Anda di halaman 1dari 8

Liturgi dalam Gereja Katolik

1. Pengantar
Liturgi merupakan unsur sentral dalam gereja Katolik. Perlu ditegaskan bahwa Liturgi
dalam Gereja Katolik setua Gereja itu sendiri. Itu artinya, untuk memahami dengan
lebih menyeluruh bagaimana asal mula liturgi, perkembangannya dalam zaman, dan
praktik yang masih kita lihat hari ini dalam Gereja, kita perlu sebentar melihat sejarah
lahirnya Gereja. Hal itu akan menjadi bahasan awal dalam paper ini.

Liturgi, yang menjadi kebaktian umum resmi seutuhnya (integrum cultim publicum[1])
dalam Gereja Katolik, memberi sutu kekhasan tersendiri bagi Gereja dalam
menghadirkan wajah Allah di dunia. Dengan Liturgi, Gereja menegaskan bahwa Allah
bekerja melalui tanda, masuk dalam keterbatasan manusia dan membiarkan diri-Nya
dipahami. Dengan demikian, Liturgi merupakan penerjemahan teologi Kristiani
tentang Inkarnasi, suatu langkan besar yang diambil Allah untuk memasuki sejarah
manusia dan hidup di antara kita. Itulah mengapa liturgi merupakan sakramen/tanda.
Liturgi di satu sisi sangat teologis/spiritual, tetapi serentak juga menyangkut hal
praktis/material dalam tata peribadatan Gereja. Ketika masuk dalam gereja katolok
misalnya, orang akan terpesona atau malah bertanya-tanya melihat banyaknya
(barangkali rumitnya) cara orang Katolik berdoa. Kita ambil contoh perayaan Ekaristi
yang memiliki tata liturgis yang padat mulai dari perarakan masuk dan nyanyian,
salam pembuka, bacaan, liturgi ekaristi, lalu liturgi penutup. Hal tersebut belum
termasuk tata gerak dan sebagainya. Jangankan orang di luar Gereja, kita sendiri
bahkan kerap kali bingung berkaitan dengan hal-hal praktis ini. Tetapi apakah inti
liturgi terletak di sana?
Paper ini akan membahas bebrapa pokok penting selain yang telah diuraikan di atas,
yaitu Pengertian Liturgi, Hubungan Liturgi dengan Sakramen, Tahun Liturgi, Busana,
Bacaan, Alat Liturgi, Paraliturgi, dan Hubungan Paraliturgi dan Sakramentali.

2. Liturgi Mengakar dalam Tradisi


Mempelajari perkembangan kristianitas tidak bisa terlepas dari akar Yudaisme.
Dengan mendalami dan memahami akar Yahudi dari Kristianitas, pembaca modern
dapat mengenal dalam dan luasnya Kristianitas[2]. Sebagai komunitas yang
berkembang dalam tradisi Yudaisme, Kristianitas banyak mewarisi nilai dan
pandangan Yahudi[3]. Akan tetapi kesan bahwa Kristianitas ialah cangkokan
Yudaisme disangkal dengan kenyataan bahwa orang Kristen adalah orang Yahudi
yang memisahkan diri karena konsep keselamatan dan pemenuhan taurat yang
berbeda. Itu artinya, tanda yang berupa barang atau tata gerak yang barangkali sama
atau diwariskan dari tradisi Yahudi tetap saja dimaknai secara berlainan dalam
Kristianitas. Maksudnya ialah bahwa nilai tradisi itu tidak ditempel begitu saja,
melainkan dimaknai “secara baru.” Hari Sabath misalnya yang mengharamkan orang
untuk banyak beraktivitas, justru dilihatnya Yesus sebagai hari pembebasan
(menyembuhkan orang sakit, Lukas 13:10-17).
Salah satu contoh ritus yang dipinjam dari tata peribadatan Yahudi ialah ibadat
sabda. Ibadat sabda mencakup dua bacaan yang disisipi dengan mazmur tanggapan
dan diakhiri dengan homili. Ibadat sabda masih bertahan dalam bagian pertama tata
perayaan Ekaristi kita sampai saat ini.
Selain Yahudi, sumber tradisi yang memperkaya perkembangan lturgi Gereja Katolik
ialah corak budaya Yunani-Romawi. Pada abad-abad awal, Gereja berkontak
langsung dengan budaya Yunani-Romawi terutama pasca Kaisar Septimus Severus
yang berakhir dengan keluarnya Edikt milano[4] oleh Konstantinus dan Licinius (berisi
pengakuan pemerintah terhadap eksistensi Kristianitas di kekaisaran Roma). Di
Roma, sebagaimana halnya di beberapa negara sekitar Laut Tengah, bahasa liturgi
yang dipakai sekitar abad pertama ialah bahasa Yunani menggantikan bahasa Aram.
Pengaruh kedua budaya besar ini juga tampak dalam terbentuknya perayaan inisiasi
Kristen seperti pembaptisan, pengusiran setan dan pengurapan-pengurapan.[5]
Dari kalangan Yunani pula muncul kebiasaan menyusun rumusan doa dalam kaidah
pidato terutama kaidah simetri dan kaidah untuk mengakhiri kalimat secara ritmis.
Istilah-istilah teknis dalam liturgi tak terhitung jumlahnya banyak berasal dari dunia
Yunani, antara lain kata liturgi sendiri (Liturgeia); demikian pula kata ekaristi, eulogi,
prefasi, kanon, anamnesis, adven, eksorsisme, dll. Akhirnya, dari sumber Yunani pula
muncul beberapa bentuk doa tertentu seperti litani para kudus, lalu rumusan seperti
‘sepanjang segala masa’, ‘sampai kekal’, ‘Tuhan kasihanilah Kami’, dll. Demikian nilai-
nilai budaya diangkat menjadi suatu tata peribadatan Gereja.

3. Pengertian Liturgi
4. Arti Harafiah
Untuk memahami arti liturgi, lazimnya orang memulai dengan membedah makna kata
liturgi itu sendiri. Liturgi berasal dari kata Bahasa Yunani, yaitu ‘Leiturgia’ yang terdiri
dari kata ‘ergon’ (=karya) dan ‘leitos’ (=bangsa).[6] Jadi secara
harafiah, leiturgia berarti karya atau pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan
bangsa. Pengertian ini mendapat arti kultis sejak abad II masehi yang mengacu pada
pelayanan ibadat. Arti itu terus berkembang hingga akhirnya dipersempit hanya untuk
perayaan Ekaristi.
1. Menurut KV II
Konsili Vatikan ke II melihat liturgi sebagai “pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus,
di situ pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta
dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing, di situ pula dilaksanakan
ibadat umum yang seutuhnya oleh tubuh mistik Kristus, yakni kepala beserta para
anggotanya.” (SC 7). Jelas di sini bahwa liturgi berarti bukan semata-mata ibadat
paling sempurna yang dipersembahkan manusia kepada Allah,
melainkan terutama merupakan perayaan karya keselamatan Allah bagi manusia
melalui tanda-tanda. Untuk lebih dalam memahami makna liturgi dalam dokumen KV
II ini kita mesti membacanya dalam terang dokumen lain seperti Lumen Gentium (LG).
Dalam LG 1 dikatakan demikian “Terang para bangsalah Kristu itu. Maka konsili suci
yang terhimpun dalam Roh Kudus ingin sekali menerangi semua orang dengan
cahaya Kristus yang bersinar pada wajah Gereja dengan mewartakan injil kepada
semua makhluk. Namun Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yaitu tanda
dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.”
Perayaan dalam bentuk tanda ini menuntut iman akan misteri penyelamatan Allah.
Poin penting yang kembali ditegaskan di sini ialah bahwa liturgi merupakan tanda
kehadiran Allah dalam atau melalui Gereja. Liturgi ialah karya Allah, bukan ciptaan
manusia.
1. Arti Populer
Secara populer, liturgi sering dipahami sebagai upacara atau ritual publik Gereja.
Yang dimaksud di sini ialah bahwa liturgi sering kali hanya diartikan secara umum
seperti mengenai tata upacara peribadatan, petugas liturgi, peralatan doa, dll.
Pengertian populer ini memberi nuansa atau penekanan pada peran manusia dalam
liturgi. Liturgi sesungguhnya merupakan sekaligus karya Allah dan manusia.
Karya manusia di sini bukan tambahan pada karya Allah, melainkan partisipasi atau
keikutambilbagianan kita (manusia) dalam karya keselamatan Allah. Karena itulah
kemudian liturgi dimaknai sebagai karya Gereja yang adalah tubuh Kristus dengan
Kristus sebagai Kepala.

4. Hubungan Liturgi dengan Sakramen


Seperti telah disinggung dalam bagian pengantar di atas, liturgi dalam arti terdalam
merupakan sakramen atau tanda nyata dan kelihatan dari misteri keselamatan Allah.
Sebagaimana Gereja meyakini bahwa misteri keselamatan Allah ditampakkan melalui
peristiwa-peristiwa konkret di dalam dunia ini dan dan secara paling sempurna dan
lengkap terungkap dalam diri Yesus Kristus, maka Gereja yang didirikan Kristus
menjadi tanda nyata dan kelihatan dari karya keselamatan Allah tersebut. Dalam
meneruskan tugas itu, Gereja di satu sisi menyadari bahwa manusia merupakan roh
yang membadan, oleh karena itu ia juga merupakan makhluk simbolis. Untuk itu,
karya keselamatan itu mesti dihadirkan dalam wujud yang kelihatan dan konkret yang
kemudian kita kenal dan alami melalui (ke-7) sakremen.

Dari segi cakupan, liturgi memang bisa dikatakan lebih luas dari sakramen sebab
liturgi mencakup seluruh bentuk kebaktian dalam Gereja yang tidak hanya terbatas
pada ke tujuh sakramen, melainkan juga Ibadat Harian. Secara ringkas, liturgi terdiri
dari sakramen (lengkap dan dengan segala upacara yang menyertainya) dan ibadat
harian, sedangkan sakramen merupakan konkretisasi dari karya penyelamatan Allah
(Liturgi) kepada manusia.[7]

5. Tahun Liturgi, Busana, Bacaan, Alat Liturgi


1. Tahun Liturgi
Mungkin Anda bertanya, Apa itu Tahun Liturgi? Mengapa liturgi berulang setiap
tahun? Secara umum, Gereja meyakini bahwa karya keselamatan Allah yang
terungkap secara sempurna dalam diri Yesus itu terjadi dalam waktu (historis). Oleh
karena itu, meskipun karya penyelamatan itu terjadi sekali untuk selamanya, tetapi
kita tetap harus mengenang kembali dan menghidupkan peritiwa itu sepanjang tahun
dengan penuh rasa Syukur. Filsuf Denmark, Soren Kierkergaard, mengatakan:
“Pilihannya hanyalah kita menghadirkan Yesus dalam Zaman kita atau kita tidak usah
melakukan apa-apa sama sekali.” Inti dari pengulangan ialah pembiasaan atau
habitus/keutamaan. Pengulangan membentuk suatu kebiasaan. Dengan demikian
tahun liturgi yang terus diulang membuat peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah
keselamatan meresap dalam seluruh waktu kita.

Tahun Liturgi atau Tahun Gereja menerapkan misteri kehidupan Kristus—sejak


penjelmaan sampai kedatangannya yang kedua dalam kemuliaan—ke dalam
kalender tahun biasa. [8] Tahun liturgi diawali dengan masa Adven (penantian) lalu
berakhir pada perayaan Kristus Raja Semesta Alam yang sekaligus menutup
rangkaian liturgi satu tahun untuk memulai lagi. Perhatikan gambar berikut!
Puncak Tahun Liturgi adalah Misteri Paskah Tuhan yang dirayakan selama Trihari
Paskah yang puncaknya pada Malam Paskah. Tahun Liturgi terbagi dalam 3 masa
[Masa Khusus, Masa Biasa, Pesta atau peringatan orang kudus]. Masa Khusus terdiri
dari: lingkaran Natal [masa Adven dan masa Natal] dan lingkaran Paskah [masa
Prapaskah dan masa Paskah]. Masa Biasa terdiri dari 34 pekan biasa yang
puncaknya pada hari Minggu. Pesta peringatan orang kudus merupakan kebiasaan
Gereja untuk menghormati orang-orang suci, dan untuk memuliakan dan
menghormati Tuhan.

1. Bacaan Liturgi
Dalam Kalender Liturgi juga kita mengenal pembagian tahun untuk mengatur
pembacaan injil pada hari minggu, yaitu tahun A (Injil Matius), tahun B (Injil Markus),
dan tahun C (Injil Lukas). Sedangkan untuk misa harian diatur dalam tahun
ganjil/genap [tahun I / tahun II].

1. Warna Liturgi
Gereja Katolik mempunyai pemahaman tersendiri akan warna. Setiap warna
merefleksikan nilai dan makna rohani tertentu. Begitu juga kapan waktu pemakaian
warna tersebut disesuaikan dengan masa-masa dan perayaan-perayaan atau pesta
tertentu menurut penaggalan kalender liturgi. Warna yang dimaksud dalam liturgi
adalah warna Stola (selempang/selendang) dan Kasula (Mantol Lebar/Pakaian Paling
Luar Imam) yang dipakai oleh Imam, begitu juga dengan warna yang dikenakan
Prodiakon, Lektor/Lektris dan Putra/Putri Altar, kain-kain altar, dll., disesuaikan
dengan petunjuk kalender liturgi. Pemilihan warna liturgi amat dipengaruhi oleh
penafsiran makna atas simbol warna sebagaimana dipahami suatu budaya dan
masyarakat tertentu. Dalam liturgi, warna melambangkan: 1. Sifat dasar misteri iman
yang kita rayakan, 2. Menegaskan perjalanan hidup Kristiani sepanjang tahun liturgi

Warna Hijau
Warna hijau melambangkan warna yang terang, melegakan, manusiawi,
menyegarkan. Warna hijau ini juga dikaitkan dengan musim semi yang didominasikan
sebagai warna yang kontemplatif dan tenang. Warna liturgi hijau ini biasanya dipakai
sepanjang masa biasa.

Warna Merah
Warna merah melambangkan api dan darah dan juga melambangkan penumpahan
darah para martir gereja sebagai saksi-saksi iman sebagaimana Yesuspun rela
berkorban hingga wafat di kayu salib dan mengeluarkan darah demi menebus dosa
manusia. Warna merah dimaksudkan agar para uskup, imam, diakon harus rela
menjadi martir dan berani bersaksi demi Yesus Kristus. Warna liturgi merah dikenakan
pada saat perayaan mengenangkan sengara dan wafat Yesus (Minggu Palma dan
Jumat Agung), Hari Raya Pentakosta, Perayaan para pengarang Injil, Perayaan para
martir, Perayaan Roh Kudus.

Warna Putih dan Kuning


Warna Putih/kuning menandakan hidup baru sebagimana dalam liturgi baptis para
baptisan baru mengenakan pakaian putih dan diberi kain putih. Warna putih
dipandang sebagai warna kesucian, ketidaksalahan, terang yang tak terpadamkan,
kebenaran mutlak, kemurnian sempurna, kejayan yang penuh, kesempurnaan,
kemenangan, kemuliaan abadi. Dalam liturgi gereja warna liturgi putih atau kuning
bisa digunakan secara bersama-sama atau hanya digunakan salah satu putih atau
kuning. Warna liturgi putih/kuning digunakan dalam perayaan Yesus Kristus (kecuali
Minggu Palma dan Jumat Agung), Perayaan Natal dan Paskah,sepanjang masa Natal
dan Paskah,seputar Peringatan Santa Perawan Maria, seputar peringatan para kudus
(bukan para martir) misalnya Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November), Santo
Yohanes Pembaptis (24 Juni), Santo Yohanes Penginjil (27 Desember), Takhta Santo
Petrus Rasul (22 Februari), Bertobatnya Santo Paulus (25 Januari), dan semua saja
yang termasuk pesta orang kudus bukan martir.

Warna Merah Muda


Warna merah muda melambangkan sukacita atau kebahagiaan. Biasanya warna
liturgi ini digunakan pada Minggu Prapaskah IV (Laetarete) dan juga pada Minggu
Adven III (Gaudete) yang artinya mengajak kita untuk mempersiapkan diri karena
Masa Natal dan Paskah akan segera tiba. Apabila tidak tersedian warna liturgi merah
muda pada kasula/dalmatik, maka warna ungu dapat menggantikan merah muda.

Warna Ungu
melambangkan pertobatan, kebijaksanaan, keseimbangan, mawas diri, sikap berhati-
hati. Warna liturgu ungu biasnya digunakan pada saat ibadat tobat, masa prapaskah,
masa adven, peringatan arawah, dan juga untuk liturgi disekitar kematian. Warna
ungu dapat menjadi ganti dari warna hitam.

Warna Hitam
Warna Hitam merupakan warna yang paling jarang ditemukan dalam
kasula/dalmatik.Warna Hitam ini melambangkan ketiadaan, kedukaan, kegelapan,
pengorbanan, malam, kematian, kerajaan orang mati. Warna liturgi dapat digunakan
pada liturgi saat kematian (warna liturgi ini sifatnya fakultatif/tidak wajib).[9]

1. Busana dan Alat Liturgi


Dalam Gereja Katolik kita mengenal sebutan Religius dan awam atau imam dan
pelayan imam. Sebutan ini memberi penekanan akan perbedaan model panggilan
yang dihayati oleh umat Katolik dalam Gereja. kaum biarawan ialah mereka yang
berkaul, maka juga religius, sedangkan kaum awam ialah sebutan untuk umat biasa
yang tidak mengikrarkan kaul-kaul religius dan tetapi tetap ikut ambil bagian dalam
pelayanan liturgi membantu imam. Perbedaan ini lebih merupakan perbedaan fungsi
dan tugas, selebihnya kaum awam dan religius atau imam dan umat sama-sama
merupakan anggota Gereja Kristus. Pembedaan ini juga nampak dalam busana liturgi.
Berikut akan dijelaskan beberapa busana liturgi yang dikenakan imam.

Amik: Amik adalah kain putih segi empat dengan dua tali di dua ujungnya atau ada
juga model modern lain yang tidak segi empat dan tanpa tali. Amik yang melingkari
leher dan menutupi bahu dan pundak itu melambangkan pelindung pembawa selamat
(keutamaan harapan), untuk mengatasi serangan setan. Kain itu secara praktis juga
berfungsi untuk menutupi kerah baju supaya tampak rapi, untuk menahan dingin, atau
sekaligus untuk menyerap keringat agar busana liturgis pada zaman dulu yang
biasanya amat indah dan mahal tidak mengalami kerusakan.
Alba: Pakaian putih (Latin: alba = putih) panjang; simbol kesucian dan kemurnian
yang seharus-nya menaungi jiwa diakon/ imam yang me-rayakan liturgi, khususnya
Pe-rayaan Ekaristi. Alba dengan warna putihnya itu sendiri secara simbolis
mengingatkan kita akan komitmen baptis dan kebangkitan. Sebenarnya alba juga
boleh dipakai untuk pelayan altar lainnya, bahkan—meski tidak lazim—untuk lektor
dan pemazmur.
Single: Tali pengikat alba pada pinggang ini merupakan simbol nilai kemurnian hati
(chastity) dan pengekangan diri. Biasanya berwarna putih atau sesuai dengan warna
masa liturginya. Biasanya singel dipakai jika model alba membutuhkan-nya atau jika
dipakai stola dalam (PUMR 336).
Jubah: Jubah merupakan pakaian standar liturgi. Sudah amat lazim bahwa lektor—
juga beberapa petugas liturgis lainnya, seperti pemazmur dan pembagi komuni,
bahkan kelompok paduan suara—mengenakan jubah atau busana semacamnya.
Tidak ada aturan khusus untuk itu.
Superpli: Superpli merupakan pengganti alba, potongannya tidak sepanjang alba.
Ber-warna putih. Superpli tidak sampai mata kaki, cukup sebatas lutut dengan perge-
langan tangan yang cukup lebar. Tidak boleh sembarangan memakai superpli. Alba
dapat diganti superpli, kecuali kalau dipakai kasula atau dalmatik, atau kalau stola
menggan-tikan kasula atau dalmatik (PUMR 336).
Stola: Stola adalah semacam selendang panjang; simbol bahwa yang
mengenakannya sedang melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut
tugas pengudusan (imamat). Stola melambang-kan otoritas atau ke- wenangan dalam
pelayanan sakra-mental dan berkhot-bah. Secara khusus, sesuai dengan doa ketika
mengenakan-nya, stola dimaknai sebagai simbol kekekalan.
Kasula: Kasula, disebut juga planeta, adalah pakaian luar yang dikenakan di atas
alba dan stola. Kasula merupakan busana khas imam, khususnya selebran dan
konselebran utama, yang dipakai untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula
melambangkan keutamaan cinta kasih dan ketulusan untuk melaksanakan tugas yang
penuh pengorbanan diri bagi Tuhan.
Dalmatik: Dalmatik dikenakan setelah stola diakon. Ini adalah busana resmi diakon
tatkala bertugas melayani dalam Misa/Perayaan Ekaristi, khususnya yang bersifat
agung/meriah. Busana ini melambang-kan sukacita dan kebaha-giaan yang
merupakan buah-buah dari pengab-diannya kepada Allah.
Velum: Velum adalah semacam kain putih/kuning/emas lebar yang dipakai pada
punggung ketika membawa Sakramen Mahakudus dalam prosesi (ingat saat
pemindahan Sakramen Mahakudus pada bagian akhir Misa Pengenangan Perjamuan
Tuhan, Kamis Putih malam!) dan memberi berkat dengan Sakramen Mahakudus.
Pluviale/Korkap: semacam mantel panjang (Latin: pluvia = hujan) yang digunakan di
luar Perayaan Ekaristi dan dalam perarakan liturgis, atau perayaan liturgis lain yang
rubriknya menuntut digunakan busana itu (misalnya untuk liturgi pemberkatan).
6. Beberapa tambahan Kahusus untuk busana Uskup
Pada umumnya, Uskup memiliki beberapa pakaian atau busana liturgi standar orang
tertahbis seperti yang dimiliki imam, misalnya alba, stola, kasula, dll. Akan tetapi di
samping itu ada beberapa perlengkapan yang dikenakan khusus oleh orang yang
telah menerima tahbisan uskup. Perlengkapan itu antara lain: jubah ungu setakat
mata kaki; sabuk sutera ungu; rochet dari linen atau bahan sejenis (warna putih);
mozeta (mantol kecil yang menutup pundak, dengan kancing di bagian depan) ungu;
salib pektoral (salib dada) dengan tali anyaman warna hijau-emas (bukan dengan
rantai); pileola (topi kecil yang juga dikenal dengan nama solideo) ungu; bireta (topi
segi empat dengan pom) ungu; dan stocking/kaos kaki ungu. Selain pakaian, ada juga
perlengkapan lain seperti tongkat. Uskup memiliki tongkat penggembalaan yang
melambangkan dirinya sebagai gembala umat sebagaimana Yesus sendiri.
Selain pakaian, kita juga mengenal yang namanya peralatan Liturgi. Dalam gereja
Katolik, peralatan Liturgi sangat banyak jumlahnya. Paling sederhana yang perlu kita
ketahui ialah peralatan liturgi yang digunakan imam dalam perayaan Ekaristi.
Peralatan itu antara lain: Ampul, dua bejana yang dibuat dari kaca atau logam,
bentuknya seperti buyung kecil dengan tutup di atasnya sebagai tempat penyimpanan
air dan anggur. Korporal, berasal dari bahasa Latin “corporale”, adalah sehelai kain
lenan putih berbentuk bujursangkar dengan gambar salib kecil di tengahnya. Dalam
perayaan Ekaristi, imam membentangkan korporale di atas altar sebagai alas untuk
bejana-bejana suci roti dan anggur.
Lavabo, berasal dari bahasa Latin “lavare” yang berarti “membasuh”, adalah bejana
berbentuk seperti buyung kecil, atau dapat juga berupa mangkuk, tempat menampung
air bersih yang dipergunakan imam untuk membasuh tangan sesudah persiapan
persembahan. Navikula (disebut juga Wadah Dupa) adalah bejana tempat
menyimpan serbuk dupa yang akan dipakai di turibulum. Dalam penggunaannya,
navikula tidak pernah terpisah dari turibulum. Palla berasal dari bahasa Latin “palla
corporalis” yang berarti “kain untuk Tubuh Tuhan”, adalah kain lenan putih yang
diperkeras, sehingga menjadi kaku seperti papan, bentuknya bujursangkar,
dipergunakan untuk menutupi piala. Palla melambangkan batu makam yang
digulingkan para prajuritRomawi untuk menutup pintu masuk ke makam Yesus.
Patena, berasal dari bahasa Latin “patena” yang berarti “piring”, adalah piring di mana
hosti diletakkan. Patena, yang sekarang berbentuk bundar, datar, dan dirancang
untuk roti pemimpin Perayaan Ekaristi, aslinya sungguh sebuah piring. Piala, dalam
bahasa Latin disebut “calix” yang berarti “cawan”, adalah bejana yang tersuci di antara
segala bejana. Piala adalah cawan yang menjadi wadah anggur untuk
dikonsekrasikan. Piksis berasal dari bahasa Latin “pyx” yang berarti “kotak”, adalah
sebuah wadah kecil berbentuk bundar dengan engsel penutup, serupa wadah jam
kuno. Piksis biasanya dibuat dari emas. Piksis dipergunakan untuk menyimpan hosti
yang sudah dikonsekrasi.
Purifikatorium adalah kain yang terbuat dari linen, yang digunakan untuk menyeka
bibir piala, untuk pembersihan nampan, untuk mengeringkan cawan dan untuk
mengeringkan tangan para imam atau daikon. Sibori berasal dari bahasa
Latin κιβώριον (kibōrion) yang berarti “piala dari logam”, adalah bejana serupa piala,
tetapi dengan tutup di atasnya. Sibori adalah wadah untuk hosti yang akan dibagikan
saat komuni. Turibulum atau disebut juga Pedupaan atau wiruk adalah sebuah alat
untuk mendupai yang terbuat dari logam dan di gantung dengan rantai.

7. Paraliturgi, dan Hubungan Paraliturgi dan Sakramentali.


Pembahasan berikutnya ialah mengenai Paraliturgi dan hubungannya dengan
Sakramentali. Pertanyaannya tentu saja apa itu paraliturgi? Apa hubungannya
dengan sakramentali? Untuk memahami kedua bagian ini, kita akan terbantu dengan
pembahasan sebelumnya mengenai sakramen dan liturgi. Menurut kamus Liturgi,
paraliturgi berarti kegiatan rohani kaum beriman yang tidak terdapat dalam buku-buku
liturgi resmi, dan tidak mengikuti pola dasar liturgi. Contoh paraliturgi misalnya *jam
suci. Dalam kegiatan paraliturgi ini, aneka kegiatan rohani bisa dilakukan umat seperti
melambungkan pujian, nyanyian dan juga khotbah. Dapat juga dikatakan bahwa
paraliturgi berarti perayaan yang menjelaskan makna suatu misteri dengan
menggunakan unsur-unsur liturgi, tetapi dengan tujuan yang lebih bersifat katekese
dari pada ibadat.[10]
Tidak jauh berbeda dengan itu, Sakramentali memiliki arti yang mirip dengan
paraliturgi. Sakramentali berarti tanda-tanda suci yang memiliki kemiripan dengan
sakramen. Sakramentali juga menandakan karunia-karunia, khususnya yang bersifat
rohani, yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja (SC 60). Sakramen berbeda
dengan sakramentali. Sakramen menyangkut Gereja secara keseluruhan, sedangkan
sakramentali selalu bersifat khusus, merupakan perwujudan doa gereja bagi orang
tertentu. Contoh sialah upacara pengusiran setan, pemberkatan patung, air baptis,
dll.[11]
Pertanyaan selanjutnya ialah apa hubungan paraliturgi dengan sakramentali? Kedua
hal ini saling berkaitan, bahwa paraliturgi dan sakramentali sama-sama merupakan
perayaan bersifat khusus, dan situasional yang tidak memiliki arti dalam dirinya sendiri
lepas dari perwujudan sikap doa Gereja.

8. Penutup
Demikian pembahasan cukup sederhana mengenai beberapa pokok pelajaran.
Beberapa hal yang dijelaskan di sini hanya merpakan bagian kecil dari pembicaraan
besar dan luas mengenai liturgi. Akan tetapi, tentu saja bukan pada tempatnya
membahas seluruh dokumen Gereja yang berkaitan dengan liturgi di sini. Karena itu,
sebagai pemahama atau pembekalan dasar, apa yang Anda dalami melalui paper ini
cukup memadai.

[1] Jacobus Tarigan, Memahami Liturgi, (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011), 3


[2]The Story of Christianity p. 13
[3] Chadwick, Henry, The Early Church
“The early Christians, Shared with the Jews the conviction that ‘religion’ included the
interpretation of the whole of life … like the Jews, the early Christian kept certain days
for fasting.”

[4] Eddy Kristianto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
49-56.
[5] Theodor Klauser, Sejarah Singkat Liturgi Barat, (Yogyakarta; Kanisius, 1991), 15
[6] Tarigan, Memahami Liturgi, 2
[7] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 396
[8] Lani, dkk., Ed, Youcat, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 186
[9] http://jmaximilliena.blogspot.com/2017/08/warna-warna-liturgi-gereja-katolik.html
[10] Ernest Mariyanto, Kamus Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 151
[11] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, 444

Anda mungkin juga menyukai