1
Pada masa sebelum konsili Vatican II bahasa yang digunakan dalam liturgi adalah bahasa Latin. Dalam
konteks ini liturgi hanya menjadi urusan para imam. Sedangkan umat tetap terasing dari liturgi. Umat hanya
sibuk dengan bentuk devosi dan olah kesalehan. Partisipasi umat terbatas hanya “mendengar dan melihat”
saja. Liturgi dipandang dalam arti dan isi yang sangat sempit. Konsili Vatikan II merupakan upaya menjawab
tantangan zaman agar gereja Katolik tetap relevan di abad modern. Salah satu contoh konkret dari pembaruan
konsili Vatican II ialah penerimaan dan penghargaan terhadap keberagaman di muka bumi, termasuk
perbedaan agama.
1
ekaristi sebagai dampak dari kompleksitas berliturgi. Kemudian pada bagian akhir, penulis
akan menyertakan suatu refleksi sederhana yang menjadi tujuan akhir dari artikel ini.
2
Bdk. Bosco Da Cunha, O.Carm, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja, (Malang : Dioma, 2004), 86.
3
Bernardus Boli Ujan, SVD, “Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi” dalam Liturgi Autentik dan Relevan. Ed.
Bernardus Boli Ujan dan Georg Kirchberger, (Maumere : Ledalero, 2011), 24.
4
Telesphorus Krispurwana Cahyadi, SJ, Roti Hidup, (Yogyakarta : Kanisius, 2012), 94.
5
Persoalan penggunaan media elektronik seperti gadget, dll dalam membaca Kitab Suci, saat ini merupakan isu
“hangat” yang terus diperdebatkan oleh banyak kalangan. Hingga saat ini belum ada suatu kesepahaman
dalam tubuh Gereja Katolik tentang masalah ini. Persoalan ini dapat ditanggapi dengan berbagai sudut
pandang berbeda. Namun bagi penulis sendiri jika ditinjau dari kaca mata liturgi maka sangat jelas bahwa
2
Jika dilihat secara lebih mendalam maka dapat ditemukan bahwa relasi antara Allah
dan manusia memiliki 2 dimensi yang berbeda, yakni : Dimensi Vertikal dan Dimensi
Horizontal. 6 Di dalam dimensi-dimensi tersebut, Allah mewujudnyatakan diri-Nya kepada
umat-Nya. Dalam dimensi vertikal terjalin relasi yang personal antara Allah dan manusia.
Sedangkan dimensi horizontal menjadi perwujudnyataan iman kepada Allah. Dimensi
horizontal menitikberatkan pada relasi manusia dan sesama berdasarkan kedalaman imannya
kepada Allah. Konsekuensi dari kedua dimensi tersebut ialah keterlibatan aktif dan langsung
dari seluruh umat. Keterlibatan ini hanya akan terwujud bila ada kesatuan persaudaraan dan
relasi komunikatif yang personal antar semua orang yang terlibat dalam perayaan ekaristi.7
Hal ini bertolak belakang dengan realitas yang sering ditemui dalam setiap perayaan
ekaristi. Kompleksitas liturgi dengan segala aturannya adalah bukti nyata adanya suatu
tembok yang membatasi relasi (komunikasi) vertikal maupun horizontal. Ketika umat
disibukkan dengan berbagai peraturan dalam berliturgi, mereka akan kehilangan arah dalam
memaknai liturgi sebagai saat-saat penting untuk berjumpa dengan Allah. Ketika seorang
pemimpin umat (imam) menyibukkan diri dengan mengomentari atau menciptakan aturan-
aturan dalam berliturgi, maka saat itu pula terciptalah tembok pemisah antara Allah dan
manusia. Dokumen liturgi “Sacrosanctum Concilium” artikel 7 menguraikan dengan jelas
tentang kehadiran Kristus dalam liturgi.
“Christ indeed always associates the Church with Himself in this great work wherein
God is perfectly glorified and men are sanctified. The Church is His beloved Bride who
calls to her Lord, and through Him offers worship to the Eternal Father , . . . From this it
follows that every liturgical celebration, because it is an action of Christ the priest and of
His Body which is the Church, is a sacred action surpassing all others; no other action of
the Church can equal its efficacy by the same title and to the same degree.”8
Dari penggalan artikel ini dapat dilihat bahwa karya keselamatan Yesus Kristus nyata
atau hadir melalui liturgi khususnya ekaristi. Konsekuensinya adalah umat Katolik harus
menerima dalam hatinya kehadiran serta karya Yang Ilahi. Melalui ekaristi diharapkan umat
Katolik dapat menerima kekuatan dan komitmen iman untuk terlibat dalam membangun
penggunaan media elektronik untuk menggantikan Kitab Suci tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun
(ekologis dan praktis). Alasan mendasar yang mendorong pendapat ini ialah Sabda Tuhan nyata dalam Kitab
Suci sehingga sebelum pembacaan Kitab Suci dalam suatu perayaan ekaristi diperlukan suatu ritus untuk
memberkati Kitab Suci. Untuk saat ini belum bisa diterima jika seorang imam harus memberkati gadget
dalam perayaan ekaristi.
6
Bernardus Boli Ujan, Op. Cit., 25.
7
Ibid., 34
8
http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat- ii_const_19631204_
sacrosanctum-concilium_en.html, diunduh pada Kamis, 24 Oktober 2019.
3
dunia sebagai wujud keikutsertaannya dalam karya penebusan Allah. 9 Dengan demikian
ekaristi yang sejati menyasar isu-isu pokok yang saat ini berkembang masyarakat seperti
diskriminasi gender dan kekerasan, ketidakadilan ekonomi, intoleransi agama, dan masalah-
masalah sosial-politik lainnya. Dengan menghayati ekaristi sebagai bagian dari kehidupannya
diharapakan umat dapat tanggap terhadap situasi-situasi di atas.
9
Telesphorus Krispurwana Cahyadi, SJ, Op. Cit., 95.
10
Ibid.,75
11
Ibid., 97
4
brand tertentu. Pembangunan gedung ibadat yang besar dan mewah demi alasan kenyamanan
dalam berliturgi justru membuat beberapa kelompok umat merasa tidak nyaman dengan
situasi tersebut. Dengan sendirinya terciptalah kelompok-kelompok dalam berliturgi.
Segala kompleksitas dalam ekaristi menjadikan perayaan ekaristi seperti sebuah ritus
hampa. Hal ini sering muncul akibat interpretasi yang terlalu dangkal tentang makna dari
“perayaan”. Anggapan bahwa suatu perayaan harus dirayakan secara mewah dan meriah
mengakibatkan kita menjadi sibuk dengan segala macam urusan lahiriah. Ini mengakibatkan
terabaikannya aspek rohani dalam ekaristi. Liturgi (ekaristi) kehilangan konteksnya sebagai
perayaan “sederhana”. Kata “sederhana” merujuk pada aspek kehadiran Gereja (umat) dalam
keadaan yang “sederhana” pula.
Orang sederhana akan lebih mudah membangun komunikasi serta relasi dengan Allah
dibandingkan dengan orang yang suka menyibukkan diri dengan banyak hal lahiriah. Untuk
menjadi muris Yesus, seorang Kristiani harus menjual segala “harta”nya. Dalam konteks
Perjanjian Baru, kita dapat melihat teladan yang diberikan oleh sosok Marta dan Maria (Bdk.
Luk. 10:38-42). Ketika Marta sibuk untuk melayani Yesus, Ia justru ditegur oleh Yesus
karena ia telah menyusahkan diri dengan banyak perkara. Sedangkan Maria telah memilih
bagian yang terbaik yakni mendengarkan sabda Tuhan.
Secara rohani konsep sederhana perlu diartikan sebagai suatu “ketelanjangan” di
hadapan Tuhan. Yesus mengungkapkan bagaimana orang Kristiani harus “menelanjangi”
dirinya ketika ingin menjadi pengikutnya (bdk. Mat. 16:24-28). Hal inilah yang dimaksud
dengan konsep sederhana dalam berliturgi. Umat diharapkan agar dapat memaknai perayaan
ekaristi sebagai suatu komunikasi dan relasi dengan Allah yang dapat membarui
kehidupannya. Inti dari perayaan ekaristi adalah bukan kemewahan dan kemeriahan lahiriah
melainkan pada proses bagaimana perayaan ekaristi yang dirayakan dapat membarui hidup
menuju arah yang lebih baik.
Memang tidak dapat disangkal bahwa aspek lahiriah dari perayaan ekaristi juga
mengambil peran penting dalam menciptakan suasana yang kudus. Hal ini akan membatu
umat dalam menghayati perayaan ekaristi. Namun aspek-aspek lahiriah bukanlah hal utama
yang ditekankan dalam perayaan ekaristi. Aspek-aspek lahiriah merupakan hal sekunder
dalam merayakan iman (pengungkapan iman seseorang). Perayaan ekaristi yang “sederhana”
membantu umat untuk dapat berkomunikasi dan berelasi dengan pribadi Allah.
Kesadaran akan pemahaman ini akan membantu proses internalisasi Sabda Allah
dalam realitas hidup sehari-hari. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa letak keluhuran
perayaan ekaristi bukan terletak pada hal-hal lahiriah (dekorasi yang mewah, dan lainnya).
5
Melainkan terdapat dalam aspek batiniah (kedalaman seseorang dalam menghayati ekaristi
dalam kehidupannya). Sejauh mana perayaan ekaristi dapat memberi dampak bagi kehidupan
umat (aspek sosial, budaya, dan ekonomi). Dari perayaan ekaristi diharapkan tumbuh
kehendak untuk melakukan segala hal yang baik.
Penutup
Liturgi ekaristi merupakan perayaan “sederhana” dengan persoalan yang kompleks.
Kesederhanaan itu terletak pada kenyataannya sebagai suatu perayaan keselamatan umat
manusia yang terwujud melalui karya Yesus Kristus di dunia (Kristosentris). Dalam konteks
ini terjalin relasi antara Allah dan manusia. Allah “menawarkan” dan manusia “menanggapi”.
Sedangkan komplesitas ekaristi merupakan dampak atau efek dari kesalahpahaman umat
dalam menginterpretasi makna ekaristi sebagai suatu “perayaan” yang kudus. Seringkali
sikap salah interpretasi ini berujung pada kegagalan umat dalam menghayati hidupnya
sebagai anggota Gereja universal atau bahkan merasa terasing dari kelompok Gereja.
Sebagai perayaan “sederhana”, ekaristi memuat di dalamnya aspek komunikatif yang
terjalin antara Allah dan manusia. Allah sebagai subjek yang menawarkan keselamatan dan
manusia sebagai subjek aktif yang menerima dan menanggapi panggilan-Nya. Liturgi
(ekaristi) dengan dimensi komunikatifnya tidak boleh dipandang sebagai suatu konsp lahiriah
semata di mana Allah berkomunikasi layaknya manusia melakukan komunikasi. Akan tetapi
keistimewaan ini harus ditanggapi secara rohani/batiniah. Untuk itu aspek rohani merupakan
dimensi yang harus diutamakan dalam merayakan ekaristi. Aspek lahiriah hanya merupakan
dimensi sekunder dari liturgi ekaristi.
Pemahaman ini tidak bertujuan untuk menolak aspek-aspek lahiriah dalam suatu
perayaan ekaristi seperi perhatian pada dekorasi altar dan penetapan aturan-aturan liturgi.
Melainkan ingin membuka wawasan kita mengenai aspek-aspek yang perlu diperhatikan dan
diberi perhatian khusus ketika hendak merayakan ekaristi. Aspek-aspek lahiriah tetap
memiliki peran penting dalam suatu liturgi ekaristi terutama untuk mendukung situasi dan
kenyamanan umat dalam merayakan ekaristi. Namun penekanan yang terlalu berlebihan pada
aspek lahiriah hanya akan membuat umat merasa terasing dari ekaristi itu sendiri. Liturgi
ekaristi sebagai suatu perayaan yang kudus hanya akan tercipta bila ditopang oleh hal-hal
yang “kudus” pula (rohani). Orientasi liturgi ekaristi pada hal-hal lahiriah hanya akan
menjadikan ekaristi sebagai suatu ritus hampa. Sebaliknya, orientasi pada hal-hal batiniah
(rohani) akan membawa dampak kebaruan dalam hidup umat. Inilah tujuan utama dari
perayaan ekaristi.
6
Daftar Pustaka
Sumber Buku :
Boli Ujan, Bernardus, SVD. “Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi” dalam Liturgi Autentik
dan Relevan. editor Bernardus Boli Ujan dan Georg Kirchberger. Maumere : Ledalero,
2011.
Da Cunha, Bosco, O.Carm. Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja, Malang : Dioma, 2004.
Sumber Internet :
http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-
ii_const_19631204_ sacrosanctum-concilium_en.html,