kehilangan yang besar dalam hidup manusia.
Kematian bukan cuma memisahkan kita dengan orang yang kita cintai, tetapi
serasa ada bagian dari hidup kita yang ikut hilang. Reaksi kita terhadap
kehilangan itu disebut dukacita/kedukaan (grief). Kedukaan merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Setiap manusia dalam segala lapisan
dapat dihampirinya, baik melalui kehilangan yang bersifat developmental dan
kehilangan yang bersifat accidental. Menurut Paul E.Johnson, di antara peristiwa-
peristiwa dalam kehidupan manusia tidak ada yang lebih berarti dari detik-detik
menuju kematian, sebab pada saat itu segala kemampuan manusia lenyap dan
tidak berdaya.6

1. Konsep Kedukaan
Konsekuensi dari sebuah kematian adalah dukacita/kedukaan bagi yang
merasa ditinggalkan (kehilangan). Di dalam kedukaan ada perasaan tegang dan
bimbang yang sifatnya sangat pribadi. Kedukaan adalah pengalaman hidup yang
universal, yang pernah, sedang atau akan dialami setiap orang pada saat-saat
tertentu.7 Walaupun demikian, banyak orang yang tidak mengenali dinamika
pengalaman ini oleh karena mekanisme pertahanan diri (defence mechanism)
4
Mesack Krisetya, Teologi Pastoral (Semarang: PT Panji Graha,1998),90.
5
Mike Brennan,” Mourning and Loss : Finding Meaning in The Maurning For Hillbroungh”
Journal Mortality, vol.13,1 (UK: University Warwick,2008),6.
6
Paul E.Johnson, Psychology Of Pastoral Care (Nashville New York, Abingdon Press,1953),
233.
7
Yakub B.Susabda, Pastoral Konseling 2 (Malang: Gandum Mas) dan lihat juga Garry
R.Collins, Cristian Counseling (Waco, Texas: Woed Book Pub,1980),411.

13
yang ada pada setiap orang yaitu selalu menghindarkan dirinya dari perasaan-
perasaan negatif.
Ada banyak konsep tentang kedukaan (grief), seperti dari Sigmund
Freud dalam karya awalnya “Mourning and Melancholia”, ia melihat depressi
atau “melancholia” sebagai kedukaaan patogenik. 8 Kedukaan dapat menjadikan
manusia mengalami depresi walaupun tidak semua depresi disebabkan oleh
kematian seseorang. Kedukaan memiliki persamaan dengan depresi sebab
keduanya menimbulkan gejala psikis yang sama seperti kehilangan selera
makan, gangguan tidur, munculnya amarah, merasa tidak nyaman, dan
sebagainya. Hampir senada dengan Freud, Norman Wright juga mengungkapkan
bahwa kedukaan adalah suatu penderitaan emosi yang luar biasa, disebabkan
oleh peristiwa kehilangan, bencana dan ketidakberuntungan. 9 Coval MacDonald,
melihat kedukaan dari prespektif yang baru, yaitu bahwa kedukaan bukanlah
penyakit. Tetapi, kedukaan adalah bagian dari hidup yang tidak tampak, terluka
tetapi tidak sakit. Kedukaan adalah bagian terpenting dari pengalaman
manusia.10

Clinebell,11 mengatakan bahwa kedukaan ada di dalam segala perubahan,


kehilangan dan transisi kehidupan yang penting, tidak hanya dalam kematian
orang yang sangat dikasihi. Abineno memahami kedukaan sebagai sikap dan
reaksi terhadap kematian orang yang dicintai. Manusia berduka karena tidak lagi
bersama dengan orang yang dicintai dan tidak mampu melupakannya. Kedukaan
tidak terbatas pada apa yang dirasakan tetapi mencakup yang dipikirkan,
diinginkan, diharapkan dan yang dilakukan atau dikerjakan.12 Menurut

8
J.William Worden, Grief Counseling and Grief Therapy, (New York: Springer Publishing
Company,1982),28, dikutip dari Stigmund Freud, “Mourning and Melancholia,1917, Standart
Edition,Vol.XIV,London, Hagarth,1957).
9
H.Norman Wright, “Crisis Counseling, A Practical Guide For Pastors, Couselor and Friend”
(California: Regel Books, 1993),154.
10
Coval B.MacDonald, Clinical Handbook of Pastoral Counseling,editor: Robert J.Wicks,dkk
(Amerika: Paulis Press,1985),540.
11
Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral (Yogyakarta:
Kanisius,2002),284.
12
J.L.Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka (Jakarta: BPK.Gunung Mulia,
1991),1.

14
Wiryasaputra,13 kedukaan bukan hanya tanggapan kognitif, melainkan juga
tanggapan holistik (fisik, mental,spiritual dan sosial) terhadap pengalaman
kehilangan atas sesuatu yang bernilai sehingga peristiwa kehilangan mampu
menimbulkan symptom mental, tentulah dimensi yang lain juga mengalami
perubahan sebab ke empat aspek tersebut saling berhubungan dan
mempengaruhi.

Dari uraian di atas, ternyata ada begitu banyak konsep tentang kedukaan
dan sangat sulit untuk mendefenisikan kedukaan, sebab kedukaan itu unik dan
kedukaan itu berbeda pada tiap-tiap orang. Kedukaan adalah bagian pengalaman
hidup yang harus dihadapi manusia, tidak bisa dipaksakan dan tidak bisa
diprediksi kapan akan berakhir. Namun, kedukaan dialami sebagai reaksi dari
kehilangan sesuatu atau seseorang yang begitu dikasihi. Kedukaan terbesar yang
dialami manusia diakibatkan oleh kematian orang yang dikasihi. Kedukaan
bukanlah penyakit, jika dikelolah dengan baik.

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dalam Kedukaan 14

Dikatakan di atas bahwa dalamnya kedukaan berbeda antara satu


penduka dengan yang lain, sebab ada banyak faktor yang mempengaruhi
kedalaman kedukaan seseorang, yaitu :

2.1 Kedekatan Antara Penduka dengan Almarhum

Hubungan emosional dan peran yang dimiliki alrmarhum merupakan


faktor pertama yang memberikan dampak yang kuat bagi kedalam kedukaan
seseorang. Jika almarhum tidak memainkan peranan yang urgen dalam hidup
penduka maka rasa duka tidak begitu mendalam, sebaliknya jika peran

13
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,25.
14
Wiryasaputra, Mengapa Berduka,43-67.

15
almarhum sangat signifikan, maka respon kedukaan menjadi lebih mendalam
dan kompleks.15

2.2 Cara dan Penyebab Kematian

Cara dan penyebab kematian almarhum akan mempengaruhi dangkal


atau dalamnya kedukaan. Misalnya, seorang anak yang kehilangan ayahnya
karena sakit tua pada usia 90 tahun tentu berbeda dengan seorang anak yang
kehilangan ayahnya karena kecelakaan lalu lintas yang tragis pada usi 35
tahun. Kedukaan seorang istri yang kehilangan suaminya karena kecelakaan
pesawat terbang di usia 41 tahun berbeda dengan kehilangan suaminya karena
penyakit tifus di usia 50 tahun. Makin “dianggap biasa” cara kematian, maka
makin dangkal dan sederhana juga dinamika kedukaannya. Sebaliknya, makin
“dianggap tidak biasa” cara dan penyebab kematian itu makin dalam dan
rumitlah proses kedukaannya. 16Sehingga, dapat dikatakan bahwa dinamika
kedukaan terletak pada kedukaan spontan akibat kematian yang tiba-tiba/tidak
terantisipasi dan kedukaaan terantisipasi (anticipated grief).

2.3 Coping Orang Yang Berduka

Coping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam


upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang
melelahkan atau melebihi individu.17 Rasmun mengatakan coping adalah
proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stresfull. Coping
tersebut merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya
baik secara fisik maupun psikologik.18 Budi Kelliat menggambarkan
mekanisme coping sebagai suatu cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dari perubahan, serta respons

15
Wiryasaputra, Mengapa Berduka,45.
16
Wiryasaputra, Mengapa Berduka,45.
17
http://nursingakademy.blogspot.co.id/2010/04/koping.html, di akses tanggal 11 Juni 2016,
Pukul 14.25 WIB.
18
Rasmun, Stress, Koping & Adaptasi; Teori dan Pohon Masalah Keperawatan (Jakarta:
Sagung Seto,2004),17.

16
terhadap situasi yang mengancam.19 Dapat dikatakan bahwa coping seseorang
(baca: orang yang berduka) sangat menentukan berhasil atau tidak orang yang
berduka melewati masa kedukaannya.

2.4 Sosial-Budaya Orang Yang Berduka

Menurut Wiryasaputra, kedukaan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh


kemampuan seseorang, tetapi juga berakar pada sistem sosial. Jika lingkungan
sosial mengerti seluk beluk kedukaan dan menyediakan saranan pendukung
kesembuhan, maka penduka dapat menyelesaikan kedukaannya dengan baik.
Sebaliknya, jika iklim sosial tidak bersahabat dan memandang kedukaan
sebagai hal yang negatif, maka kedukaan akan menjadi patogenik. Untuk
memahami kedukaan seseorang sangat penting untuk mengerti iklim
sosialnya.20

Faktor-faktor di atas saling mempergaruhi, tidak berdiri sendiri-sendiri.


Satu faktor dengan yang lain memang dapat dibedakan, namun faktor-faktor ini
tidak adapat dipisahkan satu dengan yang lain, saling berhubungan dan saling
mempengaruhi.

3. Gejala-Gejala dalam Proses Kedukaan


Kedukaan bersifat universal, unit, dan situasional. Setiap orang
mengalaminya secara berbeda, tidak ada yang sama, situasi dan kultur yang
berbeda menghasilkan kedukaan yang berbeda, namun, symptom dapat diamati
dan dipahami.21 Gejala-gejala kedukaan utama dalam proses berduka, seperti
yang disampaikan Wiryasaputra, antara lain:
3.1 Air Mata dan kepedihan hati
Menangis merupakan gejala normal dan manusiawi. Dengan
mengeluarkan air mata merupakan cara meluapkan emosi kesedihan,

19
A.Budi Kelliat, Gangguan Konsep Koping; Citra Tubuh, Seksual pada Klien Kanker (Jakarta:
EGC,1998),57.
20
Wiryasaputra, Mengapa Berduka,Ibid,44.
21
Jackson, Understanding Grief, the Roots, Dynamics and Treatment (Nashville, New York:
Abingdon Press, 1957),15 dalam Joshua Liebman, “Peace Of Mind” (New York: Simon and
Schuster, 1946),110.

17
walaupun ada individu yang mengeluarkan air mata pada saat emosi
kegembiraan, namun secara umum air mata diasosiasikan dengan dukacita
dan tawa adalah simbol kegembiraan. Kadang, ada mitos bahwa menangis
adalah tanda kelemahan.22 Apalagi kalau yang menangis adalah lelaki,
sehingga banyak orang menahan tangisan saat berduka. Menangis saat
berduka adalah wajar dan beralasan. Dengan menangis, orang yang berduka
mengeluarkan segala isi hatinya, kepedihan batinnya. 23 Silakan menangis jika
kita ingin menangis.
3.2 Stress
Strees adalah sebuah reaksi psikologi kedukaan yang sering ditandai
dengan dengan beberapa perubahan pada tubuh, misalnya zat adrenaline
terpompa masuk ke dalam sistem peredaraan darah, menyebabkan urat syaraf
menjadi tegang, tekanan darah naik, detakan jantung kian cepat, frekuensi
keringat meningkat dan kelebihan energi glycogen.24 Perubahan tersebut
melahirkan gangguan kesehatan fisik, yang memperlihatkan hubungan
kedukaan dengan penyakit akibat stres, misalnya hubungan sakit diabetes,
akibat meningkatnya glycogen yang berubah menjadi zat gula, dengan
kedukaan yang tidak diselesaikan.
3.3 Penolakan
Penolakan berarti orang yang mengalami kehilangan belum atau tidak
mau mengakui atau menerima keadaan yang sebenarnya. Tidak percaya
bahwa telah terjadi kematian orang yang dikasihi. Secara psikologi,
penolakan ini wajar sebagai cara mempertahankan diri. Gejala ini
berlangsung singkat, tetapi jika muncul berkepanjangan akan menimbulkan
gejaja-gejala yang lain, seperti halusinasi.25
3.4 Marah

22
Johanis M.Felubun, Kaya Dalam Perjumpaan, Miskin Dalam Relasi, (Fak-Fak: GPI di Papua,
2012), 108-109.
23
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,108.
24
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,109.
25
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,109-110.

18
Kedukaan dapat dikenal lewat kemarahan orang yang mengalami
kehilangan. Elisabeth Kubler Ross, seorang psikiater sosial menyebut gejala
ini sebagai gejala kedua dari tahapan kedukaan. Marah (anger) dapat
ditujukan pada pihak lain seperti teman, suatu keadaan atau hal-hal yang
terkait dengan peristiwa kematian bahkan Tuhan. Kemarahan juga dapat
ditujukan pada diri sendiri. Orang yang berada pada tahapan ini akan
mengekspresikan bentuk kemarahannya dan ketidakpuasannya melalui
berbagai macam kata-kata dan tindakan kepada siapa saja dan apa saja
dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap meninggalnya orang yang ia cintai.26

3.5 Depresi, Muram, Tertekan Batin


Kedukaan juga terlihat dari depresi, namun tidak semua depresi
merupakan gejala kedukaan. Depresi berorientasi pada masa lalu, sedangkan
putus asa berkaitan dengan masa kini dan masa depan. Orang yang depresi
biasanya membenci dirinya sendiri dan terus mempersalahkan dirinya
sendiri.27

3.6 Putus Asa


Putus asa berkaitan erat dengan kehidupan masa kini dan masa
depan. Orang yang putus memandang masa kini dan masa depan bagaikan
keberadaan dalam kegelapan hidup. Gejala putus asa ini akan semakin dalam
jika orang yang berduka tidak memiliki teman yang menemaninya, kesepian,
tidak ada yang menolongnya.28

3.7 Rasa Bersalah, menyesal


Rasa bersalah selalu dirasakan setelah menyadari adanya kehilangan.
pada saat kedukaan. Rasa bersalah membuat orang yang mengalami

26
Elisabeth Kubler Ross, On The Death and Dying (New York: Collier Books,Macmillan
Publishing Company, 1969), dalam Totok S.Wiryasaputa,Mengapa Berduka,111-112.
27
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,112.
28
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,112-114.

19
kehidlangan seakan-akan menyesali dirinya sendiri. Hal ini, dikarenakan
kemarahan dan kebenciaan tidak dapat diarahkan pada pihak lain, sehingga
diarahkan kepada diri sendiri.29
3.8 Menerima Kenyataan
Akhir dari proses kedukaan adalah menerima kenyataan. Penerimaan
adalah titik terakhir dari proses berduka dan titik awal dari sebuah masa
depan yang akan dijalani tanpa kehadiran almarhum. Di titik ini, orang yang
berduka telah siap memasuki babak baru, yakni babak pertumbuhan. Jika,
gejala ini tidak dimiliki oleh orang yang berduka, itu menandakan bahwa
proses berdukanya belum atau tidak terselesaikan dengan baik.30

4. Dinamika Kedukaan Menurut


Dinamika kedukaan selalu diberikan berdasarkan tahapan kedukaan
secara bervariasi dan semua individu/ keluarga yang berduka akan melewati
tahapan kedukaan yang tidak sama. Wiryasaputra, memandang bahwa
dinamika berduka tidak selamanya berjalan secara mekanis dan sistematis. 31
Dinamika proses kedukaan pada dasarnya tidak berurutan secara mekanis.
Artinya, tidak ada warna, irama atau nada kedukaan yang sama. Tahapan
shock/terkejut, mungkin tampak pada klien tertentu, namun belum tentu
tampak pada klien lain di Indonesia. Dalam klien tertentu gejala terkejut
mungkin muncul pada awal proses berduka. Namun, bukan berarti bahwa
gejala terkejut selalu muncul pada awal setiap proses kedukaan. Bisa saja,
dalam beberapa kasus kedukaan, tahapan terkejut tidak muncul sama sekali,
misalnya pada peristiwa kehilangan dan kedukaan yang terantisipasi
(anticipated grief). Tahapan marah tidak selalu muncul dalam proses kedukaan
di Indonesia karena pola pikir dan kebudayaan kita. Marah bisa saja ditujukan
pada pihak lain ataupun diri sendiri. Dinamika berduka membutuhkan
kepekaan batin orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan orang

29
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,114.
30
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,115.
31
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,114.

20
yang berduka, termasuk dalam hal ini yang memberi pertolongan atau
pendamping pastoral.

5. Tugas-Tugas Dalam Kedukaan

Berikut ini akan memuat beberapa tugas dalam kedukaan dan tipe
pertolongan yang memudahkan untuk menyelesaikan masa kedukaan.

Alan D.Wolfelt32 berpendapat bahwa sebuah proses berduka akan


membawa kita pada titik rekonsialiasi, yaitu meyakini sebuah kenyataan baru
dan bergerak maju tanpa kehadiran fisik dari orang yang telah meninggal. Hal
ini dimulai dari saat upacara pemakaman, dimana kebutuhan orang yang
berduka akan terpenuhi melalui kerja kedukaan mereka sendiri dan melalui
cinta dan kasih sayang dari orang di sekitar mereka. Ketika sang orang yang
berduka melihat bahwa ada orang-orang disekitarnya, ini mampu
mendamaikan kesedihan mereka. sehingga Sang penduka kemudian bisa
menemukan makna hidup dan kehidupannya.

Secara umum, Alan D.Wolfelt, menjelaskan enam tugas berkabung


(tasks of mourning) yang bisa ditemukan dalam tradisi-tradisi kematian yang
menimbulkan kehilangan dan kedukaan, yakni: pertama, upacara pemakaman
yang umumnya dilakukan adalah sebuah tindakan simbolik pengakuan manusia
terhadap realitas kematian. Orang yang berduka bisa bergerak maju dengan
kesedihan, jika orang yang berduka mengakui secara terbuka realitas dan
finalitas kematian.

Kedua, rangkulah rasa kehilangan. Kesedihan yang sehat berarti


mengungkapkan pikiran yang menyakitkan dan perasaan kita. Dengan adanya
berbagai upacara pemakaman dapat memungkinkan kita untuk melakukannya
dengan cara menangis,terisak bahkan secara histeris meratap ketika
pemakaman terjadi karena perpisahan akan segera terjadi. Pemakaman
32
Alan D.Wolfelt, “Undersatand The Six Needs Of Mourning,” Journal Home Healthcare Nurse,
29.No.2.

21
memaksa kita untuk mengalami rasa sakit, bahwa kematian itu sungguh-
sungguh terjadi pada orang yang kita kasihi.

Ketiga, mengingat orang yang meninggal. Untuk menyembuhkan


kesedihan dalam kedukaan, kita perlu menggeser hubungan dengan orang yang
meninggal, dari kebersamaan fisik menjadi tinggal kenangan. Setelah
rangkaian upacara pemakaman, kita akan mendapat penghiburan dari pelayat
yang tentunya ketika kita berjumpa, akan berbagi kenangan bersama almarhum
kepada orang yang berduka bahkan sebaliknya. Semakin kita mampu
menceritakan kisah kematian tersebut sebagai sebuah kenangan, maka semakin
besar pula kemungkinan kita dapat mendamaikan kesedihan. Menceritakan
kebersamaan selama almarhum hidup, mengajarkan kita untuk tetap
menghargai kehidupan dan kematian almarhum.

Keempat, mengembangkan indentitas diri yang baru. Manusia adalah


mahkluk sosial yang hidupnya diberikan makna dalam kaitannya dengan
kehidupan orang-orang disekitarnya. Kematian suami, istri, orang tua dan anak
secara langsung memberikan sebuah indentitas yang baru kepada orang yang
berduka. Misalnya, peran baru sebagai janda, duda, yatim atau piatu.
Kehadiran para pelayat adalah bukti kepedulian sesama atas peran baru
tersebut. Kehadiran dan dukungan mereka, membantu orang yang berduka
bahwa ia masih ada dan berada di dunia.

Kelima, mencari makna. Ketika orang yang kita kasihi dan cintai
meninggal, kita tentu mempertanyakan makna kehidupan dan kematian.
Mengapa dia meninggal? Kenapa sekarang? Mengapa dengan cara seperti
ini? Apa yang terjadi setelah kematian? Untuk menyembuhkan kedukaan,
maka harus mengeksplorasi pertanyaan tersebut untuk didamaikan dengan
kedukaan kita. Pertanyaan mengapa memutuskan mengapa kita harus terus
hidup sebelum kita dapat bertanya pada diri sendiri “bagaimana” kita akan
terus hidup. Ini tidak berarti kita harus menemukan jawaban yang pasti, hanya
bahwa kita perlu kesempatan untuk berpikir tentang makna hidup itu sendiri.

22
Keenam, menerima dukungan dari orang lain. Kehadiran keluarga/
kerabat dan para pelayat lainnya adalah tempat untuk memberikan dukungan
fisik sekaligus untuk mendapatkan dukungan moril. Sebab kehadiran banyak
orang adalah satu aspek yang samgat penting dari sebuah penyembuhan
kedukaan.

Pada saat kehilangan terjadi, kebutuhan untuk dihibur sangat kuat


sekali. Tindakan pelayanan gereja dalam ibadah penghiburan dapat memberi
hiburan yang menenangkan batin bagi orang yang mengalami kehilangan. Baik
sentuhan fisik maupun pemberian makanan adalah tindakan simbolik untuk
berkomunikasi sebagai pendampingan kedukaan. Makan sesudah acara
penguburan menyatakan berlangsungnya terus kehidupan meskipun terjadi
kematian. Clinebell, berpendapat bahwa salah satu maksud dari tradisi
penguburan atau acara-acara lain setelah penguburan akan mempermudah
pembebasan emosional dari perasaan duka, sebab upacara penguburan atau
ibadah penghiburan adalah juga suatu kebaktian pengucapan syukur kepada
Tuhan karena perbuatanNya melalui orang yang meninggal itu. Sebuah
penegasan tentang kepercayaan komunitas yang membantu orang yang
kehilangan itu dalam konteks iman yang luas, yang meneguhkan
33
kehidupannya.

Apa yang dipaparkan di atas tentang tugas-tugas dalam kedukaan


menyatakan bahwa orang yang berada dalam kedukaan juga membutuhkan
pelayanan. Siapakah yang harus melayani mereka? Apakah hanya pelayan
gereja (pendeta/pastor/penatua/diaken)? Ataukah sang penduka juga
mempunyai tugas dalam pelayanan masa kedukaan ini? Kita harus sama-sama
mengusahakannya, bukan hanya pendeta/pastor tetapi juga orang-orang yang
berada dalam kedukaan, harus turut mengusahakannya. Tanpa partisipasi
mereka, usaha untuk menyelesaikan kedukaan tidak akan mempunyai manfaat.

33
Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, 289.

23
B. PENDAMPINGAN DAN KONSELING PASTORAL BUDAYA

1. Pastoral

Untuk istilah pastoral, berasal dari bahasa Latin kata “pastor” atau
dalam bahasa Yunani disebut “poimen” yang artinya “gembala”. Istilah ini
dipakai dalam kehidupan gerewaji sebagai tugas Pendeta yang dituntun
menjadi gemala bagi jemaat. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri
Yesus Kristus dan karya-Nya sebagai “Pastor Sejati” atau “Gembala Yang
Baik” (Yoh.10). Ungkapam ini mengacu pada pelayanan Yesus yang tanpa
pamrih, bersedia memberikan pertolongan dan pengasuhan terhadap para
pengikut-Nya, bahkan rela mengorbankan nyawa-Nya. Pelayanan yang
diberikan-Nya ini merupakan tugas manusiawi yang teramat mulia dan
pengikut-Nya diharapkan dapat mengambil sikap dan pelayanan Yesus ini
dalam kehidupan praktis mereka. Oleh karena itu, tugas pastoral bukan hanya
tugas resmi atau monopoli para pastor/pendeta saja, tetapi juga setiap orang
yang menjadi pengikut-Nya.34

Pengertian istilah pastoral di atas kemudian memberi pemahaman


kepada kita bahwa tugas pastoral bukan hanya tugas seorang pastor/pendeta
tetapi tugas yang dimandatkan kepada semua orang percaya untuk saling
menopang dan menolong sesama. Dalam pastoral ada dua pendekatan, yaitu
pendampingan pastoral dan konseling pastoral. Secara fungsi kedua
pendekatan ini sama tetapi secara tekniks pelaksanaan keduanya berbeda.
Akan dijelaskan dibawah ini.

2. Pendampingan Pastoral
Kata pendampingan pastoral adalah gabungan kata yang memiliki
makna pelayanan, yaitu kata pendampingan dan pastoral. Pertama;
34
Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,2015),9-10.

24
Pendampingan berasal dari kata kerja mendampingi. Menurut Aart Van
Beek35 mendampingi adalah kegiatan menolong orang lain yang disebabkan
oleh sesuatu hal sehingga perlu didampingi. Orang yang melakukan kegiatan
mendampingi disebut pendamping dan orang yang membutuhkan
pendamping disebut sebagai yang didampingi. Relasi antara pendamping dan
didampingi bersifat sejajar atau adanya relasi timbal balik.
Pendampingan pastoral disebut juga sebagai penyembuh jiwa. Kondisi
di mana seseorang ada dalam kondisi marah, kecewa, serakah, iri hati, malas
dan lainnya yang menandakan bahwa jiwa seseorang sedang dalam kondisi
sakit. Penyembuh jiwa dapat dilakukan melalui pendampingan pastoral. Jiwa
yang mengalami penyakit tersebut didampingi agar bebas atau sembuh.
Menurut Clebsch dan Jackle bahwa jiwa yang sakit harus disembuhkan
dengan pendampingan pastoral. Pendampingan pastoral menghadirkan nilai
kristen yang bertujuan untuk menyembuhkan, membimbing,
mempertahankan atau mendamaikan. Tujuan ini dirangkum dalam fungsi
pendampingan pastoral.36

Daan Engel, menambahkan bahwa dalam tugas sebagai pendamping,


maka proses pendampingan akan dialami bersama dengan yang didampingi,
keduanya akan mengalami perubahan bersama. Pendamping hadir dengan
kepeduliaan dan sikap empati sehingga yang didampingi tidak merasa sendiri.
Sekaligus juga, pendamping melakukan pendampingan pada diri sendiri.
Artinya pendamping juga mengalami luka-luka secara pribadi, sehingga
dalam proses pendampingan maka pendamping memberikan diri sekaligus
menyebuhkan luka-luka yang dialami. Berarti pendampingan adalah sebuah
proses yang terjadi terus menerus antara pendamping dan didampingi yang
berelasi sejajar sehingga pendamping dan yang didampingi mengalami
perubahan dan pertumbuhan bersama ke arah yang lebih baik.37 Itu berarti

35
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 9-11.
36
William A Clebsch & Charles R.Jaeke, Pastoral Care in Historical Perspective, (Prentice
Hall,Inc,1964),1-10,136-137.
37
Jacob Daan Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral, (Salatiga: Tisara Grafika,2007),2.

25
dalam proses pendampingan itu sendiri sangat dimungkinkan bagi
pendamping dan didampingi untuk mengalami perubahan bersama. Relasi
pendamping dan yang didampingi dibangun dalam bentuk relasi mesra dan
harmonis, yang memungkinkan untuk mengalami kedamaian dan
kebahagiaan sehingga menumbuhkan sikap saling menghargai dan
mempercayai.38

Berdasarkan beberapa pandangan para ahli di atas dapat dikatakan


bahwa pendampingan pastoral adalah suatu upaya menolong orang lain dalam
relasi yang sejajar antara pendamping dan yang didampingi sehingga
keduanya memiliki kesempatan untuk bertumbuh bersama, sehingga terjadi
pertumbuhan pada kehidupan manusia secara utuh, yaitu fisik, mental, sosial
dan spiritual. Pendampingan adalah proses perjumpaan yang melahirkan
kepeduliaan dan empatik. Pendampingan bisa dilakukan oleh siapapun.

3. Konseling Pastoral

Menurut Aart Van Beek, istilah konseling dari kata counseling


(bahasa Inggris), memiliki banyak pandangan yang berbeda. Awalnya
Konseling memiliki pengertian memberi nasehat atau membimbing. 39 Proses
percakapannya disebut konseling dan diharapkan melalui konseling, konseli
menemukan kekuatan baru dan wawasan baru untuk mengatasi
masalah.40Konseling Pastoral terjadi ketika seseorang membutuhkan bantuan
atau pertolongan sehingga terjadi perjumpan dan percakapan pastoral.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konseling pastoral merupakan
bagian dari pendampingan pastoral.41 Konseling pastoral bukan hanya
memampukan klien menyelesaikan masalahnya tetapi juga menyakinkan
klien untuk menggembangkan spiritualitasnya sehingga klien sendiri dapat

38
Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral,1-4.
39
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 9-10.
40
Aart Van Beek, Potret Diri Seorang Konselor (Salatiga: UKSW Press, 1997),1-3
41
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 16-17.

26
membangun, memperbaiki dan membina hubungan yang baik dan mengalami
pertumbuhan.

Lebih lanjut, Daan Engel,42 mengartikan konseling sebagai proses


pertolongan antar seorang penolong (konselor) dan yang ditolong (konseli),
dengan maksud bukan hanya meringankan penderitaan orang yang ditolong,
tetapi juga memberdayakannya. Konseling menempatkan seorang konselor
bersentuhan selalu dengan apa yang disebut relasi terhadap sesamanya.
Kedalaman relasi terbangun jika seorang konselor memandang orang yang
bermasalah itu berharga, yang bukan hanya dikasihani tetapi dicintai sebagai
sesama yang membutuhkan dukungan dan pertolongan. Perwujudan cinta
kasih dalam suatu konseling adalah dengan memperhatikan orang lain dengan
kehadirannya secara utuh, penuh perhatian, menghargai, mendengarkan,
saling bekerjasama, bersikap lemah lembut, ramah dan penuh kehangatan
serta menyatakan empati yang tepat, tidak berpura-pura. Selain pengertian di
atas, Clinbell mengartikan konseling sebagai ungkapan pendampingan yang
bersifat memperbaiki (reparatif), yang berusaha membawa kesembuhan bagi
orang lain yang sedang menderita gangguan fungsi pribadi akibat krisis.43

Paparan-paparan di atas, mau menjelsakan bahwa antara


pendampingan dan konseling pastoral, tidak ada perbedaan yang signifikan.
Sebab, keduanya didasari oleh nilai-nilai kristiani dan secara konseptual
memiliki fungsi yang sama. Perbedaan keduanya terletak pada pelaksanaan
dimana konseling pastoral dilakukan ketika seseorang (klien) sementara ada
dalam masalah dan membutuhkan pertolongan sedangkan pendampingan
pastoral dilakukan seumur hidup, di ruang dan diwaktu manapun.
Pendampingan menjadi dasar bagi pemahaman kita tentang konseling atau
pendampingan merupakan landasan yang kuat bagi konseling. Itu berarti
bahwa pendampingan dapat kita lakukan tanpa konseling, tetapi sebaliknya

42
Jacob Daan Engel, Konseling Dasar Dan Pendampingan Pastoral: Pemahaman dan
Pengalaman Dalam Praktek (Salatiga: Widya Sari Press, 2003),1.
43
Clinbell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, 17-18.

27
kita tidak bisa melakukan konseling tanpa pendampingan. Keduanya adalah
tindakan penggembalaan, pendampingan dan konseling.44
4. Fungsi Pendampingan dan Konseling Pastoral
William A. Clebsch dan Charles R.Jaekle dalam buku “Pastoral Care
in Historical Perspektive” mengatakan fungsi pendampingan dan konseling
pastoral secara tradisonal ada empat45 yaitu, menyembuhkan (healing),
mendukung (sustaining), membimbing (guiding), rekonsiliasi (reconciling).
Howard Clinebell dalam buku “Basic Types of Pastoral Care & Counseling”
mengatakan fungsi pendampingan dan konseling pastoral secara tradisonal
ada empat,46 menambahkan fungsi yang kelima, yaitu memelihara
(nurturing),47 dan Arrt Van Beek48 menambahkan fungsi yang keenam, yaitu
mengutuhkan.49

(1) Menyembuhkan (healing)


Untuk mengatasi gangguan dengan mengembalikan orang
pada keutuhan dan memimpin dia mau melampaui kondisi
sebelumnya. Fungsi ini sangat penting untuk mereka yang mengalami
dukacita karena kehilangan atau terbuang. Tekanan mental yang
terjadi dapat mengakibatkan penyekit psikosomatis, suatu penyakit
yang langsung maupun tidak karena tekanan mental yang berat.

44
Dalam bukunya yang berjudul Pendampingan Pastoral, Aart Van Beek mengatakan bahwa
seyogianya pengembalaan didefenisikan sebagai “pendampingan dan konseling pastoral”. Usulan
ini didasarkan pada konteks masa kini dimana kata “gembala” kurang dapat dianggap kontekstual
lagi. Mengingat perkembangan masyarakat yang tadinya tradisional-agraris ke arah industri,
alegori domba pun bukan lagi simbol yang terlalu positif. Pendamping adalah orang yang
menolong penderita agar ia menolong dirinya sendiri, buka menjadi pengikut yang pasif seperti
domba, yang pada suatu saat dapat berjalan sendiri dengan tegar. Dengan demikian, menurut Van
Beek, sebetulnya setiap orang dapat menjadi pendamping pastoral, asal dalam pelayanannya ia
berangkat dari prespektif pendampingan/ menggembalakan. Kesimpulan yang ia berikan adalah,
pendampingan sama dengan penggembalaan. Pendampingan/ penggembalaan berarti menolong
manusia yang menderita ke arah pengutuhan, lengkah demi langkah. Konseling pastoral
merupakan bagian dari pendampingan pastoral.
45
William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspektive
(Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1964),33-36.
46
Howard Jhon Clinebell, Basic Types Of Pastoral Care and Caunseling-Resources For The
Ministry of Healing & Growth (Nashville: Abidong Press, 1966),42-43.
47
Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, 89-172.
48
Van Bekk, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,2015), 13-15.
49
Van Beek, Potret Diri,13-17.

28
Tekanan mental sering terungkap melalui disfungsi tubuh. Pada
kondisi ini pendamping diharapkan dapat menolong dengan
pendekatan agar yang didampingi mengungkapkan perasaan yang
tertekan.
(2) Mendukung (sustaining);
Berfungsi membantu seseorang yang terluka untuk bertahan
dan mengatasi keadaan menuju proses pemulihan atau penyembuhan
dari luka yang paling berat sekalipun. Dukungan yang dapat dilakukan
biasanya melalui kehadiran dan sapaan yang meneduhkan serta
terbuka, ini dapat mengurangi penderitaan. Dukungan yang seperti ini
dapat mengurangi penderitaan yang berat atau memukul.
(3) Membimbing (guiding);
Dilakukan ketika yang didampingi merasa kebingungan
untuk menentukan pilihan atau keputusan. Dalam mengambil
keputusan harus diketahui konsekuensi atau dampak dari pilihan, baik
sekarang maupun yang akan datang. Dalam hal ini pendampingan
harus mengemukakan beberapa kemungkinan yang bertanggungjawab
dengan segala resiko sekaligus membimbing ke arah yang berguna.
Keputusan tetap di tangan orang yang didampingi dengan mengetahui
segala resiko dari keputusan.
(4) Rekonsiliasi (reconciling);
Adalah usaha untuk membangun kembali hubungan yang
rusak antara yang didampingi dengan orang lain, begitu juga yang
didampingi dengan Tuhan. Rekonsiliasi ditempuh dengan cara
mendamaikan melalui pengampunan dan kedisiplinan. Hubungan
yang rusak sering mengakibatkan penderitaan psikis maupun fisik,
karena itu, pendampingan membantu untuk menganalisa faktor yang
mengancam dan merusak hubungan tersebut sehingga menemukan
alternatif untuk memperbaiki hubungan tersebut. Pendampingan harus
menjadi orang yang tidak berpihak, tetapi penengah dari semua pihak
yang didampingi.

29
(5) Memelihara (nurturing);
Bertujuan memampukan orang untuk mengembangkan
potensi-potensi yang diberikan Allah kepada di sepanjang perjalanan
hidup mereka dengan segala lembah, puncak dan datarannya. 50

(6) Mengutuhkan
Yang memiliki fungsi sentral karena merupakan tujuan utama
dari pendampingan pastoral. Mengutuhkan menenjadi tujuan sentral
karena adanya pengutuhan kehidupan manusia dalam seluruh aspek
kehidupan yakni fisik, sosial, mental dan spiritual. Penderitaan
manusia ada, rusak dan menjadi terganggu dapat dilihat pada empat
aspek kehidupana manusia. Oleh karena itu, pengutuhan kembali
semua aspek ini penting sehingga manusia mengalami keutuhan dalam
hidupnya.51

Berdasarkan fungsi di atas, Gerkin menyatakan konseling pastoral


sebagai suatu seni pengenalan. Dengan demikian, konseling pastoral
mempunyai tugas utama yaitu menimbulkan kepekaan.52 Ini berarti bahwa,
baik konselor maupun konseli harus sama-sama memiliki rasa kepekaan
dalam hubungan dan pengalaman mereka, dimana keintiman/ kedekatan dari
kehadiran dan aktivitas rohlah yang dapat dirasakan/ dikenali.

5. Pendekatan Integratif dalam Pendampingan dan Konseling Pastoral

Arrt Van Beek dalam bukunya „Konseling Pastoral‟53 menggunakan


kata “holistik” dalam kaitan dengan perspektif menyeluruh. Adapun uraian
penjelasannya berangkat dari titik pandangan terhadap manusia yang sangat
kompleks. Prespektif menyeluruh ialah suatu pandangan terhadap kehidupan
manusia yang sangat kompleks. Prespektif menyeluruh ialah suatu pandangan

50
Clinebell, Basic Types, 43.
51
Van Beek, Konseling Pastoral,15-16.
52
Charles V. Gerkin, Konseling Pastoral Dalam Transisi, (Jakarta: Kanisius, 1992),96.
53
Van Beek, Konseling Pastoral (Semarang: Satya Wacana,1987),24-29.

30
terhadap situasi dan masalah-masalah konseli yang dapat menghasilkan
informasi mengenai semua aspek dalam kehidupannya. Dengan kata lain,
konselor harus mempertimbangkan persoalan-persoalan konseli dengan segala
kompleksitasnnya. Semua aspek dari kehidupan konseli perlu diperhatikan
sedikit banyak untuk menjamin pemahaman yang cukup lengkap mengenai
kesulitan yang menganggu dia. Sedangkan Daan Enggel, menggunakan
prespektif intergratif, Untuk menyederhanakan kompleksitas hidup manusia
itu kita bisa membagi hidup manusia menjadi empat aspek, yaitu:54

1) Aspek Fisik
Aspek ini berkaitan erat dengan bagian yang tampak dari hidup kita.
Aspek ini terutama mengacu pada hubungan manusia dengan bagian luar
dirinya. Dengan aspek ini, manusia dapar dilihat, diraba, disentuh dan
diukur.
2) Aspek Mental
Aspek ini berkaitan dengan pikiran, emosi dan kepribadian manusia.
Aspek ini juga berkaitan dengan cipta, rasa, karsa dan intergritas
manusia. Selanjutnya, aspek mental mengacu pada hubungan seseorang
dengan bagian dalam dirinya (batin, jiwa). Sesungguhnya aspek ini tidak
tampak, sehingga tidak dapat diraba, disentuh dan diukur. Aspek mental
memampukan manusia berhubungan dengan dirinya dan lingkunganya
secara utuh, memberadakan, membuat jarak (distansi), membedakan diri,
dan bahkan berkaitan dengan diri sendiri.
3) Aspek Spiritual
Aspek ini berhubungan dengan jati diri manusia. Manusia secara khusus
dapat berhubungan dengan sang pencipta sejati. Aspek ini mengacu pada
hubungan manusia dengan sesuatu yang berada jauh di luar
jangkauannya. Inilah aspek vertikal dari kehidupan manusia. Dalam hal
ini manusia bergaul dengan sesuatu yang agung, yang berada di luar
dirinya dan mengatasi kehidupannya.
54
Jacob Daan Engel, Konseling Pastoral Dan Isu-Isu Kontemporer (Jakarta; BPK. Gunung
Mulia, 2016), 18-19.

31
4) Aspek Sosial
Aspek ini berkaitan dengan keberadaan manusia yang tidak mungkin
berdiri sendiri. Manusia harus dilihat dalam hubungan dengan pihak luar
secara horizontal, yakni dunia sekelilingnya. Manusia selalu hidup dalam
sebuah interelasi dan interaksi yang berkesinambungan. Manusia tidak
dapat tumbuh tanpa relasi dan interaksi. Aspek ini, memampukan
manusia tidak hanya berelasi dan berinteraksi dengan sesama manusia,
melainkan juga dengan mahkluk ciptaan lainnya; udara, air, tanah,
tumbuhan, binatang, dan sebagainya.
Seluruh aspek kehidupan manusia saling berkaitan dan
mempengaruhi secara sistematik dan sinergis membentuk eksistensi
manusia sebagai keutuhan yang bertumbuh mencapai kepenuhannya. Kita
dapat membendakan satu aspek dengan aspek yang lain, namun pada
dasarnya kita tidak dapat memisahkannya, karena keempat aspek tersebut
saling berkaitan dan mempengaruhi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sesungguhnya manusia selalu berelasi dengan dirinya sendiri (internal) dan
dengan sesuatu yang berada di luar dirinya (eksternal), baik secara fisik,
mental, sosial dan spiritual. Dalam perjumpaan, manusia mengalami proses
pertumbuhan.
Crocker dan Canevello menulis di jurnal mereka bahwa manusia
adalah mahkluk sosial. Mereka membutuhkan hubungan yang mendukung
dengan orang lain baik itu fisik maupun psikologi. 55 Hal ini menunjukkan
bahwa tidak ada manusia yang dapat bertahan hidup seorang diri saja karena
sesungguhnya kodrat manusia itu adalah mahkluk sosial. Setiap interaksi
yang terjadi pasti akan selalu bersinggungan dengan lingkungan sekitarnya
dan sesama manusia akan mengisi dalam kehidupannya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konseling
pastoral dalam pendekatan integratif dapat dipahami sebagai proses
pertolongan sesama manusia secara utuh mencakup aspek fisik, mental,
55
Jennifer Crocker And Amy Canevello, “Creating and Underming Social Support in
Communal Relationships: The Role Of Compassionate and Self-Image Goals, Journal Of
Personality and Social Psycology (University Of Michigan,2008),Vol.95,3,555-575.

32
spiritual dan sosial yang bersifat pastoral yaitu menyembuhkan, menopang,
membimbing, mendamaikan dan mengutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya manusia harus dilihat secara utuh/menyeluruh, artinya dalam
konseling pastoral kita harus melihat orang yang didampingi sebagai
manusia holistik yang sedang mengalami krisis.

4. Pendampingan dan Konseling Pastoral Budaya

4.1 Makna Budaya Dalam Konteks Pendampingan Dan Konseling


Pastoral

Pendampingan dan Konseling dalam konteks budaya harus


membahas budaya dalam konteks psikologi karena dasar pendampingan
berakar pada psikologi. Dalam hal ini, psikologi memiliki dua tujuan,
yakni: (1). Budaya sebagai sebuah konsep abstrak; aspek budaya yang
dapat diamati sesungguhnya bukanlah budaya itu sendiri melainkan
perbedaan perilaku manusia dalam aktivitas dan tindakan, pemikiran,
ritual, tradisi maupun material sebagai produk kelakuan manusia, (2).
Budaya sebagai konseptual kelompok; budaya ada ketika terjadi
pertemuan antar manusia yang didalamnya akan membuahkan pola-pola
adaptasi dalam perilaku, norma, keyakinan maupun pemikiran dan atau
ide, dan (3). Budaya dinternalisasi oleh anggota kelompok; budaya adalah
produk yang ditemani oleh individu yang disatukan dalam kelompok,
maka budaya adalah alat pengikat dari individu-individu yang memberi
ciri khas keanggotaan suatu kelompok yang berbeda dengan individu-
individ dari kelompok budaya lain.56

Berdasarkan pada tiga ciri khas budaya di atas, budaya dapat


didefenisikan sebagai tingkah laku individu dan masyarakat terikat oleh
kebudayaan yang dalam perspektif psikologi pendampingan wujudnya
terlihat dalam berbagai aturan atau norma yang khusus, dimana aturan dan

56
David Matsumoto & Linda Juang, Culture and Psychology (Thomson Wadsworth, 2004),24.

33
norma tersebut menjadi kontrol bagi masyarakat. Sehingga kebudayaan
adalah proses yang dipelajari dan berkembang serta nilai-nilai yang ada
diambil sekelompok masyarakat. Nilai atau aturan tersebut menjadi sebuah
sistem nilai yang diatur. Budaya sebagai konstruk individu dan sosial
memuat sistem nilai budaya (culture value system) dan dalam konteks
psikologi berprespektif budaya system nilai budaya merupakan hal yang
mendasari sikap dan perilaku. Menurut Koenjaranigrat, sistem nilai budaya
merupakan tingkat paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Nilai-
nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang hidup
dalam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat. Nilai budaya
merupakan hal-hal yang mereka anggap sebagai hal yang bernilai,
berharga dan penting bagi kehidupan. Sistem nilai budaya berfungsi
sebagai pedoman yang dapat memberi arah dan orientasi bagi kehidupan
masyarakat.57

Salah satu pendekatan yang digunakan dalam konteks


pendampingan dan konseling berbasis budaya seperti yang ditawarkan
oleh Greenfield,58 yang memakai istilah pendekatan kontekstual atau
pendekatan emik dan Daan Engel,59 yang memakai istilah kekhususan
budaya atau pendekatan emik. Pendekatan emik menyatakan bahwa aspek
kehidupan yang muncul dan benar hanya pada satu budaya tertentu, dan
setiap budaya memiliki konsep yang unik. Pendekatan emik (kekhususan
budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik yang khas dari
populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus
mereka.

4.2 Aplikasi Pendampingan Dan Konseling Pastoral Budaya Dalam


Kedukaan

57
Koenjranigrat, Masalah Kesukubangsaan Dan Integrasi Nasional (Jakarta: UIP,1993),3.
58
Patricia M.Greenfield, “Theree Approaches to The Psychology of Culture: Where do They
Come From? Where Can They Go?”, Asian Journal of Social Psykology (2000),3 223-240.
59
Jacob Daan. Engel, Konseling Pastoral Dan Isu-Isu Kontemporer,68-69.

34
Dengan berbagai keterbatasan dan hambatan dalam pengembangan
praktek pendampingan dan konseling pastoral, maka ada beberapa
pendekatan yang bisa dijadikan kekuatan dalam pendampingan dan
psikologi, yaitu psikodinamik, behavioristik, eksistensi dan humanistik,
yang bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya asli masyarakat
(indegineous value), yang berkembang dalam praktek pastoral di
masyarakat tetapi dalam praktek pendampingan dan konseling budaya
tidak semua pendekatan ini dipraktekkan secara efektif, terutama dalam
setting budaya yang tidak sama dengan budaya barat. 60 Untuk tindakan
pastoral dalam suatu kedukaan, maka bisa dilakukan melalui dua
pendekatan, yakni pendetakan psikodinamik yang bertujuan
mengembangkan kemampuan dan adanya upaya untuk memahami diri
sendiri, dan pendekatan behavioris yang bertujuan menggembangkan
perilaku baru, yakni perilaku yang merugikan.

Peran budaya membantu dalam proses untuk mendefnisikan tujuan


dengan memakai pengalaman hidup dan nilai budaya konseli, baik
individu maupun kelompok. Dalam hal ini, budaya dipakai sebagai sebuah
strategi yang berperan untuk penyembuhan dan menyeimbangkan nilai
individu dan kelompok dalam sistem budaya yang ada. Sebab, individu
dalam masyarakat memiliki identitas yang bersumber dari satu kultur atau
beberapa kultur. Dampaknya adalah kultur seseorang atau sekelompok
orang terlihat dalam relasi, masalah emosi dan perilaku serta pemahaman
tentang hidup. Kultur tersebut ditemukan dalam simbol yang diwariskan
secara turun temurun untuk berkomunikasi, bertahan hidup dan
menggembangkan pengetahuan tentang hidup. Aspek penting yang terkait
didalamnya adalah realitas, memahami diri, konstruksi moral, konsep
waktu, nilai penting dari sebuah tempat.61

60
M.Jumarin, Dasar-Dasar Konseling Lintas Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),23.
61
John McLeod, Pengantar Konseling; Teori Dan Study Kasus, (Kencana: 2010),273-290.

35
Dari paparan diatas dapat dikatakan bahwa dalam budaya ada
nilai-nilai kehidupan yang diberlakukan untuk individu maupun kelompok,
bertujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Nilai-nilai dalam budaya
diwariskan dari generasi ke generasi untuk menghidupkan manusia
sehingga manusia menemukan makna dan nilai didalamnya. Apa yang
tertuang dalam perilaku-perilaku di masyarakat menjadi dasar bagi ilmu
psikologi untuk memahami keberadaan seseorang, sehingga pengetahuan
psikologi dalam konteks budaya menjadi dasar untuk membantu konselor
melakukan pendampingan dan konseling pastoral.

C. SOLIDARITAS SOSIAL
Selain sebagai mahkluk personal, manusia juga adalah mahkluk sosial.
Ia ada dan berkembang bersama dengan individu yang lain, dalam arti ini
kehadian orang lain merupakan hal yang mutlak. Hidup manusia adalah ada
bersama. Pembentukan diri dan realisasi diri pribadi hanya bisa terpenuhi
berkat kehadiran pribadi-pribadi yang lain.62
1. Manusia sebagai Mahkluk ber-Solidaritas Sosial
Solidaritas, dapat diartikan sebagai sifat (perasaan) solider, sifat satu
rasa (senasib), perasaan setia kawan antar sesama anggota masyarakat, atau
dengan kata lain, solidaritas adalah kekompakan hidup yang didasarkan pada
rasa setia kawan.63 Solidaritas dimaksud, muncul dari kenyataan hidup
masyarakat, yang memiliki suatu ikatan hidup bersama. Ikatan utama adalah
kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral. Singkatnya, solidaritas
menunjuk pada suatu keadaan hubungan antar individu dan atau kelompok
yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama
dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.64

62
Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia, Upaya Membangkitkan Humanisme (Yogyakarta:
Kanisius,2009),101.
63
Peter Salim, The Commentary English-Indonesia Dictionary (Jakarta: Sixth
Edtions,1991),325.
64
Doyle Paul Johnson, Teori Sosioligi Klasik Dan Modern Jilid I (Jakarta:PT Gramedia,
1986),181.

36
Menurut Robert H.Laver, solidaritas kelompok dimaksud, dapat
dimunculkan dari ikatan kekeluargaan dan agama.65 Ikatan kekeluargaan
dapat menciptakan solidaritas, karena dengan ikatan kekeluargaan manusia
memiliki dorongan alamiah untuk melindungi kerabat dari serangan atau
penindasan dari pihak lain. Dengan kata lain, solidaritas muncul dari
kelompok masyarakat, karena ada ikatan-ikatan kekeluargaan diantara
mereka. Melalui solidaritas, mereka menampakkan kesatuan dan
kekompakan sebagai suatu komunitas. Selain ikatan kekeluargaan, agama
juga dapat menciptakan solidaritas bagi para pemeluknya. Agama
menetralisir semangat persaingan dan perasaan iri antarsesama anggota
kelompok. Agama menekankan kesatuan hidup dan menyediakan tujuan
bersama.
Emile Durkheim, menggemukakan dua bentuk solidaritas dalam
masyarakat, yakni solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik
didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama, yang menunjuk pada
“totalitas kepercayaan dan setimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada
masyarakat yang sama itu.66 Jadi, solidaritas mekanik tergantung pada
individu-individu yang memiliki sifat yang sama dan menganut kepercayaan
dan pola normatif yang sama pula. Dengan kata lain, solidaritas mekanik
hanya dapat terjadi pada suatu tingkat homogenitas. Menurut Durkheim, pada
solidaritas mekanik, individualistik tidak berkembang, sebab dilumpuhkan
oleh tekanan yang besar sekali untuk konformitas. Artinya, kesadaran kolektif
membungkus kesadaran individu dalam segala hal, dimana kesadaran
individu serupa dengan kesadaran kolektif. Bila individu melanggar
kesadaran kolektif, karena merusak dasar keteraturan sosial, harus diberikan
hukuman. Hukuman yang diberikan bersifat menekan (repressive), yang
mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif atas pelanggaran moral. 67
Sedangkan solidaritas organik, didasarkan pada tingkat saling ketergantungan

65
Robert H.Laver, Prespektif Tentang Perubahan Sosial (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003),45
66
Doyle Paul Johnson, Teori Sosioligi Klasik,183.
67
Doyle, Teori Sosioligi Klasik,... Ibid,183, lihat pula, Durkheim dalam Peter Beiltharz, Teori-
Teori Sosial (Yogyakarta: Pustaka, Pelajar Offset,2003),106.

37
yang tinggi. Saling ketergantungan muncul karena bertambahnya spesialisasi
dalam pembagian kerja yang bersifat otonom.68 Untuk mempertahankan
saling ketergantungan dimaksud, diperlukan hukum yang bersifat
memulihkan (restituve). Bila tidak, saling ketergantungan akan dirusakkan
oleh koordinasi yang tidak memadai antara orang-orang yang memiliki
spesialisasi, yang kegiatan-kegiatannya tidak dapat dihubung menjadi satu.
Sementara itu, ancaman terbesar bagi solidaritas mekanik adalah
heterogenitas dan individualitas, sebab dengan heterogenitas yang tinggi,
ikatan bersama yang mempersatukan pelbagai anggota masyarakat menjadi
kendor.
Manusia menjadi mahkluk sosial setelah berinteraksi dengan individu
lain yang berada disekitarnya, atau dengan perkataan lain, setelah mengalami
proses sosialisasi barulah manusia tadi dapat berkembang menjadi mahkluk
sosial.69 Proses sosialisasi oleh manusia sebagai mahkluk sosial sepanjang
kehidupannya sejak ia dilahirkan sampai meninggal dunia. Karena interaksi
merupakan kunci berlangsungnya proses sosialisasi, maka diperlukan agen
sosialisasi, yakni orang-orang disekitar manusia tersebut yang
mentransmisikan nilai-nilai atau norma-norma tertentu, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Agen sosialisasi ini merupakan significant others
(orang yang paling dekat) dengan manusia tersebut, seperti orang tua, kakak-
adik, saudara, teman, dan sebagainya.70

2. Kematian dalam Konsep Solidaritas Sosial


Dengan menjadikan manusia yang lain sebagai agen sosialisasi,
menyatakan bahwa antar manusia memiliki sikap saling ketergantungan satu
dengan lain dalam berbagai hal, termasuk dalam hal kematian. Setiap
peristiwa kematian yang terjadi dalam suatu lingkungan masyarakat baik di
desa maupun kota, turut menyita perhatian semua warganya tanpa kecuali.

68
Doyle, Teori Sosioligi Klasik,183-184,190.
69
R.Diniarti F.Soe‟Oed, Proses Sosialisasi dalam Bunga Rampai Sosiologi Keluarga,
(ed).T.O.Ihromi, (Jakarta: Yayasan Obor, 1999),31.
70
F.Soe‟Oed, Proses Sosialisasi,32.

38
Kematian tak lain merupakan suatu usaha dari mereka yang masih hidup
untuk melanggengkan hubungan relasi sosial yang terputus. 71 Relasi sosial
yang bersifat intim, pribadi dan relatif dalam lingkungan yang terbatas inilah
yang membuat kolektifitas dan solidaritas didalamnya tumbuh semakin kuat.
Kemauan tersebut berakar dari perasaan yang menjadi kuat oleh kebiasaan
dan menjadi sempurna dalam kepercayaan mereka. Bagi Durkheim
kepercayaan dan nilai memberikan arti dan tujuan hidup sedangkan norma
membimbing dan mengatur perilaku manusia, sebab jika tidak adanya norma
maka individu akan terkantung-kantung, putus dari ikatan sosial
ditempatnya.72
Secara sosial, kematian memiliki efikasi untuk mengevaluasi perilaku
seseorang di tengah komunitasnya. Bersama dengan kematian, hubungan
sosial yang dibangun individu dan keluarga diperlihatkan keluarga kembali
melalui bantuan yang diberikan secara kolektif dalam bentuk solidaritas
kematian kepada keluarga yang sementara berduka.

3. Kehilangan Dan Kedukaan


Jakoby mengatakan bahwa kehilangan dan kedukaan adalah emosi
73
sosial, artinya di dalam kehilangan dan kedukaan itu ada ikatan sosial yang
melekat dengan almarhum. Selama ada hubungan yang intim/ baik atas dasar
persahabatan, cinta maka kehilangan dan kedukaan akan ada saat seseorang
meninggal, berpisah dan lain-lain. Kehilangan merupakan bagian integral dari
suatu kehidupan tetapi bukan sesuatu yang dinginkan. Dari sudut padang
sosial, kedukaan dilihat sebagai emosi sosial dan proses interpersonal karena
muncul dari suatu hubungan sosial yang intim. Perasaan dan ekspresi
kedukaan bervariasi sesuai kondisi sosial dan budaya. 74

71
Nina R.Jakoby “Grief As A Sosial Emotio:Theoretical Perspektives,” Death Sudies Journal,36
(2012),679-711.
72
Doyle Paul Johnson, Teori Sosioligi Klasik,191
73
Emosi diartikan sebagai keadaan fisiologi (seperti kegembiraan, kesedihan, kecintaan,
keberanian) dan ekspresi melalui wajah, suara, perasaan subjektif.
74
Nina R.Jakoby “Grief As A Sosial Emotio, :Theoretical Perspektives,”679-711

39
Secara teoritik, sosial melihat kedukaan sebagai emosi, yang lebih
lanjut dijelaskan bahwa, pertama, kedukaan adalah situasi karena kehilangan
sesuatu atau seseorang yang penting. Artinya, kehilangan merunjuk pada apa
yang dirasakan, sedangkan kedukaan pada apa yang dilakukan. Kedua, sosial
membedakan antara kedukaan dan penyakit. Kedukaan bukan penyakit,
karena umumya kedukaan dipahami sebagai sesuatu yang normal dan
masyarakat tidak bisa membedakan kedukaan secara fisik atau mental
sehingga mereka mengatakan bahwa kehilangan nafsu makan, mood sebagai
gangguan depresi. Ketiga, kedukaan didefenisikan sebagai bentuk emosi yang
negatif atau „emosional sindrom”75
Di zaman modern ini, masyarakat dicirikan dengan keragaman
individu, sosial dan budaya. Selain itu, pengaruh perpindahan demografi,
sosial dan geografis, sekularisasi membentuk pengalaman dan kompleksitas
kedukaan masyarakat. Sehingga, kedukaan dalam model sosial berfokus pada
kehadiran terus-menerus, bercakap-cakap untuk mengembalikan sebuah
makna akan hidup. Kedukaan bukan hanya proses batin, mental, karena emosi
dibentuk kembali melalui interpersonal, kekerabatan, interaksi sosial dengan
orang lain.
Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa kehilangan dan
kedukaan dalam pendekatan sosial adalah emosi. Putusnya hubungan sosial
antara orang yang berduka dengan orang yang meninggal. Hal ini
menyebabkan apa yang dirasakan (kehilangan) dan apa yang akan dilakukan
(kedukaan). Secara sosial, kedukaan bukan penyakit dan kalau sudah terjadi
depresi, maka ini adalah emosi negatif.

D. RANGKUMAN
Berdasarkan sejumlah pikiran para ahli di bab dua ini, maka tampak
beberapa hal yang menarik, yaitu sebagai berikut:

75
Nina R.Jakoby “Grief As A Sosial Emotio,761

40
1. Kematian itu universal, artinya, kematian adalah sebuah kenyataan yang tidak
bisa dihindari oleh manusia. Terhadap kematian, semua kebudayaan pada
masing-masing daerah selalu menggambarkan konsep kematian dan ritus-ritus
yang berkaitan dengan kematian. Reaksi dari kehilangan adalah kedukaan
(grief) bagi orang yang merasa ditinggalkan. Itu berarti bahwa, setiap manusia
pernah mengalami kehilangan dan secara langsung juga pernah mengalami
kedukaan. Kedukaan adalah pengalaman hidup yang universal, yang pernah,
sedang atau akan dialami setiap orang pada saat-saat tertentu. Kedukaan adalah
proses yang memiliki tahapan emosional yang dapat dikenali dan muncul
sebagai akibat peristiwa kehilangan. Walaupun demikian, banyak orang yang
tidak mengenali dinamika pengalaman ini oleh karena memiliki mekanisme
pertahanan diri (defence mechanism) yang ada pada setiap orang yaitu
menghindarkan dirinya dari perasaan-perasaan negatif.
Banyak ahli yang melakukan penelitian terhadap reaksi-reaksi kehilangan
yakni kedukaan, menyatakan bahwa kedukaan menimbulkan banyak gejala,
seperti Sigmud Freud, dalam karya awalnya “Mourning and Melancholia”
menyatakan bahwa depresi atau “melancholia” sebagai kedukaan patogenik.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Jackson, yang melihat ada tiga
perasaan yang muncul dalam kedukaan, yaitu: shock, cemas dan depresi.
Kedukaan lebih dari sekedar gejala penyakit. Wright, juga mengungkapkan
bahwa kedukaan adalah suatu penderitaan emosi yang luar biasa.
Hal ini ditantang oleh banyak pemikir ilmu kedukaan lainnya, seperti,
Coval MacDonald, Clinebell, Wiryasaputra bahwa tidak semua orang
mengalami proses kedukaan akan depresi. Sebab, depresi sangat terkait oleh
peristiwa masa lalu sedangkan kedukaan adalah persoalan masa kini
(situasional) dan masa depan. Coval Macdonald, melihat kedukaan dari
prespektif baru, yaitu kedukaan bukan penyakit, tetapi kedukaan adalah bagian
hidup yang tidak tampak, terluka tetapi tidak sakit. Clinebell, melihat kedukaan
ada pada segala perubahan, kehilangan dan transisi kehidupan manusia.
Ada begitu banyak faktor yang mempengaruhi kedukaan seseorang. Hal
ini yang melatarbelakangi sehingga kedukaan masing masing orang berbeda

41
satu dengan yang lainnya. Tercatat ada empat faktor penting, yakni, pertama
kedekatan antara penduka dengan almarhum, merupakan faktor utama dan
yang memberikan dampak kuat dalam kedukaan seseorang. Hal ini sangat
terkait dengan seberapa urgennya almarhum dalam kehidupan orang yang
berduka. Jika, almarhum tidak memainkan peran yang penting dalam hidup
orang yang berduka, maka rasa duka tidak begitu dalam, sebaliknya jika peran
almarhum sangat signifikan, maka respon kedukaan menjadi lebih mendalam
dan kompleks. Kedua, cara dan penyebab kematian seseorang, yakni
bagaimana almarhum mengalami kematian. Berbeda seorang anak yang
mengalami kehilangan ayahnya yang berusia 90 tahun karena sakit dengan
seorang anak yang kehilangan ayahnya yang berusia 35 tahun kerena
kecelakaan. Kedukaan seorang istri akibat kehilangan suaminya di usia 41
karena kecelakaan pesawat berbeda dengan kehilangan suaminya akibat sakit
strok bertahun-tahun. Artinya kematian tiba-tiba, dan bukan karena sakit
menyebabkan semakin dalamnya/rumitnya proses kedukaan. Dinamika
kedukaan sangat tergantung pada kematian yang tiba-tiba/tidak terantisipasi
dan kedukaan yang terantisipasi. Ketiga, coping orang yang berduka. Artinya,
sampai seberapa besar kemampuan orang yang berduka untuk mengatasi rasa
kehilangan akibat kematian orang yang dikasihi. Jika coping orang yang
berduka baik, maka ia mampu melewati krisis kedukaannya tetapi sebaliknya
jika copingnya lemah, maka krisis kedukaan akan lama berakhir dan patogenik
(penyakit). Keempat, Sosial-Budaya orang yang berduka. Ini terkait dengan
lingkungan sosial dimana orang yang berduka berada. Jika lingkungan
sosialnya mengerti seluk beluk kedukaan dan menyediakan saranan pendukung
kesembuhan, maka kedukaan dapat diselesaikan dengan baik.
2. Kedukaan itu unik. Sebab, kedukaan menimbulkan banyak gejala.
Wiryasaputra mencatat ada tujuh gejala yang sering nampak pada orang yang
berduka seperti: air mata dan kepedihan hati, stres, penolakan, marah, depresi,
muram, tertekan batin, putus asa, rasa bersalah, menyesal, dan menerima
kenyataan. Gejala-gejala ini berbeda pada masing-masing orang yang berduka.
Artinya, tidak ada kesamaan antara kedukaan seseorang dengan orang lain.

42
Oleh sebab itu, lebih lanjut dikatakan bahwa dinamika berduka orang di
Indonesia tidak selamanya berjalan secara mekanis dan sistematis seperti yang
dipaparkan oleh para ahli-ahli kedukaan. Dalam klien yang satu dengan klien
yang lain dinamika berduka berbeda sehingga dalam mengatasi dinamika
berduka membutuhkan kepekaan batin orang-orang yang mempunyai
hubungan dekat dengan orang yang berduka, termasuk dalam hal ini yang
memberi pertolongan atau pendamping pastoral.
3. Ada tugas bersama dalam kedukaan. Alan D.Wolfelt menyatakan enam tugas
bersama dalam kedukaan, yaitu: pertama, harus ada pengakuan terhadap
realitas kematian. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya upacara
pemakaman. Kedua, merangkul kesedihan artinya mengungkapkan kesedihan
dengan cara yang sehat sebagai cara mengungkapkan pikiran yang
menyakitkan. Ketiga, mengingat orang yang meninggal. Untuk menyembuhkan
kesedihan dalam kedukaan, kita perlu menggeser hubungan dengan orang yang
meninggal dari kebersamaan fisik menjadi kenangan. Semakin kita mampu
bercerita kisah kematian sebagai sebuah kenangan maka semakin besar
kemungkinan kita dapat mendamaikan kesedihan. Keempat, mengembangkan
identitas yang baru bahwa orang yang berduka telah berstatus janda, duda,
anak yatim/piatu sehingga mereka dan orang lain pun tahu peran tersebut.
Kelima, mencari makna dengan mempertanyakan apa yang akan teralami di
balik peristiwa ini sehingga membuat orang yang berduka pun menyadari
bahwa “bagaimana” ia akan hidup ke depan tanpa almarhum dan keenam,
harus terbuka menerima dukungan orang lain. Sebab, kehadiran banyak orang
adalah aspek yang sangat penting dari sebuah penyembuhan kedukaan.
Lebih lanjut, Clinbel menambahkan bahwa pada saat terjadi kehilangan,
kebutuhan untuk dihibur sangat kuat. Tindakan gereja dalam ibadah
penghiburan dapat memberi hiburan yang menenangkan batin bagi orang yang
mengalami kehilangan. Dengan kehadiran fisik maupun pemberian makanan,
menyatakan berlangsungnya terus kehidupan meskipun terjadi kematian.
4. Pastoral selalu dikatakan sebagai sebuah pekerjaan dari Pelayan gereja
(Pendeta/Penatua/Diaken), karena berasal dari kata “pastor”. Padahal, istilah

43
“pastor” dalam konotasi prakteknya berarti merawat dan memelihara, yang
kemudian dihubungkan dengan diri Yesus sebagai “Pastor Sejati” atau
“Gembala Yang Baik” (Yoh.10). Dengan demikian, pekerjaan pastoral bukan
hanya pekerjaan yang dimonopoli oleh pastor/pendeta saja, tetapi juga setiap
orang yang menjadi pengikutNya.
Dalam pastoral ada dua pendekatan, yaitu pendampingan pastoral dan
konseling pastoral. Secara fungsi, yaitu menyembuhkan, mendukung,
membimbing, rekonsiliasi, memeilihara dan mengutuhkan, kedua pendekatan
ini sama tetapi secara teknis pelaksanaan keduanya berbeda. Pendampingan
adalah suatu upaya menolong orang lain dalam relasi yang sejajar antara
pendamping dan didampingi sehingga keduanya memiliki kesempatan untuk
bertumbuh bersama. Pendampingan adalah proses perjumpaan yang
melahirkan kepedulian dan empatik. Pendampingan adalah proses yang long
time (sepanjang waktu) dan bisa dilakukan oleh siapapun. Sedangkan,
konseling pastoral ada pada tataran pendampingan yang harus menyelesaikan
masalah klien secara maksimal dan sesuai kemampuan konselor. Perbedaan
keduanya terletak pada pelaksanaan dimana konseling pastoral dilakukan
ketika seseorang (klien) sementara ada dalam masalah dan membutuhkan
pertolongan sedangkan pendampingan pastoral dilakukan seumur hidup, di
ruang dan diwaktu manapun. Pendampingan menjadi dasar bagi pemahaman
kita tentang konseling atau pendampingan merupakan landasan yang kuat bagi
konseling. Itu berarti bahwa pendampingan dapat kita lakukan tanpa konseling,
tetapi sebaliknya kita tidak bisa melakukan konseling tanpa pendampingan.
Keduanya adalah tindakan penggembalaan, pendampingan dan konseling yang
bersifat integratif, yakni dalam kaitan prespektif menyeluruh yang meliputi
aspek fisik, mental, spiritual dan sosial.
Pendampingan dan konseling dalam budaya harus membahas budaya
dalam konteks psikologi karena dasar pendampingan berakar pada psikologi.
Dalam hal ini, psikologi memiliki tiga tujuan, yaitu budaya sebagai konsep
abstrak, budaya sebagai konseptual kelompok, dan budaya diinternalisasi oleh
anggota kelompok. Berdasarkan pada tiga ciri khas budaya di atas, budaya

44
dapat didefenisikan sebagai tingkah laku individu dan masyarakat terikat oleh
kebudayaan yang dalam perspektif psikologi pendampingan wujudnya terlihat
dalam berbagai aturan atau norma yang khusus, dimana aturan dan norma
tersebut menjadi kontrol bagi masyarakat. Sehingga kebudayaan adalah proses
yang dipelajari dan berkembang serta nilai-nilai yang ada diambil sekelompok
masyarakat. Nilai atau aturan tersebut menjadi sebuah sistem nilai yang diatur.
Nilai-nilai ini menjadi tolak ukur individu dalam keterikatannya dengan
masyarakat dengan keunikan yang dimiliki sebagai identitas kelompok. Nilai-
nilai dalam budaya diwariskan dari generasi ke generasi untuk menghidupkan
manusia sehingga manusia menemukan makna dan nilai di dalamnya. Apa
yang tertuang dalam perilaku-perilaku di masyarakat menjadi dasar bagi ilmu
psikologi untuk memahami keberadaan seseorang, sehingga pengetahuan
psikologi dalam konteks budaya menjadi dasar untuk membantu konselor
melakukan pendampingan dan konseling pastoral.
5. Manusia adalah mahkluk sosial. Ia ada dan berkembang bersama dengan
individu yang lain. Manusia juga disebut mahkluk ber-solidaritas karena terkait
dengan sifat solider, sifat satu rasa (senasib), perasaan setia kawan antara
sesama anggota masyarakat. Robert H. Laver, mengatakan bahwa solidaritas
kelompok bisa muncul dari ikatan kekeluargaan karena keluarga bisa
membentuk kelompok masyarakat lewat ikatan-ikatan kekeluargaan di antara
mereka. Emile Durkheim, menggemukakan dua bentuk solidaritas, yakni
solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu
“kesadaran kolektif” dan yang menunjuk pada “totalitas kepercayaan dan
setimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama atau
solidaritas mekanik sangat terkait dengan individu-individu yang memiliki sifat
yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula.
Sedangkan, solidaritas organik didasari pada tingkat saling ketergantungan
yang tinggi akibat adanya spesialisasi dalam pembagian kerja. Untuk
mempertahankankan saling ketergantungan, dibutuhkan hukum yang bersifat
memulihkan.

45
6. Proses sosialisasi oleh manusia sebagai mahkluk sosial berlangsung sepanjang
kehidupannya lewat interaksi dengan orang-orang disekitarnya yang
mentransmisikan nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Agen sosialisasi ini
merupakan significant others (orang yang paling dekat). Dengan menjadikan
manusia sebagai agen sosialisasi menyatakan bahwa antar manusia memiliki
sikap ketergantungan satu dengan yang lain dalam berbagai hal, termasuk
kematian. Kematian dalam proses interaksi adalah suatu usaha dari mereka
yang masih hidup untuk melanggengkan hubungan relasi sosial yang terputus.
7. Kehilangan dan kedukaan dalam sosial adalah emosi. Dari sudut pandang
sosial, kedukaan dilihat sebagai emosi sosial dan proses inetrpersonal karena
muncul dari suatu hubungan sosial yang intim. Secara teoritik, dapat
dijelaskan, pertama, kedukaan adalah situasi karena kehilangan sesuatu atau
seseorang yang penting. Artinya, kehilangan merunjuk pada apa yang
dirasakan, sedangkan kedukaan pada apa yang dilakukan. Kedua, sosial
membedakan antara kedukaan dan penyakit. Kedukaan bukan penyakit, karena
umumya kedukaan dipahami sebagai sesuatu yang normal dan masyarakat
tidak bisa membedakan kedukaan secara fisik atau mental sehingga mereka
mengatakan bahwa kehilangan nafsu makan, mood sebagai gangguan depresi.
Ketiga, kedukaan didefenisikan sebagai bentuk emosi yang negatif atau
„emosional sindrom

46

Anda mungkin juga menyukai