Anda di halaman 1dari 35

Daftar Isi

1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.3 Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.3.1 Tujuan Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.3.2 Tujuan Khusus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.4 Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1.4.1 Manfaat Teoritis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1.4.2 Manfaat Praktis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1.5 Batasan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1.5.1 Batasan Narasumber . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
1.5.2 Batasan Teori . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
1.6 Sistematika Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6

2 Landasan Teori 7
2.1 Definisi Konseling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
2.1.1 Pastoral Konseling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
2.1.1.1 Kelebihan utama dan batasan – batasan pas-
toral konseling . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
2.1.1.2 Batasan-batasan tertentu dalam pastoral kon-
seling: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
2.1.2 Tujuan Konseling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
2.1.3 Fungsi Konseling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
2.1.4 Tahapan-Tahapan Layanan Konseling Pastoral . . . . . 15
2.1.5 Konsele Profile . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
2.1.6 Keterampilan-Keterampilan Konselor Kristen . . . . . . 18
2.1.7 Kepribadian Konselor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23
2.2 Definisi Biseksual . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
2.2.1 Perkembangan Identitas Pada Biseksual . . . . . . . . 26

1
Daftar Isi 2

3 Penjelasan Kasus 28

4 Analisis dan Pembahasan 32

5 Penutup 33
5.1 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
5.2 Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
Bab 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehidupan manusia tidak pernah statis. Dimulai dari pembuahan sampai ke-
matian selalu terjadi perubahan, baik dalam kemampuan fisik maupun ke-
mampuan psikologis. Perubahan inilah yang disebut sebagai perkembangan
dalam rentang kehidupan manusia. Manusia memiliki tahapan perkembang-
an dengan tugas-tugas perkembangan yang penting untuk berbagai tahapan
rentang kehidupan. Salah satu tahapan dalam rentang kehidupan manusia
adal ah masa dewasa awal atau dewasa dini (dalam Hurlock, 1999).
Masa dewasa awal atau dewasa dini merupakan periode penyesuaian di-
ri terhadap pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Individu
yang berada pada masa dewasa awal atau dewasa dini diharapkan mema-
inkan peran baru, seperti peran suami/isteri, orangtua, dan pencari nafkah,
dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai
baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Masa dewasa awal atau dewasa
dini memiliki beberapa tugas perkembangan, salah satu diantaranya adalah
memilih pasangan. (dalam Hurlock, 1999). Berdasarkan teori perkembang-
an psikososial Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 1998), masa dewa-
sa awal (young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy versus
isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat
dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mu-
lai longgar. Mereka sudah mulai selektif dan membina hubungan yang intim
hanya dengan orang-orang terten tu yang sepaham. Jadi pada tahap ini tim-
bul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang
tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan

1
1.1. Latar Belakang 2

orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diper-
lihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya
disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekat-
an dan kedekatan dengan orang lain. Genbeck dan Patherick (2006) menya-
takan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam berpacaran yaitu keintiman
dengan pasangan dan berbagi dengan orang lain yang merefleksikan tugas
perkembangan pada masa ini.
Individu dewasa awal atau dewasa dini mencari keintiman emosional dan
fisik kepada pasangan romantis. Hubungan ini mensyaratkan keterampil-
an seperti kesadaran diri, empati, kemampuan mengkomunikasikan emosi,
pembuatan keputusan seksual, penyelesaian konflik dan kemampuan mem-
pertahankan komitmen. Keterampilan tersebut sangat penting ketika indivi-
du dewasa awal atau dewasa dini memutuskan untuk menikah, membentuk
pasangan yang tidak terikat pernikahan, atau hidup seorang diri, atau memi-
liki atau tidak memiliki anak (Lambeth & Hallet dalam Papalia, 2008). Hal
ini jugalah yang terjadi pada individu biseksual.
Biseksual merupakan sebuah istilah yang merupakan salah satu dari ti-
ga klasifikasi utama orientasi seksual manusia disamping homoseksual dan
heterogenitas. Orientasi seksual dapat dilihat sebagai salah satu dari empat
komponen yaitu identitas seksual, jenis kelamin secara biologis, identitas
gender, dan peran seks secara sosial (Shively & De Cecco dalam Fox, 2000).
Suatu literatur penelitian telah mengemukakan secara jelas berbagai macam
kriteria untuk mendefinisikan orientasi seksual, termasuk di antaranya per-
ilaku seksual, affectional attachment (close relationships) , fantasi-fantasi
erotis, arousal, erotic preference, dan identifikasi diri sebagai biseksual, he-
teroseksual, atau homoseksual (Shively, Jones & De Cecco dalam Fox, 2000).
Seksologis Jerman, Krafft-Ebing me nyebut biseksual dengan sebutan
psychosexual hermaphroditism , yaitu merujuk pada eksistensi dua seks bi-
ologis dalam satu spesies atau kejadian yang merupakan ke betulan dari ka-
rakteristik pria dan wanita dalam satu tubuh (Bowie dalam Storr, 1999). Na-
mun, penggunaan dari biseksual telah mengalami perubahan. Ellis (dalam
Sto rr, 1999) kemudian meninggalkan istilah psychosexual hermaphroditism
dan memperluas makna dari biseksual sebagai hasrat seksual untuk pria ma-
upun wanita yang dialami oleh individu. Menurut Freud (1905), biseksual
merupakan kombinasi dari maskulinitas dan feminitas sedangkan menurut
Stekel (1920) dan Klein (1978), biseksual bukanlah merupakan kombinasi
dari maskulinitas dan femininitas melainkan heteroseksualitas dan homosek-
1.1. Latar Belakang 3

sualitas (dalam Storr, 1999).


Masters (1992) mengatakan bahwa biseksual adalah istilah untuk orang
yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki ma upun perempuan.
Biseksual juga didefinisikan sebagai orang yang memiliki ketertarikan secara
psikologis, emosional dan seksual kepada pria dan wanita (Rob in & Hammer
dalam Matlin, 2004). Selain itu, biseksual juga dapat didefinisikan seba gai
orientasi seksual yang mempunyai ciri- ciri berupa ketertarikan estetis, cinta
romantis dan hasrat seksual kepada pria dan wanita. Orang-orang yang me-
miliki orientasi biseksual, dapat mengalami pengalaman seksual, emosional
dan ketertarikan afeksi kepada sesama jenis dan lawan jenis (dalam wikipe-
dia, 2008).
Kinsey dalam penelitian yang dilakukan di Amerika menyatakan sekitar
1% individu mengatakan bahwa diri mereka adalah biseksual yaitu 1,2% pria
dan 0,7% wanita (dalam Santrock, 2003). Di Indonesia sendiri belum ada
data statistik yang menunjukkan presentasi biseksual karena wacana sosial
tentang biseksual masih terbatas (Oetomo, 2006).
Individu gay, lesbi atau biseksual sering mengalami diskriminasi. Di ma-
syarakat Indonesia sering didengar larangan dan ancaman dari para pemim-
pin agama, yang tanpa berpikir panjang dan membaca lebih cermat teks-teks
keagamaan dengan mudahnya menyatakan mereka sebagai orang berdosa.
Hal ini sangat menyakitkan bagi kaum gay, lesbi dan biseksual di Indonesia.
Tidak adanya pengakuan dalam kehidupan bermasyarakat ju ga merupakan
perilaku diskriminatif. Media massa jarang membahas isu-isu yang penting
untuk kaum gay, lesbi dan biseksual (Oetomo, 2006).
Kaum biseksual sering mendapatkan penolakan dari komunitas hetero-
seksual dan homoseksual. Hal ini dikarenakan adanya prasangka seksual.
Kaum heteroseksual cenderung meyakini bahwa kaum biseksual seringkali
tidak setia kepada pasangannya (Peplau & Spalding dalam Matlin, 2004).
Bagi kaum lesbi dan gay, mereka sering meyakini bahwa individu biseksual
membingungkan dan kaum lesbi dan gay kadang-kadang memunculkan pra-
sangka seksual untuk mencegah kaum biseksual dari munculnya pengakuan
kaum biseksual yang menyatakan mereka adalah kaum lesbi dan gay (Herdt,
Rust, Peplau & Spalding dalam Matlin, 2004).
Secara khusus, manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin melepask-
an diri dari hubungannya dengan manusia lain. Orang membutuhkan orang
lain, orang selalu berada dalam hubungan timbal balik dengan orang la-
in. Maka orang harus selalu bertemu, bercakap-cakap dengan orang lain.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian 4

Percakapan menjadi salah satu faktor penting dalam kegiatan konseling. Pe-
layanan konseling tidak sama dengan khotbah atau pemberian nasihat. Be-
lajar konseling tidak sama dengan belajar menjadi penasihat (advisor), guru
atau seorang pemberi resep (recipe giver). Karena pelayanan konseling yang
utama adalah justru menolong konsele (klien atau penerima bimbingan) un-
tuk bertanggung jawab penuh dalam hidupnya, dan di bawah terang firman
Tuhan menolong dia menemukan sendiri jawaban atas pertanyaan dan per-
soalan hidupnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui
lebih mendalam tentang orientasi seks biseksual dan bagaimana membantu,
menangani serta memotivasi individu yang memiliki orientasi seks biseksual
agar kembali memiliki kehidupan dengan orientasi seks yang normal.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian


Penulisan karya ilmiah ini dimaksudkan untuk dapat menjawab penanganan
konseling bagi individu yang memiliki orientasi seks biseksual. Pertanyaan
yang ingin dijawab dalam penulisan karya ilmiah ini, yakni:

“Apa penyebab individu mengalami penyimpangan seks berorien-


tasi biseksual?”
“Bagaimana pandangan Alkitab tentang biseksual?”
“Bagaimana penanganan konseling yang tepat oleh gereja terha-
dap penderita biseksual?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan informasi bagi ma-
syarakat umum mengenai ciri-ciri individu yang berorientasi biseksual dan
bagaimana cara penanganannya.

1.3.2 Tujuan Khusus


Penulisan karya ilmiah ini juga memiliki tujuan khusus yaitu membekali para
pelayan Tuhan yang memiliki hati untuk memberikan pelayanan konseling
1.4. Manfaat Penelitian 5

dengan menyekolahkan mereka ke sekolah konseling dan membuka pela-


yanan konseling centre di gereja atau di tempat umum, serta memberikan
informasi bagaimana cara penanganan oleh gereja pada kasus individu yang
mengalami orientasi biseksual.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara
lain:

1. Dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu


psikologi terutama pada bidang konseling, mengenai penanganan bagi
penderita penyimpangan seks berorientasi biseksual.

2. Dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk me-
neliti lebih jauh mengenai penyimpangan seks berorientasi biseksual.

1.4.2 Manfaat Praktis


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara
lain:

1. Memberikan informasi dan pencerahan kepada individu biseksual se-


hingga individu biseksual dapat terbuka pemikirannya dan memiliki
keinginan untuk kembali menjalani hidup normal.

2. Menjadi sumbangan informasi bagi lingkungan sekitar individu bisek-


sual agar dapat memberikan dukungan positif sehingga kaum biseksual
dapat sembuh dan memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi.

1.5 Batasan Penelitian


Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis membagi batasan penulisan kepa-
da dua hal berikut ini:
1.6. Sistematika Penulisan 6

1.5.1 Batasan Narasumber


Batasan narasumber yang penulis kemukakan dalam penulisan karya ilmi-
ah ini tidak hanya sebatas di lingkungan gereja namun mencakup kalangan
umum.

1.5.2 Batasan Teori


Penulis membatasi kajian teori dalam penulisan karya ilmiah ini mengenai
ciri-ciri dan penanganan konseling pada penderita penyimpangan seks yang
berorientasi biseksual.

1.6 Sistematika Penulisan


Pembahasan dalam penulisan ini akan dibagi ke dalam empat bab. Gam-
baran umum tentang isi dari setiap bab pada penulisan ini akan di jelaskan
sebagai berikut :

• Bab I: Pendahuluan, memuat latar belakang, rumusan masalah pe-


nilitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penilitian dan
sistematika penulisan.

• Bab II: Landasan Teori, bab ini berisi tentang teori-teori yang menjadi
acuan dalam penulisan karya ilmiah ini.

• Bab III: Penjelasan Kasus, bab ini berisi tentang penjelasan dan pe-
nanganan pada kasus individu yang mengalami penyimpangan seks
berorientasi biseksual.

• Bab IV: Analisis dan Pembahasan, bab ini berisi analisis dan pemba-
hasan mengenai data-data yang telah dianalis berdasarkan teori pada
teori bab II.

• Bab IV: Penutup, bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran
yang diperoleh dari pembahasan dalam penulisan ini untuk penyem-
purnaan dan pengembangan selanjutnya.
Bab 2

Landasan Teori

2.1 Definisi Konseling


Secara etiomologi, konseling berasal dari bahasa Latin “Consilium” artinya
dengan atau bersama yang dirangkai dengan menerima atau memahami se-
dangkan dalam bahasa Angglo Saxon istilah konseling berasal dari “Sellan”
yang berarti menyerahkan atau menyampaikan.
Di dalam Alkitab asal istilah ’counsellor’ dari Yesaya 9: 5, yakni:

“Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera


telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas
bahunya, dan namanya disebutkan orang : Penasihat Ajaib, Allah
yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.”

Tuhan Yesus kepada manusia sebagai Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa
dan Raja Damai. Tuhan Yesus adalah konselor yang sejati, kita sebagai pesu-
ruh dari konsulor yang sejati. Tanamkan dalam diri anda pengakuan bahwa
Tuhan Yesus yang mau bekerja dalam diri anda untuk menasehati sesama
anda, karenanya sandarkan diri anda pada pimpinan Roh Kudus.

“Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan ke-


padamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu,
tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa
dalam namaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu
kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah
Kukatakan kepadamu.” (Yoh 14:16,26)

Roh Kudus sebagai Penolong yang menyertai dan Pengingat atas pernyataan-
pernyataan Yesus kepada kita. Roh Kudus adalah suatu Pribadi yang mem-

7
2.1. Definisi Konseling 8

punyai ciri-ciri: Menolong, menghibur, mengingatkan dan mengajar. Roh


Kudus adalah suatu pribadi yang terlibat dalam pekerjaan konseling.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, konseling berarti pemberian bimbing-
an oleh orang yang ahli kepada seseorang. Dalam situs Wikipedia bahasa
Indonesia, konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh
seorang ahli (konselor) kepada individu yang mengalami sesuatu masalah
yang berakhir pada teratasi nya masalah yang dihadapi klien. Bantuan yang
diberikan kepada individu yang sedang mengalami hambatan, memecahkan
sesuatu melalui pemahaman terhadap fakta,harapan, kebutuhan dan pera-
saan - perasaan klien.
Konseling adalah proses pemberian informasi objektif dan lengkap, de-
ngan panduan keterampilan interpersonal, bertujuan untuk membantu se-
seorang mengenali kondisinya saat ini, masalah yang sedang dihadapi dan
menentukan jalan keluar atau upaya untuk mengatasi masalah tersebut.

2.1.1 Pastoral Konseling


Pastor adalah kata bahasa Latin yang berarti gembala. Jabatan pastor se-
jak awal dikenakan kepada pemimpin-pemimpin gereja untuk menjelaskan
kepedulian mereka terhadap kehidupan rohani jemaat mereka baik secara
individu maupun kelompok.
Pastoral konseling adalah hubungan timbal balik (interpersonal relation-
ship) antara hamba Tuhan (pendeta, penginjil, dan sebagainya), suatu dialog
yang terjadi antara pendeta dan konselenya, yang bisa melibatkan, seluruh
aspek kehidupan mereka masing-masing. Sebagai konselor dengan konse-
lennya (klien) sedalam mana konselor mencoba membimbing konselennya
ke dalam suatu suasana percakapan konseling yang ideal (conductive atmos-
phere) yang memungkinkan konsele dapat mengenal dan mengerti apa yang
sedang terjadi pada dirinya sendiri, persoalannya, kondisi hidupnya, dima-
na ia berada sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan
tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencoba mencapai tujuan itu dengan
takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan ke-
padanya.
Pelayanan konseling adalah bagian integral dari pelayanan hamba Tuhan.
Hamba Tuhan akan kehilangan identitasnya jikalau ia menolak pelayanan
yang satu ini. Meskipun demikian pelayanan Konseling bukan pelayanan
secara otomatis dapat hamba Tuhan lakukan hanya oleh karena bakat-bakat
alamiahnya dalam pengembalaan ataupun oleh karena kuliah-kuliahnya di
2.1. Definisi Konseling 9

dalam sekolah Theologi.


Berdasarkan definisi ini kita bisa melihat paling tidak empat aspek pen-
ting yang harus dikenal oleh setiap konselor (Hamba Tuhan):

1. Hubungan timbal balik (interpersonal relationship) antara konselor


dengan konselennya

Ini meliputi persoalan-persoalan sekitar :

1. Alasan mengapa hubungan timbal balik ini harus merupakan suatu di-
alog.

2. Hal-hal apa yang perlu diperhatikan konselor dalam hubungan timbal


balik ini.

2. Hamba Tuhan sebagai konselor

Kecenderungan untuk melakukan pelayanan konseling tanpa tanggung ja-


wab.

3. Suasana percakapan konseling yang ideal (conducive atmosphere)

1. Understanding ( sikap penuh perhatian)

2. Responding ( Memberi tanggapan yang membangun).

4. Melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya pada


Tuhan dan mencapai tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan kemam-
puan seperti yang sudah diberikan Tuhan

1. Melihat tujuan hidupnya secara Kristen.

2. Melihat Alkitab sebagai standard kebenaran yang mutlak untuk menilai


tingkah laku dan kebutuhannya.

3. Memakai sarana dan jalan yang sesuai dengan iman Kristen dalam
mencapai tujuan yang benar.

4. Melihat tujuan hidupnya secara realistis.

5. Mencapai tujuan hidup yang dicita-citakan dengan takaran dan kekua-


tannya sendiri.
2.1. Definisi Konseling 10

2.1.1.1 Kelebihan utama dan batasan – batasan pastoral konseling

Kita telah mengetahui bahwa meskipun pastoral konseling berhubungan de-


ngan bentuk-bentuk konseling lainnya, pastoral konseling juga memiliki ben-
tuk khusus yang membedakannya dari bentuk-bentuk konseling lainnya. Ciri-
ciri pastoral konseling berkaitan baik dengan kelebihan maupun keterbata-
sannya. Kelebihan utama pastoral konseling adalah sebagai berikut :

1. Pelatihan pelayanan secara teologi.

2. Ketajaman rohani.

3. Penggunaan sumber-sumber rohani.

4. Adanya kepercayaan dan penyesuaian proses konseling sehubungan


dengan pelayanan sebagai seorang pribadi dan sebagai perwakilan dari
gereja.

5. Kesempatan untuk menggunakan sumber-sumber seputar kehidupan


berjemaat.

6. Kesempatan untuk mengambil inisiatif dalam membangun suatu hu-


bungan konseling dan kemungkinan diadakannya intervensi awal.

7. Kesediaan pelayanan-pelayanan konseling dengan mengabaikan masa-


lah pembayaran.

2.1.1.2 Batasan-batasan tertentu dalam pastoral konseling:

1. Waktu.

Hanya sedikit pendeta yang memiliki waktu bagi semua jemaatnya yang
membutuhkan konseling. Bahkan pendeta yang tanggung jawab utama-
nya adalah memelihara dan memberikan konseling pun merasa kekurangan
waktu; tekanan dari tanggung jawab lain seringkali memungkinkan untuk
melihat bahwa seseorang mengalami krisis yang parah. Namun sayangnya
hal ini merusak kelebihan pastoral yang unik dari konseling intervensi awal
yang potensial dan berorientasi-prevensi. Meskipun demikian, seperti yang
diketahui banyak pendeta, permintaan pelayanan adalah tekanan yang kon-
stan, mengurangi waktu yang tersedia untuk konseling dan, dalam beberapa
kasus, membatasi konseling untuk intervensi-intervensi yang jelas.
2.1. Definisi Konseling 11

2. Pelatihan

Dalam beberapa kasus, pelatihan ini hanya bersifat sementara dan mempu-
nyai implikasi untuk jenis konseling yang perlu ditangani. Beberapa model
pastoral konseling memisalkan pengetahuan yang lebih maju tentang teori
kepribadian dan psikoterapi dan merupakan pertanyaan-pertanyaan bergu-
na bagi para pendeta yang hanya mengikuti satu atau dua kursus psikologi
atau konseling. Sebagian besar pendeta tidak memiliki latar belakang yang
dibutuhkan dalam teori kepribadian dan psikologi psychotherapeutic untuk
memberikan psikoterapi rekonstruktif yang intensif. Atau mereka juga tidak
memiliki pra-syarat pelatihan mengenai psikodiagnostik dan psikopatologi
untuk memberikan perawatan total bagi beberapa individu yang bermasa-
lah.
Para pendeta, sama seperti konselor profesional lainnya, harus secara
jelas menyadari keterbatasan mereka dalam bersaing dan siap serta berse-
dia mengalihkannya kepada orang lain ketika keterbatasan-keterbatasan itu
dicapai. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam keterbatasan ini. Namun
pastoral konseling seharusnya tidak dipandang sebagai suatu pengganti ba-
gi terapi medis atau terapi psikologi lainnya. Ketika terapi lain dibutuhkan,
pastoral konseling masih merupakan sumber pertolongan tambahan yang
khusus dan berguna.

3. Konflik

Tidak sama seperti para profesional konseling lainnya, pendeta tidak me-
miliki batasan kontak yang istimewa dengan para klien-nya di luar kantor
konseling. Alasan mengapa para psikoterapis membatasi kontak adalah jika
kontak tersebut menyulitkan terapi, kadang-kadang meng- kontaminasi per-
awatan secara menyeluruh sehingga kontak ini harus dihentikan. Aturan-
aturan yang mengatur pelaksanaan pertemuan- pertemuan psikoterapi pas-
sien dan ahli terapinya dibuat untuk memfasilitasi tugas ’psychotherapeutic’.
Aturan-aturan ini berbeda dengan aturan yang terkait dengan masalah
sosial, bisnis, atau hubungan kekeluargaan. Namun, pendeta secara rutin
bertemu dengan mereka yang terlibat dalam konseling melalui berbagai per-
an mereka. Hal ini seringkali membuat baik pendeta maupun jemaatnya
dalam situasi yang janggal, terutama dalam hubungan konseling jangka pan-
jang.
2.1. Definisi Konseling 12

4. Pembayaran

Meskipun hal ini merupakan kelebihan yang membuat bantuan pendeta ter-
sedia bagi mereka yang terbatas sumber keuangannya, tidak adanya pemba-
yaran akan menurunkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab dalam proses
konseling. Hal ini juga meningkatkan kemungkinan bahwa seseorang meng-
ambil keuntungan dari waktu pelayanan, menggunakannya dengan cara-
cara yang tidak produktif. Tidak adanya pembayaran, bagaimanapun juga,
bisa merupakan kelebihan maupun kekurangan dari pastoral konseling yang
biasa dilakukan.
Pastoral konseling tampaknya, sesuai dengan uraian di atas, menempa-
ti posisi terbaik sebagai konseling yang terfokus dan berani. Terapi intensif
jangka panjang tampaknya tidak sesuai dengan terbatasnya waktu dari se-
bagian besar pendeta, atau sebagian besar pendeta tidak pernah mengikuti
pelatihan yang penting dan tidak memiliki latar belakang psikologi sehingga
tidak memiliki pengalaman yang sesuai ataupun produktif. Konseling jangka
pendek juga membuat para pendeta dapat menghindari beberapa pemindah-
an komplikasi yang digolongkan sebagai bagian utama dari pertemuan kon-
seling jangka panjang. Secara ringkas, pastoral konseling harus benar-benar
terfokus, dan fokus yang sarankan sebaiknya berhubungan dengan tujuan
utama dari pertumbuhan rohani.

2.1.2 Tujuan Konseling


Konseling sekuler bertujuan untuk menolong orang yang dikonseling (kon-
selee) mendapatkan kebahagiaan hidup. Sebaliknya, konseling Kristen me-
miliki tujuan utama agar konselee dapat hidup menyenangkan Tuhan, yaitu
melakukan apa yang Tuhan kehendaki sesuai dengan Firman-Nya. Ketaatan
seseorang kepada Tuhan dan Firman-Nya akan membuahkan kebahagiaan
hidup yang sejati. Tujuan utama suatu konseling adalah sebagai berikut :

1. Menyediakan fasilitas untuk perubahan perilaku

Hampir semua para ahli dalam bidang konseling akan menyetujui bahwa
tujuan suatu konseling adalah membawa klien agar terjadi perubahan yang
memungkinkan klien hidup sesuai dengan pembatasan- pembatasan yang
ada dalam masyarakat.
Tujuan konseling harus jelas, jadi perubahan perilaku yang dikehenda-
ki ialah perubahan yang bagaimana dan selanjutnya bagaimana melakuk-
2.1. Definisi Konseling 13

an perubahan tersebut dengan bantuan dari konselor. Istilah “milieu thera-


py” menunjukkan perlunya mengubah lingkungan ( manipulasi lingkungan
) agar selanjutnya mengubah klien.

2. Meningkatkan keterampilan untuk menghadapi sesuatu

Dalam kenyataanya hampir semua orang mengalami kesulitan menghadapi


proses pertumbuhan dan perkembangannya. Tidak semua orang yang ber-
pengaruh terhadap proses perkembangan seseorang, bisa memperlihatkan
tindakan sama dan konsisten, sehingga selalu menghadapi sesuatu yang ba-
ru yang belum tentu disenangi atau dituruti. Akar persoalan seperti ini me-
najdi tanda bahwa kehidupan tidak mungkin terhindar dari persoalan yang
setiap kali harus dihadapi dan karena itu membutuhkan kemampuan, kete-
rampilan dan juga kemauan dan kesanggupan untuk menghadapi. Hal ini
bisa diberikan secarah sistematis oleh seorang konselor dan inilah salah satu
dari tujuan konseling, yakni meningkatkan keterampilan untuk menghadapi
sesuatu. Membantu orang belajar untuk menghadapi situasi dan tuntutan
baru adalah tujuan penting dari konseling.

3. Meningkatkan kemampuan dalam menentukan keputusan

Dalam batas tertentu, konseling diarahkan agar seseorang bisa membuat se-
suatu keputusan pada saat penting dan benar-benar dibutuhkan. Keputusan
yang diambil pada akhirnya harus merupakan keputusan yang diambil pa-
da akhirnya harus merupakan keputusan yang ditentukan oleh klien sendiri
dengan bantuan dari konselor.
Konseling bertujuan membantu klien memperoleh informasi dan kejelas-
an di luar pengaruh emosi dan cirri kepribadiannya yang bisa mengganggu
pengambilan keputusan. Dengan konseling klien dibantu memperoleh pe-
mahaman bukan saja mengenai kemampuan , minat dan kesempatan yang
ada, melainkan juga mengenai emosi dan sikap yang bisa mempengaruhi
dalam menentukan pilihan dan pengambilan keputusan.

4. Meningkatkan dalam hubungan antar perorangan

Sebagai makhluk sosial, seseorang diharapkan mampu membina hubungan


yang harmonis dengan lingkungan sosialnya, mulai dari ketika kecil di se-
kolah, dengan teman sebaya, rekan sepekerjaan atau seprofesi dan dalam
keluarga. Kegagalan dalam hubungan antar perorangan adlah kegagalan
2.1. Definisi Konseling 14

dalam penyesuaian diriyang antara lain disebabkan oleh kurang tepatnya


memandang atau menilai diri sendiri atau kurangnya keterampilan untuk
menyesuaikan diri.
Konseling bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan seseorang
sehingga pandangan dan peningkatan terhadap diri sendiri bisa lebih ob-
jektif serta meningkatkan keterampilan dalam penyesuaian diri agar lebih
efektif.

5. Meningkatkan dalam hubungan antar perorangan

Beriorientasi pada paham humanistik, bahwa pada hakikatnya jelas bahwa


orang punya kemampuan, namun acap kali ternyata kemampuan tersebut
tidak atau kurang berfungsi, tidak actual, jadi berfungsinya tidak menca-
pai maksimal sebagaimana keadaan sebenarnya yang mungkin bisa dicapai.
Memberfungsikan kemampuan yang benar-benar dimiliki dengan memban-
tu menyediakan fasilitas, adalah tujuan dari konseling. Kalau ternyata pada
seseorang kemampuannya tidak efektif, mungkin penyebabnya terletak pa-
da gambaran dan ciri-ciri kepribadiannya atau bisa juga karena lingkungan
yang menghambat.

2.1.3 Fungsi Konseling


1. Konseling dengan fungsi pencegahan merupakan upaya mencegah tim-
bulnya masalah kesehatan.

2. Konseling dengan fungsi penyesuaian dalam hal ini merupakan upa-


ya untuk membantu klien mengalami perubahan biologis, psikologis,
social, cultural, dan lingku ngan yang berkaitan dengan kesehatan.

3. Konseling dengan fungsi perbaikan dilaksanakan ketika terjadi penyim-


pangan perilaku klien atau pelayanan kesehatan dan lingkungan yang
menyebabkan terjadi masalah kesehatan sehingga diperlukan upaya
perbaikan dengan konseling.

4. Konseling dengan fungsi pengembangan ditujukan untuk meningkatk-


an pengetahuan dan kemampuan serta peningkatan derajat kesehatan
masyarakat dengan upaya peningkatan peran serta masyarakat.

5. Konseling dengan fungsi advokasi menghasilkan teradvokasi atau pem-


belaan terhadap peserta didik dalam rangka upaya pengembangan se-
luruh potensi secara optimal.1
2.1. Definisi Konseling 15

2.1.4 Tahapan-Tahapan Layanan Konseling Pastoral


Untuk dapat memberikan layanan Konseling Pastoral (KP) maka konselor
harus mengetahui tahap-tahapnya, kekhasan dalam setiap tahap tersebut.
Menurut Tulus Tu’u (2007:72-81) ada beberapa tahap untuk dapat membe-
rikan layanan Konseling Pastoral yakni:

1. Tahapan awal

Pada tahap ini konselor mendengarkan pergumulan pikiran atau perasaan


konseli (yang mengalami sakit). Apabila relasi konselor cukup baik de-
ngan konseli, pendampingan dapat diawali dengan berdoa memohon rah-
mat/berkat Tuhan agar proses KP yang akan dilangsungkan (kemungkinan
bisa terjadi dalam beberapa pertemuan) dapat berlangsung dengan baik.

2. Tahapan inti

Pada tahap ini konselor berupaya menggali, mencari, menemukan pokok-


pokok akar masalah (dari pikiran/perasaan konseli) serta akibat-akibat yang
dihadapikonseli. Dalam tahap ini konselor perlu mengembangkan percakap-
an dengan menggunakan model-model Respons Understanding (U), Respons
Suportif (S), Respon Interpretatif (I), dan Respons Evaluatif (E).
Respons Understanding (U), berisi pemahaman dan pengertian, mak-
sudnya konselor mengungkapkan dengan kalimatnya sendiri tentang pikir-
an/perasaan konseli. Respons Understanding ini sering ada dimana-mana
dalam konseling, sehingga dapat dikombinasi dengan Rerspons SIE (Supor-
tif, Interpretatif, Evaluatif).
Respons Suportif (S), berisi refleksi teologis, untuk mendukung, menen-
tramkan, meneguhkan, menghibur konseli. Respons ini sangat berguna un-
tuk merespons konseli yang mengungkapkan kebimbangan, keragu-raguan,
ketakutan, kekhawatiran, gelisah, resah, sedih, duka, putus asa, “merasa
kecil”/”minder”, dan tidak berdaya, bingung, kecewa, benci, dendam. Da-
lam percakapan pada tahap ini perasaan konseli perlu ditanggapi konselor
dengan memberikan inspirasi teologis. Oleh karena itu konselor perlu memi-
liki pemahaman yang berkaitan dengan ayat-ayat Kitab Suci tertentu supaya
dapat mendorong konseli keluar/membebaskan diri dari rasa itu.
Respons Interpretatif (I), isinya refleksi psikologis bertujuan untuk me-
nafsir, menuntun, membimbing dan menerangkan. Intinya mengajak konse-
li merenungkan pikiran/perasaan yang menjadi problemnya dalam konteks
2.1. Definisi Konseling 16

pemikiran psikolog tertentu. Respons Interpretatif (I) ini akan mengarah


ke Respons Evaluatif (E) dan Respons Action (A) d. Respons Evaluatif (E)
isinya unsur psikologis dan teologis. Respons ini berusaha mengevaluasi,
menanggapi hal-hal yang baik dari konseli, memberikan ide-ide, alternative-
alternatif jalan keluar, atau solusi.

3. Tahapan penutup

Pada tahap ini konselor berusaha untuk mengakhiri proses KP dengan Res-
pons Action (A). Maksudnya, konselor membantu konseli untuk membuat
tindakan konret. Supaya proses ini dapat berjalan baik, pentingnya memiliki
kebiasaan berdoa perlu digaris bawahi.
Menurut Alastair V.Campbell (1987:198-199), KP dapat berlangsung de-
ngan menggunakan tahap-tahap tersebut apabila konselor menjalankan fungsi-
fungsi berikut:

1. Fungsi penyembuhan, menolong konseli supaya dapat mengatasi per-


soalan psikologis dan spiritual cukup berat.

2. Fungsi peneguhan, memberikan dukungan pada konseli yang mengha-


dapi permasalahan dan kemungkinan menjadi kehilangan pengharap-
an juga.

3. Fungsi bimbingan, memberikan bimbingan moral dan pengarahan spi-


ritual supaya tetap memiliki tujuan hidup.

4. Fungsi rekonsiliasi, memberikan bimbingan sehingga konseli dapat me-


nyelesaikan masalah intrapersonal maupun interpersonal dalam hubu-
ngannya dengan sesama maupun anggota keluarga.

2.1.5 Konsele Profile


Ada tiga golongan manusia yang disebutkan oleh Paulus dalam I Kor 2:12-
3:4, yaitu: Manusia duniawi (I Kor 2:14), manusia rohani yang bertabiat
duniawi (I Kor 3:2) dan manusia yang dewasa dalam Kristus (I Kor 2: 15).
Seorang konselor harus dapat mengerti siapa konsele yang anda hadapi. Ber-
ikut adalah klasifikasi konsele :

1. Orang duniawi

Orang yang bukan Kristen dan tidak menerima Kristus sebagai juru selamat.
2.1. Definisi Konseling 17

Kehidupan manusia duniawi dikendalikan oleh ego yang duduk di ta-


khtanya dan mengendalikan seluruh kehidupan individu bersama dengan
sejumlah menteri yaitu menteri-menteri: Tragedi dalam kehidupan seperti
ini adalah karena di atas takhta ini sering terjadi pergantian pemerintahan
menteri-menteri (kudeta). Ada orang-orang tertentu yang suatu saat hawa
nafsunya duduk di takhta pemerintahan sehingga ego orang tersebut jatuh
terkuasai. Orang tersebut akan hidup dalam berbagai hawa nafsu (misalnya
nafsu marah, nafsu makan atau nafsu seks). Penguasaan menteri kemauan
yang membuat orang tersebut mempunyai kemauan keras yang melampa-
ui batas sehingga sering mengakibatkan pelanggaran. Keinginan yang kuat
yang menguasai seseorang akan mengakibatkan "break-down" jika yang dii-
nginkannya tidak tercapai.
Pergantian kekuasaan atau kudeta-kudeta seperti ini akan menyebabkan
seseorang putus asa terhadap dirinya dan mencari jalan keluar atas masalah
"kudeta dalam kehidupan" ini. Kegagalan dalam menemukan jalan keluar ini
sering menyebabkan orang tersebut bunuh diri.
Seorang konselor dapat membantunya. Ada kelepasan bagi orang yang
terbelenggu ini. Yesus berkata: "Mari kepadaKu yang berbeban berat ..."
(Mat 11:28).

2. Orang rohani bayi dan kanak-kanak.

Orang Kristen lahir baru (bayi rohani) yang memiliki ciri-ciri sering berteng-
kar seperti kanak-kanak.
Melalui kelahiran baru, Yesus sudah berdiam di hatinya. Ia kini sering
berdoa dan meminta pimpinanNya. Tetapi pada keadaan-keadaan terten-
tu ketika lengah, sejumlah kudeta sering terjadi, misalnya kudeta menteri
emosi. Itu sebabnya Paulus berkata: Bukankah hal itu menunjukkan bahwa
kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara duniawi? (I Kor 3:3)
Mengapa? Karena raja ego masih duduk di takhtanya. Hanya saat-saat ter-
tentu saja ego meminta pertolongan Tuhan. Hasilnya adalah orang rohani
yang hidup dalam tabiat duniawi. Orang ini tahu bahwa jalan keluar dari
kesukaran adalah Yesus. Ini membedakannya dari orang duniawi yang tidak
mengetahui jalan keluar dan jalan yang benar.

3. Orang Kristen dewasa

Seorang Kristen yang sungguh-sungguh seharusnya menempatkan Kristus


duduk di takhta hatinya. Dengan demikian Yesus merupakan pemegang ken-
2.1. Definisi Konseling 18

dali pemerintahan. Semua menteri tetap ada dan berfungsi tetapi tunduk
kepada Yesus dan tidak memerintah lagi. Ciri orang Kristen yang matang
adalah segala sesuatu (menteri) diatur seimbang (balance).
Langkah yang perlu diambil agar menjadi orang Kristen dewasa adalah:
Harus menyerahkan diri dan menyerahkan pimpinan hidup kepada Yesus.
Akui Yesus sebagai Raja hidupmu. Dengan sikap: Kendalikan cita-citaku,
kemauanku ... emosiku, maka anda akan tumbuh menjadi Kristen dewasa.
Gantungkan cita-cita anda lebih tinggi dari bintang di langit, yaitu di hati-
Nya.
Anda harus mengerti dari golongan manakah konsele yang anda layani
itu. Jangan terkecoh oleh usia dan penampilan seseorang. Ada perbedaan
antara usia rohani dan usia jasmani. Seorang konselor harus bermata jeli.
Jangan heran jika anda bertemu dengan rohaniwan yang belum lahir baru.

2.1.6 Keterampilan-Keterampilan Konselor Kristen


Ada beragam jenis ketrampilan yang harus dikembangkan seorang konselor
Kristen kalau dia mau melayani para kliennya. Kemampuan- kemampuan
tersebut diperlukan dalam keseluruhan proses konseling – sejak dari perte-
muan awal sampai kepada pemecahan final dari permasalahan. Secara ber-
kala konselor harus mengevaluasi bagaimana kemampuannya dalam setiap
bidang ketrampilan tersebut. Seringkali ada manfaatnya memiliki seorang
rekan yang membantu dalam evaluasi ini.

1. Kemampuan untuk memperoleh data

Jika seorang konselor ingin berhasil, dia harus mampu memperoleh cukup
data untuk membuat penilaian mengenai akar dari permasalahan dan tera-
pi yang sesuai. Yang menjadi intinya adalah observasi yang tajam terhadap
setiap gejala yang ditunjukkan oleh konsele. Selain dari penampilan secara
umum, ketidakwajaran apapun seperti disorientasi, delusi, halusinasi, obse-
si, fobia, atau gangguan pikiran, harus diperhatikan. Konselor akan mencoba
memahami suasana hati konsele dan hubungan antar pribadinya.
Untuk memperoleh perspektif yang benar dari klien-nya, sangat penting
untuk mengembangkan seni "mengajukan pertanyaan yang tepat". Hal ini
mencakup pengetahuan tentang bagaimana mengungkap dan menangani
hasil dari pertanyaan-pertanyaan provokatif yang menimbulkan kegelisah-
an. Begitu pula bagaimana beralih dari pertanyaan-pertanyaan yang umum
2.1. Definisi Konseling 19

ke pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik. Konselor juga harus meng-


embangkan kemampuan untuk mengarahkan wawancara secara logis dan
halus menuju ke bagian-bagian yang sulit dan menyakitkan (masalah kejiwa-
an yang pernah dialami sebelumnya, penyalahgunaan obat-obatan terlarang
atau alkohol, percobaan bunuh diri). Sebagai tambahan, sangat penting bagi
konselor untuk mampu menerangkan istilah kata dengan jelas, memberikan
bimbingan, dan mengakhiri wawancara secara bijaksana.

2. Kemampuan untuk merumuskan pendekatan

Memilih di antara berbagai cara pendekatan dan rencana tindakan yang bi-
sa diadopsi sesuai dengan setiap kepribadian klien merupakan salah satu
hal paling sulit yang dihadapi oleh seorang konselor. Bagaimana seorang
konselor dapat mengetahui cara untuk memulainya? Nasehat kami adalah
supaya dia menggunakan beberapa teknik dasar pada saat dia memulai tu-
gasnya. Dia akan belajar untuk membuat beragam pendekatan untuk me-
menuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu dari para konselenya seiring dengan
meningkatnya pengalaman, pengetahuan, dan sensitivitas yang dimilikinya.
Dia harus bersabar dengan dirinya sendiri saat mencoba untuk menguasai
dunia konseling yang kompleks dengan berbagai dimensinya. Seiring de-
ngan berjalannya waktu, dia akan belajar kapan saatnya memberikan wa-
wasan/pengertian dan menawarkan dukungan, kapan saatnya menekankan
tingkah laku dan kapan saatnya untuk memfokuskan pada perasaan, kap-
an saatnya bertindak langsung dan kapan saatnya bertindak tidak langsung,
kapan saatnya menggali masa lalu dan kapan saatnya berkonsentrasi pada
masa sekarang. Dia juga belajar pentingnya menjadi diri sendiri – konsele
akan percaya pada konselor hanya jika dia bersikap spontan/apa adanya dan
nondefensif.
Kesulitan untuk mengetahui bagaimana memilih pendekatan yang tepat
menjadi bertambah lagi dengan adanya sejumlah besar pilihan yang tersedia.
Berikut ini adalah suatu daftar umum yang singkat mengenai apa yang dapat
dilakukan oleh seorang konselor :

• Menawarkan dukungan. Konseling yang suportif (supportive counse-


ling) benar-benar membantu secara emosional dan spiritual. Beberapa
teknik yang masuk dalam kategori ini adalah memberi nasehat (Am-
sal 19:20), penghiburan (2 Korintus 1:3-4), memberi dorongan (Ro-
ma 1:11-12), mendengarkan (Elihu di Ayub 32), dan mendidik (surat-
surat Paulus). Konseling yang suportif, tentu saja, tidak hanya terbatas
2.1. Definisi Konseling 20

pada pertemuan-pertemuan pribadi. Keseluruhan tubuh Kristus ber-


potensi besar sebagai sumber dukungan bagi individu-individu yang
membutuhkan bantuan.

• Memberikan pengertian. Perumpamaan-perumpamaan dari Kristus mem-


berikan penjelasan kepada para pendengar-Nya mengenai kebenaran
mengenai diri mereka sendiri yang tadinya tidak mungkin dapat mere-
ka mengerti. Nabi Natan menggunakan pendekatan yang serupa untuk
membuat Daud menyadari dosanya.

• Menganjurkan konsele untuk mengaku dosa (Yakobus 5:16).

• Memberikan penguatan lisan secara positif (Roma 1:8).

• Memperlihatkan teladan seorang Kristen. Banyak tokoh Alkitab yang


hidupnya menjadi teladan bagi orang lain. Ingatlah teladan Musa ke-
pada Yosua, teladan Naomi kepada Rut, teladan Kristus kepada murid-
murid-Nya.

• Mendidik para konsele. Hal ini untuk menantang keyakinan-keyakinan


yang salah dari konsele (Galatia 4:9). Konselor Kristen dapat memberi-
tahukan kebenaran-kebenaran Tuhan sebagai gantinya. Prosedur yang
paling berguna dalam kasus ini adalah dengan memberikan konsele
tugas- tugas untuk dikerjakan di rumah.

• Bekerjasama dengan konsele dalam sebuah kelompok. Alkitab sering-


kali menekankan pentingnya dan manfaat-manfaat pribadi yang dipe-
roleh dari menjalin interaksi dengan orang lain – saling mengasihi satu
sama lain, saling memikul beban, bersikap ramah satu sama lain (1Ko-
rintus 12, Efesus 4:14-16).

• Memulai program konseling bersama keluarga konsele. Ada penekan-


an yang kuat mengenai keluarga, baik dalam Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru. Rasul Paulus memberi banyak nasehat tentang kehi-
dupan keluarga (Efesus 5:22-33; 6:1-4).

• Manfaatkan teknik-teknik modern untuk mengembangkan tingkah la-


ku. Beberapa teknik yang tersedia adalah pelatihan ketegasan, pelatih-
an tingkah laku, dan penguatan secara positif maupun negatif.
2.1. Definisi Konseling 21

Sampai di bagian ini, kita hanya menyentuh bagian permukaan saja. Di an-
tara rencana-rencana tindakan lain yang bisa diterapkan oleh seorang kon-
selor adalah pemurnian melalui meditasi, menasehati (1Tesalonika 5:14),
konfrontasi, dan mendesak konsele untuk melakukan refleksi atau membu-
ka diri.
Dalam banyak kejadian, seorang konselor akan menemukan bahwa satu
metode pendekatan saja tidaklah cukup. Dukungan saja tidak cukup. Pe-
ngertian/wawasan saja tidak cukup (Salomo punya banyak pengertian/ wa-
wasan tetapi masih tetap jatuh dalam dosa). Begitu pula, mendengarkan
atau melepaskan tekanan semata akan memiliki pengaruh yang kecil pada
kehidupan konsele. Perlu ada perubahan-perubahan tingkah laku yang lebih
spesifik. Alkitab berulangkali menekankan pentingnya aktivitas Kristen yang
benar (Matius 7:24, Filipi 2:13; 4:13). Jika hanya ada sedikit atau tidak ada
perubahan ke arah yang lebih baik dari tingkah laku konsele dalam batas
waktu yang masuk akal, beberapa cara pendekatan tambahan harus dite-
rapkan. Dalam kasus seperti itu kita sering menemukan bahwa akan sangat
membantu bagi konsele untuk memeriksa rencana hidupnya sendiri (con-
tohnya mengamati bagaimana sebenarnya ia menjalani hidup). Kemudian
kita membantunya membuat perubahan-perubahan yang tepat. Kita sebut
cara ini bergerak dari rencana "A" ke rencana "B". Rencana "B" menganjurk-
an aktivitas-aktivitas harian spesifik yang akan menghasilkan kesehatan. Di
antara anjuran-anjuran tersebut adalah interaksi sosial, olahraga, rekreasi,
dan saat teduh. Rencana ini perlu dinyatakan secara terbuka dan dievaluasi
ulang secara berkala.
Jika ternyata semua ini terbukti tidak mencukupi, seorang konselor akan
menyadari bahwa faktor-faktor lainnya mungkin terlibat dan bahwa evaluasi
lebih lanjut diperlukan. Mungkin perlu mengadakan pemeriksaan kejiwaan
secara khusus. Atau menganjurkan konsele untuk mengadakan pemeriksaan
fisik yang ekstensif, atau pengobatan oleh psikiater, atau mungkin perawatan
rumah sakit.

3. Mengikuti teladan Kristus

Sangat penting bahwa seorang konselor Kristen berupaya secara sadar untuk
menjadi seperti Kristus. Semakin dekat sang konselor menyamakan caranya
berhubungan dengan konsele seperti cara Yesus berhubungan dengan orang-
orang yang dilayani-Nya, ia akan makin berhasil. Satu ciri yang menyolok
dalam pelayanan Yesus adalah Ia memperlihatkan berbagai sikap. Ada saat-
2.1. Definisi Konseling 22

nya Ia lemah lembut dan pasif. Di saat lain Ia aktif dan penuh keramahan,
atau baik tetapi tegas. Jika diperlukan, Ia bisa benar-benar bersikap ke-
ras. Dengan kata lain, Yesus menempatkan diri-Nya pada situasi yang spesi-
fik. Demikian juga seharusnya seorang konselor Kristen. (Lihat 1Tesalonika
5:14).
Bercermin dari pelayanan Yesus, poin-poin utama dari konseling Kristen
adalah kebaikan hati dan kelemahlembutan (2Korintus 1:3-4; 10:1; Gala-
tia 6:1; 1Tesalonika 2:7,11; 2Timotius 2:24; Titus 3:2). Tanda paling jelas
dari pelayanan Kristus dan yang terlihat melalui konselor Kristen adalah ka-
sih yang ia tunjukkan kepada konselenya. Ingatlah bahwa kasih adalah hal
utama yang ditekankan dalam Alkitab: "Sekalipun aku dapat berkata-kata
dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak
mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang
yang gemerincing." (1Korintus 13:1) "Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukaci-
ta, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-
lembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu."
(Galatia 5:22-23).
Upaya seorang konselor untuk meneladani sikap Kristus akan terlihat je-
las dari kontak awal hingga melalui semua aspek dari proses konseling. De-
ngan menerapkan teladan pendekatan Kristus, seorang konselor akan mam-
pu memberikan rasa nyaman kepada konsele, membina hubungan, mem-
bentuk suasana penuh kejujuran untuk wawancara, dan menunjukkan kasih,
perhatian, dan empati. Konselor yang demikian akan menjadi peka terhadap
perubahan-perubahan suasana hati konsele. Dia akan fleksibel dalam meng-
hadapi berbagai situasi yang sulit (misalnya, jika konsele menolak untuk
berbicara atau jelas-jelas paranoid), mencoba tidak memperlihatkan keter-
kejutan besar, dan mempertahankan tingkat kontak mata yang benar. Dia
akan sensitif/ peka terhadap masalah-masalah yang kelihatan sepele seperti
tatanan fisik (misalnya posisi tempat duduk) dan posisi tubuhnya (dia akan
agak condong ke depan untuk menunjukkan ketertarikannya). Komunikasi
akan berada pada tingkat yang dapat dipahami oleh konsele. Seorang kon-
selor yang mengikuti pola pendekatan seperti Kristus yaitu mengembangkan
kemampuan mendengarkan yang tajam (Yakobus 1:19) dan akan mampu
memperoleh/mengeluarkan informasi yang berkaitan dengan bijaksana.
2.1. Definisi Konseling 23

4. Kemampuan menggunakan Firman Tuhan

Alkitab memainkan peran yang sangat penting dalam konseling Kristen. De-
ngan menyediakan makanan rohani Firman Tuhan menghasilkan pertum-
buhan dan penyembuhan bagi konsele. Seorang konselor Kristen akan meng-
gunakan Alkitab secara tajam, bijaksana, dan peka. Ada berbagai cara dima-
na konselor bisa menggunakan Firman Tuhan, misalnya sebagai alat/cara
untuk menantang dan konfrontasi secara langsung, atau sumber penghibur-
an dan dukungan yang positif. Alkitab juga memberikan nasihat praktis
dan berbagai teladan hidup orang- orang kudus. Dalam keadaan-keadaan
yang tepat konselor bisa mempertimbangkan untuk memberikan tugas ru-
mah (mempelajari Alkitab dan/atau menghafal). Atau dia mungkin bisa
membantu konselenya dengan menunjukkan jalan-jalan dalam kehidupan
pribadinya sendiri yang memiliki nilai spesial. Dengan bertambahnya penga-
laman, seorang konselor akan menemukan lebih banyak dan makin banyak
lagi cara menggunakan Alkitab.
Kita telah melihat bahwa ada sejumlah persyaratan yang dibutuhkan un-
tuk berhasilnya konseling Kristen. Ini meliputi ketrampilan mengumpulkan
data, kemampuan merumuskan cara pendekatan yang cocok untuk setiap
individu konsele, mengikuti teladan Kristus, dan pengetahuan bagaimana
menggunakan Alkitab. Seorang konselor yang bijaksana akan secara berkala
mengevaluasi dirinya sendiri dan bersungguh-sungguh memacu kemajuan
dirinya dalam bidang-bidang dimana dia merasa lemah.

2.1.7 Kepribadian Konselor


Kepribadian konselor sangat menentukan hubungan yang terjadi di dalam
konseling pastoral. Kata kunci yang perlu dibangun melalui kepribadian
konselor ialah menjadi kepercayaan dari konseli agar konseli merasa penting
membukakan hal-hal yang ia rasakan sangat berharga dalam permasalahan-
nya atau beban-bebannya.
Sukses tidaknya dalam praktik konseling pastoral sangat tergantung pa-
da kepribadian konselor. Ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh
seorang konselor, yaitu:

1. Memiliki kepribadian yang kuat.

Tanda kepribadian yang tidak sehat, misalnya dalam hidup setiap hari sering
dijumpai hal yang aneh-aneh, antara lain bila bertemu dengan seseorang te-
2.1. Definisi Konseling 24

rus merasa benci atau sebaliknya terus merasa simpati. Juga dasar penga-
laman yang aneh-aneh, misalnya sewaktu dia dulu anak-anak pernah dipu-
kul oleh orang yang tampangnya kurus, tinggi, dan berkumis. Pengalaman
ini terpendam. Setiap kali dia bertemu dengan orang yang kurus, tinggi, dan
berkumis, dia terus terpancing. Ini semua tanda kepribadian yang tidak se-
hat. Seorang konselor harus mampu mengontrol gejala seperti ini di dalam
dirinya sendiri.

2. Bersikap menerima seseorang sebagaimana adanya.

Menerima seseorang sebagaimana adanya (as he/she as) adalah penting se-
kali. Apabila konseli datang (masuk) dengan celana pendek, misalnya, atau
memaki-maki, atau tersenyum, jangan terus terpengaruh oleh kemampuan
konseli. Menerima seseorang sebagaimana adanya adalah ciri pendekatan
Yesus (bndk. Yohanes 3; Yohanes 4; Lukas 19). Sewaktu Yesus bertemu de-
ngan perempuan Samaria, Ia menerima perempuan itu apa adanya, tanpa
menghakiminya. Ia menerima perempuan yang didapati berzinah; Ia ju-
ga menerima Zakheus, seorang pemungut cukai yang tidak jujur itu. Yesus
berbelaskasihan terhadap orang lain. Belas kasih Yesus merupakan gambar-
an pendekatan-Nya perlu menjadi jiwa pelayanan konseling pastoral (bndk.
Markus 8:2; 6:34).

3. Empati (Emphaty).

Seorang konselor harus menanamkan perasaan empati di dalam dirinya.


Empati ialah mampu merasakan problem seseorang seperti orang itu merasa-
kannya, namun konselor tidak bisa hanyut dalam perasaan konseli. Gembala
sebagai konselor memasuki atau merasakan bagaimana perasaan konseli.

4. Jaminan Sosial.

Seorang konselor harus mempunyai jaminan emosional (emotional securi-


ty). Apabila konseli menangis, misalnya, konselor tidak usah ikut menangis.
Apabila konseli tertawa, konselor tidak perlu ikut tertawa. Seandainya kon-
seli mengharapkannya, cukuplah tersenyum saja. Tujuan kita berbuat de-
mikian agar kita (konselor) berfungsi sebagai cermin bagi konseli, agar dia
melihat dirinya sendiri melalui sikap kita (konselor).
2.2. Definisi Biseksual 25

5. Menghindari Nasihat-Nasihat.

Memberikan nasihat-nasihat adalah pekerjaan yang paling mudah, akan te-


tapi yang paling sulit adalah menolong. Konselor harus menahan diri untuk
tidak memberikan atau menjejali nasihat-nasihat, kecuali di akhir pertemu-
an. Ini pun hanya bila perlu. Menasihati sering disebut directive counseling.
Menasihati berarti konselor yang terus berbicara. Cara ini tidak baik. Keada-
an konseli jangan kita tinjau dari sudut moral dan lantas kita memarahinya
(misalnya, bagaimana konseli telah mencuri uang ibunya, dan lain-lain). Ja-
ngan memberikan penilaian moral (moral evaluation) dalam konseling agar
yang bersangkutan tidak takut. Jangan terlalu cepat meminta berdoa atau
membaca Alkitab. Ini semua akan menutupi masalah-masalah yang telah
lama disimpannya.

6. Ilmu Psikologi dan Psikoterapi.

Konselor seharusnya telah mendapatkan latihan-latihan konseling dan me-


mahami ilmu jiwa-dalam, antara lain: Freud, Jung, Adler, dan lain-lain. Pe-
nyakit gangguan jiwa ditentukan oleh ada atau tidaknya rasa rendah diri
yang tidak wajar (MC) sebagai hasil persaingan ketika dia kalah. Belajar-
lah tentang psikoterapi, dan sebaiknya seorang konselor pernah dikonseling
(dianalisis).
Siapakah yang kita terima dalam konseling? Semua orang, kecuali orang
gila (Schizophrenia). Kita bisa menolong orang yang neurosis; tetapi apabila
dalam keadaan parah, orang tersebut perlu kita bawa ke psikiater.
Apa batas jiwa yang sehat dengan yang tidak sehat? Ada dua jenis pe-
nyakit jiwa (mental illness) atau mental disorder, yaitu Neurosa (Neurosis)
dan Psikhosa (Psychosis).
Penderita neurosa pada umumnya masih bisa bekerja mencari makan, te-
tapi ia sering terganggu oleh suatu gejala kejiwaan yang tidak bisa dikontrol
sendiri karena dia (konseli) tidak mengetahui apa penyebabnya dan sejak
kapan gejala itu menimpa dirinya.

2.2 Definisi Biseksual


Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan
sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis da-
lam satu spesies atau kejadian yang merupakan kebetu lan dari karakteristik
2.2. Definisi Biseksual 26

pria dan wanita dalam satu tubuh (Bowie dalam Storr, 1999). Ellis (dalam
Storr, 1999) kemudian meninggalkan istilah psychosexual hermaphroditism
dan memperluas makna dari biseksual sebagai hasrat seksual untuk pria ma-
upun wanita yang dialami oleh individu. Menurut Freud (1905), biseksual
merupakan kombinasi dari maskulinitas dan feminitas, sedangkan menurut
Stekel (1920) dan Klein (1978), biseksual bukanlah merupakan kombinasi
dari maskulinitas dan femininitas melainkan heteroseksualitas dan homosek-
sualitas (dalam Storr, 1999).
Dalam pengertian umumnya, biseksual adalah orientasi seksual yang mem-
punyai ciri-ciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis, dan hasrat seksual
kepada pria dan wanita. Menurut Masters (1992), biseksual adalah istilah
untuk orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki mau-
pun perempuan. Biseksual juga didefinisikan sebagai orang yang memiliki
ketertarikan secara psikologis, emosional dan seksual kepada laki-laki dan
perempuan (Robin & Hammer, 2000 dalam Matlin, 2004).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa biseksual
adalah istilah untuk orang dengan orientasi seksual yang memiliki keterta-
rikan estetis, psikologis, emosional dan seksual baik kepada laki-laki maupun
perempuan.

2.2.1 Perkembangan Identitas Pada Biseksual


Terdapat empat tingkatan pada biseksual dalam menghadapi identitas mere-
ka (Weinberg dkk, 1994):

• Initial Confusion

Merupakan periode yang sangat membingungkan, ragu dan berjuang de-


ngan identitas mereka sebelum mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai
biseksual. Biasanya merupakan langkah awal dalam proses menjadi bisek-
sual. Bagi beberapa biseksual, periode ini dilewati dengan perasaan seksual
yang kuat terhadap kedua jenis kelamin yang sangat mengganggu, tanpa
orientasi, dan terkadang menakutkan

• Finding and Applying The Label

Pada beberapa orang yang awalnya belum mengenal istilah biseksual, biasa-
nya mereka mendapatkan istilah tersebut dengan mendengar, membacanya
di suatu sumber, atau mempelajarinya dari komunitas biseksual. Penemuan
2.2. Definisi Biseksual 27

ini membuat perasaan mereka menjadi lebih bermakna sehinga hal ini kemu-
dian menjadi titik balik dalam kehidupan mereka. Dilain pihak ada pula yang
sudah memiliki pengetahuan tentang biseksual namun belum dapat melabel-
nya pada diri mereka. Hal ini terjadi pada mereka yang awalnya merasakan
dirinya sebagai homoseksual. Selain itu ada pula yang tidak menjalani titik
balik yang spesifik dalam kehidupannya namun perasaan seksual terhadap
kedua jenis kelamin terlalu sulit untuk disangkal. Mereka pada akhirnya
menyimpulkan untuk tidak memilih. Faktor terakhir yang mengarahkan se-
seorang untuk memakai label biseksual adalah dorongan yang datang dari
teman- teman yang telah mendefinisikan diri mereka sebagai biseksual.

• Settling into The Identity

Tingkatan ini dikarakteristikkan dengan transisi yang lebih rumit dalam self-
labeling. Pada tingkat ini mereka lebih dapat menerima diri, tidak begitu
memperhatikan sikap negatif dari orang lain

• Continued uncertainity

Banyak pria dan wanita yang meragukan identitas biseksual mereka karena
hubungan seksual yang eksklusif. Setelah terlibat secara eklusif dengan pa-
sangan berbeda jenis dalam waktu tertentu, beberapa diantara mereka mem-
pertanyakan sisi homoseksual dari seksualitas mereka. Sebaliknya, setelah
terlibat dengan pasangan sejenis, mereka mulai mempertanyakan komponen
heeroseksual dalam seksualitas mereka.
Bab 3

Penjelasan Kasus

Kasus penyimpangan seksualitas yang berorientasi biseksual tidak hanya ter-


jadi di kalangan umum saja, biseksual dapat terjadi pada siapapun, termasuk
para pelayanan gereja yang aktif dalam melayani. Penyimpangan seksualitas
yang berorientasi biseksual sendiri, baik yang ringan maupun berat jika tidak
segera mendapatkan pertolongan atau bantuan oleh orang-orang yang me-
mang memiliki skill atau kemampuan dalam mengatasi gangguan-gangguan
tersebut, dalam hal ini konselor atau pun psikolog, dan psikiater, maka gang-
guan tersebut dapat menimbulkan kesenjangan moral di lingkungan masya-
rakat khususnya akan berdampak negatif di lingkungan gereja.
Pada kasus biseksual ini akan sangat mempengaruhi hubungan mereka
tidak hanya dengan sesama, tetapi juga dengan Tuhan. Berikut ini adalah
contoh kasus yang penulis coba kemukakan mengenai seorang pelayan ge-
reja yang mengalami gangguan penyimpangan seks yang berorientasi bisek-
sualitas.

A. Deskripsi Kasus

Salah seorang pemuda pelayan Tuhan di sebuah gereja lokal berinisialkan


GS memiliki kelainan dalam hubungan seksual. Pada awalnya GS hidup
bersama neneknya namun kemudian GS hidup seorang diri. Pada saat ke-
sendiriannya GS hidup dengan mengenal banyak orang sehingga dia hidup
dalam lingkungan yang pergaulannya bebas. Kemudian GS memiliki seorang
pacar wanita berinisial ET yang keintimannya sudah melampaui batas dan
sudah melakukan hubungan layaknya suami-istri (seksual) yang seharusnya
jika dalam proses pacaran tidak sampai demikian.
Ketika GS tinggal dan berkunjung di rumah pamannya, GS mengalami
pelecehan seksual (sodomi) oleh pamannya yang berinisial MK secara ber-

28
29

ulang kali dan GS akhirnya menikmati pelecehan seksual tersebut karena


GS merasakan kenikmatan seksual yang belum pernah GS rasakan sebelum-
nya. Kemudian GS berteman dengan orang-orang yang memiliki kelainan
seksual yang salah satunya adalah AD. Lambat laun, GS terjerumus di da-
lamnya. GS menjalani hubungan dengan sesama jenis dengan AD dan juga
berpacaran dengan ET pada waktu yang bersamaan dan GS menikmatinya.
Hingga pada akhirnya hubungan GS dan ET berakhir dan saat ini GS masih
menjalani hubungannya dengan AD. Pada kehidupannya GS tetap terlibat
dalam pelayanan gereja. Hingga pada akhirnya GS merasakan kejenuhan
akan kehidupannya, GS berkeinginan untuk hidup normal dan memiliki ke-
luarga yang utuh yaitu menjadi suami yang baik dan memiliki seorang istri
dan anak sehingga GS pun mengakhiri hubungannya dengan AD.

B. Latar Belakang Subyek Kasus

Pada saat ini GS berusia 30 tahun dan masih berstatus lajang. Sejak GS ber-
usia 15 tahun, GS hidup sendiri tidak bersama dengan kedua orang tuanya
dikarenakan kedua orang tuanya telah bercerai. Kemudian GS dibesarkan
oleh neneknya di Jakarta. Setelah beberapa waktu lamanya GS memilih un-
tuk hidup sendiri dengan bekerja dan menyewa tempat tinggal.
GS sendiri memiliki kepribadian lemah gemulai, keras kepala, egois dan
sensitif namun juga berjiwa humoris dan kreatif sehingga GS disukai oleh
banyak orang dan GS memiliki banyak teman. GS memiliki hobi fitnes, ber-
nyanyi dan berbicara di depan banyak orang. Oleh sebab itu GS bekerja
sebagai Master Ceremony (MC) disebuah perusahaan Event Organizer.
Pacar GS sendiri yang berinisial ET pandai bermain musik dan terlibat da-
lam pelayanan di gereja. Saat ini ET sedang menyelesaikan kuliahnya yang
telah menginjak semester akhir disalah satu perguruan tinggi di Jakarta.
Paman GS berinisial MK memiliki seorang istri dan dua orang anak. MK
mempunyai sebuah bengkel dan tinggal di Bekasi. MK sendiri memiliki kep-
ribadian yang keras dan tidak bersahaja.
Sedangkan GS bertemu dengan komunitas homoseksualnya di tempat ke-
bugaran (gym). Pada saat di tempat gym, GS bertemu dengan AD. Kepriba-
dian AD yang lucu dan bersahaja membuat AD mudah bergaul dengan siapa
saja. AD sendiri berusia 25 tahun dan memiliki tubuh atletis.
30

C. Identifikasi Masalah

Kekecewaan yang dirasakan GS setelah kedua orang tuanya bercerai mem-


buat dirinya bertumbuh dengan perhatian dan pengawasan yang kurang.
Kemudian saat GS hidup seorang diri, jiwanya yang masih sangat rentan
(mudah terpengaruh), emosi yang labil dan kurangnya perhatian orang tua
membuatnya terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat yang dimulai pa-
da saat GS memiliki pacar, mengalami pelecehan seksual dan hingga akhir-
nya terlibat dalam komunitas homoseksual.

D. Penanganan Kasus

Setelah bertemu dengan teman lamanya yang merupakan seorang konselor,


GS ingin menjalani konseling sehingga GS memutuskan untuk mendaftar
mengikuti sesi konseling. Pada tahap awal, konselor mendengarkan segala
permasalahan yang dihadapi oleh GS. Berikut adalah poin-poin yang didapat
pada tahap ini:

1. Pada awalnya GS mengalami kekecewaan karena kedua orangtuanya


berpisah.

2. Kemudian setelah memulai hidup seorang diri GS terlibat pergaulan


bebas.

3. Lalu GS menjalin hubungan dengan seorang wanita dengan tidak se-


hat.

4. Pada saat berkunjung ke kediaman keluarganya GS mengalami pele-


cehan seksual.

5. Semasa berprofesi sebagai MC, GS terlibat dalam komunitas homosek-


sual dan sulit untuk meninggalkannya.

6. Pada akhirnya GS menjalin hubungan biseksual yaitu dengan sesama


jenis dan juga dengan lawan jenis.

Kemudian pada tahapan selanjutnya yaitu tahapan inti. Konselor berupa-


ya menggali, mencari, menemukan pokok-pokok akar masalah serta akibat-
akibat yang dihadapi konseli. Berikut adalah poin-poin yang didapat pada
tahap ini:

1. Kurangnya perhatian dan pengawasan yang didapat GS semasa remaja


yang disebabkan oleh perceraian kedua orang tuanya.
31

2. Keinginantahuan yang begitu besar akan dunia namun tidak sebanding


dengan pemahamannya akan agama sehingga menyebabkannya rent-
an dan terjerumus dalam pergaulan bebas.

3. Keinginan untuk berubah dan meninggalkan kebiasaan buruknya be-


gitu besar namun tidak ditopang dengan dukungan-dukungan orang
disekitarnya.

Lalu yang terakhir pada tahapan penutup konselor berusaha untuk menga-
khiri proses KP dengan Respons Action (A). Maksudnya, konselor membantu
konseli untuk membuat tindakan konret. Berikut adalah poin-poin yang di-
dapat pada tahap ini:

1. Konselor memberikan pandangan-pandangan pada konseli sehingga


konseli dapat melepaskan pengampunan kepada orang-orang yang te-
lah membuatnya terjerumus pada kehidupan biseksual.

2. Konselor mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai dimana saja


terdapat komunitas homoseksual dan tindakan apa yang konseli akan
lakukan untuk keluar dari komunitas tersebut. Kemudian konselor ju-
ga memberikan arahan agar konseli dapat benar-benar meninggalkan
komunitas tersebut.

3. Konselor memberikan pengarahan mengenai seks yang baik dan benar


menurut pandangan Kristen.

Lambat laun kebiasaan buruk GS pun berubah karena GS ingin berubah. GS


meninggalkan komunitas dan kebiasaan lamanya sebagai homoseksual dan
memiliki komunitas yang baru dimana terdapat banyak anak-anak Tuhan
yang memberikan dukungan dan doa agar GS dapat keluar dari kebiasaan
hidupnya yang buruk. Membutuhkan waktu yang lama untuk GS dapat le-
pas dan meninggalkan kebiasaan hidup sebagai homoseksual. Berulang kali
GS jatuh bangun namun hal itu tidak menyurutkan semangat dan tekadnya
untuk berubah dan pada akhirnya membuahkan hasil yang baik.
Bab 4

Analisis dan Pembahasan

32
Bab 5

Penutup

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

33

Anda mungkin juga menyukai