1
Sujono Riyadi dan Teguh Purwanto, Asuhan Keperawatan Jiwa (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2009),102.
2
Bertha G. Simon, “A Time To Grief: Loss as A Universal Human Experience”, (New York:
Family Servive Association Of America, 1979)10-11,28-29.
3
Gladys Hunt, Pandangan Kristen Tentang Kematian, (Jakarta: BPK.Gunung Mulia,2001),1-7.
12
Dalam kebudayaan mana saja, rasanya berbicara masalah kematian,
merupakan sesuatu yang tabu atau orang mau segera menghindarinya. Orang lebih
banyak menjauhi pokok tersebut dan lebih suka berbicara hal-hal yang berkaitan
dengan kegembiraan, sukses dan sejenisnya. 4 Sebab, kematian menyisahkan
kehilangan dan dukacita bagi orang-orang terdekatnya bukan saja karena kematian
itu telah memisahkannya dari orang-orang yang dikasihinya melainkan dalam
kondisi itu juga mereka yang ditinggalkan kehilangan makna hidup secara
mendalam.5
1. Konsep Kedukaan
Konsekuensi dari sebuah kematian adalah dukacita/kedukaan bagi yang
merasa ditinggalkan (kehilangan). Di dalam kedukaan ada perasaan tegang dan
bimbang yang sifatnya sangat pribadi. Kedukaan adalah pengalaman hidup yang
universal, yang pernah, sedang atau akan dialami setiap orang pada saat-saat
tertentu.7 Walaupun demikian, banyak orang yang tidak mengenali dinamika
pengalaman ini oleh karena mekanisme pertahanan diri (defence mechanism)
4
Mesack Krisetya, Teologi Pastoral (Semarang: PT Panji Graha,1998),90.
5
Mike Brennan,” Mourning and Loss : Finding Meaning in The Maurning For Hillbroungh”
Journal Mortality, vol.13,1 (UK: University Warwick,2008),6.
6
Paul E.Johnson, Psychology Of Pastoral Care (Nashville New York, Abingdon Press,1953),
233.
7
Yakub B.Susabda, Pastoral Konseling 2 (Malang: Gandum Mas) dan lihat juga Garry
R.Collins, Cristian Counseling (Waco, Texas: Woed Book Pub,1980),411.
13
yang ada pada setiap orang yaitu selalu menghindarkan dirinya dari perasaan-
perasaan negatif.
Ada banyak konsep tentang kedukaan (grief), seperti dari Sigmund
Freud dalam karya awalnya “Mourning and Melancholia”, ia melihat depressi
atau “melancholia” sebagai kedukaaan patogenik. 8 Kedukaan dapat menjadikan
manusia mengalami depresi walaupun tidak semua depresi disebabkan oleh
kematian seseorang. Kedukaan memiliki persamaan dengan depresi sebab
keduanya menimbulkan gejala psikis yang sama seperti kehilangan selera
makan, gangguan tidur, munculnya amarah, merasa tidak nyaman, dan
sebagainya. Hampir senada dengan Freud, Norman Wright juga mengungkapkan
bahwa kedukaan adalah suatu penderitaan emosi yang luar biasa, disebabkan
oleh peristiwa kehilangan, bencana dan ketidakberuntungan. 9 Coval MacDonald,
melihat kedukaan dari prespektif yang baru, yaitu bahwa kedukaan bukanlah
penyakit. Tetapi, kedukaan adalah bagian dari hidup yang tidak tampak, terluka
tetapi tidak sakit. Kedukaan adalah bagian terpenting dari pengalaman
manusia.10
8
J.William Worden, Grief Counseling and Grief Therapy, (New York: Springer Publishing
Company,1982),28, dikutip dari Stigmund Freud, “Mourning and Melancholia,1917, Standart
Edition,Vol.XIV,London, Hagarth,1957).
9
H.Norman Wright, “Crisis Counseling, A Practical Guide For Pastors, Couselor and Friend”
(California: Regel Books, 1993),154.
10
Coval B.MacDonald, Clinical Handbook of Pastoral Counseling,editor: Robert J.Wicks,dkk
(Amerika: Paulis Press,1985),540.
11
Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral (Yogyakarta:
Kanisius,2002),284.
12
J.L.Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka (Jakarta: BPK.Gunung Mulia,
1991),1.
14
Wiryasaputra,13 kedukaan bukan hanya tanggapan kognitif, melainkan juga
tanggapan holistik (fisik, mental,spiritual dan sosial) terhadap pengalaman
kehilangan atas sesuatu yang bernilai sehingga peristiwa kehilangan mampu
menimbulkan symptom mental, tentulah dimensi yang lain juga mengalami
perubahan sebab ke empat aspek tersebut saling berhubungan dan
mempengaruhi.
Dari uraian di atas, ternyata ada begitu banyak konsep tentang kedukaan
dan sangat sulit untuk mendefenisikan kedukaan, sebab kedukaan itu unik dan
kedukaan itu berbeda pada tiap-tiap orang. Kedukaan adalah bagian pengalaman
hidup yang harus dihadapi manusia, tidak bisa dipaksakan dan tidak bisa
diprediksi kapan akan berakhir. Namun, kedukaan dialami sebagai reaksi dari
kehilangan sesuatu atau seseorang yang begitu dikasihi. Kedukaan terbesar yang
dialami manusia diakibatkan oleh kematian orang yang dikasihi. Kedukaan
bukanlah penyakit, jika dikelolah dengan baik.
13
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,25.
14
Wiryasaputra, Mengapa Berduka,43-67.
15
almarhum sangat signifikan, maka respon kedukaan menjadi lebih mendalam
dan kompleks.15
15
Wiryasaputra, Mengapa Berduka,45.
16
Wiryasaputra, Mengapa Berduka,45.
17
http://nursingakademy.blogspot.co.id/2010/04/koping.html, di akses tanggal 11 Juni 2016,
Pukul 14.25 WIB.
18
Rasmun, Stress, Koping & Adaptasi; Teori dan Pohon Masalah Keperawatan (Jakarta:
Sagung Seto,2004),17.
16
terhadap situasi yang mengancam.19 Dapat dikatakan bahwa coping seseorang
(baca: orang yang berduka) sangat menentukan berhasil atau tidak orang yang
berduka melewati masa kedukaannya.
19
A.Budi Kelliat, Gangguan Konsep Koping; Citra Tubuh, Seksual pada Klien Kanker (Jakarta:
EGC,1998),57.
20
Wiryasaputra, Mengapa Berduka,Ibid,44.
21
Jackson, Understanding Grief, the Roots, Dynamics and Treatment (Nashville, New York:
Abingdon Press, 1957),15 dalam Joshua Liebman, “Peace Of Mind” (New York: Simon and
Schuster, 1946),110.
17
walaupun ada individu yang mengeluarkan air mata pada saat emosi
kegembiraan, namun secara umum air mata diasosiasikan dengan dukacita
dan tawa adalah simbol kegembiraan. Kadang, ada mitos bahwa menangis
adalah tanda kelemahan.22 Apalagi kalau yang menangis adalah lelaki,
sehingga banyak orang menahan tangisan saat berduka. Menangis saat
berduka adalah wajar dan beralasan. Dengan menangis, orang yang berduka
mengeluarkan segala isi hatinya, kepedihan batinnya. 23 Silakan menangis jika
kita ingin menangis.
3.2 Stress
Strees adalah sebuah reaksi psikologi kedukaan yang sering ditandai
dengan dengan beberapa perubahan pada tubuh, misalnya zat adrenaline
terpompa masuk ke dalam sistem peredaraan darah, menyebabkan urat syaraf
menjadi tegang, tekanan darah naik, detakan jantung kian cepat, frekuensi
keringat meningkat dan kelebihan energi glycogen.24 Perubahan tersebut
melahirkan gangguan kesehatan fisik, yang memperlihatkan hubungan
kedukaan dengan penyakit akibat stres, misalnya hubungan sakit diabetes,
akibat meningkatnya glycogen yang berubah menjadi zat gula, dengan
kedukaan yang tidak diselesaikan.
3.3 Penolakan
Penolakan berarti orang yang mengalami kehilangan belum atau tidak
mau mengakui atau menerima keadaan yang sebenarnya. Tidak percaya
bahwa telah terjadi kematian orang yang dikasihi. Secara psikologi,
penolakan ini wajar sebagai cara mempertahankan diri. Gejala ini
berlangsung singkat, tetapi jika muncul berkepanjangan akan menimbulkan
gejaja-gejala yang lain, seperti halusinasi.25
3.4 Marah
22
Johanis M.Felubun, Kaya Dalam Perjumpaan, Miskin Dalam Relasi, (Fak-Fak: GPI di Papua,
2012), 108-109.
23
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,108.
24
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,109.
25
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,109-110.
18
Kedukaan dapat dikenal lewat kemarahan orang yang mengalami
kehilangan. Elisabeth Kubler Ross, seorang psikiater sosial menyebut gejala
ini sebagai gejala kedua dari tahapan kedukaan. Marah (anger) dapat
ditujukan pada pihak lain seperti teman, suatu keadaan atau hal-hal yang
terkait dengan peristiwa kematian bahkan Tuhan. Kemarahan juga dapat
ditujukan pada diri sendiri. Orang yang berada pada tahapan ini akan
mengekspresikan bentuk kemarahannya dan ketidakpuasannya melalui
berbagai macam kata-kata dan tindakan kepada siapa saja dan apa saja
dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap meninggalnya orang yang ia cintai.26
26
Elisabeth Kubler Ross, On The Death and Dying (New York: Collier Books,Macmillan
Publishing Company, 1969), dalam Totok S.Wiryasaputa,Mengapa Berduka,111-112.
27
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,112.
28
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,112-114.
19
kehidlangan seakan-akan menyesali dirinya sendiri. Hal ini, dikarenakan
kemarahan dan kebenciaan tidak dapat diarahkan pada pihak lain, sehingga
diarahkan kepada diri sendiri.29
3.8 Menerima Kenyataan
Akhir dari proses kedukaan adalah menerima kenyataan. Penerimaan
adalah titik terakhir dari proses berduka dan titik awal dari sebuah masa
depan yang akan dijalani tanpa kehadiran almarhum. Di titik ini, orang yang
berduka telah siap memasuki babak baru, yakni babak pertumbuhan. Jika,
gejala ini tidak dimiliki oleh orang yang berduka, itu menandakan bahwa
proses berdukanya belum atau tidak terselesaikan dengan baik.30
29
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,114.
30
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,115.
31
Wiryasaputa,Mengapa Berduka,114.
20
yang berduka, termasuk dalam hal ini yang memberi pertolongan atau
pendamping pastoral.
Berikut ini akan memuat beberapa tugas dalam kedukaan dan tipe
pertolongan yang memudahkan untuk menyelesaikan masa kedukaan.
21
memaksa kita untuk mengalami rasa sakit, bahwa kematian itu sungguh-
sungguh terjadi pada orang yang kita kasihi.
Kelima, mencari makna. Ketika orang yang kita kasihi dan cintai
meninggal, kita tentu mempertanyakan makna kehidupan dan kematian.
Mengapa dia meninggal? Kenapa sekarang? Mengapa dengan cara seperti
ini? Apa yang terjadi setelah kematian? Untuk menyembuhkan kedukaan,
maka harus mengeksplorasi pertanyaan tersebut untuk didamaikan dengan
kedukaan kita. Pertanyaan mengapa memutuskan mengapa kita harus terus
hidup sebelum kita dapat bertanya pada diri sendiri “bagaimana” kita akan
terus hidup. Ini tidak berarti kita harus menemukan jawaban yang pasti, hanya
bahwa kita perlu kesempatan untuk berpikir tentang makna hidup itu sendiri.
22
Keenam, menerima dukungan dari orang lain. Kehadiran keluarga/
kerabat dan para pelayat lainnya adalah tempat untuk memberikan dukungan
fisik sekaligus untuk mendapatkan dukungan moril. Sebab kehadiran banyak
orang adalah satu aspek yang samgat penting dari sebuah penyembuhan
kedukaan.
33
Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, 289.
23
B. PENDAMPINGAN DAN KONSELING PASTORAL BUDAYA
1. Pastoral
Untuk istilah pastoral, berasal dari bahasa Latin kata “pastor” atau
dalam bahasa Yunani disebut “poimen” yang artinya “gembala”. Istilah ini
dipakai dalam kehidupan gerewaji sebagai tugas Pendeta yang dituntun
menjadi gemala bagi jemaat. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri
Yesus Kristus dan karya-Nya sebagai “Pastor Sejati” atau “Gembala Yang
Baik” (Yoh.10). Ungkapam ini mengacu pada pelayanan Yesus yang tanpa
pamrih, bersedia memberikan pertolongan dan pengasuhan terhadap para
pengikut-Nya, bahkan rela mengorbankan nyawa-Nya. Pelayanan yang
diberikan-Nya ini merupakan tugas manusiawi yang teramat mulia dan
pengikut-Nya diharapkan dapat mengambil sikap dan pelayanan Yesus ini
dalam kehidupan praktis mereka. Oleh karena itu, tugas pastoral bukan hanya
tugas resmi atau monopoli para pastor/pendeta saja, tetapi juga setiap orang
yang menjadi pengikut-Nya.34
2. Pendampingan Pastoral
Kata pendampingan pastoral adalah gabungan kata yang memiliki
makna pelayanan, yaitu kata pendampingan dan pastoral. Pertama;
34
Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,2015),9-10.
24
Pendampingan berasal dari kata kerja mendampingi. Menurut Aart Van
Beek35 mendampingi adalah kegiatan menolong orang lain yang disebabkan
oleh sesuatu hal sehingga perlu didampingi. Orang yang melakukan kegiatan
mendampingi disebut pendamping dan orang yang membutuhkan
pendamping disebut sebagai yang didampingi. Relasi antara pendamping dan
didampingi bersifat sejajar atau adanya relasi timbal balik.
Pendampingan pastoral disebut juga sebagai penyembuh jiwa. Kondisi
di mana seseorang ada dalam kondisi marah, kecewa, serakah, iri hati, malas
dan lainnya yang menandakan bahwa jiwa seseorang sedang dalam kondisi
sakit. Penyembuh jiwa dapat dilakukan melalui pendampingan pastoral. Jiwa
yang mengalami penyakit tersebut didampingi agar bebas atau sembuh.
Menurut Clebsch dan Jackle bahwa jiwa yang sakit harus disembuhkan
dengan pendampingan pastoral. Pendampingan pastoral menghadirkan nilai
kristen yang bertujuan untuk menyembuhkan, membimbing,
mempertahankan atau mendamaikan. Tujuan ini dirangkum dalam fungsi
pendampingan pastoral.36
35
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 9-11.
36
William A Clebsch & Charles R.Jaeke, Pastoral Care in Historical Perspective, (Prentice
Hall,Inc,1964),1-10,136-137.
37
Jacob Daan Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral, (Salatiga: Tisara Grafika,2007),2.
25
dalam proses pendampingan itu sendiri sangat dimungkinkan bagi
pendamping dan didampingi untuk mengalami perubahan bersama. Relasi
pendamping dan yang didampingi dibangun dalam bentuk relasi mesra dan
harmonis, yang memungkinkan untuk mengalami kedamaian dan
kebahagiaan sehingga menumbuhkan sikap saling menghargai dan
mempercayai.38
3. Konseling Pastoral
38
Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral,1-4.
39
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 9-10.
40
Aart Van Beek, Potret Diri Seorang Konselor (Salatiga: UKSW Press, 1997),1-3
41
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 16-17.
26
membangun, memperbaiki dan membina hubungan yang baik dan mengalami
pertumbuhan.
42
Jacob Daan Engel, Konseling Dasar Dan Pendampingan Pastoral: Pemahaman dan
Pengalaman Dalam Praktek (Salatiga: Widya Sari Press, 2003),1.
43
Clinbell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, 17-18.
27
kita tidak bisa melakukan konseling tanpa pendampingan. Keduanya adalah
tindakan penggembalaan, pendampingan dan konseling.44
4. Fungsi Pendampingan dan Konseling Pastoral
William A. Clebsch dan Charles R.Jaekle dalam buku “Pastoral Care
in Historical Perspektive” mengatakan fungsi pendampingan dan konseling
pastoral secara tradisonal ada empat45 yaitu, menyembuhkan (healing),
mendukung (sustaining), membimbing (guiding), rekonsiliasi (reconciling).
Howard Clinebell dalam buku “Basic Types of Pastoral Care & Counseling”
mengatakan fungsi pendampingan dan konseling pastoral secara tradisonal
ada empat,46 menambahkan fungsi yang kelima, yaitu memelihara
(nurturing),47 dan Arrt Van Beek48 menambahkan fungsi yang keenam, yaitu
mengutuhkan.49
44
Dalam bukunya yang berjudul Pendampingan Pastoral, Aart Van Beek mengatakan bahwa
seyogianya pengembalaan didefenisikan sebagai “pendampingan dan konseling pastoral”. Usulan
ini didasarkan pada konteks masa kini dimana kata “gembala” kurang dapat dianggap kontekstual
lagi. Mengingat perkembangan masyarakat yang tadinya tradisional-agraris ke arah industri,
alegori domba pun bukan lagi simbol yang terlalu positif. Pendamping adalah orang yang
menolong penderita agar ia menolong dirinya sendiri, buka menjadi pengikut yang pasif seperti
domba, yang pada suatu saat dapat berjalan sendiri dengan tegar. Dengan demikian, menurut Van
Beek, sebetulnya setiap orang dapat menjadi pendamping pastoral, asal dalam pelayanannya ia
berangkat dari prespektif pendampingan/ menggembalakan. Kesimpulan yang ia berikan adalah,
pendampingan sama dengan penggembalaan. Pendampingan/ penggembalaan berarti menolong
manusia yang menderita ke arah pengutuhan, lengkah demi langkah. Konseling pastoral
merupakan bagian dari pendampingan pastoral.
45
William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspektive
(Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1964),33-36.
46
Howard Jhon Clinebell, Basic Types Of Pastoral Care and Caunseling-Resources For The
Ministry of Healing & Growth (Nashville: Abidong Press, 1966),42-43.
47
Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, 89-172.
48
Van Bekk, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,2015), 13-15.
49
Van Beek, Potret Diri,13-17.
28
Tekanan mental sering terungkap melalui disfungsi tubuh. Pada
kondisi ini pendamping diharapkan dapat menolong dengan
pendekatan agar yang didampingi mengungkapkan perasaan yang
tertekan.
(2) Mendukung (sustaining);
Berfungsi membantu seseorang yang terluka untuk bertahan
dan mengatasi keadaan menuju proses pemulihan atau penyembuhan
dari luka yang paling berat sekalipun. Dukungan yang dapat dilakukan
biasanya melalui kehadiran dan sapaan yang meneduhkan serta
terbuka, ini dapat mengurangi penderitaan. Dukungan yang seperti ini
dapat mengurangi penderitaan yang berat atau memukul.
(3) Membimbing (guiding);
Dilakukan ketika yang didampingi merasa kebingungan
untuk menentukan pilihan atau keputusan. Dalam mengambil
keputusan harus diketahui konsekuensi atau dampak dari pilihan, baik
sekarang maupun yang akan datang. Dalam hal ini pendampingan
harus mengemukakan beberapa kemungkinan yang bertanggungjawab
dengan segala resiko sekaligus membimbing ke arah yang berguna.
Keputusan tetap di tangan orang yang didampingi dengan mengetahui
segala resiko dari keputusan.
(4) Rekonsiliasi (reconciling);
Adalah usaha untuk membangun kembali hubungan yang
rusak antara yang didampingi dengan orang lain, begitu juga yang
didampingi dengan Tuhan. Rekonsiliasi ditempuh dengan cara
mendamaikan melalui pengampunan dan kedisiplinan. Hubungan
yang rusak sering mengakibatkan penderitaan psikis maupun fisik,
karena itu, pendampingan membantu untuk menganalisa faktor yang
mengancam dan merusak hubungan tersebut sehingga menemukan
alternatif untuk memperbaiki hubungan tersebut. Pendampingan harus
menjadi orang yang tidak berpihak, tetapi penengah dari semua pihak
yang didampingi.
29
(5) Memelihara (nurturing);
Bertujuan memampukan orang untuk mengembangkan
potensi-potensi yang diberikan Allah kepada di sepanjang perjalanan
hidup mereka dengan segala lembah, puncak dan datarannya. 50
(6) Mengutuhkan
Yang memiliki fungsi sentral karena merupakan tujuan utama
dari pendampingan pastoral. Mengutuhkan menenjadi tujuan sentral
karena adanya pengutuhan kehidupan manusia dalam seluruh aspek
kehidupan yakni fisik, sosial, mental dan spiritual. Penderitaan
manusia ada, rusak dan menjadi terganggu dapat dilihat pada empat
aspek kehidupana manusia. Oleh karena itu, pengutuhan kembali
semua aspek ini penting sehingga manusia mengalami keutuhan dalam
hidupnya.51
50
Clinebell, Basic Types, 43.
51
Van Beek, Konseling Pastoral,15-16.
52
Charles V. Gerkin, Konseling Pastoral Dalam Transisi, (Jakarta: Kanisius, 1992),96.
53
Van Beek, Konseling Pastoral (Semarang: Satya Wacana,1987),24-29.
30
terhadap situasi dan masalah-masalah konseli yang dapat menghasilkan
informasi mengenai semua aspek dalam kehidupannya. Dengan kata lain,
konselor harus mempertimbangkan persoalan-persoalan konseli dengan segala
kompleksitasnnya. Semua aspek dari kehidupan konseli perlu diperhatikan
sedikit banyak untuk menjamin pemahaman yang cukup lengkap mengenai
kesulitan yang menganggu dia. Sedangkan Daan Enggel, menggunakan
prespektif intergratif, Untuk menyederhanakan kompleksitas hidup manusia
itu kita bisa membagi hidup manusia menjadi empat aspek, yaitu:54
1) Aspek Fisik
Aspek ini berkaitan erat dengan bagian yang tampak dari hidup kita.
Aspek ini terutama mengacu pada hubungan manusia dengan bagian luar
dirinya. Dengan aspek ini, manusia dapar dilihat, diraba, disentuh dan
diukur.
2) Aspek Mental
Aspek ini berkaitan dengan pikiran, emosi dan kepribadian manusia.
Aspek ini juga berkaitan dengan cipta, rasa, karsa dan intergritas
manusia. Selanjutnya, aspek mental mengacu pada hubungan seseorang
dengan bagian dalam dirinya (batin, jiwa). Sesungguhnya aspek ini tidak
tampak, sehingga tidak dapat diraba, disentuh dan diukur. Aspek mental
memampukan manusia berhubungan dengan dirinya dan lingkunganya
secara utuh, memberadakan, membuat jarak (distansi), membedakan diri,
dan bahkan berkaitan dengan diri sendiri.
3) Aspek Spiritual
Aspek ini berhubungan dengan jati diri manusia. Manusia secara khusus
dapat berhubungan dengan sang pencipta sejati. Aspek ini mengacu pada
hubungan manusia dengan sesuatu yang berada jauh di luar
jangkauannya. Inilah aspek vertikal dari kehidupan manusia. Dalam hal
ini manusia bergaul dengan sesuatu yang agung, yang berada di luar
dirinya dan mengatasi kehidupannya.
54
Jacob Daan Engel, Konseling Pastoral Dan Isu-Isu Kontemporer (Jakarta; BPK. Gunung
Mulia, 2016), 18-19.
31
4) Aspek Sosial
Aspek ini berkaitan dengan keberadaan manusia yang tidak mungkin
berdiri sendiri. Manusia harus dilihat dalam hubungan dengan pihak luar
secara horizontal, yakni dunia sekelilingnya. Manusia selalu hidup dalam
sebuah interelasi dan interaksi yang berkesinambungan. Manusia tidak
dapat tumbuh tanpa relasi dan interaksi. Aspek ini, memampukan
manusia tidak hanya berelasi dan berinteraksi dengan sesama manusia,
melainkan juga dengan mahkluk ciptaan lainnya; udara, air, tanah,
tumbuhan, binatang, dan sebagainya.
Seluruh aspek kehidupan manusia saling berkaitan dan
mempengaruhi secara sistematik dan sinergis membentuk eksistensi
manusia sebagai keutuhan yang bertumbuh mencapai kepenuhannya. Kita
dapat membendakan satu aspek dengan aspek yang lain, namun pada
dasarnya kita tidak dapat memisahkannya, karena keempat aspek tersebut
saling berkaitan dan mempengaruhi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sesungguhnya manusia selalu berelasi dengan dirinya sendiri (internal) dan
dengan sesuatu yang berada di luar dirinya (eksternal), baik secara fisik,
mental, sosial dan spiritual. Dalam perjumpaan, manusia mengalami proses
pertumbuhan.
Crocker dan Canevello menulis di jurnal mereka bahwa manusia
adalah mahkluk sosial. Mereka membutuhkan hubungan yang mendukung
dengan orang lain baik itu fisik maupun psikologi. 55 Hal ini menunjukkan
bahwa tidak ada manusia yang dapat bertahan hidup seorang diri saja karena
sesungguhnya kodrat manusia itu adalah mahkluk sosial. Setiap interaksi
yang terjadi pasti akan selalu bersinggungan dengan lingkungan sekitarnya
dan sesama manusia akan mengisi dalam kehidupannya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konseling
pastoral dalam pendekatan integratif dapat dipahami sebagai proses
pertolongan sesama manusia secara utuh mencakup aspek fisik, mental,
55
Jennifer Crocker And Amy Canevello, “Creating and Underming Social Support in
Communal Relationships: The Role Of Compassionate and Self-Image Goals, Journal Of
Personality and Social Psycology (University Of Michigan,2008),Vol.95,3,555-575.
32
spiritual dan sosial yang bersifat pastoral yaitu menyembuhkan, menopang,
membimbing, mendamaikan dan mengutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya manusia harus dilihat secara utuh/menyeluruh, artinya dalam
konseling pastoral kita harus melihat orang yang didampingi sebagai
manusia holistik yang sedang mengalami krisis.
56
David Matsumoto & Linda Juang, Culture and Psychology (Thomson Wadsworth, 2004),24.
33
norma tersebut menjadi kontrol bagi masyarakat. Sehingga kebudayaan
adalah proses yang dipelajari dan berkembang serta nilai-nilai yang ada
diambil sekelompok masyarakat. Nilai atau aturan tersebut menjadi sebuah
sistem nilai yang diatur. Budaya sebagai konstruk individu dan sosial
memuat sistem nilai budaya (culture value system) dan dalam konteks
psikologi berprespektif budaya system nilai budaya merupakan hal yang
mendasari sikap dan perilaku. Menurut Koenjaranigrat, sistem nilai budaya
merupakan tingkat paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Nilai-
nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang hidup
dalam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat. Nilai budaya
merupakan hal-hal yang mereka anggap sebagai hal yang bernilai,
berharga dan penting bagi kehidupan. Sistem nilai budaya berfungsi
sebagai pedoman yang dapat memberi arah dan orientasi bagi kehidupan
masyarakat.57
57
Koenjranigrat, Masalah Kesukubangsaan Dan Integrasi Nasional (Jakarta: UIP,1993),3.
58
Patricia M.Greenfield, “Theree Approaches to The Psychology of Culture: Where do They
Come From? Where Can They Go?”, Asian Journal of Social Psykology (2000),3 223-240.
59
Jacob Daan. Engel, Konseling Pastoral Dan Isu-Isu Kontemporer,68-69.
34
Dengan berbagai keterbatasan dan hambatan dalam pengembangan
praktek pendampingan dan konseling pastoral, maka ada beberapa
pendekatan yang bisa dijadikan kekuatan dalam pendampingan dan
psikologi, yaitu psikodinamik, behavioristik, eksistensi dan humanistik,
yang bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya asli masyarakat
(indegineous value), yang berkembang dalam praktek pastoral di
masyarakat tetapi dalam praktek pendampingan dan konseling budaya
tidak semua pendekatan ini dipraktekkan secara efektif, terutama dalam
setting budaya yang tidak sama dengan budaya barat. 60 Untuk tindakan
pastoral dalam suatu kedukaan, maka bisa dilakukan melalui dua
pendekatan, yakni pendetakan psikodinamik yang bertujuan
mengembangkan kemampuan dan adanya upaya untuk memahami diri
sendiri, dan pendekatan behavioris yang bertujuan menggembangkan
perilaku baru, yakni perilaku yang merugikan.
60
M.Jumarin, Dasar-Dasar Konseling Lintas Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),23.
61
John McLeod, Pengantar Konseling; Teori Dan Study Kasus, (Kencana: 2010),273-290.
35
Dari paparan diatas dapat dikatakan bahwa dalam budaya ada
nilai-nilai kehidupan yang diberlakukan untuk individu maupun kelompok,
bertujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Nilai-nilai dalam budaya
diwariskan dari generasi ke generasi untuk menghidupkan manusia
sehingga manusia menemukan makna dan nilai didalamnya. Apa yang
tertuang dalam perilaku-perilaku di masyarakat menjadi dasar bagi ilmu
psikologi untuk memahami keberadaan seseorang, sehingga pengetahuan
psikologi dalam konteks budaya menjadi dasar untuk membantu konselor
melakukan pendampingan dan konseling pastoral.
C. SOLIDARITAS SOSIAL
Selain sebagai mahkluk personal, manusia juga adalah mahkluk sosial.
Ia ada dan berkembang bersama dengan individu yang lain, dalam arti ini
kehadian orang lain merupakan hal yang mutlak. Hidup manusia adalah ada
bersama. Pembentukan diri dan realisasi diri pribadi hanya bisa terpenuhi
berkat kehadiran pribadi-pribadi yang lain.62
1. Manusia sebagai Mahkluk ber-Solidaritas Sosial
Solidaritas, dapat diartikan sebagai sifat (perasaan) solider, sifat satu
rasa (senasib), perasaan setia kawan antar sesama anggota masyarakat, atau
dengan kata lain, solidaritas adalah kekompakan hidup yang didasarkan pada
rasa setia kawan.63 Solidaritas dimaksud, muncul dari kenyataan hidup
masyarakat, yang memiliki suatu ikatan hidup bersama. Ikatan utama adalah
kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral. Singkatnya, solidaritas
menunjuk pada suatu keadaan hubungan antar individu dan atau kelompok
yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama
dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.64
62
Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia, Upaya Membangkitkan Humanisme (Yogyakarta:
Kanisius,2009),101.
63
Peter Salim, The Commentary English-Indonesia Dictionary (Jakarta: Sixth
Edtions,1991),325.
64
Doyle Paul Johnson, Teori Sosioligi Klasik Dan Modern Jilid I (Jakarta:PT Gramedia,
1986),181.
36
Menurut Robert H.Laver, solidaritas kelompok dimaksud, dapat
dimunculkan dari ikatan kekeluargaan dan agama.65 Ikatan kekeluargaan
dapat menciptakan solidaritas, karena dengan ikatan kekeluargaan manusia
memiliki dorongan alamiah untuk melindungi kerabat dari serangan atau
penindasan dari pihak lain. Dengan kata lain, solidaritas muncul dari
kelompok masyarakat, karena ada ikatan-ikatan kekeluargaan diantara
mereka. Melalui solidaritas, mereka menampakkan kesatuan dan
kekompakan sebagai suatu komunitas. Selain ikatan kekeluargaan, agama
juga dapat menciptakan solidaritas bagi para pemeluknya. Agama
menetralisir semangat persaingan dan perasaan iri antarsesama anggota
kelompok. Agama menekankan kesatuan hidup dan menyediakan tujuan
bersama.
Emile Durkheim, menggemukakan dua bentuk solidaritas dalam
masyarakat, yakni solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik
didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama, yang menunjuk pada
“totalitas kepercayaan dan setimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada
masyarakat yang sama itu.66 Jadi, solidaritas mekanik tergantung pada
individu-individu yang memiliki sifat yang sama dan menganut kepercayaan
dan pola normatif yang sama pula. Dengan kata lain, solidaritas mekanik
hanya dapat terjadi pada suatu tingkat homogenitas. Menurut Durkheim, pada
solidaritas mekanik, individualistik tidak berkembang, sebab dilumpuhkan
oleh tekanan yang besar sekali untuk konformitas. Artinya, kesadaran kolektif
membungkus kesadaran individu dalam segala hal, dimana kesadaran
individu serupa dengan kesadaran kolektif. Bila individu melanggar
kesadaran kolektif, karena merusak dasar keteraturan sosial, harus diberikan
hukuman. Hukuman yang diberikan bersifat menekan (repressive), yang
mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif atas pelanggaran moral. 67
Sedangkan solidaritas organik, didasarkan pada tingkat saling ketergantungan
65
Robert H.Laver, Prespektif Tentang Perubahan Sosial (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003),45
66
Doyle Paul Johnson, Teori Sosioligi Klasik,183.
67
Doyle, Teori Sosioligi Klasik,... Ibid,183, lihat pula, Durkheim dalam Peter Beiltharz, Teori-
Teori Sosial (Yogyakarta: Pustaka, Pelajar Offset,2003),106.
37
yang tinggi. Saling ketergantungan muncul karena bertambahnya spesialisasi
dalam pembagian kerja yang bersifat otonom.68 Untuk mempertahankan
saling ketergantungan dimaksud, diperlukan hukum yang bersifat
memulihkan (restituve). Bila tidak, saling ketergantungan akan dirusakkan
oleh koordinasi yang tidak memadai antara orang-orang yang memiliki
spesialisasi, yang kegiatan-kegiatannya tidak dapat dihubung menjadi satu.
Sementara itu, ancaman terbesar bagi solidaritas mekanik adalah
heterogenitas dan individualitas, sebab dengan heterogenitas yang tinggi,
ikatan bersama yang mempersatukan pelbagai anggota masyarakat menjadi
kendor.
Manusia menjadi mahkluk sosial setelah berinteraksi dengan individu
lain yang berada disekitarnya, atau dengan perkataan lain, setelah mengalami
proses sosialisasi barulah manusia tadi dapat berkembang menjadi mahkluk
sosial.69 Proses sosialisasi oleh manusia sebagai mahkluk sosial sepanjang
kehidupannya sejak ia dilahirkan sampai meninggal dunia. Karena interaksi
merupakan kunci berlangsungnya proses sosialisasi, maka diperlukan agen
sosialisasi, yakni orang-orang disekitar manusia tersebut yang
mentransmisikan nilai-nilai atau norma-norma tertentu, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Agen sosialisasi ini merupakan significant others
(orang yang paling dekat) dengan manusia tersebut, seperti orang tua, kakak-
adik, saudara, teman, dan sebagainya.70
68
Doyle, Teori Sosioligi Klasik,183-184,190.
69
R.Diniarti F.Soe‟Oed, Proses Sosialisasi dalam Bunga Rampai Sosiologi Keluarga,
(ed).T.O.Ihromi, (Jakarta: Yayasan Obor, 1999),31.
70
F.Soe‟Oed, Proses Sosialisasi,32.
38
Kematian tak lain merupakan suatu usaha dari mereka yang masih hidup
untuk melanggengkan hubungan relasi sosial yang terputus. 71 Relasi sosial
yang bersifat intim, pribadi dan relatif dalam lingkungan yang terbatas inilah
yang membuat kolektifitas dan solidaritas didalamnya tumbuh semakin kuat.
Kemauan tersebut berakar dari perasaan yang menjadi kuat oleh kebiasaan
dan menjadi sempurna dalam kepercayaan mereka. Bagi Durkheim
kepercayaan dan nilai memberikan arti dan tujuan hidup sedangkan norma
membimbing dan mengatur perilaku manusia, sebab jika tidak adanya norma
maka individu akan terkantung-kantung, putus dari ikatan sosial
ditempatnya.72
Secara sosial, kematian memiliki efikasi untuk mengevaluasi perilaku
seseorang di tengah komunitasnya. Bersama dengan kematian, hubungan
sosial yang dibangun individu dan keluarga diperlihatkan keluarga kembali
melalui bantuan yang diberikan secara kolektif dalam bentuk solidaritas
kematian kepada keluarga yang sementara berduka.
71
Nina R.Jakoby “Grief As A Sosial Emotio:Theoretical Perspektives,” Death Sudies Journal,36
(2012),679-711.
72
Doyle Paul Johnson, Teori Sosioligi Klasik,191
73
Emosi diartikan sebagai keadaan fisiologi (seperti kegembiraan, kesedihan, kecintaan,
keberanian) dan ekspresi melalui wajah, suara, perasaan subjektif.
74
Nina R.Jakoby “Grief As A Sosial Emotio, :Theoretical Perspektives,”679-711
39
Secara teoritik, sosial melihat kedukaan sebagai emosi, yang lebih
lanjut dijelaskan bahwa, pertama, kedukaan adalah situasi karena kehilangan
sesuatu atau seseorang yang penting. Artinya, kehilangan merunjuk pada apa
yang dirasakan, sedangkan kedukaan pada apa yang dilakukan. Kedua, sosial
membedakan antara kedukaan dan penyakit. Kedukaan bukan penyakit,
karena umumya kedukaan dipahami sebagai sesuatu yang normal dan
masyarakat tidak bisa membedakan kedukaan secara fisik atau mental
sehingga mereka mengatakan bahwa kehilangan nafsu makan, mood sebagai
gangguan depresi. Ketiga, kedukaan didefenisikan sebagai bentuk emosi yang
negatif atau „emosional sindrom”75
Di zaman modern ini, masyarakat dicirikan dengan keragaman
individu, sosial dan budaya. Selain itu, pengaruh perpindahan demografi,
sosial dan geografis, sekularisasi membentuk pengalaman dan kompleksitas
kedukaan masyarakat. Sehingga, kedukaan dalam model sosial berfokus pada
kehadiran terus-menerus, bercakap-cakap untuk mengembalikan sebuah
makna akan hidup. Kedukaan bukan hanya proses batin, mental, karena emosi
dibentuk kembali melalui interpersonal, kekerabatan, interaksi sosial dengan
orang lain.
Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa kehilangan dan
kedukaan dalam pendekatan sosial adalah emosi. Putusnya hubungan sosial
antara orang yang berduka dengan orang yang meninggal. Hal ini
menyebabkan apa yang dirasakan (kehilangan) dan apa yang akan dilakukan
(kedukaan). Secara sosial, kedukaan bukan penyakit dan kalau sudah terjadi
depresi, maka ini adalah emosi negatif.
D. RANGKUMAN
Berdasarkan sejumlah pikiran para ahli di bab dua ini, maka tampak
beberapa hal yang menarik, yaitu sebagai berikut:
75
Nina R.Jakoby “Grief As A Sosial Emotio,761
40
1. Kematian itu universal, artinya, kematian adalah sebuah kenyataan yang tidak
bisa dihindari oleh manusia. Terhadap kematian, semua kebudayaan pada
masing-masing daerah selalu menggambarkan konsep kematian dan ritus-ritus
yang berkaitan dengan kematian. Reaksi dari kehilangan adalah kedukaan
(grief) bagi orang yang merasa ditinggalkan. Itu berarti bahwa, setiap manusia
pernah mengalami kehilangan dan secara langsung juga pernah mengalami
kedukaan. Kedukaan adalah pengalaman hidup yang universal, yang pernah,
sedang atau akan dialami setiap orang pada saat-saat tertentu. Kedukaan adalah
proses yang memiliki tahapan emosional yang dapat dikenali dan muncul
sebagai akibat peristiwa kehilangan. Walaupun demikian, banyak orang yang
tidak mengenali dinamika pengalaman ini oleh karena memiliki mekanisme
pertahanan diri (defence mechanism) yang ada pada setiap orang yaitu
menghindarkan dirinya dari perasaan-perasaan negatif.
Banyak ahli yang melakukan penelitian terhadap reaksi-reaksi kehilangan
yakni kedukaan, menyatakan bahwa kedukaan menimbulkan banyak gejala,
seperti Sigmud Freud, dalam karya awalnya “Mourning and Melancholia”
menyatakan bahwa depresi atau “melancholia” sebagai kedukaan patogenik.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Jackson, yang melihat ada tiga
perasaan yang muncul dalam kedukaan, yaitu: shock, cemas dan depresi.
Kedukaan lebih dari sekedar gejala penyakit. Wright, juga mengungkapkan
bahwa kedukaan adalah suatu penderitaan emosi yang luar biasa.
Hal ini ditantang oleh banyak pemikir ilmu kedukaan lainnya, seperti,
Coval MacDonald, Clinebell, Wiryasaputra bahwa tidak semua orang
mengalami proses kedukaan akan depresi. Sebab, depresi sangat terkait oleh
peristiwa masa lalu sedangkan kedukaan adalah persoalan masa kini
(situasional) dan masa depan. Coval Macdonald, melihat kedukaan dari
prespektif baru, yaitu kedukaan bukan penyakit, tetapi kedukaan adalah bagian
hidup yang tidak tampak, terluka tetapi tidak sakit. Clinebell, melihat kedukaan
ada pada segala perubahan, kehilangan dan transisi kehidupan manusia.
Ada begitu banyak faktor yang mempengaruhi kedukaan seseorang. Hal
ini yang melatarbelakangi sehingga kedukaan masing masing orang berbeda
41
satu dengan yang lainnya. Tercatat ada empat faktor penting, yakni, pertama
kedekatan antara penduka dengan almarhum, merupakan faktor utama dan
yang memberikan dampak kuat dalam kedukaan seseorang. Hal ini sangat
terkait dengan seberapa urgennya almarhum dalam kehidupan orang yang
berduka. Jika, almarhum tidak memainkan peran yang penting dalam hidup
orang yang berduka, maka rasa duka tidak begitu dalam, sebaliknya jika peran
almarhum sangat signifikan, maka respon kedukaan menjadi lebih mendalam
dan kompleks. Kedua, cara dan penyebab kematian seseorang, yakni
bagaimana almarhum mengalami kematian. Berbeda seorang anak yang
mengalami kehilangan ayahnya yang berusia 90 tahun karena sakit dengan
seorang anak yang kehilangan ayahnya yang berusia 35 tahun kerena
kecelakaan. Kedukaan seorang istri akibat kehilangan suaminya di usia 41
karena kecelakaan pesawat berbeda dengan kehilangan suaminya akibat sakit
strok bertahun-tahun. Artinya kematian tiba-tiba, dan bukan karena sakit
menyebabkan semakin dalamnya/rumitnya proses kedukaan. Dinamika
kedukaan sangat tergantung pada kematian yang tiba-tiba/tidak terantisipasi
dan kedukaan yang terantisipasi. Ketiga, coping orang yang berduka. Artinya,
sampai seberapa besar kemampuan orang yang berduka untuk mengatasi rasa
kehilangan akibat kematian orang yang dikasihi. Jika coping orang yang
berduka baik, maka ia mampu melewati krisis kedukaannya tetapi sebaliknya
jika copingnya lemah, maka krisis kedukaan akan lama berakhir dan patogenik
(penyakit). Keempat, Sosial-Budaya orang yang berduka. Ini terkait dengan
lingkungan sosial dimana orang yang berduka berada. Jika lingkungan
sosialnya mengerti seluk beluk kedukaan dan menyediakan saranan pendukung
kesembuhan, maka kedukaan dapat diselesaikan dengan baik.
2. Kedukaan itu unik. Sebab, kedukaan menimbulkan banyak gejala.
Wiryasaputra mencatat ada tujuh gejala yang sering nampak pada orang yang
berduka seperti: air mata dan kepedihan hati, stres, penolakan, marah, depresi,
muram, tertekan batin, putus asa, rasa bersalah, menyesal, dan menerima
kenyataan. Gejala-gejala ini berbeda pada masing-masing orang yang berduka.
Artinya, tidak ada kesamaan antara kedukaan seseorang dengan orang lain.
42
Oleh sebab itu, lebih lanjut dikatakan bahwa dinamika berduka orang di
Indonesia tidak selamanya berjalan secara mekanis dan sistematis seperti yang
dipaparkan oleh para ahli-ahli kedukaan. Dalam klien yang satu dengan klien
yang lain dinamika berduka berbeda sehingga dalam mengatasi dinamika
berduka membutuhkan kepekaan batin orang-orang yang mempunyai
hubungan dekat dengan orang yang berduka, termasuk dalam hal ini yang
memberi pertolongan atau pendamping pastoral.
3. Ada tugas bersama dalam kedukaan. Alan D.Wolfelt menyatakan enam tugas
bersama dalam kedukaan, yaitu: pertama, harus ada pengakuan terhadap
realitas kematian. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya upacara
pemakaman. Kedua, merangkul kesedihan artinya mengungkapkan kesedihan
dengan cara yang sehat sebagai cara mengungkapkan pikiran yang
menyakitkan. Ketiga, mengingat orang yang meninggal. Untuk menyembuhkan
kesedihan dalam kedukaan, kita perlu menggeser hubungan dengan orang yang
meninggal dari kebersamaan fisik menjadi kenangan. Semakin kita mampu
bercerita kisah kematian sebagai sebuah kenangan maka semakin besar
kemungkinan kita dapat mendamaikan kesedihan. Keempat, mengembangkan
identitas yang baru bahwa orang yang berduka telah berstatus janda, duda,
anak yatim/piatu sehingga mereka dan orang lain pun tahu peran tersebut.
Kelima, mencari makna dengan mempertanyakan apa yang akan teralami di
balik peristiwa ini sehingga membuat orang yang berduka pun menyadari
bahwa “bagaimana” ia akan hidup ke depan tanpa almarhum dan keenam,
harus terbuka menerima dukungan orang lain. Sebab, kehadiran banyak orang
adalah aspek yang sangat penting dari sebuah penyembuhan kedukaan.
Lebih lanjut, Clinbel menambahkan bahwa pada saat terjadi kehilangan,
kebutuhan untuk dihibur sangat kuat. Tindakan gereja dalam ibadah
penghiburan dapat memberi hiburan yang menenangkan batin bagi orang yang
mengalami kehilangan. Dengan kehadiran fisik maupun pemberian makanan,
menyatakan berlangsungnya terus kehidupan meskipun terjadi kematian.
4. Pastoral selalu dikatakan sebagai sebuah pekerjaan dari Pelayan gereja
(Pendeta/Penatua/Diaken), karena berasal dari kata “pastor”. Padahal, istilah
43
“pastor” dalam konotasi prakteknya berarti merawat dan memelihara, yang
kemudian dihubungkan dengan diri Yesus sebagai “Pastor Sejati” atau
“Gembala Yang Baik” (Yoh.10). Dengan demikian, pekerjaan pastoral bukan
hanya pekerjaan yang dimonopoli oleh pastor/pendeta saja, tetapi juga setiap
orang yang menjadi pengikutNya.
Dalam pastoral ada dua pendekatan, yaitu pendampingan pastoral dan
konseling pastoral. Secara fungsi, yaitu menyembuhkan, mendukung,
membimbing, rekonsiliasi, memeilihara dan mengutuhkan, kedua pendekatan
ini sama tetapi secara teknis pelaksanaan keduanya berbeda. Pendampingan
adalah suatu upaya menolong orang lain dalam relasi yang sejajar antara
pendamping dan didampingi sehingga keduanya memiliki kesempatan untuk
bertumbuh bersama. Pendampingan adalah proses perjumpaan yang
melahirkan kepedulian dan empatik. Pendampingan adalah proses yang long
time (sepanjang waktu) dan bisa dilakukan oleh siapapun. Sedangkan,
konseling pastoral ada pada tataran pendampingan yang harus menyelesaikan
masalah klien secara maksimal dan sesuai kemampuan konselor. Perbedaan
keduanya terletak pada pelaksanaan dimana konseling pastoral dilakukan
ketika seseorang (klien) sementara ada dalam masalah dan membutuhkan
pertolongan sedangkan pendampingan pastoral dilakukan seumur hidup, di
ruang dan diwaktu manapun. Pendampingan menjadi dasar bagi pemahaman
kita tentang konseling atau pendampingan merupakan landasan yang kuat bagi
konseling. Itu berarti bahwa pendampingan dapat kita lakukan tanpa konseling,
tetapi sebaliknya kita tidak bisa melakukan konseling tanpa pendampingan.
Keduanya adalah tindakan penggembalaan, pendampingan dan konseling yang
bersifat integratif, yakni dalam kaitan prespektif menyeluruh yang meliputi
aspek fisik, mental, spiritual dan sosial.
Pendampingan dan konseling dalam budaya harus membahas budaya
dalam konteks psikologi karena dasar pendampingan berakar pada psikologi.
Dalam hal ini, psikologi memiliki tiga tujuan, yaitu budaya sebagai konsep
abstrak, budaya sebagai konseptual kelompok, dan budaya diinternalisasi oleh
anggota kelompok. Berdasarkan pada tiga ciri khas budaya di atas, budaya
44
dapat didefenisikan sebagai tingkah laku individu dan masyarakat terikat oleh
kebudayaan yang dalam perspektif psikologi pendampingan wujudnya terlihat
dalam berbagai aturan atau norma yang khusus, dimana aturan dan norma
tersebut menjadi kontrol bagi masyarakat. Sehingga kebudayaan adalah proses
yang dipelajari dan berkembang serta nilai-nilai yang ada diambil sekelompok
masyarakat. Nilai atau aturan tersebut menjadi sebuah sistem nilai yang diatur.
Nilai-nilai ini menjadi tolak ukur individu dalam keterikatannya dengan
masyarakat dengan keunikan yang dimiliki sebagai identitas kelompok. Nilai-
nilai dalam budaya diwariskan dari generasi ke generasi untuk menghidupkan
manusia sehingga manusia menemukan makna dan nilai di dalamnya. Apa
yang tertuang dalam perilaku-perilaku di masyarakat menjadi dasar bagi ilmu
psikologi untuk memahami keberadaan seseorang, sehingga pengetahuan
psikologi dalam konteks budaya menjadi dasar untuk membantu konselor
melakukan pendampingan dan konseling pastoral.
5. Manusia adalah mahkluk sosial. Ia ada dan berkembang bersama dengan
individu yang lain. Manusia juga disebut mahkluk ber-solidaritas karena terkait
dengan sifat solider, sifat satu rasa (senasib), perasaan setia kawan antara
sesama anggota masyarakat. Robert H. Laver, mengatakan bahwa solidaritas
kelompok bisa muncul dari ikatan kekeluargaan karena keluarga bisa
membentuk kelompok masyarakat lewat ikatan-ikatan kekeluargaan di antara
mereka. Emile Durkheim, menggemukakan dua bentuk solidaritas, yakni
solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu
“kesadaran kolektif” dan yang menunjuk pada “totalitas kepercayaan dan
setimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama atau
solidaritas mekanik sangat terkait dengan individu-individu yang memiliki sifat
yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula.
Sedangkan, solidaritas organik didasari pada tingkat saling ketergantungan
yang tinggi akibat adanya spesialisasi dalam pembagian kerja. Untuk
mempertahankankan saling ketergantungan, dibutuhkan hukum yang bersifat
memulihkan.
45
6. Proses sosialisasi oleh manusia sebagai mahkluk sosial berlangsung sepanjang
kehidupannya lewat interaksi dengan orang-orang disekitarnya yang
mentransmisikan nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Agen sosialisasi ini
merupakan significant others (orang yang paling dekat). Dengan menjadikan
manusia sebagai agen sosialisasi menyatakan bahwa antar manusia memiliki
sikap ketergantungan satu dengan yang lain dalam berbagai hal, termasuk
kematian. Kematian dalam proses interaksi adalah suatu usaha dari mereka
yang masih hidup untuk melanggengkan hubungan relasi sosial yang terputus.
7. Kehilangan dan kedukaan dalam sosial adalah emosi. Dari sudut pandang
sosial, kedukaan dilihat sebagai emosi sosial dan proses inetrpersonal karena
muncul dari suatu hubungan sosial yang intim. Secara teoritik, dapat
dijelaskan, pertama, kedukaan adalah situasi karena kehilangan sesuatu atau
seseorang yang penting. Artinya, kehilangan merunjuk pada apa yang
dirasakan, sedangkan kedukaan pada apa yang dilakukan. Kedua, sosial
membedakan antara kedukaan dan penyakit. Kedukaan bukan penyakit, karena
umumya kedukaan dipahami sebagai sesuatu yang normal dan masyarakat
tidak bisa membedakan kedukaan secara fisik atau mental sehingga mereka
mengatakan bahwa kehilangan nafsu makan, mood sebagai gangguan depresi.
Ketiga, kedukaan didefenisikan sebagai bentuk emosi yang negatif atau
„emosional sindrom
46