Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Setiap manusia pasti akan mengalami yang namanya kematian. Dalam hal ini

kematian itu fakta yang tidak bisa dipungkiri dan akan dialami oleh siapa pun. Kematian

itu puncak dari seluruh kehidupan manusia di bumi. Ketika manusia meninggal ia telah

memutuskan untuk pasrah pada Allah. Sehingga melalui ini ia akan mengalami

kenikmatan untuk hidup abadi atau surga.1 Dalam kematian orang yang sudah meninggal

tubuhnya terpisah dari jiwanya. Jiwa atau roh itu akan tetap hidup tetapi raga/badannya

akan mati dan tinggal di bumi.2

Kematian merupakan tantangan yang mendasar bagi pengharapan manusia.

Kematian membawa kehidupan akhir dalam sejarah hidup manusia. Bagi sejumlah orang

ketika dihadapkan dengan kematian barangkali akan disambut dengan hangat karena

1
Robertus Saptaka, Jalan Terang Menghadapi Kematian (Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusatama, 2010), hlm. 13.
2
M. Bons-Storm, Pastoral Kematian (Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 2004), no. 7.
kematian membebaskan penderitaan. Maksudnya ini, orang itu tidak lagi mengalami

rasa sakit dan penderitaan dalam hidupnya.3

Kematian adalah titik akhir perziarahan manusia di dunia, titik akhir dari
masa rahmat dan belas kasihan, yang Allah berikan kepadanya, supaya melewati
kehidupan dunia ini sesuai dengan rencana Allah dan dengan demikian
menentukan nasibnya yang terakhir.4
Dalam pemahaman Kristiani, kematian mempunyai arti positif. “bagiku hidup

adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” artinya jika kita mati dengan Dia, kita pun

akan hidup dengan Dia. Bagi orang percaya pada Kristus yang selama di dunia ini telah

mengasihi Kristus, kematian bukan sesuatu yang menakutkan. Kita percaya bahwa

Yesus yang sangat mengasihi kita telah menantikan kedatangan kita dan menghendaki

kita tinggal bersama Dia.5

Dengan kematian hidup seseorang tidak dilenyapkan melainkan hanya diubah

sebab dalam keadaan apapun, entah hidup atau mati, kita selalu bersama Tuhan dan

milik Tuhan (Rom. 14:8). Itulah keyakinan Gereja sejak awal mula. Dalam misteri

Paskah, yakni peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus, kematian seluruh umat manusia

menemukan jawaban dan maknanya.6

Supaya bangkit bersama Kristus, kita harus mati bersama Kristus, kita
harus mari bersama Kristus; untuk itu perlu “beralih dari tubuh ini untuk menetap
pada Tuhan”. Dalam “kepergian” ini (Flp 1:23), dalam kematian, jiwa dipisahkan
dari tubuh. Ia akan disatukan kembali dengan tubuhnya pada hari kebangkitan
orang-orang yang telah meninggal.7

3
Otto Hentz, Pengharapan Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 75.
4
Kongregrasi Ajaran Iman, Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru
(Ende: Nusa Indah, 2007), no. 1013.
5
Seto Marsunu, Fides (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hlm. 133.
6
E. Martasudjita (dkk), Peringatan Arwah (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 15.
7
Ibid. no.1005.
Untuk mereka yang telah meninggal dan yang masih menantikan kerahiman

Allah mereka sangat membutuhkan dukungan doa dari orang-orang yang masih hidup.

Doa ini lahir dari keyakinan bahwa Tuhan itu adalah Allah yang penuh belas kasihan

dan kerahiman dan bahwa sebagai persekutuan orang-orang kudus seluruh warga Gereja,

entah yang masih hidup atapun yang sudah mati tetap saling berhubungan dan

mendukung dalam doa dan cinta kasih.

Doa barangkali merupakan satu dari sekian banyak bentuk yang kelihatan dan

dominan untuk berdoa kepada orang kudus, di mana dalam hal ini para umat beriman

memohon supaya para kudus berdoa bagi mereka dan anggota Gereja seluruhnya.

Demikian juga Bapa-bapa Konsili Trente menyatakan: “Para kudus, yang

memerintahkan bersama dengan Kristus memanjatkan doa mereka kepada Allah bagi

manusia.8

Doa bagi mereka yang telah meninggalkan kita ditandai dengan tanda iman

merayakan dan menguatkan solidaritas di antara umat Allah, persekutuan para kudus. Ini

sama dengan solidaritas yang kita ungkapkan dalam liturgi Ekaristi ketika kita berbicara

tentang Kristus yang menyambut “mereka semua dalam kerajaan-Mu” dan tentang

orang-orang kudus yang selalu menjadi perantara dan penolong kita.

Keyakinan iman bahwa bagi orang mati pun masih ada harapan karena Allah,

yang kasih kudus adanya, tetap setia kepada manusia yang mempercayakan diri kepada-

Nya timbul dan semakin berkembang berkat pergaulan umat dengan Allah yang dalam

8
Alex Jebadu, Bukan Berhala (Ledalero: Yogyakarta, 2009), hlm. 70
perjanjian telah memilih menjadi umat-Nya sendiri. Hal ini sudah berkembang pada

zaman perjanjian lama maupun perjanjian baru.9

Dalam rangka perjalanan kepada kehidupan mulia secara penuh bersama Allah di

surga itulah, Gereja mendampingi setiap warganya yang sedang dan telah meninggal

dunia melalui segala macam doa dan olah kesalehan lainnya. Untuk mereka yang telah

meninggal dan masih menantikan kerahiman Allah inilah doa untuk arwah atau

peringatan arwah diadakan.

Kalau dalam daur tahunan, Gereja merayakan peringatan akan para martir
dan para kudus yang lain, maka ia “mewartakan misteri Paska” di dalam mereka,
“yang telah menderita dan dimuliakan bersama Kristus. Gereja menyajikan
kepada kaum beriman teladan mereka, yang menarik semua orang kepada Bapa
melalui Kristus, dan karena pahala-pahala mereka Gereja memohon karunia-
karunia Allah”10
Dalam ajaran Gereja Katolik setiap tahun akan selalu dirayakan hari peringatan

arwah semua orang beriman yang telah meninggal dunia dalam agama Katolik yang

bertepatan pada tanggal 2 November. Pada dasarnya, umat Katolik akan pergi ke makam

keluarga untuk membersihkan tempat kuburan dan berdoa baginya agar dapat

diselamatkan dia dari segala dosa-dosanya.

Gereja mempersembahkan kurban Ekaristi Kudus untuk orang yang sudah

meninggal, bukan hanya pada hari pemakaman, melainkan juga pada hari ketiga, ketujuh

dan ke empat puluh sesudah kematian dan pada peringatan kematian mereka. Sehingga

hal ini peringatan misa arwah ini diartikan sebagai cara umat Kristiani untuk mengenang

9
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 571
10
Ibid, no. 1173
terus menerus dan menghayati dalam Tuhan dan persekutuan dengan mereka yang telah

melintas pada ambang kematian.11

Gereja sangat menghargai budaya setempat dari umat beriman dan menganjurkan

agar adat istiadat umat beriman diintegrasikan dalam liturgi dan peribadatan Gereja.

Oleh karena itu, umat Katolik di beberapa tempat di Indonesia mengenal kebiasaan

untuk mendoakan dan memperingati arwah menurut rangkaian hari atau tahun.

Demikian pula juga simbol yang biasa digunakan dalam adat tradisi budaya setempat

yang mengiringi peringatan arwah ini tetap bisa digunakan sejauh maknanya selaras

dengan nilai-nilai Kristiani dan ditempatkan dalam misteri Kristus. Tetapi realitanya

sekarang ini, banyak umat Katolik yang masih belum mengetahui arti dan makna dari

peringatan arwah tersebut. Mereka masih belum percaya adanya tentang arwah orang

yang sudah meninggal.

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk menulis sebuah skripsi dengan

judul MAKNA PERINGATAN ARWAH DALAM GEREJA KATOLIK.

I.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan arwah?

2. Makna dari peringatan arwah?


11
Kongregrasi Ajaran Iman, Direktorium Tentang Kesalehan Umat dan Liturgi Asas-Asas
Pedoman (Jakarta: Obor, 2011) no. 225
I.3. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui arti dari arwah

2. Untuk mengetahui makna dari peringatan arwah

I.4. Manfaat Penulis

1. Bagi penulis

Agar semakin memahami secara mendalam tentang makna peringatan arwah

dalam Gereja Katolik

2. Bagi Lembaga STP Dian Mandala Gunungsitoli

Agar dapat dijadikan sebagai bahan dalam menambahkan pendidikan para

Katekis, guru agama dan petugas pastoral tentang makna peringatan arwah dalam

Gereja Katolik.

3. Bagi Gereja

Agar dijadikan sebagai bahan dalam memberikan pemahaman yang benar

tentang makna peringatan arwah dalam Gereja Katolik.

I.5. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode kajian kepustakaan (library

research). Maksudnya penulis menggunakan buku-buku yang membahas tentang makna

peringatan arwah dalam Gereja Katolik. Setelah buku-buku dirasa sudah memadai, maka
penulis pembaca, merumuskan dan menyusun kaitan antara sumber yang satu dengan

yang lainnya menjadi satu kesatuan serta merangkum sehingga menjadi sebuah skripsi.

I.6. Sistematika Penulisan

Anda mungkin juga menyukai