Anda di halaman 1dari 7

Latar Belakang

Pada zaman ini, perayaan ekaristi mengalami perubahan-perubahan yang cukup


signifikan dan progresif. Hal ini tidak terlepas dari peran Gereja yang senantiasa bereformasi
“ecclesia semper reformanda”. Sebagai contoh liturgi pasca Konsili Vatican II mulai
berkutat dengan persoalan inkulturasi dan penerapannya dalam perayaan Ekaristi, sedangkan
pada masa kini liturgi berkutat dengan persoalan gerakan kharismatik dalam tubuh Gereja.
Hal ini menandakan bahwa liturgi selalu membutuhkan “adaptasi” yang sesuai dengan situasi
zaman dan kultur daerah tertentu.
Kalau pada masa pra konsili Vatican II1, perayaan ekaristi masih tampak eksklusif
bagi umat (ritus-ritus yang hanya dimengerti imam) kini melalui terobosan-terobosan baru
(inkulturasi) Gereja masa kini dapat menerapkan konsep komunikatif dalam segala dimensi
liturgi. Umat sebagai anggota Gerejapun turut mengambil peran penting dalam perayaan
liturgi. Inilah yang kita sebut sebagai partisipasi umat.
Namun perkembangan-perkembangan ini tidak selalu disertai oleh dampak-dampak
positif saja. Aturan-aturan yang semakin ketat dan memberatkan pihak-pihak tertentu seperti
keharusan menggunakan kaki kanan ketika hendak berlutut, penghormatan yang harus
dilakukan dengan membungkukan badan setengah bagian (½ badan), dll menjadikan ekaristi
hanya terlihat seperti kumpulan peraturan-peraturan dalam sebuah ritus. Masuknya beberapa
aturan tertentu dalam perayaan ekaristi seringkali membuat umat merasa terasing dari
perayaan ekaristi. Kemudian hal ini diperparah oleh ketidaksepahaman Gereja-gereja lokal
dalam berliturgi khususnya dalam penetapan aturan-aturan.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk membantu penulis mempelajari dan memahami
tema-tema aktual liturgi khususnya mengenai makna dari suatu perayaan ekaristi. Artikel ini
tidak bertujuan untuk memberikan ringkasan “sempurna” atas tema yang ditelaah. Dengan
demikian, artikel ini memiliki keterbatasan. Dalam pembahasan artikel ini, saya akan
menguraikan secara sederhana mengenai hakekat perayaan ekaristi yakni sebagai perwujudan
relasi Allah dan manusia. Hal ini tampak dari dimensi komunikatif yang ada dalam ekaristi.
Kemudian akan diuraikan juga tentang persoalan keterasingan umat dalam merayakan

1
Pada masa sebelum konsili Vatican II bahasa yang digunakan dalam liturgi adalah bahasa Latin. Dalam
konteks ini liturgi hanya menjadi urusan para imam. Sedangkan umat tetap terasing dari liturgi. Umat hanya
sibuk dengan bentuk devosi dan olah kesalehan. Partisipasi umat terbatas hanya “mendengar dan melihat”
saja. Liturgi dipandang dalam arti dan isi yang sangat sempit. Konsili Vatikan II merupakan upaya menjawab
tantangan zaman agar gereja Katolik tetap relevan di abad modern. Salah satu contoh konkret dari pembaruan
konsili Vatican II ialah penerimaan dan penghargaan terhadap keberagaman di muka bumi, termasuk
perbedaan agama.

1
ekaristi sebagai dampak dari kompleksitas berliturgi. Kemudian pada bagian akhir, penulis
akan menyertakan suatu refleksi sederhana yang menjadi tujuan akhir dari artikel ini.

Dimensi Komunikatif Ekaristi


Perayaan ekaristi merupakan perayaan perjumpaan Allah dan Manusia. Kehadiran
Allah dalam perayaan ini menjadi hal pokok yang tidak dapat digantikan oleh hal lain. 2
Dalam perjumpaan tersebut terdapat aspek komunikasi antara Allah dan manusia serta antar
anggota persekutuan (umat). Sampai di sini dapat dilihat bahwa komunikasi menjadi titik
tolak atau dasar dari liturgi (ekaristi). Singkatnya, ekaristi harus dimulai dari komunikasi
antara Allah dan manusia. Adapun relasi keduanya dapat diuraikan sebagai berikut :
 Allah-Manusia
Melalui Kristus, Allah memanggil, mengumpulkan dan memilih jemaat untuk
menjadi umat-Nya.
 Manusia-Allah
Melalui liturgi, manusia menanggapi dan menjawab tawaran keselamatan dari
Allah.
Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa terdapat hubungan timbal-balik di dalam
komunikasi antara Allah dan manusia. Namun perlu diperhatikan bahwa meskipun terdapat
hubungan timbal-balik, relasi ini semata-mata merupakan hasil inisiatif Allah yang
memanggil dan mengumpulkan umat-Nya.3 Ketika manusia menerima tawaran tersebut maka
secara tidak langsung manusia telah ikut ambil bagian dalam karya keselamatan Allah.
Dalam tradisi umat Kristiani, sabda Allah nyata dalam Kitab Suci (SC 7).4 Melalui
Kitab Suci terjalin suatu komunikasi satu arah (Allah kepada manusia). Ketika kita membaca
Kitab Suci maka disaat itu pula kita mendengarkan sabda Allah. Untuk alasan inilah tradisi
membaca Kitab Suci masih dan akan terus dipertahankan dalam suatu perayaan liturgi
(ekaristi). Sampai saat ini (era revolusi industri 4.0) tradisi membaca Kitab Suci (dalam ritus
bacaan) belum dapat digantikan dengan media-media lainnya khususnya media elektronik
seperti gadget, tablet, dll.5

2
Bdk. Bosco Da Cunha, O.Carm, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja, (Malang : Dioma, 2004), 86.
3
Bernardus Boli Ujan, SVD, “Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi” dalam Liturgi Autentik dan Relevan. Ed.
Bernardus Boli Ujan dan Georg Kirchberger, (Maumere : Ledalero, 2011), 24.
4
Telesphorus Krispurwana Cahyadi, SJ, Roti Hidup, (Yogyakarta : Kanisius, 2012), 94.
5
Persoalan penggunaan media elektronik seperti gadget, dll dalam membaca Kitab Suci, saat ini merupakan isu
“hangat” yang terus diperdebatkan oleh banyak kalangan. Hingga saat ini belum ada suatu kesepahaman
dalam tubuh Gereja Katolik tentang masalah ini. Persoalan ini dapat ditanggapi dengan berbagai sudut
pandang berbeda. Namun bagi penulis sendiri jika ditinjau dari kaca mata liturgi maka sangat jelas bahwa

2
Jika dilihat secara lebih mendalam maka dapat ditemukan bahwa relasi antara Allah
dan manusia memiliki 2 dimensi yang berbeda, yakni : Dimensi Vertikal dan Dimensi
Horizontal. 6 Di dalam dimensi-dimensi tersebut, Allah mewujudnyatakan diri-Nya kepada
umat-Nya. Dalam dimensi vertikal terjalin relasi yang personal antara Allah dan manusia.
Sedangkan dimensi horizontal menjadi perwujudnyataan iman kepada Allah. Dimensi
horizontal menitikberatkan pada relasi manusia dan sesama berdasarkan kedalaman imannya
kepada Allah. Konsekuensi dari kedua dimensi tersebut ialah keterlibatan aktif dan langsung
dari seluruh umat. Keterlibatan ini hanya akan terwujud bila ada kesatuan persaudaraan dan
relasi komunikatif yang personal antar semua orang yang terlibat dalam perayaan ekaristi.7
Hal ini bertolak belakang dengan realitas yang sering ditemui dalam setiap perayaan
ekaristi. Kompleksitas liturgi dengan segala aturannya adalah bukti nyata adanya suatu
tembok yang membatasi relasi (komunikasi) vertikal maupun horizontal. Ketika umat
disibukkan dengan berbagai peraturan dalam berliturgi, mereka akan kehilangan arah dalam
memaknai liturgi sebagai saat-saat penting untuk berjumpa dengan Allah. Ketika seorang
pemimpin umat (imam) menyibukkan diri dengan mengomentari atau menciptakan aturan-
aturan dalam berliturgi, maka saat itu pula terciptalah tembok pemisah antara Allah dan
manusia. Dokumen liturgi “Sacrosanctum Concilium” artikel 7 menguraikan dengan jelas
tentang kehadiran Kristus dalam liturgi.
“Christ indeed always associates the Church with Himself in this great work wherein
God is perfectly glorified and men are sanctified. The Church is His beloved Bride who
calls to her Lord, and through Him offers worship to the Eternal Father , . . . From this it
follows that every liturgical celebration, because it is an action of Christ the priest and of
His Body which is the Church, is a sacred action surpassing all others; no other action of
the Church can equal its efficacy by the same title and to the same degree.”8
Dari penggalan artikel ini dapat dilihat bahwa karya keselamatan Yesus Kristus nyata
atau hadir melalui liturgi khususnya ekaristi. Konsekuensinya adalah umat Katolik harus
menerima dalam hatinya kehadiran serta karya Yang Ilahi. Melalui ekaristi diharapkan umat
Katolik dapat menerima kekuatan dan komitmen iman untuk terlibat dalam membangun

penggunaan media elektronik untuk menggantikan Kitab Suci tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun
(ekologis dan praktis). Alasan mendasar yang mendorong pendapat ini ialah Sabda Tuhan nyata dalam Kitab
Suci sehingga sebelum pembacaan Kitab Suci dalam suatu perayaan ekaristi diperlukan suatu ritus untuk
memberkati Kitab Suci. Untuk saat ini belum bisa diterima jika seorang imam harus memberkati gadget
dalam perayaan ekaristi.
6
Bernardus Boli Ujan, Op. Cit., 25.
7
Ibid., 34
8
http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat- ii_const_19631204_
sacrosanctum-concilium_en.html, diunduh pada Kamis, 24 Oktober 2019.

3
dunia sebagai wujud keikutsertaannya dalam karya penebusan Allah. 9 Dengan demikian
ekaristi yang sejati menyasar isu-isu pokok yang saat ini berkembang masyarakat seperti
diskriminasi gender dan kekerasan, ketidakadilan ekonomi, intoleransi agama, dan masalah-
masalah sosial-politik lainnya. Dengan menghayati ekaristi sebagai bagian dari kehidupannya
diharapakan umat dapat tanggap terhadap situasi-situasi di atas.

Liturgi Ekaristi “Mewah” dan “Sederhana”


Liturgi (ekaristi) adalah perayaan akan tindakan keadilan kasih Allah, sebagaimana
telah dinyatakan-Nya dalam sejarah seperti yang diwartakan dalam Kitab Suci dan dirayakan
oleh umat beriman.10 Ekaristi memiliki suatu kaitan langsung dan tak terelakkan antara relasi
dengan Allah dan relasi dengan sesama, antara keterlibatan dalam doa dengan keterlibatan
kasih dalam kehidupan bersama. 11 Di dalam perayaan ekaristi terdapat tindakan serta
perayaan yang bersifat universal (melibatkan seluruh Gereja). Santo Yohanes mengajarkan
bahwa sangat mustahil jika seseorang mengatakan bahwa ia mencintai Allah (yang tak
kelihatan) tanpa mencintai dan mengasihi saudaranya (yang kelihatan). Kasih akan Allah
selalu berkaitan dengan kasih kepada sesama (bdk 1 Yoh. 4:20-21).
Ekaristi dengan kekhasannya sebagai suatu perayaan sederhana memiliki peran
penting dalam perwujudan relasi Allah dan manusia. Perayaan ekaristi yang sederhana
membantu umat untuk menghayati keseluruhan perayaan sebagai suatu perayaan yang kudus.
Kata “sederhana” bukan dimaksudkan untuk merujuk pada istilah “apa adanya” atau
“seadanya”. Liturgi sebagai suatu perayaan justru harus dirayakan secara “meriah”. Namun
dalam penerapannya, pengertian-pengertian itu sering disalahartikan. Konteks kemeriahan
ekaristi disempitkan pada aspek lahiriah yang dapat berarti mewah. Perayaan ekaristi menjadi
kurang menarik jika altar dan mimbar tidak dihiasi oleh bunga-bunga mewah yang
memanjakan mata. Akhirnya altar sebagai pusat liturgi (ekaristi) malah menjadi spot terbaik
untuk berswafoto bersama teman, saudara maupun keluarga.
Kita dapat melihat bagaimana di paroki-paroki besar mulai diberlakukannya aturan-
aturan baru yang terkadang mengikat dan membuat umat merasa terkekang oleh perayaan
liturgi. Umat diharuskan menggunakan sepatu yang “layak” untuk masuk ke dalam gereja.
Tafsiran untuk kata “layak” selalu dikondisikan dengan situasi ekonomi umat sekitar.
Selanjutnya ekaristi malah menjadi ajang untuk memamerkan kelayakan sepatu atau brand-

9
Telesphorus Krispurwana Cahyadi, SJ, Op. Cit., 95.
10
Ibid.,75
11
Ibid., 97

4
brand tertentu. Pembangunan gedung ibadat yang besar dan mewah demi alasan kenyamanan
dalam berliturgi justru membuat beberapa kelompok umat merasa tidak nyaman dengan
situasi tersebut. Dengan sendirinya terciptalah kelompok-kelompok dalam berliturgi.
Segala kompleksitas dalam ekaristi menjadikan perayaan ekaristi seperti sebuah ritus
hampa. Hal ini sering muncul akibat interpretasi yang terlalu dangkal tentang makna dari
“perayaan”. Anggapan bahwa suatu perayaan harus dirayakan secara mewah dan meriah
mengakibatkan kita menjadi sibuk dengan segala macam urusan lahiriah. Ini mengakibatkan
terabaikannya aspek rohani dalam ekaristi. Liturgi (ekaristi) kehilangan konteksnya sebagai
perayaan “sederhana”. Kata “sederhana” merujuk pada aspek kehadiran Gereja (umat) dalam
keadaan yang “sederhana” pula.
Orang sederhana akan lebih mudah membangun komunikasi serta relasi dengan Allah
dibandingkan dengan orang yang suka menyibukkan diri dengan banyak hal lahiriah. Untuk
menjadi muris Yesus, seorang Kristiani harus menjual segala “harta”nya. Dalam konteks
Perjanjian Baru, kita dapat melihat teladan yang diberikan oleh sosok Marta dan Maria (Bdk.
Luk. 10:38-42). Ketika Marta sibuk untuk melayani Yesus, Ia justru ditegur oleh Yesus
karena ia telah menyusahkan diri dengan banyak perkara. Sedangkan Maria telah memilih
bagian yang terbaik yakni mendengarkan sabda Tuhan.
Secara rohani konsep sederhana perlu diartikan sebagai suatu “ketelanjangan” di
hadapan Tuhan. Yesus mengungkapkan bagaimana orang Kristiani harus “menelanjangi”
dirinya ketika ingin menjadi pengikutnya (bdk. Mat. 16:24-28). Hal inilah yang dimaksud
dengan konsep sederhana dalam berliturgi. Umat diharapkan agar dapat memaknai perayaan
ekaristi sebagai suatu komunikasi dan relasi dengan Allah yang dapat membarui
kehidupannya. Inti dari perayaan ekaristi adalah bukan kemewahan dan kemeriahan lahiriah
melainkan pada proses bagaimana perayaan ekaristi yang dirayakan dapat membarui hidup
menuju arah yang lebih baik.
Memang tidak dapat disangkal bahwa aspek lahiriah dari perayaan ekaristi juga
mengambil peran penting dalam menciptakan suasana yang kudus. Hal ini akan membatu
umat dalam menghayati perayaan ekaristi. Namun aspek-aspek lahiriah bukanlah hal utama
yang ditekankan dalam perayaan ekaristi. Aspek-aspek lahiriah merupakan hal sekunder
dalam merayakan iman (pengungkapan iman seseorang). Perayaan ekaristi yang “sederhana”
membantu umat untuk dapat berkomunikasi dan berelasi dengan pribadi Allah.
Kesadaran akan pemahaman ini akan membantu proses internalisasi Sabda Allah
dalam realitas hidup sehari-hari. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa letak keluhuran
perayaan ekaristi bukan terletak pada hal-hal lahiriah (dekorasi yang mewah, dan lainnya).
5
Melainkan terdapat dalam aspek batiniah (kedalaman seseorang dalam menghayati ekaristi
dalam kehidupannya). Sejauh mana perayaan ekaristi dapat memberi dampak bagi kehidupan
umat (aspek sosial, budaya, dan ekonomi). Dari perayaan ekaristi diharapkan tumbuh
kehendak untuk melakukan segala hal yang baik.

Penutup
Liturgi ekaristi merupakan perayaan “sederhana” dengan persoalan yang kompleks.
Kesederhanaan itu terletak pada kenyataannya sebagai suatu perayaan keselamatan umat
manusia yang terwujud melalui karya Yesus Kristus di dunia (Kristosentris). Dalam konteks
ini terjalin relasi antara Allah dan manusia. Allah “menawarkan” dan manusia “menanggapi”.
Sedangkan komplesitas ekaristi merupakan dampak atau efek dari kesalahpahaman umat
dalam menginterpretasi makna ekaristi sebagai suatu “perayaan” yang kudus. Seringkali
sikap salah interpretasi ini berujung pada kegagalan umat dalam menghayati hidupnya
sebagai anggota Gereja universal atau bahkan merasa terasing dari kelompok Gereja.
Sebagai perayaan “sederhana”, ekaristi memuat di dalamnya aspek komunikatif yang
terjalin antara Allah dan manusia. Allah sebagai subjek yang menawarkan keselamatan dan
manusia sebagai subjek aktif yang menerima dan menanggapi panggilan-Nya. Liturgi
(ekaristi) dengan dimensi komunikatifnya tidak boleh dipandang sebagai suatu konsp lahiriah
semata di mana Allah berkomunikasi layaknya manusia melakukan komunikasi. Akan tetapi
keistimewaan ini harus ditanggapi secara rohani/batiniah. Untuk itu aspek rohani merupakan
dimensi yang harus diutamakan dalam merayakan ekaristi. Aspek lahiriah hanya merupakan
dimensi sekunder dari liturgi ekaristi.
Pemahaman ini tidak bertujuan untuk menolak aspek-aspek lahiriah dalam suatu
perayaan ekaristi seperi perhatian pada dekorasi altar dan penetapan aturan-aturan liturgi.
Melainkan ingin membuka wawasan kita mengenai aspek-aspek yang perlu diperhatikan dan
diberi perhatian khusus ketika hendak merayakan ekaristi. Aspek-aspek lahiriah tetap
memiliki peran penting dalam suatu liturgi ekaristi terutama untuk mendukung situasi dan
kenyamanan umat dalam merayakan ekaristi. Namun penekanan yang terlalu berlebihan pada
aspek lahiriah hanya akan membuat umat merasa terasing dari ekaristi itu sendiri. Liturgi
ekaristi sebagai suatu perayaan yang kudus hanya akan tercipta bila ditopang oleh hal-hal
yang “kudus” pula (rohani). Orientasi liturgi ekaristi pada hal-hal lahiriah hanya akan
menjadikan ekaristi sebagai suatu ritus hampa. Sebaliknya, orientasi pada hal-hal batiniah
(rohani) akan membawa dampak kebaruan dalam hidup umat. Inilah tujuan utama dari
perayaan ekaristi.
6
Daftar Pustaka

Sumber Buku :

Boli Ujan, Bernardus, SVD. “Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi” dalam Liturgi Autentik
dan Relevan. editor Bernardus Boli Ujan dan Georg Kirchberger. Maumere : Ledalero,
2011.

Da Cunha, Bosco, O.Carm. Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja, Malang : Dioma, 2004.

Krispurwana Cahyadi, Telesphorus, SJ. Roti Hidup. Yogyakarta : Kanisius, 2012.

Sumber Internet :

http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-
ii_const_19631204_ sacrosanctum-concilium_en.html,

Anda mungkin juga menyukai