Anda di halaman 1dari 22

1

Liturgi dan Sakramen


Liturgi merupakan unsur sentral dalam gereja Katolik. Perlu ditegaskan bahwa Liturgi dalam
Gereja Katolik setua Gereja itu sendiri. Itu artinya, untuk memahami dengan lebih menyeluruh
bagaimana asal mula liturgi, perkembangannya dalam zaman, dan praktik yang masih kita lihat hari
ini dalam Gereja, kita perlu sebentar melihat sejarah lahirnya Gereja.
Liturgi, yang menjadi kebaktian umum resmi seutuhnya (integrum cultim publicum) dalam
Gereja Katolik, memberi sutu kekhasan tersendiri bagi Gereja dalam menghadirkan wajah Allah di
dunia. Dengan Liturgi, Gereja menegaskan bahwa Allah bekerja melalui tanda, masuk dalam
keterbatasan manusia dan membiarkan diri-Nya dipahami. Dengan demikian, Liturgi merupakan
penerjemahan teologi Kristiani tentang Inkarnasi, suatu langkan besar yang diambil Allah untuk
memasuki sejarah manusia dan hidup di antara kita. Itulah mengapa liturgi merupakan
sakramen/tanda.
Liturgi di satu sisi sangat teologis/spiritual, tetapi serentak juga menyangkut hal
praktis/material dalam tata peribadatan Gereja. Ketika masuk dalam gereja katolik misalnya, orang
akan terpesona atau malah bertanya-tanya melihat banyaknya (barangkali rumitnya) cara orang
Katolik berdoa. Kita ambil contoh perayaan Ekaristi yang memiliki tata liturgis yang padat mulai
dari perarakan masuk dan nyanyian, salam pembuka, bacaan, liturgi ekaristi, lalu liturgi penutup. Hal
tersebut belum termasuk tata gerak dan sebagainya.
Secara populer, liturgi sering dipahami sebagai upacara atau ritual publik Gereja. Yang
dimaksud di sini ialah bahwa liturgi sering kali hanya diartikan secara umum seperti mengenai tata
upacara peribadatan, petugas liturgi, peralatan doa, dll. Pengertian populer ini memberi nuansa atau
penekanan pada peran manusia dalam liturgi. Liturgi sesungguhnya merupakan sekaligus karya
Allah dan manusia. Karya manusia di sini bukan tambahan pada karya Allah, melainkan partisipasi
atau keikutambilbagianan kita (manusia) dalam karya keselamatan Allah. Karena itulah kemudian
liturgi dimaknai sebagai karya Gereja yang adalah tubuh Kristus dengan Kristus sebagai Kepala.
2. Liturgi Mengakar dalam Tradisi
Mempelajari perkembangan kristianitas tidak bisa terlepas dari akar Yudaisme. Dengan mendalami
dan memahami akar Yahudi dari Kristianitas, pembaca modern dapat mengenal dalam dan luasnya
Kristianitas[2]. Sebagai komunitas yang berkembang dalam tradisi Yudaisme, Kristianitas banyak
mewarisi nilai dan pandangan Yahudi[3]. Akan tetapi kesan bahwa Kristianitas ialah cangkokan
Yudaisme disangkal dengan kenyataan bahwa orang Kristen adalah orang Yahudi yang memisahkan
diri karena konsep keselamatan dan pemenuhan taurat yang berbeda. Itu artinya, tanda yang berupa
barang atau tata gerak yang barangkali sama atau diwariskan dari tradisi Yahudi tetap saja dimaknai
secara berlainan dalam Kristianitas. Maksudnya ialah bahwa nilai tradisi itu tidak ditempel begitu
saja, melainkan dimaknai “secara baru.” Hari Sabath misalnya yang mengharamkan orang untuk
banyak beraktivitas, justru dilihatnya Yesus sebagai hari pembebasan (menyembuhkan orang sakit,
Lukas 13:10-17).
Salah satu contoh ritus yang dipinjam dari tata peribadatan Yahudi ialah ibadat sabda. Ibadat sabda
mencakup dua bacaan yang disisipi dengan mazmur tanggapan dan diakhiri dengan homili. Ibadat
sabda masih bertahan dalam bagian pertama tata perayaan Ekaristi kita sampai saat ini.
Selain Yahudi, sumber tradisi yang memperkaya perkembangan lturgi Gereja Katolik ialah corak
budaya Yunani-Romawi. Pada abad-abad awal, Gereja berkontak langsung dengan budaya Yunani-
Romawi terutama pasca Kaisar Septimus Severus yang berakhir dengan keluarnya Edikt
milano[4] oleh Konstantinus dan Licinius (berisi pengakuan pemerintah terhadap eksistensi
Kristianitas di kekaisaran Roma). Di Roma, sebagaimana halnya di beberapa negara sekitar Laut
Tengah, bahasa liturgi yang dipakai sekitar abad pertama ialah bahasa Yunani menggantikan bahasa
2

Aram. Pengaruh kedua budaya besar ini juga tampak dalam terbentuknya perayaan inisiasi Kristen
seperti pembaptisan, pengusiran setan dan pengurapan-pengurapan.[5]
Dari kalangan Yunani pula muncul kebiasaan menyusun rumusan doa dalam kaidah pidato terutama
kaidah simetri dan kaidah untuk mengakhiri kalimat secara ritmis. Istilah-istilah teknis dalam liturgi
tak terhitung jumlahnya banyak berasal dari dunia Yunani, antara lain kata liturgi sendiri (Liturgeia);
demikian pula kata ekaristi, eulogi, prefasi, kanon, anamnesis, adven, eksorsisme, dll. Akhirnya, dari
sumber Yunani pula muncul beberapa bentuk doa tertentu seperti litani para kudus, lalu rumusan
seperti ‘sepanjang segala masa’, ‘sampai kekal’, ‘Tuhan kasihanilah Kami’, dll. Demikian nilai-nilai
budaya diangkat menjadi suatu tata peribadatan Gereja.
 
3. Pengertian Liturgi
4. Arti Harafiah
Untuk memahami arti liturgi, lazimnya orang memulai dengan membedah makna kata liturgi itu
sendiri. Liturgi berasal dari kata Bahasa Yunani, yaitu ‘Leiturgia’ yang terdiri dari kata ‘ergon’
(=karya) dan ‘leitos’ (=bangsa).[6] Jadi secara harafiah, leiturgia berarti karya atau pelayanan yang
dibaktikan bagi kepentingan bangsa. Pengertian ini mendapat arti kultis sejak abad II masehi yang
mengacu pada pelayanan ibadat. Arti itu terus berkembang hingga akhirnya dipersempit hanya untuk
perayaan Ekaristi.
1. Menurut KV II
Konsili Vatikan ke II melihat liturgi sebagai “pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus, di situ
pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang
khas bagi masing-masing, di situ pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh tubuh mistik
Kristus, yakni kepala beserta para anggotanya.” (SC 7). Jelas di sini bahwa liturgi berarti bukan
semata-mata ibadat paling sempurna yang dipersembahkan manusia kepada Allah,
melainkan terutama merupakan perayaan karya keselamatan Allah bagi manusia melalui tanda-tanda.
Untuk lebih dalam memahami makna liturgi dalam dokumen KV II ini kita mesti membacanya
dalam terang dokumen lain seperti Lumen Gentium (LG). Dalam LG 1 dikatakan demikian “Terang
para bangsalah Kristu itu. Maka konsili suci yang terhimpun dalam Roh Kudus ingin sekali
menerangi semua orang dengan cahaya Kristus yang bersinar pada wajah Gereja dengan mewartakan
injil kepada semua makhluk.  Namun Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yaitu tanda dan
sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.” Perayaan dalam bentuk
tanda ini menuntut iman akan misteri penyelamatan Allah. Poin penting yang kembali ditegaskan di
sini ialah bahwa liturgi merupakan tanda kehadiran Allah dalam atau melalui Gereja. Liturgi ialah
karya Allah, bukan ciptaan manusia.
1. Arti Populer
Secara populer, liturgi sering dipahami sebagai upacara atau ritual publik Gereja. Yang dimaksud di
sini ialah bahwa liturgi sering kali hanya diartikan secara umum seperti mengenai tata upacara
peribadatan, petugas liturgi, peralatan doa, dll. Pengertian populer ini memberi nuansa atau
penekanan pada peran manusia dalam liturgi. Liturgi sesungguhnya merupakan sekaligus  karya
Allah dan manusia. Karya manusia di sini bukan tambahan pada karya Allah, melainkan partisipasi
atau keikutambilbagianan kita (manusia) dalam karya keselamatan Allah. Karena itulah kemudian
liturgi dimaknai sebagai karya Gereja yang adalah tubuh Kristus dengan Kristus sebagai Kepala.

A. Sakramen dan Sakramentali


1. Sakramen-Karya Keselamatan Allah melalui Gereja
Memahami sakramen sebagai karya Allah yang menyelamatkan melalui Gereja yang di
dalamnya diimani Kristus hadir secara istimewa, bukanlah hal yang mudah untuk zaman
sekarang ini. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kekaguman yang luar biasa terhadap ilmu
pengetahuan dan diikuti sikap pragmatisme yang mengatakan apa yang tampak itulah yang
3

berguna sehingga peranan Allah di dalam setiap sakramen kurang dihayati. Sikap hidup
individualistik pun telah mengaburkan makna hidup berkomunitas di dalam Gereja.
Hal ini tentu dapat mengakibatkan perayaan sakramen-sakramen hanya dilihat sebagai
“demi resminya saja”. Misalnya sakramen baptis dirayakan hanya sekedar menyatakan bahwa
seseorang itu telah resmi sebagai Katolik, sakramen perkawinan pun hanya untuk
menunjukkan bahwa sepasang mempelai telah resmi menjadi sepasang suami istri, dll.
2. Sakramen-Istilah dan Makna
Istilah sakramen yang kita kenal sekarang berasal dari bahasa Latin “sacramentum” yang
dipakai untuk menjelaskan tanda yang kelihatan dari kenyataan keselamatan yang tak kelihatan
yang disebut sebagai mysterium.Kitab Suci menyampaikan dasar pengertian sakramen sebagai
misteri kasih Allah, yang diterjemahkan sebagai “rahasia yang tersembunyi dari abad ke
abad… tetapi yang sekarang dinyatakan kepada orang-orang kudus-Nya” (Kol 1: 26, Rom
16:25). Misteri kasih ini, yang sering disebut juga sebagai misteri penyelamatan, menunjuk
pada pribadi yakni Kristus sendiri (Kol 2:2; 4:3; Ef 3:3) yang hadir di tengah-tengah kita (Kol
1:27). Hal ini dipertegas oleh St. Leo Agung dengan mengajarkan, “apa yang tampak pada
Penebus kita, sudah dialihkan ke dalam sakramen-sakramen- Nya”.
Seturut struktur wahyu Allah, bahwa rahasia yang tersembunyi di dalam Allah
ditampakkan di dalam dunia dan sejarahnya melalui sakramen. Sakramen bisa didefinisikan
sebagai peristiwa konkret duniawi yang menandai, menampakkan, dan melaksanakan atau
menyampaikan keselamatan Allah atau dengan lebih tepat Allah yang menyelamatkan
manusia. Dalam sakramen, rahmat (cinta Allah) disampaikan secara konkret melalui forma
(rumusan/kata-kata) dan materi (tanda atau perbuatan yang di dalamnya kita mengalami rahmat
yang menguduskan, karena tanda sakramen sesungguhnya aksi/perbuatan .
Karena sakramen itu perbuatan manusiawi/gerejawi yang melambangkan atau
melaksanakan secara simbolis suatu tindakan Allah terhadap kita, maka perayaan-perayaan
sakramen harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh.Dalam hal ini juga penting disadari
bahwa perbuatan manusia konkret itu baru mendapat identitasnya sebagai sakramen Kristiani
melalui perkataan yang diucapkan. Perbuatan penuangan air mendapat artinya melalui forma
atau kata-kata yang menghubungkan perbuatan itu dengan peristiwa keselamatan yang
dilaksanakan Allah Tritunggal menjadi nyata. Sebab itu perbuatan dan perkataan bersama-
sama membentuk tanda, lambang melaluinya Allah mendekati dan menyelematkan kita secara
konkret.

3. Asal usul Sakramen


Sakramen-sakramen yang kita kenal sekarang dimulai dalam sejarah Gereja sebagai
praktek, tidak lahir sebagai teori yang kemudian dilaksanakan. Hal ini tampak melalui
perayaan-perayaan yang sudah ada sejak awal hidup Gereja.Perayaan-perayaan tersebut
dianggap sebagai bentuk pelaksaan hidup Gereja, dan dipandang penting dan mutlak perlu
untuk hidup Gereja. Perayaan-perayaan ini merupakan sarana yang dengannya rahasia
penyelamatan Allah disampaikan kepada manusia sepanjang sejarah melalui ketujuh sakramen.
Kalau menyelidiki Kitab suci, jelas sekali bahwa Gereja perdana sadar akan perbuatan
Allah yang unik dan “satu kali untuk selama-lamanya” dalam diri Yesus dari Nazaret, seorang
manusia historis.Allah Abraham, Allah Ishak, dan Yakub, Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus
Kristus telah melaksanakan keselamatan umat manusia dan dunia seluruhnya dalam salib dan
4

kebangkitan Putra-Nya yang tunggal itu sedemikian rupa, sehingga sekarang Gereja sekaligus
merupakan hasil dan sakramen keselamatan.
Sebagai sakramen keselamatan, Gereja menyadari bahwa karya keselamatan yang harus
diimani, diwartakan, dan dilaksanakan antara lain melalui perayaan-perayaan tertentu. Karya
keselamatan dengan seluruh dimensi historisnya, baik menyangkut janji, pelaksanaan dalam
diri Yesus dan pemenuhan eskatoligisnya hadir di dalam Gereja sebagai hidup dan inti Gereja.
Gereja, sebagai hasil karya penyelamatan yang melaksanakan hakikatnya itu dan menunaikan
amanat dan tugasnya sebagai alat keselamatan dengan cara penghayatan hidup yang diberikan
oleh Allah.Konsili Vatikan II menegaskan kehadiran Gereja dewasa ini menampilkan dan
sekaligus mewujudkan karya keselamatan kepada manusia di dalam setiap perayaan sakramen.
4. Sakramentali-Perayaan Liturgi Yang Lain
Bunda Gereja kudus, selain mengadakan sakramen-sakramen, juga mengadakan
sakramentali. Sakramentali atau disebut juga ‘perayaan liturgi yang lain’ seperti dinyatakan
Katekismus Gereja Katoliki dan memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen ialah tanda-
tanda suci yang menandakan karunia-karunia, terutama yang bersifat rohani, dan yang
diperoleh berkat doa permohonan Gereja. Melalui sakramentali hati manusia disiapkan untuk
menerima buah utama sakramen-sakramen, dan pelbagai situasi hidup disucikan (bdk SC 60).
Istilah sakramentali yang berasal dari bahasa Latin sacramentalia (semacam sakramen)
menunjuk pada kemiripan dengan sakramen tetapi tidak sama dengan sakramen dan terkadang
disebut juga sebagai “sakramen-sakramen kecil” (piccoli sacramenti atau sacramenti minori).
Istilah ini muncul dalam tulisan Petrus Lombardus, seorang teolog dan uskup Paris, pada abad
pada abad XII, bersamaan dengan pembakuan istilah sakramen bagi ketujuh ritus Gereja.
5. Sakramentali Terarah Dan Bersumber Pada Sakramen
Konstiitusi Liturgi menyatakan bahwa sakramentali memiliki kemiripan dengan
sakramen. Kemiripan ini dimaksud bahwa perayaan sakramentali dalam arti tertentu
merupakan perayaan yang terarah kepada sakramen dan bersumber dari sakramen. Maka boleh
dikatakan bahwa sakramentali ada karena adanya ketujuh sakramen dalam Gereja.
Sakramentali mengantar dan mempersiapkan orang beriman kepada sakramen-sakramen
Gereja. Dengan sakramentali, misteri yang dirayakan dalam sakramen semakin diperjelas dan
disposisi umat bagi penerimaaan sakramen dipersiapkan secara optimal.
Hal ini tampak pada berbagai upacara sakramentali. Pemberkatan air suci, pemberkatan
dengan tanda salib pada dahi anak-anak atau katekumen merupakan upacara dalam rangka
menuju atau mengenangkan sakramen baptis; pemberkatan roti, buah atau doa sebelum dan
sesudah makan berhubungan dengan sakramen Ekaristi; berbagai doa untuk orang sakit
merupakan kerinduan dan perwujudan sakramen pengurapan orang sakit; upacara pertunanan
merupakan perayaan kerinduan akan sakramen perkawinan; upacara tobat terarah pada
sakramen tobat.
1. Sakramen Baptis
Baptis menjadi dasar kehidupan sakramental tiap umat Katoplik. Pembaptisan sangat penting dlama
rencana penyemalatan Allah. Di Perjanjian Baru, Yesus juga melakukan banyak sekali peristiwa
yang menjadi pralambang sakramen baptis ini. Sakramen baptis ini dibedakan menjadi baptis selam
dan percik.
Pembaptisan melalui air menjadi salah satu tema umum yang berulang kali muncul dalam kitab suci,
baik itu di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Misalnya pada Perjanjian Lama tanda keselamatan
5

dengan air mencapai puncaknya ketika Yosua mengantar bangsa-bangsa Israel ke Sungai Yordan
tanpa membasuh kaki-Nya dan masuk ke Tanah Perjanjian.

Pada Perjanjian Baru, sakramen baptis menjadi tanda kehadiran Allah dalam diri Yesus Kristus.
Misalnya ketika Tuhan Yesus dibaptis di Sungai Yordan oleh Yohanes, pada saat itu Roh Kudus
turun ke atas-Nya.

Seperti roh Allah yang melayang-layang di atas permukaan air pada awal penciptaan, demikian juga
roh Allah melayang-layang di atas permukaan air pada awal penciptaan, demikian juga Roh Allah
melayang-layang di atas permukaan air pada wal penciptaan dan mengurapi Yesus.

Dalam Paskah-Nya Kristus membuka sumber Pembaptisan bagi semua orang. Ia telah berbicara
tentang sengsara yang akan dialami-Nya di Yerusalem, sebagai suatu ‘Pembaptisan’ yang harus Ia
terima. Darah dan air akan mengalir dari lambung-Nya yang tertikam di salib juga merupakan
lambang Pembaptisan dan Ekaristi, yang adalah sakramen-sakramen kehidupan Baru.
Keteskismus 1225

2. Sakramen Krisma
Sakramen krisma memiliki tujuan untuk menguatkan dan meneguhkan materi Roh Kudus yang
sudah diberikan kepada umat Katolik usai pembaptisan. Anda dari sakramen ini adalah pengurapan
minyak suci bernama Krisma. Dalam kitab suci Perjanjian Lama dan juga Kateskismus 1293-1294,
sakramen Krisma memiliki makna pembersihan, penyembuhan, dan tanda penobatan.

Sementara di dalam Perjanjian Baru, Santo Petrus menjelaskan Yesus dari Nazaret diurapi ketika Dia
dibaptis di Sungai Yordan. Allah mengurapi dia dengan Roh Kudus dan kuasa. Pengurapan ini
menjadi tanda permulaan pelayanan-Nya di tengah-tengah manusia.

Sejak itu Yesus mulai tampil dalam peranannya sebagai anak Allah yang menyandang tiga gelar,
uaitu imam, nabi, dan raja. Setelah diurapi di Sungai Yordan, maka Yesus benar-benar dapat disebut
Kristus karena telah diurapi. Salah satu simbol sakramen krisma adalah minyak.
3. Sakramen Ekaristi
Ekaristi menjadi sumber dan puncak seluruh kehidupan umat Kristen. Kurban Yesus disalib akan
dihadirkan. Kurban Yesus merupakan puncak dari segala keselamatan serta juga sejarah
penyelamatan.
Semua kurban dalam Perjanjian Lama menjadi lambang kurban Yesus yang menggenapi dan
melampaui semua kurban lain. Kurban binatang, misalnya dalam kurban Paskah berupa anak domba
hanya melambangkan kurban yang paling utama, yaitu Yesus sendiri yang merupakan anak domba
Allah.
4. Sakramen Tobat
Dosa menjadi pelanggaran yang kerap dilakukan orang Katolik, pemutusan hubungan dengan-Nya
maka umat Allah membuuhkan pertobatan atau rekonsiliasi. Pada dasarnya sakramen ini termasuk
dalam kategori sakramen penyembuhan dalam pengertian yang lebih spesifik sebagai penyembuhan
iman.
Dengan asumsi, setiap umat Katolik dan manusia pada umumnya perlu dibersihkan dari dosa-dosa
yang dilakukan sehari-hari dengan sadar atau tanpa sadar. Dengan demikian setiap orang yang sudah
dibaptis melakukan dosa kembali, maka perlu bertobat dan menerima sakramen ini.
6

Pada akhirnya hari ini kembali mengingatkan Yesus akan pelayanan-Nya yang semua diputuskan
untuk pengampunan dosa. Yesus juga sudah mengakui hal itu dengan mengatakan “… yang akan
menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.” [Matius 1:21].
5. Sakramen Pengurapan Orang Sakit
Sejak manusia pertama kali jatuh ke dalam dosa di Tama Eden, penderitaan serta penyakit menjadi
salah satu pengalaman yang wajib dilalui manusia. Yesus memandang penyembuhan jiwa dan raga-
Nya sebagai kesatuan atau bagian dari perutusan-Nya sebagai Mesias.
Dalam perjalanan-Nya, Yesus juga sudah mengampuni banyak orang, menyembuhkan orang sakit,
memutakhirkan orang kusta, dan menyembuhkan yang sudah lumpuh. Karya itu merupakan bagian
dari karya penyembuhan dan penyelamatan yang kemudian diteruskan oleh gereja dalam sakramen-
sakramen.
6. Sakramen Tahbisan Imamat
Umat Kristiani memiliki imam-imam sebagai perantara Allah dan umat-Nya. Para imam ini
mempersembahkan kurban untuk memulihkan dosa manusia dalam ibadah atau karya-karya lain.
Dalam tata liturgi tahbisan imamat, imam merupakan bagian dari umat Allah yang terpanggil untuk
melanjutkan misi penyelamatan Yesus di dunia. Artinya, tidak semua orang Katolik akan menerima
sakramen ini dan hanya yang terpilih saja alias biarawan dan biarawati.
7. Sakramen Perkawinan
Ketika allah menciptakan manusia, Allah juga menciptakan perkawinan. Artinya, Allah sudah
menciptakan manusia yang didorong oleh kasih, juga memanggilnya untuk mengasihi sesama.
Dengan demikian berarti perkawinan bisa dipahami sebagai salah satu panggilan mendasar bagi
manusia dan sudah menjadi bagian kodratnya.
Sebab Allah menciptakan mereka sebagai pria dan wanita, maka kasih-mengasihi di antara mereka
mencerminkan kasih yang mutlak serta tak terputus-putus atas nama Allah yang mengasihi manusia.
Panggilan sakramen perkawinan juga merupakan panggilan bagi pria dan wanita agar dalam
hubungan perkawinan mereka meneladani kasih yang khas, yaitu kasih yang mutlak, tak terputus,
dan rela berkurban membuktikan hidupnya untuk keluarga.
Makna Sakramen Perkawinan

Melihat dasar Alkitabiah ini maka sakramen Perkawinan dapat diartikan sebagai
persatuan antara pria dan wanita yang terikat hukum untuk hidup bersama seumur
hidup.  Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria
[1]

dan wanita yang telah dibaptis ini, sifatnya terarah pada kesejahteraan suami-istri,
pada kelahiran dan pendidikan anak. (KGK 1601) Hal ini berkaitan dengan gambaran
kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan ‘berbuah’.
Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi ‘karunia‘ satu bagi yang
lainnya, yang secara mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika
dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan
pengurapan minyak, namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan
pasangan itu sendiri. Inilah artinya sakramen perkawinan: suami adalah tanda
rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran
Tuhan bagi suaminya. Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa
penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus
diwujudkan di dalam kesetiaan yang tak terpisahkan seumur hidup;
untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan
manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai
7

mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari suami selalu merenungkan: “Sudahkah
hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku?” demikian juga, istri
merenungkan, “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada
suamiku?”
Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri,
untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib,
yaitu penciptaan manusia. Dengan demikian, persatuan suami dengan istri menjadi
tanda akan kehadiran Allah sendiri, jika di dalam persatuan itu mereka bekerjasama
dengan Tuhan untuk mendatangkan kehidupan bagi manusia yang baru, yang
tubuh dan jiwanya diciptakan atas kehendak Allah. Dalam hal ini penciptaan manusia
berbeda dengan hewan dan tumbuhan, karena hanya manusia yang diciptakan Tuhan
seturut kehendakNya dengan mengaruniakan jiwa yang kekal (‘immortal’). Sedangkan
hewan dan tumbuhan tidak mempunyai jiwa yang kekal seperti manusia. Jadi peran
serta manusia dalam penciptaan manusia baru adalah merupakan partisipasi yang
sangat luhur, karena dapat mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang diinginkan
oleh Allah.
Kemudian, setelah kelahiran anak, sang suami dan istri menjalankan peran sebagai
orang tua, untuk memelihara dan mendidik anak mereka. Dengan demikian mereka
menjadi gambaran terbatas dari kasih Tuhan yang tak terbatas: dalam
hal pemeliharaan/ pengasuhan (God’s maternity) dan pendidikan/ pengaturan (God’s
paternity) terhadap manusia. Di sini kita lihat betapa Allah menciptakan manusia
sungguh-sungguh sesuai dengan citra-Nya. Selain diciptakan sebagai mahluk spiritual
yang berkehendak bebas, dan karena itu merupakan mahluk tertinggi dibandingkan
dengan hewan dan tumbuhan, selanjutnya, manusia dikehendaki Allah untuk ikut
ambil bagian di dalam pekerjaan tangan-Nya, yaitu: penciptaan, pemeliharaan dan
pengaturan manusia yang lain.
Setiap kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah
sendiri, kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada
kita manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan kita
dibawa untuk memahami misteri kasih-Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri
itu. Di dalam Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita (self-
giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-anak yang
dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita menemukan arti hidup kita, dan tak
dapat dipungkiri, inilah yang disebut ‘kebahagiaan’, dan dalam ikatan kasih yang tulus
dan total ini, masing-masing anggota keluarga menguduskan satu sama lain.
Jadi secara garis besar, sakramen perkawinan mempunyai tujuan
untuk mempersatukan suami istri, menjadikan suami istri dapat mengambil bagian
dalam karya penciptaan Allah, dan akhirnya dengan sakramen perkawinan ini suami
dan istri dapat saling menguduskan, sampai kepada tujuan hidup yang sebenarnya,
yaitu kebahagiaan sejati dalam Kerajaan Surga.
8

1. Pengantar
Liturgi merupakan unsur sentral dalam gereja Katolik. Perlu ditegaskan bahwa Liturgi dalam Gereja
Katolik setua Gereja itu sendiri. Itu artinya, untuk memahami dengan lebih menyeluruh bagaimana
asal mula liturgi, perkembangannya dalam zaman, dan praktik yang masih kita lihat hari ini dalam
Gereja, kita perlu sebentar melihat sejarah lahirnya Gereja. Hal itu akan menjadi bahasan awal dalam
paper ini.

Liturgi, yang menjadi kebaktian umum resmi seutuhnya (integrum cultim publicum[1]) dalam Gereja
Katolik, memberi sutu kekhasan tersendiri bagi Gereja dalam menghadirkan wajah Allah di dunia.
Dengan Liturgi, Gereja menegaskan bahwa Allah bekerja melalui tanda, masuk dalam keterbatasan
manusia dan membiarkan diri-Nya dipahami. Dengan demikian, Liturgi merupakan penerjemahan
teologi Kristiani tentang Inkarnasi, suatu langkan besar yang diambil Allah untuk memasuki sejarah
manusia dan hidup di antara kita. Itulah mengapa liturgi merupakan sakramen/tanda.
Liturgi di satu sisi sangat teologis/spiritual, tetapi serentak juga menyangkut hal praktis/material
dalam tata peribadatan Gereja. Ketika masuk dalam gereja katolok misalnya, orang akan terpesona
atau malah bertanya-tanya melihat banyaknya (barangkali rumitnya) cara orang Katolik berdoa. Kita
ambil contoh perayaan Ekaristi yang memiliki tata liturgis yang padat mulai dari perarakan masuk
dan nyanyian, salam pembuka, bacaan, liturgi ekaristi, lalu liturgi penutup. Hal tersebut belum
termasuk tata gerak dan sebagainya. Jangankan orang di luar Gereja, kita sendiri bahkan kerap kali
bingung berkaitan dengan hal-hal praktis ini. Tetapi apakah inti liturgi terletak di sana?
Paper ini akan membahas bebrapa pokok penting selain yang telah diuraikan di atas,
yaitu Pengertian Liturgi, Hubungan Liturgi dengan Sakramen, Tahun Liturgi, Busana, Bacaan, Alat
Liturgi, Paraliturgi, dan Hubungan Paraliturgi dan Sakramentali.
  

4. Hubungan Liturgi dengan Sakramen


Seperti telah disinggung dalam bagian pengantar di atas, liturgi dalam arti terdalam merupakan
sakramen atau tanda nyata dan kelihatan dari misteri keselamatan Allah. Sebagaimana Gereja
meyakini bahwa misteri keselamatan Allah ditampakkan melalui peristiwa-peristiwa konkret di
dalam dunia ini dan dan secara paling sempurna dan lengkap terungkap dalam diri Yesus Kristus,
maka Gereja yang didirikan Kristus menjadi tanda nyata dan kelihatan dari karya keselamatan Allah
tersebut. Dalam meneruskan tugas itu, Gereja di satu sisi menyadari bahwa manusia merupakan roh
yang membadan, oleh karena itu ia juga merupakan makhluk simbolis. Untuk itu, karya keselamatan
itu mesti dihadirkan dalam wujud yang kelihatan dan konkret yang kemudian kita kenal dan alami
melalui (ke-7) sakremen.

Dari segi cakupan, liturgi memang bisa dikatakan lebih luas dari sakramen sebab liturgi mencakup
seluruh bentuk kebaktian dalam Gereja yang tidak hanya terbatas pada ke tujuh sakramen, melainkan
juga Ibadat Harian. Secara ringkas, liturgi terdiri dari sakramen (lengkap dan dengan segala upacara
yang menyertainya) dan ibadat harian, sedangkan sakramen merupakan konkretisasi dari karya
penyelamatan Allah (Liturgi) kepada manusia.[7]
 
9

1. Sakramentali sebagai Doa Permohonan Gereja


Sakramentali dibedakan dengan sakramen menurut daya guna atau akibat
sakramentalnya. Daya guna sakramen terjadi secara ex opere operato (menurut karya yang
dilakukan atau berkat tindakan yang dilakukan oleh Kristus). Artinya, sakramen pertama-tama
tindakan Kristus. Dalam sakramen, Kristuslah yang melayani dan menguduskan si penerima.
Jadi, dengan istilah ex opere operato ini mau ditekankan bahwa sakramen merupakan karya
Allah dan bukan usaha manusia. Karya Allah ini tidak bersangkut paut dengan si pelayan atau
si penerima.
Berbeda dengan sakramen, daya guna sakramentali terjadi secara ex opere
opantis( berkat tindakan manusia yang mengerjakan). Itu berarti sakramentali pertama-tama
karya, tindakan dan usaha manusia, yaitu Gereja. Sakramentali adalah doa permohonan Gereja
agar Allah memberkati dan menguduskan orang atau benda tertentu. Kalau dalam sakramen
rahmat pengudusan tidak tergantung pada disposisi dan usaha si pelayan manusia, dalam
sakramentali pemberkatan dan pengudusan itu terjadi sejauh itu dimohonkan oleh Gereja.
Misalnya bila Gereja memohonkan berkat atas benda-benda dan menjadikannya suci (seperti
10

rosario, medali, patung, skapulir, air suci, dsbnya) atau bekat atas seseorang (oleh pastor atau
uskup) yang mendatangkan rahmat dan kemurahan Tuhan bagi seseorang itu.
Sakramentali dipahami Gereja tidak secara magis atau jimat keberuntungan, bahwa
seolah-olah sesudah orang atau barang itu diberkati, maka orang atau barang itu menjadi sakti.
Dengan ungkapan sakramentali sebagai “doa permohonan Gereja” itu, mau dinyatakan bahwa
orang atau barang yang diberkati oleh Allah melalui doa permohonan Gereja kini memiliki
arah dan nilai baru yang terarah kepada Allah Sang Pencipta dan Penebus.
2. Pelayan Sakramentali
Pelayan sakramentali tidak harus seorang klerus atau orang tertahbis, tetapi dapat juga
awam. Pelayan awam dalam upacara sakamentali dimungkinan atas dasar imamat umum yang
perolehnya dalam sakramen baptis dan krisma. Lain hal dengan dengan sakramen, pelayan
sakramen (kecuali baptisan darurat) adalah pimpinan jemaat yang resmi, yaitu uskup, imam,
diakon, sebab perayaan sakramen menyangkut Gereja seluruhnya dan perwujudan kehadiran
Kristus di dalam Gereja dalam arti sesungguhnya. Sedangkan perayaan sakramentali selalu
bersifat khusus, merupakan perwujudan doa Gereja bagi orang tertentu, entah pribadi entah
secara kelompok maupun benda tertentu. Oleh karena itu sakramentali bukanlah perwujudan
kehadiran Kristus di dalam Gereja dalam arti sesungguhnya, melainkan bentuk doa
permohonan Gereja yang konkret yang dapat dimohonkan oleh setiap orang beriman atas dasar
imamat umum yang dimiliki dan kepantasannya.

1069    Kata “liturgi” pada mulanya berarti “karya publik”, “pelayanan dari rakyat dan untuk rakyat.”
Dalam tradisi Kristen, kata itu berarti bahwa Umat Allah mengambil bagian dalam “karya Allah”
(Bdk. Yoh 17:4). Melalui liturgi, Kristus Penebus dan Imam Agung kita, melanjutkan karya
penebusan-Nya di dalam Gereja-Nya, bersama dia dan oleh dia [Gereja-Nya].
1073    Liturgi adalah juga keikutsertaan dalam doa yang Kristus sampaikan kepada Bapa dalam Roh
Kudus. Di dalamnya segala doa Kristen menemukan sumber dan penyelesaiannya….
1076 Kristus mengumumkan, menghadirkan dan menyampaikan karya keselamatan-Nya melalui
liturgi Gereja-Nya, “sampai Ia datang” (1Kor 11:26)… Ia bertindak melalui Sakramen-sakramen.
Tradisi bersama dari Gereja Timur dan Barat menamakan cara baru ini “tata sakramental”. Tata ini
merupakan penyampaian buah-buah misteri Paska Kristus dalam perayaan liturgi Gereja yang
“sakramental”.
1113    Seluruh kehidupan liturgi Gereja berkisar di sekeliling kurban Ekaristi dan Sakramen-
sakramen.[1]Di dalam Gereja ada tujuh Sakramen: Pembaptisan, Penguatan atau Krisma, Ekaristi,
Pengakuan, Urapan Orang Sakit, Tahbisan, dan Perkawinan.[2]
1114 …“Sakramen-Sakramen Perjanjian Baru… semuanya ditetapkan oleh Tuhan kita Yesus
Kristus”[3]
….Kristus sendiri bekerja di dalam Sakramen; Ia sendiri membaptis, Ia sendiri bertindak
dalam Sakramen-sakramen-Nya, untuk membagi-bagikan rahmat, yang dinyatakan oleh
Sakramen.
1127    Sakramen-sakramen yang dirayakan dengan pantas dalam iman, memberikan rahmat yang
mereka nyatakan.[4] Mereka berdaya guna, karena Kristus sendiri bekerja di dalamnya; Ia sendiri
membaptis, Ia sendiri bertindak dalam Sakramen-sakramen-Nya, untuk membagi-bagikan rahmat,
yang dinyatakan oleh Sakramen.
11

1129    Gereja mengatakan bahwa Sakramen-sakramen Perjanjian Baru perlu untuk keselamatan
umat beriman.[5] “Rahmat sakramental” adalah rahmat Roh Kudus yang diberikan oleh Kristus
kepada tiap Sakramen secara khusus. Roh itu menyembuhkan dan mengubah semua mereka yang
menerimaNya, dengan menjadikan mereka serupa Putera Allah. Buah kehidupan sakramental ialah:
Roh Anak Allah memberi kepada orang beriman bagian pada kodrat ilahi (Bdk. 2 Ptr 1:4) dengan
mempersatukan mereka dengan daya kehidupan Putera tunggal, sang Penebus.
1130    Gereja merayakan misteri Tuhannya, “sampai Ia datang” (1Kor 11:26) dan “Allah menjadi
semua dalam semua” (1Kor 15:28)….
Santo Tomas merangkumkan…: “Sakramen adalah tanda yang mengingatkan apa yang sudah terjadi
—ialah kesengsaraan Kristus; juga tanda yang menunjukkan apa yang dilaksanakan di dalam kita
oleh kesengsaraan Kristus—ialah rahmat: demikian juga tanda yang mengantisipasi apa yang
penderitaan itu sudah nyatakan lebih dahulu—yakni kemuliaan yang akan datang.”[6]
1141    Jemaat yang merayakan adalah persekutuan orang yang dibaptis, yang “karena kelahiran
kembali dan pengurapan Roh Kudus disucikan menjadi kediaman rohani dan imamat suci, untuk
sebagai orang kristiani… mempersembahkan kurban rohani.” [7] “Imamat bersama” ini adalah imamat
Kristus, imam satu-satunya, dalamnya semua anggota-Nya mengambil bagian.[8]
“Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing ke arah keikutsertaan
yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi. Keikutsertaan seperti itu dituntut
oleh hakikat liturgi sendiri, dan berdasarkan Baptis merupakan hak serta kewajiban Umat kristiani
sebagai bangsa terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri”
(1Ptr 2:9, Bdk. 1Ptr 2:4-5).[9]

5. Tahun Liturgi, Busana, Bacaan, Alat Liturgi


a. Tahun Liturgi
Mungkin Anda bertanya, Apa itu Tahun Liturgi? Mengapa liturgi berulang setiap tahun?
Secara umum, Gereja meyakini bahwa karya keselamatan Allah yang terungkap secara
sempurna dalam diri Yesus itu terjadi dalam waktu (historis). Oleh karena itu, meskipun
karya penyelamatan itu terjadi sekali untuk selamanya, tetapi kita tetap harus mengenang
kembali dan menghidupkan peritiwa itu sepanjang tahun dengan penuh rasa Syukur. Filsuf
Denmark, Soren Kierkergaard, mengatakan: “Pilihannya hanyalah kita menghadirkan
Yesus dalam Zaman kita atau kita tidak usah melakukan apa-apa sama sekali.” Inti dari
pengulangan ialah pembiasaan atau habitus/keutamaan. Pengulangan membentuk suatu
kebiasaan. Dengan demikian tahun liturgi yang terus diulang membuat peristiwa-peristiwa
penting dalam sejarah keselamatan meresap dalam seluruh waktu kita.

Tahun Liturgi atau Tahun Gereja menerapkan misteri kehidupan Kristus—sejak penjelmaan
sampai kedatangannya yang kedua dalam kemuliaan—ke dalam kalender tahun
biasa. [8] Tahun liturgi diawali dengan masa Adven (penantian) lalu berakhir pada
perayaan Kristus Raja Semesta Alam yang sekaligus menutup rangkaian liturgi satu tahun
untuk memulai lagi. Perhatikan gambar berikut!
Puncak Tahun Liturgi adalah Misteri Paskah Tuhan yang dirayakan selama Trihari Paskah
yang puncaknya pada Malam Paskah. Tahun Liturgi terbagi dalam 3 masa [Masa Khusus,
Masa Biasa, Pesta atau peringatan orang kudus]. Masa Khusus terdiri dari: lingkaran Natal
[masa Adven dan masa Natal] dan lingkaran Paskah [masa Prapaskah dan masa Paskah].
Masa Biasa terdiri dari 34 pekan biasa yang puncaknya pada hari Minggu. Pesta
peringatan orang kudus merupakan kebiasaan Gereja untuk menghormati orang-orang
suci, dan untuk memuliakan dan menghormati Tuhan.
12

1. Bacaan Liturgi
Dalam Kalender Liturgi juga kita mengenal pembagian tahun untuk mengatur pembacaan
injil pada hari minggu, yaitu tahun A (Injil Matius), tahun B (Injil Markus), dan tahun C (Injil
Lukas). Sedangkan untuk misa harian diatur dalam tahun ganjil/genap [tahun I / tahun II].

1. Warna Liturgi
Gereja Katolik mempunyai pemahaman tersendiri akan warna. Setiap warna merefleksikan
nilai dan makna rohani tertentu. Begitu juga kapan waktu pemakaian warna tersebut
disesuaikan dengan masa-masa dan perayaan-perayaan atau pesta tertentu menurut
penaggalan kalender liturgi. Warna yang dimaksud dalam liturgi adalah warna Stola
(selempang/selendang) dan Kasula (Mantol Lebar/Pakaian Paling Luar Imam) yang dipakai
oleh Imam, begitu juga dengan warna yang dikenakan Prodiakon, Lektor/Lektris dan
Putra/Putri Altar, kain-kain altar, dll., disesuaikan dengan petunjuk kalender liturgi.
Pemilihan warna liturgi amat dipengaruhi oleh penafsiran makna atas simbol warna
sebagaimana dipahami suatu budaya dan masyarakat tertentu. Dalam liturgi, warna
melambangkan: 1. Sifat dasar misteri iman yang kita rayakan, 2. Menegaskan perjalanan
hidup Kristiani sepanjang tahun liturgi

Warna Hijau
Warna hijau melambangkan warna yang terang, melegakan, manusiawi, menyegarkan.
Warna hijau ini juga dikaitkan dengan musim semi yang didominasikan sebagai warna yang
kontemplatif dan tenang. Warna liturgi hijau ini biasanya dipakai sepanjang masa biasa.

Warna Merah
Warna merah melambangkan api dan darah dan juga melambangkan penumpahan darah
para martir gereja sebagai saksi-saksi iman sebagaimana Yesuspun rela berkorban hingga
wafat di kayu salib dan mengeluarkan darah demi menebus dosa manusia. Warna merah
dimaksudkan agar para uskup, imam, diakon harus rela menjadi martir dan berani bersaksi
demi Yesus Kristus. Warna liturgi merah dikenakan pada saat perayaan mengenangkan
sengara dan wafat Yesus (Minggu Palma dan Jumat Agung), Hari Raya Pentakosta,
Perayaan para pengarang Injil, Perayaan para martir, Perayaan Roh Kudus.

Warna Putih dan Kuning


Warna Putih/kuning menandakan hidup baru sebagimana dalam liturgi baptis para baptisan
baru mengenakan pakaian putih dan diberi kain putih. Warna putih dipandang sebagai
warna kesucian, ketidaksalahan, terang yang tak terpadamkan, kebenaran mutlak,
kemurnian sempurna, kejayan yang penuh, kesempurnaan, kemenangan, kemuliaan abadi.
Dalam liturgi gereja warna liturgi putih atau kuning bisa digunakan secara bersama-sama
atau hanya digunakan salah satu putih atau kuning. Warna liturgi putih/kuning digunakan
dalam perayaan Yesus Kristus (kecuali Minggu Palma dan Jumat Agung), Perayaan Natal
dan Paskah,sepanjang masa Natal dan Paskah,seputar Peringatan Santa Perawan Maria,
seputar peringatan para kudus (bukan para martir) misalnya Hari Raya Semua Orang
Kudus (1 November), Santo Yohanes Pembaptis (24 Juni), Santo Yohanes Penginjil (27
Desember), Takhta Santo Petrus Rasul (22 Februari), Bertobatnya Santo Paulus (25
Januari), dan semua saja yang termasuk pesta orang kudus bukan martir.

Warna Merah Muda


13

Warna merah muda melambangkan sukacita atau kebahagiaan. Biasanya warna liturgi ini
digunakan pada Minggu Prapaskah IV (Laetarete) dan juga pada Minggu Adven III
(Gaudete) yang artinya mengajak kita untuk mempersiapkan diri karena Masa Natal dan
Paskah akan segera tiba. Apabila tidak tersedian warna liturgi merah muda pada
kasula/dalmatik, maka warna ungu dapat menggantikan merah muda.

Warna Ungu
melambangkan pertobatan, kebijaksanaan, keseimbangan, mawas diri, sikap berhati-hati.
Warna liturgu ungu biasnya digunakan pada saat ibadat tobat, masa prapaskah, masa
adven, peringatan arawah, dan juga untuk liturgi disekitar kematian. Warna ungu dapat
menjadi ganti dari warna hitam.

Warna Hitam
Warna Hitam merupakan warna yang paling jarang ditemukan dalam
kasula/dalmatik.Warna Hitam ini melambangkan ketiadaan, kedukaan, kegelapan,
pengorbanan, malam, kematian, kerajaan orang mati. Warna liturgi dapat digunakan pada
liturgi saat kematian (warna liturgi ini sifatnya fakultatif/tidak wajib).[9]
 

1. Busana dan Alat Liturgi


Dalam Gereja Katolik kita mengenal sebutan Religius dan awam atau imam dan pelayan
imam. Sebutan ini memberi penekanan akan perbedaan model panggilan yang dihayati
oleh umat Katolik dalam Gereja. kaum biarawan ialah mereka yang berkaul, maka juga
religius, sedangkan kaum awam ialah sebutan untuk umat biasa yang tidak mengikrarkan
kaul-kaul religius dan tetapi tetap ikut ambil bagian dalam pelayanan liturgi membantu
imam. Perbedaan ini lebih merupakan perbedaan fungsi dan tugas, selebihnya kaum awam
dan religius atau imam dan umat sama-sama merupakan anggota Gereja Kristus.
Pembedaan ini juga nampak dalam busana liturgi. Berikut akan dijelaskan beberapa
busana liturgi yang dikenakan imam.

Amik: Amik adalah kain putih segi empat dengan dua tali di dua ujungnya atau ada juga
model modern lain yang tidak segi empat dan tanpa tali. Amik yang melingkari leher dan
menutupi bahu dan pundak itu melambangkan pelindung pembawa selamat (keutamaan
harapan), untuk mengatasi serangan setan. Kain itu secara praktis juga berfungsi untuk
menutupi kerah baju supaya tampak rapi, untuk menahan dingin, atau sekaligus untuk
menyerap keringat agar busana liturgis pada zaman dulu yang biasanya amat indah dan
mahal tidak mengalami kerusakan.
Alba: Pakaian putih (Latin: alba = putih) panjang; simbol kesucian dan kemurnian yang
seharus-nya menaungi jiwa diakon/ imam yang me-rayakan liturgi, khususnya Pe-rayaan
Ekaristi. Alba dengan warna putihnya itu sendiri secara simbolis mengingatkan kita akan
komitmen baptis dan kebangkitan. Sebenarnya alba juga boleh dipakai untuk pelayan altar
lainnya, bahkan—meski tidak lazim—untuk lektor dan pemazmur.
Single: Tali pengikat alba pada pinggang ini merupakan simbol nilai kemurnian hati
(chastity) dan pengekangan diri. Biasanya berwarna putih atau sesuai dengan warna masa
liturginya. Biasanya singel dipakai jika model alba membutuhkan-nya atau jika dipakai stola
dalam (PUMR 336).
Jubah: Jubah merupakan pakaian standar liturgi. Sudah amat lazim bahwa lektor—juga
beberapa petugas liturgis lainnya, seperti pemazmur dan pembagi komuni, bahkan
kelompok paduan suara—mengenakan jubah atau busana semacamnya. Tidak ada aturan
khusus untuk itu.
14

Superpli: Superpli merupakan pengganti alba, potongannya tidak sepanjang alba. Ber-


warna putih. Superpli tidak sampai mata kaki, cukup sebatas lutut dengan perge-langan
tangan yang cukup lebar. Tidak boleh sembarangan memakai superpli. Alba dapat diganti
superpli, kecuali kalau dipakai kasula atau dalmatik, atau kalau stola menggan-tikan kasula
atau dalmatik (PUMR 336).
Stola: Stola adalah semacam selendang panjang; simbol bahwa yang mengenakannya
sedang melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut tugas pengudusan
(imamat). Stola melambang-kan otoritas atau ke- wenangan dalam pelayanan sakra-mental
dan berkhot-bah. Secara khusus, sesuai dengan doa ketika mengenakan-nya, stola
dimaknai sebagai simbol kekekalan.
Kasula: Kasula, disebut juga planeta, adalah pakaian luar yang dikenakan di atas alba dan
stola. Kasula merupakan busana khas imam, khususnya selebran dan konselebran utama,
yang dipakai untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula melambangkan keutamaan cinta
kasih dan ketulusan untuk melaksanakan tugas yang penuh pengorbanan diri bagi Tuhan.
Dalmatik: Dalmatik dikenakan setelah stola diakon. Ini adalah busana resmi diakon tatkala
bertugas melayani dalam Misa/Perayaan Ekaristi, khususnya yang bersifat agung/meriah.
Busana ini melambang-kan sukacita dan kebaha-giaan yang merupakan buah-buah dari
pengab-diannya kepada Allah.
Velum: Velum adalah semacam kain putih/kuning/emas lebar yang dipakai pada punggung
ketika membawa Sakramen Mahakudus dalam prosesi (ingat saat pemindahan Sakramen
Mahakudus pada bagian akhir Misa Pengenangan Perjamuan Tuhan, Kamis Putih malam!)
dan memberi berkat dengan Sakramen Mahakudus.
Pluviale/Korkap: semacam mantel panjang (Latin: pluvia = hujan) yang digunakan di luar
Perayaan Ekaristi dan dalam perarakan liturgis, atau perayaan liturgis lain yang rubriknya
menuntut digunakan busana itu (misalnya untuk liturgi pemberkatan).
6. Beberapa tambahan Kahusus untuk busana Uskup
Pada umumnya, Uskup memiliki beberapa pakaian atau busana liturgi standar orang
tertahbis seperti yang dimiliki imam, misalnya alba, stola, kasula, dll. Akan tetapi di samping
itu ada beberapa perlengkapan yang dikenakan khusus oleh orang yang telah menerima
tahbisan uskup. Perlengkapan itu antara lain: jubah ungu setakat mata kaki; sabuk sutera
ungu; rochet dari linen atau bahan sejenis (warna putih); mozeta (mantol kecil yang
menutup pundak, dengan kancing di bagian depan) ungu; salib pektoral (salib dada)
dengan tali anyaman warna hijau-emas (bukan dengan rantai); pileola (topi kecil yang juga
dikenal dengan nama solideo) ungu; bireta (topi segi empat dengan pom) ungu; dan
stocking/kaos kaki ungu. Selain pakaian, ada juga perlengkapan lain seperti tongkat. Uskup
memiliki tongkat penggembalaan yang melambangkan dirinya sebagai gembala umat
sebagaimana Yesus sendiri.

Selain pakaian, kita juga mengenal yang namanya peralatan Liturgi. Dalam gereja Katolik,
peralatan Liturgi sangat banyak jumlahnya. Paling sederhana yang perlu kita ketahui ialah
peralatan liturgi yang digunakan imam dalam perayaan Ekaristi. Peralatan itu antara
lain: Ampul, dua bejana yang dibuat dari kaca atau logam, bentuknya seperti buyung kecil
dengan tutup di atasnya sebagai tempat penyimpanan air dan anggur. Korporal, berasal
dari bahasa Latin “corporale”, adalah sehelai kain lenan putih berbentuk bujursangkar
dengan gambar salib kecil di tengahnya. Dalam perayaan Ekaristi, imam membentangkan
korporale di atas altar sebagai alas untuk bejana-bejana suci roti dan anggur.
Lavabo, berasal dari bahasa Latin “lavare” yang berarti “membasuh”, adalah bejana
berbentuk seperti buyung kecil, atau dapat juga berupa mangkuk, tempat menampung air
bersih yang dipergunakan imam untuk membasuh tangan sesudah persiapan
persembahan. Navikula (disebut juga Wadah Dupa) adalah bejana tempat menyimpan
15

serbuk dupa yang akan dipakai di turibulum. Dalam penggunaannya, navikula tidak pernah
terpisah dari turibulum. Palla berasal dari bahasa Latin “palla corporalis” yang berarti “kain
untuk Tubuh Tuhan”, adalah kain lenan putih yang diperkeras, sehingga menjadi kaku
seperti papan, bentuknya bujursangkar, dipergunakan untuk menutupi piala. Palla
melambangkan batu makam yang digulingkan para prajuritRomawi untuk menutup pintu
masuk ke makam Yesus.
Patena, berasal dari bahasa Latin “patena” yang berarti “piring”, adalah piring di mana hosti
diletakkan. Patena, yang sekarang berbentuk bundar, datar, dan dirancang untuk roti
pemimpin Perayaan Ekaristi, aslinya sungguh sebuah piring. Piala, dalam bahasa Latin
disebut “calix” yang berarti “cawan”, adalah bejana yang tersuci di antara segala bejana.
Piala adalah cawan yang menjadi wadah anggur untuk dikonsekrasikan. Piksis berasal
dari bahasa Latin “pyx” yang berarti “kotak”, adalah sebuah wadah kecil berbentuk bundar
dengan engsel penutup, serupa wadah jam kuno. Piksis biasanya dibuat dari emas. Piksis
dipergunakan untuk menyimpan hosti yang sudah dikonsekrasi.
Purifikatorium adalah kain yang terbuat dari linen, yang digunakan untuk menyeka bibir
piala, untuk pembersihan nampan, untuk mengeringkan cawan dan untuk mengeringkan
tangan para imam atau daikon. Sibori berasal dari bahasa Latin κιβώριον (kibōrion) yang
berarti “piala dari logam”, adalah bejana serupa piala, tetapi dengan tutup di atasnya. Sibori
adalah wadah untuk hosti yang akan dibagikan saat komuni. Turibulum atau disebut juga
Pedupaan atau wiruk adalah sebuah alat untuk mendupai yang terbuat dari logam dan di
gantung dengan rantai.
 

7. Paraliturgi, dan Hubungan Paraliturgi dan Sakramentali.


Pembahasan berikutnya ialah mengenai Paraliturgi dan hubungannya dengan
Sakramentali. Pertanyaannya tentu saja apa itu paraliturgi? Apa hubungannya dengan
sakramentali? Untuk memahami kedua bagian ini, kita akan terbantu dengan pembahasan
sebelumnya mengenai sakramen dan liturgi. Menurut kamus Liturgi, paraliturgi berarti
kegiatan rohani kaum beriman yang tidak terdapat dalam buku-buku liturgi resmi, dan tidak
mengikuti pola dasar liturgi. Contoh paraliturgi misalnya *jam suci. Dalam kegiatan
paraliturgi ini, aneka kegiatan rohani bisa dilakukan umat seperti melambungkan pujian,
nyanyian dan juga khotbah. Dapat juga dikatakan bahwa paraliturgi berarti perayaan yang
menjelaskan makna suatu misteri dengan menggunakan unsur-unsur liturgi, tetapi dengan
tujuan yang lebih bersifat katekese dari pada ibadat.[10]
Tidak jauh berbeda dengan itu, Sakramentali memiliki arti yang mirip dengan paraliturgi.
Sakramentali berarti tanda-tanda suci yang memiliki kemiripan dengan sakramen.
Sakramentali juga menandakan karunia-karunia, khususnya yang bersifat rohani, yang
diperoleh berkat doa permohonan Gereja (SC 60). Sakramen berbeda dengan
sakramentali. Sakramen menyangkut Gereja secara keseluruhan, sedangkan sakramentali
selalu bersifat khusus, merupakan perwujudan doa gereja bagi orang tertentu. Contoh
sialah upacara pengusiran setan, pemberkatan patung, air baptis, dll.[11]
Pertanyaan selanjutnya ialah apa hubungan paraliturgi dengan sakramentali? Kedua hal ini
saling berkaitan, bahwa paraliturgi dan sakramentali sama-sama merupakan perayaan
bersifat khusus, dan situasional yang tidak memiliki arti dalam dirinya sendiri lepas dari
perwujudan sikap doa Gereja.

 
8. Penutup
Demikian pembahasan cukup sederhana mengenai beberapa pokok pelajaran. Beberapa
hal yang dijelaskan di sini hanya merpakan bagian kecil dari pembicaraan besar dan luas
16

mengenai liturgi. Akan tetapi, tentu saja bukan pada tempatnya membahas seluruh
dokumen Gereja yang berkaitan dengan liturgi di sini. Karena itu, sebagai pemahama atau
pembekalan dasar, apa yang Anda dalami melalui paper ini cukup memadai.

B. Tahun Liturgi
Kita harus mengetahui tentang penanggalan Liturgi untuk mempermudah dalam bertugas dan
menyususn jadwal. Kalender Liturgi Gereja Katolik dibagi dalam beberapa pembabakan diantaranya
Masa Adven, Masa Natal, Masa Biasa I, Masa Pra-Paskah, Masa Paskah, Masa Biasa II dan kembali
lagi ke Masa Adven. Masa Biasa atau ordinary time memiliki rentan waktu antara 33/34 minggu.
Tahun Liturgi dibagi menjadi Tahun A, B, dan C dan Tahun I (Ganjil) dan Tahun II (Genap). Serta
dalam penanggalan Liturgi ada beberapa tingkatan diantaranya Hari Raya, Pesta, Peringatan, Masa
Musim Liturgis dan Masa Biasa.
1. Tahun Liturgi
Tahun Liturgi dibagi menjadi Tahun A, B, C dan Tahun I (Ganjil) dan Tahun II (Genap)
jadi total ada 6 penanggalan yaitu A/I, A/II, B/I, B/II, C/I dan C/II. Tujuan penentuan ini
adalah untuk menentukan bacaan-bacaan pada kitab suci pada Tahun A dibacakan Injil Matius,
Tahun B dibacakan Injil Markus dan Tahun C dibacakan Injil Lukas. Lantas bagaimana dengan
Injil Yohanes. Injil Yohanes tetap dibacakan namun peletakannya diantara bacaan-bacaan Injil
di Tahun A, B dan C. Sedangkan Tahun I dan II untuk menentukan bacaan misa harian
Disebut tahun I karena dalam kalender Masehi berakhiran ganjil (2011, 2013, 2015, 2017, dst)
sedangkan disebut Tahun II karena dalam kalender masehi berakhiran genap (2012, 2014,
2016, 2018, dst).
a. Cara Menentukan Tahun A, B dan C
Caranya adalah dengan membagi 3 jika hasil bagi sisa = 1 maka itu adalah Tahun
A jika hasil bagi sisa = 2 maka itu adalah Tahun B dan jika habis dibagi 3 atau sisa = 0
maka itu adalah Tahun C.
Contoh :
Tahun 2008 : 3
= 2008-1800
= 208-180
= 28-27
=1
Maka Tahun 2008 adalah Tahun A
Tahun 2009 : 3
= 2009-1800
= 209-180
= 29-27
=2
Maka Tahun 2009 adalah Tahun B
Tahun 2010 : 3
= 2010-1800
= 210-180
17

= 30-30
=0
Maka Tahun 2010 adalah Tahun C
2. Kalender Liturgi
Kalender Liturgi gereja katolik tidak dimulai dari tanggal 1 januari hingga 31 Desember
namun dimulai dari Minggu pertama Adven kira-kira pada akhir November dan berakhir pada
Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam pada 1 minggu sebelum Adven.
a. Masa Adven
8 Desember HR Sta. Perawan Maria dikandung tanpa Noda
Masa Natal dan Oktaf Natal
30 Desember Pesta Keluarga Kudus
1 Januari HR Sta. Maria Perawan dan Bunda Allah
6 Januari HR Epifani (Penampakan Tuhan)
Masa Biasa I
Rabu Abu
Masa Pra-Paskah
Pekan Suci (Minggu Palma hingga Minggu Paskah)
Masa  Paskah
40 hari setelah Paskah HR Kenaikan Tuhan
50 hari setelah Paskah HR Pentakosta
Hari Minggu setelah Pentakosta : HR Tritunggal Mahakudus
Hari Minggu setelah HR Tritunggal Mahakudus : HR Tubuh dan Darah Kristus
Hari Jumat setelah HR Tubuh dan Darah Kristus : HR Hati Kudus Yesus
Masa Biasa II
15 Agustus HR Sta. Perawan Maria diangkat ke Surga dan Hari St. Tarsisius Martir
29 September Pesta Nama 3 Malaikat Agung
1 November HR Semua Orang Kudus
2 November Pesta Peringatan Hari Arwah
Hari Minggu sebelum Masa Adven : HR Kristus Raja Semesta Alam
*HR merupakan singkatan dari Hari Raya. 
3. Tingkatan Pada Kalender Liturgi
a. Hari Raya/Solemnity
Hari Raya adalah tingkatan tertinggi dan merupakan peristiwa-peristiwa dalam
kehidupan Yesus, Maria atau Para Rasul yang merupakan peristiwa utama dalam rencana
keselamatan Allah.
b. Pesta/Feast
Pesta berada di tingkat kedua setelah Hari Raya yang ditujukan untuk
memperingati hidup Yesus, Maria, Para Rasul atau Orang Kudus tertentu.
c. Peringatan/Memorial
Peringatan adalah perayaan orang kudus di bawah tingkatan pesta dan memiliki
sifat opsional yang berarti tidak wajib dirayakan.
d. Masa Musim Liturgis
Masa musim liturgis adalah masa-masa tertentu dalam gereja katolik yang biasa
kita rayakan seperti Masa Natal dan Masa Paskah.
18

e. Masa Biasa/Ordinary Time


Masa biasa merupakan hari minggu di luar masa musim liturgis adapun masa biasa
dalam 1 tahun berjumlah 33/34 minggu.
19

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sakramen juga berarti tanda keselamatan Allah yang diberikan kepada Manusia.
“Untuk mengkuduskan manusia, membangun Tubuh Kristus dan akhirnya mempersembahkan
ibadat kepada Allah”(SC 59).
Karena Sakramen sebagai tanda dan sarana keselamatan, maka menerima dan memahami
sakramen hendaknya ditempatkan dalam kerangka iman dan didasarkan kepada iman.
Sakramen biasanya diungkapkan dengan kata-kata dan tindakan. Maka sakramen dalam Gereja
Katolik mengandung 2 (dua) unsur hakiki yaitu :
a. Forma artinya kata-kata yang menjelaskan peristiwa ilahi
b. Materia artinya barang atau tindakan tertentu yang kelihatan
2. Makna Ibadat Sakramentali
a. Sakramentali disebut mirip sakramen karena sakramentali menggunakan aneka
lambang yang dikenal dalam sakramen. Contohnya : percikan air suci untuk
pemberkatan rumah jelas mirip dengan sakramen baptis karena menggunakan air.
b. Sakramentali merupakan perayaan kerinduan akan sakramen, karena selalu
diarahkan kepada perayaan sakramen, tetapi juga perayaan yang mengalir dari
sakramen. Sakramentali harus terarah dan mengalami pemenuhannya pada
perayaan sakramen. Misal : pemberkatan macam-macam benda dengan air suci
jelas terarah pada dan mengalir dari sakramen baptis.
c. Sakramentali menandakan karunia yang bersifat rohani. Artinya, sakramentali
pertama-tama melambangkan karunia rohani yang bersifat batiniah. Setelah itu ada
sebagian ibadat sakramentali yang memang memberikan status sosial. Misal : pada
penahbisan gedung gereja, pertama-tama menandakan karunia rohani bagi gedung
itu, dan juga memberikan status sosial bahwa gedung itu kini menjadi rumah
Tuhan.
d. Sakramentali menandakan karunia rohani yang diperoleh berkat doa permohonan
Gereja. Hal ini berbeda dengan sakramen yang bukan hanya tindakan Gereja saja
melainkan terutama tindakan Kristus, yang karunia rahmat sakramentalnya
diperoleh dair berkat perayaan sakramen itu sendiri. Jadi, ibadat sakramentali
adalah tindakan doa permohonan Gereja.
3. Makna yang terkandung dalam Tahun Liturgi
Pesta-pesta Yesus disusun menurut urutan historis, memberi kita kesempatan untuk
menghayati kembali peristiwa-peristiwa besar dari hidup-Nya melalui sikap doa dan meditasi.
Yesus adalah PENEBUS sejak inkarnasi-Nya. Maka dari itu, kita merayakan dan mengalami
kuasa penebusan-Nya dalam setiap peristiwa yang disajikan tahun liturgi Gereja kepada kita.
Dengan memasukkan peristiwa-peristiwa ke dalam perayaan liturgis, Gereja membantu
menghantar kuasa penebusan Kristus Secara Sakramental kepada kita. Apa yang dulu pernah
dilakukan Yesus dalam pelayanan historis-Nya, sekarang Ia lakukan (sebagai Tuhan yang
bangkit, melalui Roh Kudus) dalam misteri-misteri liturgi.
20

Sakramen Perkawinan

1. Sakramen Perkawinan adalah (a) upacara suci yang menandakan (membuktikan)


bahwa Allah masih mencintai dan memelihara umat-Nya (b) dengan cara memberi
teman hidup (jodoh), memberi anak-anak, dan rahmat melimpah kepada keluarga.
2. Rahmat Sakramen Perkawinan adalah (1) Rahmat Pengudus dan Rahmat
Pembantu. Allah hadir dalam keluarga, menjadi sumber kasih, sumber rejeki dan
keselamatan, sumber kekuatan dan kebaikan. (2) Suami-isteri diikut-sertakan dalam
karya Allah (a) karya penciptaan (melahirkan anak), (b) karya pendidikan anak, dan
(c) pengembangan masyarakat.
3. Dasar perkawinan adalah cinta (=membahagiakan kekasih dengan mengorbankan
diri, atau korban diri demi kebahagiaan kekasih). Kalau tidak tahu arti cinta, jangan
kawin. Nanti dikira, cinta itu membahagiakan diri sendiri dengan mengorbankan
kekasih.
4. Sedangkan pembentuk faktor konstitutif perkawinan adalah Konsensus
(kesepakatan, lihat Hukum Gereja c.1057 § 1). Tanpa konsensus, cinta tidak jadi
perkawinan. Dalam upacara perkawinan, Tono ditanya “Apakah Tono mau
mengambil Tini jadi isterimu, mencintainya, menghormatinya, dan setia kepadanya
dalam untung dan malang, sampai kematian memisahkan kamu?”. Tono menjawab
“Ya, saya mau”. Demikian pula sebaliknya Tini. Dengan konsensus tsb. Tono-Tini
secara definitif membentuk perkawinan. Definitif, artinya, “deal”, jadi, tuntas.
Konsensus yg sudah diucapkan di hadapan Allah,  tak dapat diubah dan tak bisa
ditarik kembali, kecuali (ibaratnya) kalau ada persetujuan langsung dari Allah
sendiri.
5. Empat sifat Perkawinan: (a) Monogami  (b) Tak Terceraikan, (c) Tanda Cinta Allah
(Sakramen), (d) Punya Tujuan.
6. Perkawinan itu monogami (satu dengan satu), bukan poligami (satu dengan
banyak), sebab dasar perkawinan adalah Cinta Allah 100%. Cinta Allah itu sifatnya
utuh, tidak dibagi-bagi. Cinta ilahi tsb. juga ditanam-Nya di hati manusia. Contoh
Poligami : Cinta 25 % utk isteri, 25 % utk ex-pacar, 25% utk teman di kantor, dan 25%
utk tugas luar-kota. Tapi dapat juga begini: Cinta 25% utk anak-isteri, 25% utk
orangtua, 25% utk pekerjaan, 25% utk teman bermain dan hobby. Sejak S.
Perkawinan itu keluarga jadi nomor 1. Sedang orangtua jatuh ke nomor 5. Jangan
pernah mengorbankan no.1 demi  no.5.
7. Perkawinan itu tak terceraikan, sebab dasar perkawinan itu Cinta Allah tanpa
syarat. Allah menciptakan manusia agar “Kukasihi”, tanpa syarat “kamu harus
mencintai Aku dan taat kepada-Ku. Kalau tidak, kamu Kulenyapkan lagi”. Tidak. Allah
menerima manusia apa adanya, baik ketika positif (taat) maupun ketika negatif
(berkhianat).
8. Peraturan perkawinan “tidak boleh cerai” itu tidak manusiawi dan mustahil, sebab
manusia itu sangat rapuh. Ini tidak benar. (a) Bagi Allah & umat beriman hal itu
tidak mustahil (Lk 1:37; Mk 9:23). (b) Allah kita bukan Pencipta yg gagal tapi sukses.
21

Cerai-kawin bukan budaya masyarakat tapi budaya selebritis (hanya 0,001% dari
penduduk). Di RT-RW-kampung kita sendiri sukar ditemukan pasangan yang double-
double dan cerai-kawin, hampir tak ada, minoritas kecil sekali. Allah telah berhasil
menanam dlm hati manusia, sifat-sifat-Nya kasih-korban-diri-setia-tangguh,
sehingga mayoritas masyarakat itu monogami & tidak cerai
9. Perkawinan itu Sakramen (Tanda cinta Tuhan). (a) Tono adalah “kiriman” dan tanda
cinta Tuhan untuk Tini. Begitu pula Tini. (b) Tono-Tini yang rukun & kompak adalah
tanda cinta Tuhan bagi tetangga. “Seperti kami, kamu pun dicintai Tuhan, kamu bisa
rukun, monogami, dan tidak-cerai”. Tono-Tini menebar rahmat kpd tetangga (c)
Sakr. Perkawinan mengerjakan keselamatan dalam tiap keluarga. “menyatukan”,
menguatkan, & memberi Rahmat berlimpah.
10. Sifat ke-4 Perkawinan adalah punya tujuan. Tanpa tujuan, perkawinan serong kiri-
kanan, berhenti di mana-mana, akhirnya hancur berantakan. Tujuan itu harus
diwujudkan. Dia jadi pedoman & ukuran baik-buruk. Kalau sesuai dgn tujuan, benar
& baik. Kalau bertentangan dgn tujuan, salah, buruk, & merusak perkawinan. Empat
tujuan Perkawinan: (a) Kebahagiaan suami-isteri-anak. Saling menyenangkan hati.
Menghidupi. (b) Perkembangan kepribadian. Tukar-menukar sifat baik. Saling beri
teladan, menegur & menasihati. Makin baik, makin sosial, makin mampu melayani,
makin saleh. (c) Anak juga tujuan perkawinan. Seluruh hidup orangtua (tenaga,
pikiran, waktu, uang) dibaktikan sepenuhnya demi anak, agar menjadi Kekasih Allah,
Pribadi indah, & Keluarga Allah. Kalau anak dilalaikan, jodoh ikut dilalaikan, keluarga
rusak. (d) Sorga (ayah-ibu-anak masuk surga) juga tujuan perkawinan. Maka segala
yg mengantar ke surga (doa bersama, ke gereja, kebajikan, kata-kata halus,
pelayanan, derma, dsb) harus dilakukan. Sedang hal-hal yg menjauhkan keluarga
dari surga (gak berdoa, gak ke gereja, kata-kata keji & porno, teman buruk, majalah
& DVD buruk, dsb) harus dijauhkan dari rumah-tangga. Kalau sampah tsb. masuk
rumah, keluarga runyam, terancam pecah.
11. Peran suami itu nahkoda (orang pertama) dari bahtera perkawinan. Hak jadi
nahkoda, hak utk ditaati & dihormati, ada syaratnya. Suami harus waras dan setia
pada tugas. Peran Isteri itu “pembantu yg sepadan” (Kej 2:18). Pembantu, artinya,
orang kedua (wakil), yang terutama membantu Tuhan & proyek-Nya. Isteri
membantu suami dlm rangka membantu Tuhan. Sepadan, artinya, sama Citra Allah,
sama pandai, sama tangguh, dsb.

PEMBERESAN PERKAWINAN YANG CACAT HUKUM 

1. Tidak semua perkawinan, sah. Ada juga yang sudah diberkati secara Katolik ternyata
me-langgar salah satu dari 15 impedimentum dirimens (halangan yg membatalkan)
sehingga cacat-hukum. Jadi, tidak sah. Misalnya, “Perkawinan” orang Katolik yang
dilaksanakan di luar Gereja Katolik itu tidak sah. “Perkawinan-perkawinan” semacam
itu harus diberes-kan, sebab membahayakan iman suami-
isteri, perkawinan sendiri dan pendidikan anak. Cara untuk membereskannya ada
dua: Konvalidasio Simplex dan Sanasio in Radice.
22

2. Konvalidasio Simplex (pengukuhan ulang secara sederhana). “Perkawinan” yang


sudah diberkati di gereja secara katolik tapi ternyata cacat-hukum, dibereskan
dengan 4 langkah (1) Pengulangan Konsensus (=kesepakatan untuk tetap menjadi
suami-isteri). Begini. (a) di pastoran suami isteri ditanyai secara terpisah. Lalu (b)
konsensus disahkan secara resmi di hadapan dua saksi. (2) Pastor memohon 2
Dispensasi dari Uskup. (a) Dispensasi atas Halangan-halangan Perkawinan yang
ada. Kalau halangan bisa didispensasi, maka perkawinan bisa dibereskan. Tapi jika
halangannya dirimens yang tidak bisa didispensasi, maka perkawinan batal
(walaupun sudah punya 3 anak). Dan pastor memohon (b) Dispensasi “Tanpa Tata
Cara Perkawinan Katolik”. (3) Setelah Dispensasi dari uskup turun, pastor
memanggil suami-isteri di kamar tamu, untuk membuat upacara “simplex” yang
mengulangi pertanyaan perkawinan. Lalu (4) Pastor mengarsipkan Surat-surat
Dispensasi.
3. Sanasio in Radice (penyembuhan sampai ke akar-akarnya): “Perkawinan” orang
Katolik di luar Gereja Katolik tidak sah. Jadi harus disembuhkan (dibereskan).
Dengan 7 langkah. (1) Suami-isteri menyerahkan Surat Kawin resmi. (2) Pastor
mengadakan Penyelidikan Kanonik secara lengkap. (3) Suami-isteri mengulangi
Konsensus. Bisa dengan surat yang membuktikan mereka masih rukun-rukun. (4)
Pastor memohon 3 Dispensasi Uskup.  (a) Dispensasi Sanasio in Radice, (b)
Dispensasi atas halangan-halangan yang ada termasuk halangan perkawinan beda-
agama (lihat keterangan di atas) dan (c) Dispensasi ”Tanpa Tata Cara Perkawinan
Katolik”. (5) Pihak Katolik mohon ampun atas dosanya dalam Sakramen
Pengampunan Dosa. (6) Setelah Dispensasi dari uskup turun, pastor mengadakan
peresmian perkawinan di gereja yang disaksikan oleh saksi dan keluarga. Kalau
terpaksanya, peresmian itu boleh dilaksanakan tanpa kehadiran pihak non-katolik.
Lalu (7) Pastor mengarsipkan Surat-surat Dispensasi.

Anda mungkin juga menyukai