Anda di halaman 1dari 8

LITURGIKA 2

Oleh : Pdt. Darius Saleppang, M.Th.

Dalam materi mata kuliah Liturgika satu (1) telah kita peroleh ilmu dan teori dan hanya
sedikit tentang praktek liturgy itu. Namun dalam materi Liturgika dua ini separuh
materinya adalah teori dan selebihnya mengarah pada praktek liturgy. Diharapakan dalam
liturgika dua ini setiap mahasiswa memiliki kemampuan berimajinasi untuk merancang
dan melakonkan liturgy itu. Selanjutnya materi kuliah ini akan berlangsung dalam ceramah
dan diskusi.

Ketika anda menghadiri suatu ibadah, ataupun berkunjung kesuatu tempat ibadah/ gedung
gereja, Pernahkah terlintas dalam pikiran anda, bahwa mengapa bentuk gereja seperti ini?
Mengapa bentuk gereja tidak seragam atau tidak sama? Apa dasar alkitabiah sehingga
bentuknya sedemikian?
I. Liturgi Art
A. Arsitektur
Model sperti apa penataan ruang gereja yang anda inginkan?
Sebaiknya semua bentuk memiliki arti secara iman. tempat imbar: baik
mimbar utama maupun mimbar mini, altar, meja PS, tempat babtisan
kudus, tempat pembasuhan kaki, Tempat umat, tempat majelis gereja,
tempat mezbah, tempat Paduan suara, tempat, tempat menorah
didirikan, tempat dan bentuk konsistori, tempat rekreasi umat, tempaat
konseling.
Beberapa pertimbangan menururut James White: “ Kegunaannya
( Utility), kesederhaannya (Simplicity), Flekssibilitas (flexibility),
Kedekatan (intimacy) dan keindahan ( Beauty). Tampaknya menjadi
criteria untuk menilai memadainya arsitektur liturgis melayani gereja
masa kini”.
B. sound,
Sound system: alat penunjang/ pendukung. Yang menjadi pertimbangan
pada bagian ini ialah sisi pemberitaan/ pewartaan Firman Tuhan.
penjangkauan kepada orang lain. Sebab itu harus ditata dengan baik,
diatur sedemikian rupa supaya tujuannya tercapai. Jika pengaturan
Sound di luar dari pandangan di atas maka sangat mungkin terjadi
keduniawian dan kehampaan.
C. Musik
Musik gereja telah sebagian kita bahas dalam semester yang lalu. Tetapi
hal ini berkaitan dengan musger. Namun sangat penting di sini deberi
hati bahwa sangatlah tepat jika setiap orang memarankan liturgy itu
memiliki kemampuan membahasakan teks nyanyian dalam konteks
jemaat yang berbeda-beda.
D. audio visual (multimedia).
Penampakan gambar di layar perlu diperhatikan, biasanya lebih serius
kita mendengar jika yang berbicara itu dilihat secara langsung,
ketimbang hanya mendengar suara semata melalui eletronik. Karena itu
perlu menempatkan layar di tempat tertentu secara tepat dan benar.
Menolong umat secara maksimal untuk menghayati berlangsungya prosesi
liturgis dalam suatu ibadah. Hal ini dikondisikan.

E. Tari
II. Liturgi kontekstual
Sangat diharapkan bahwa untuk setiap liturgy yang dilakonkan baik pada
suasana Duka ataupun pada suasana Sukacita relevan dengan kehidupan
umat masa kini. Oleh karena ada dua hal perlu jelas dalam membicarakan
liturgy kontekstual yakni Liturgi itu sendiri dan Konteks jemaat atau umat
Allah. Dalam hal pemahaman mengenai Liturgi sedapat mungkin kita
diingatkan kembali pada peristilahan liturgy dan defininya…
Kemudian kita menghayati situasi atau konteks jemaat yang berbeda-beda
dan di bergai tempat. Dalam situasi sedemikian seorang pelayan atau
pemeran liturgy sangat perlu melakukan kajian penelitian yang mendalam
tentang arti dan makna dari setiap aktivitas umat atau masyarakat baik
dalam suka ataupun dalam duka. Baik di dalam tana torja ataupun di luar
tana toraja. di sini dibutuhkan keahlian dan ketekunan seorang teolog,
pelayan atau pemeran liturgy untuk melakukan inventarisasi setiap item
ritual yang sedang dinikmatinya. Tujuan dari inventarisasi tersebut ialah
untuk memudahkan merancang liturgy yang relevan dengan kehidupan
jemaat atau orang banyak. Jadi liturgy kontekstual sesungguhnya ialah
litrurgi yang dilakonkan dan relevan dengan kehidupan umat Allah.
Demikian juga dalam memerankan khotbah yang transformative dan
relevan dengan dunia masa kini seorang pendeta dan seorang pelayan
sangat perlu melakukan hal yang sama. Terlebih dahulu melakukan
inventarisasi dan menanyakan makna setiap item dalam aktivitas umat
Allah.
III. Kalender liturgy
1. Simbol Waktu dan Kalender Liturgi atau Tahun Gerejawi
Kalender yang umumnya dipakai di seluruh dunia adalah Kalender Gregorian (disahkan pada 24
Februari 1582 oleh Paus Gregorius XIII) yang meluruskan Kalender Julian yang kelebihan waktu
menurut perputaran (revolusi) bumi. Tetapi beberapa agama memiliki kalender sendiri. Agama
Yahudi menggunakan Kalender Ibrani dan agama Islam menggunakan Tahun Hijriah. Umat
Kristen, dalam kesehariannya menggunakan Kalender Gregorian, tetapi secara liturgis
menggunakan Kalender Gerejawi yang dimulai dari Minggu Adven 1 dan berakhir pada hari
Kristus Raja yaitu hari Minggu sebelum adven 1 berikutnya. Melalui Kalender Gerejawi, umat
Kristen mengungkapkan perjalanan perayaan liturgi dalam peredaran waktu selama setahun.
Tahun liturgi menghadirkan kembali seluruh karya penyelamatan Allah dengan mengulangi
seluruh karya penyelamatan Kristus dalam satu lingkaran tahun gerejawi yang diawali dengan
penantian kedatangan Mesias yang dirayakan dalam minggu-minggu Adven. Peristiwa itu
diulangi dan dialami sepanjang tahun gerejawi yang berjalan, yang dirangkai sedemikian rupa
dalam waktu-waktu khusus.
Dalam sejarah liturgi sejak Gereja Mula-Mula sampai awal Abad Pertengahan, berkembang dua
siklus kalender gerejawi, yaitu Siklus Temporale yang lahir abad ke-4 dan Siklus Sanctorale
muncul abad ke-6. Bedanya ialah dalam siklus Sanctorale ada ditambahkan Hari-Hari Raya para
kudus, yang menjadi Kalender Gerejawi Gereja Katolik Roma. Luther dan para reformator
lainnya, menolak Kalender Siklus Sanctorale, dan pada dasarnya tidak mempersoalkan Kalender
Siklus Temporale. Kalender siklus temporale abad ke-4 itulah yang sekarang kembali diikuti
seutuhnya seiring dengan kesepakatan lectionary Protestan dan Katolik sejak 1970-an, setelah
sekian lama ternyata tidak sepenuhnya dirayakan oleh gereja Protestan
Pentingnya waktu dalam kekristenan, direfleksikan dalam ibadah Kristen atau Liturgi. Ibadah ini,
seperti bagian-bagian kehidupan kita yang lain, distrukturkan dengan mengulang ritme hari,
minggu, tahun. Lalu ada siklus waktu kehidupan yang direfleksikan dalam ibadah (liturgi). Jadi
ibadah Kristen atau liturgi menggunakan waktu sebagai salah satu strukturnya yang esensial.
Makanya tahun gerejawi disebut pula kalender liturgi (liturgical calender). Di dalamnya kita
mengingat dan menghadirkan kembali tindakan-tindakan Allah pada masa lampau dan masa
yang akan datang. Jadi liturgi adalah sarana kita berjumpa dengan Allah dalam tiga
dimensi waktu: masa lalu, masa depan dan masa kini. Dengan menggunakan waktu, kita
dimungkinkan memeringati dan mengalami kembali tindakan-tindakan Allah yang menjadi dasar
keselamatan kita.
Berikut ini adalah rangkaian hari raya gerejawi dalam Kalender liturgi Gereja Toraja :
a. Adven
Adven dari bahasa Latin “adventus” yang artinya “kedatangan” (dalam bahasa Yunani, “Parousia”), kemudian
berkembang menjadi masa persiapan menyambut kelahiran Yesus (Natal) dan pengharapan menyongsong
kedatangan Yesus kembali. Karena itu, sejak reformasi (abad ke-16) perayaan Adven tetap dirayakan oleh gereja-
gereja Protestan dengan anggapan bahwa Adven adalah perayaan awal Natal. Karena itu gereja Protestan banyak
yang sudah merayakan Natal sebelum 24 Desember. Bagi Gereja Katolik, Adven adalah persiapan menyambut
Natal.
Berbeda dengan Gereja Katolik Roma yang menolak perayaan Natal sebelum tanggal 25 Desember, Gereja Toraja
meneruskan tradisi reformasi yang sudah dapat merayakan awal natal pada masa Adven sebagai masa awal, tanpa
mengabaikan perlunya memberi penekanan pada bobot penghayatan adventus. Tetapi tampaknya perayaan yang
dilakukan tidak berbeda dengan perayaan pada masa-masa natal, sehingga pemaknaan Adven sebagai masa
penantian kelahiran Kristus dan penantian parousia Yesus agak meredup. Karena itu perayaan Natal pada masa-
masa adven, diharapkan untuk tetap memperhatikan pendirian reformasi yang melihatnya sebagai perayaan awal
natal, sehingga dalam perayaan natal pada masa adven, kita tetap memberi penekanan pada bobot penghayatan
Adventus.
Salah satu simbol masa adven yang terkenal adalah Lingkaran Adven, yaitu lingkaran daun cemara yang hijau,
dengan taburan warna merah buah berry dan empat lilin (tiga ungu dan satu merah muda) dengan pemaknaan
sebagai berikut :
- Lingkaran adalah simbol hakekat Tuhan yang abadi, tanpa awal dan akhir. Sekaligus
simbolisasi mahkota duri.
- Lilin adalah simbol cahaya Kristus, terang dunia.
- Daun cemara hijau dan hidup merupakan simbol Yesus yang mati namun hidup
kembali untuk selamanya. Daun Kambunni’ yang banyak di Toraja termasuk
evergreen, dapat dipakai mengganti daun cemara).
- Warna merah buah berry adalah simbol butir-butir darah Yesus yang dicurahkan. Jadi
walaupun adven adalah masa penantian kelahiran serta parousia Yesus, namun
semuanya harus dilihat dalam bingkai penyelamatan dalam Yesus Kristus.
- Lilin warna ungu adalah simbol pertobatan.
- Lilin merah muda adalah simbol sukacita di tengah pertobatan
Lingkaran Adven tersebut dapat dibuat di rumah maupun di gedung gereja. Lilin-lilin Adven itu dinyalakan setiap
minggu Adven. Adven I sebagai awal tahun Gerejawi, satu lilin ungu, Adven II dua lilin ungu, Adven III dua ungu
dan satu merah muda (symbol sukacita di tengah pertobatan), Adven IV keempatnya dinyalakan dan pada Malam
Natal (24 Desember Malam) keempat lilin tersebut diganti dengan lilin-lilin putih pertanda Adven telah selesai.
Teknis penyalaan lilin dipercayakan pada Majelis Gereja.
b. Natal
Kata Natal berasal dari bahasa Latin Dies Natalis (artinya Hari Lahir) yang disadur ke bahasa Indonesia melalui
bahasa Portugis: Natal yang artinya kelahiran. Dasar bagi kita untuk merayakan natal adalah peristiwa pada malam
kelahiran Yesus Kristus, ketika para Malaikat di sorga mengumandangkan pujian: Solideo Gloria; dan para gembala
memuliakan Allah dalam perjumpaannya dengan Kristus; serta kedatangan para majus. Namun perayaan itu tidak
dilanjutkan jemaat mula-mula karena hidup kerohanian mereka terarah pada kebangkitan Yesus. Perayaan Natal
barulah dilaksanakan kembali pada abad ketiga (221) oleh Sextus Julius Africanus dengan penetapan tanggal 25
Desember, dan diterima secara luas pada abad ke-5 sebagai sebuah penegasan mengenai Kristus sebagai juruselamat
dunia, menghadapi maraknya penyembahan kepada dewa Matahari pada masa itu.
Salah satu simbol yang paling terkenal dari natal adalah Pohon Natal, yang terbuat dari pohon cemara, yang
merupakan tradisi Jerman sejak abad ke-16. Awalnya pohon natal hanyalah sebuah dekorasi. Tetapi dalam
perkembangannya, juga sudah memiliki makna simbolik. Cemara digunakan karena cemara adalah pohon yang hijau
daunnya tak pernah pudar (evergreen), lambang keabadian karena tidak pernah meranggas/gugur pada musim gugur
dan musim dingin.
Ada berbagai legenda mengenai asal-usul pohon natal. Namun yang paling terkenal berasal dari bangsa Romawi
yang menghiasi pohon cemara dalam merayakan kelahiran dewa Mitras (dewa matahari–25 Desember-Dies Natalis
Solis Invicti). Namun setelah Kaisar Konstantinus membuat ketetapan bahwa dewa matahari sebenarnya menunjuk
kepada Yesus Kristus, pohon natal dengan pernak-pernik hiasan dan kelap-kelip lampu/lilin telah menjadi simbol
perayaan Kelahiran Yesus Kristus. Pohon Natal dalam ibadah Natal terutama di gereja, sedapat mungkin
menggunakan pohon hidup, yang diambil dari pohon cemara atau sejenisnya, apalagi yang ditanam secara sengaja
untuk dipelihara sepanjang tahun menjadi simbol pohon Natal. Pohon hidup memiliki makna simbolis yang lebih
kuat karena hidup dengan daun yang evergreen. Selain pohon natal, simbol kedua yang sangat terkenal pada masa
natal adalah Lilin Natal sebagai simbol lahirnya Yesus terang dunia.
c. Epifani
Epifani berasal dari bahasa Yunani yang artinya “manifestasi” atau “penampakan jelas”. Epifani dirayakan untuk
memeringati hari penampakan Tuhan yang dalam tradisi dirayakan pada tanggal 6 Januari, atau minggu yang
terdekat dengan tanggl 6 Januari. Baik Gereja Timur maupun Barat pemahaman mengenai Epifani pada umumnya
sama, tetapi kemudian mereka berbeda penghayatan. Dalam ritus Barat, Epifani adalah dalam rangka memperingati
kedatangan orang Majus dari Timur (Tiga Raja), yang menunjukkan manifestasi bayi Yesus terhadap orang Yahudi
atau di luar bangsa Yahudi (berarti seluruh dunia), sebagai Anak Allah. Sedangkan ritus Timur, Epifani adalah untuk
memperingati pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan, untuk menunjukkan manifestasi Yesus
dalam memulai pelayanan-Nya sebagai Anak Allah (Teofani) dengan mengubah air menjadi anggur. Tanggal 6
Januari juga sebagai puncak perayaan Natal bagi Gereja Timur. Tetapi entah tradisi Timur atau Barat yang
memulainya, yang jelas 6 Januari sudah masuk dalam kalender gerejawi sebagai Hari Epifani dalam rangka
mengakhiri masa Natal (25 Desember sampai 5 Januari). Oleh karena itu Majelis Gereja dapat menentukan 6 Januari
untuk melaksanakan Baptisan Kudus sebagai hari ber-anamnesis dan ber-mimesis dengan Baptisan Yesus.
Jika karena keadaan tertentu sehingga Epifania tidak bisa dilaksanakan tepat pada tanggal 6 Januari, pelaksanaannya
dapat dipindahkan ke hari Minggu setelah tanggal 6 Januari.
d. Minggu Transfigurasi
Minggu Transfigurasi adalah titik peralihan dua Siklus dalam kalender liturgi yaitu Siklus Natal (yang dimulai dari
Minggu Adven hingga Epifani) dan Siklus Paskah (yang dimulai Rabu Abu hingga minggu Kristus Raja sebagai
akhir tahun gerejawi. Perayaan Transfigurasi Yesus bertujuan untuk menghayati peristiwa di mana Yesus
dimuliakan di gunung (Mat. 17:1-13; Mrk. 9:2-13; Luk. 9:28-36). Pada kejadian itu, wajah Yesus berubah menjadi
bercahaya seperti matahari, dan pakaianNya bersinar. Dalam perubahan itu, Yesus tampak berbicara dengan Musa
dan Elia. Mereka berbicara tentang tujuan kepergian Yesus yang akan digenapiNya di Yerusalem. Perubahan wajah
Yesus itulah yang ditunjuk oleh istilah Transfigurasi yang secara harfiah berarti “perubahan rupa”.
Peristiwa Yesus dipermuliakan di atas gunung merupakan permulaan babak baru karya pelayanan Yesus. Hal itu
pulalah yang dikenang dalam minggu transfigurasi, untuk masuk dalam tahapan Kalender Liturgi yang baru yaitu
Siklus Paskah. Secara Alkitabiah, peralihan siklus itu bisa dilihat dalam penempatan kisah pemuliaan Yesus di atas
gunung dengan alur cerita yang sama dalam Injil Matius, Markus dan Lukas. Biasanya alur cerita ketiga injil
sinoptik ini berbeda. Tetapi beberapa perikop sebelum pemuliaan Yesus diatas gunung, ditampilkan dengan alur
yang persis sama yaitu: pengakuan Petrus dan pemberitahuan pertama tentang penderitaan Yesus dan kemuliaanNya
pada zaman akhir sebagai hakim.
Rentetan kisah yang dimulai dari pengakuan kepada Yesus sebagai Mesias Anak Allah yang hidup; berita tentang
penderitaan Yesus; dan kemuliaanNya kelak yang tampil untuk menghakimi bangsa-bangsa, itulah inti
Transfigurasi.
e. Rabu Abu
Rabu Abu adalah hari pertama masa Pra-Paskah 40 hari yang dilaksanakan pada hari rabu setelah Minggu
Transfigurasi. Dalam perayaan Gereja Mula-Mula disebut Hari Abu. Pada abad ke-13 simbol hari Rabu Abu untuk
memasuki masa Pra-Paskah ialah dengan memberi abu pada dahi warga jemaat yang menggambarkan kesedihan,
penyesalan dan pertobatan (seperti dalam Ester 4:1,3; dan bahkan digambarkan dengan memakan abu seperti dalam
Mazmur 102:10). Abu pada Rabu Abu adalah simbol untuk mengungkapkan rasa tobat dan penyesalan, pengakuan
akan kerapuhan dan kelemahan (Yunus 3:6), juga melambangkan harapan akan kebangkitan, dimana segala sesuatu
akan lenyap dan hangus oleh nyala api dan digantikan oleh bumi dan langit baru (band. 2 Petrus 3:10-13). Abu juga
menjadi simbol bagi kepedihan hati yang mendalam (Ayub 2:8). Abu dipakai untuk keperluan pembersihan atas
dosa (Bil. 19:9. 17-18; Ibrani 9:13). Pada saat itu warga jemaat masuk ke suasana penuh penyesalan untuk
mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruk dengan memusatkan diri/perhatian pada pengorbanan Yesus.
Simbol Rabu abu adalah penggunaan stola berwarna ungu, dan busana yang didominasi abu-abu dan hitam.
Dalam liturgi, simbolisasi rabu abu dapat dilakukan dengan pembubuhan debu tanah pada dahi (Toraja: ditoding,
ditodi’) dengan perkataan “engkau adalah debu dan akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19). Simbol ma’toding ini
dapat dilaksanakan di awal ibadah atau sebagai bagian dari refleksi pemberitaan firman.
Dalam Rabu Abu, warga jemaat masuk ke suasana penuh penyesalan untuk mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruk
dengan memusatkan diri dan perhatian pada pengorbanan Yesus. Menurut tradisi, abu yang dipakai sebagai simbol
adalah abu dari daun-daun palem perayaan Minggu Palma tahun lalu. Tetapi untuk ibadah Rabu Abu di Gereja
Toraja (bila diadakan simbol abu, karena tidak mutlak harus ada), yang digunakan debu tanah (Kej 3:19). Dalam
liturgi Rabu Abu, akta censura morum (pemeriksaan moral) perlu ditekankan (Yesaya 59).
Bagi Gereja Toraja, Rabu Abu adalah pembukaan dari masa 40 hari untuk merenungi kelemahan-kelemahan di
hadapan Tuhan, memperbaiki diri oleh kuasa Roh Kudus. Dari konteks budaya Toraja, Rabu Abu adalah waktu
untuk massuru’-suru’, memeriksa diri dan memohon ampunan dari Tuhan.
f. Prapaskah (Lent)
Masa Prapaskah yang selama ini disebut Minggu-minggu Sengsara, sudah dirayakan sejak abad ke-4 (dalam
kalender siklus temporal) dengan penekanan pada perhitungan 40 hari sebelum Paskah. Paskah dihitung sejak Jumat
Agung bahkan malam Jumat/Kamis malam mulai jam 6 sore, yang kemudian disebut Kamis Putih. 40 hari
sebelumnya adalah masa Prapaskah (Lent), yaitu masa pertobatan, perkabungan, pemeriksaan batin/introspeksi diri,
pendekatan diri pada Tuhan dan berpantang/puasa serta sengsara/passion. Penghitungan masa prapaskah dihitung
mundur 40 hari dari Hari Paskah, tanpa menghitung hari minggu. Hari Minggu tidak dihitung, karena hari Minggu
mengacu pada kebangkitan Kristus, sehingga hari-hari Minggu selama masa prapaskah dilihat sebagai semacam
oasis dalam padang gurun, di mana ada penyegaran untuk dapat melanjutkan perjalanan 40 hari menuju Paskah.
Dari perhitungan mundur inilah penetapan Rabu Abu diambil.
Sebenarnya, tradisi gereja memiliki sejumlah cara perhitungan masa prapaskah, mulai dari 70,60,50 hingga 40 hari.
Perhitungn 40 hari, (Quardagesima) berasal dari abad VI (ada juga sejarahyang mencatat bahwa sebenarnya sudah
mulai dari abad IV). Pemilihan Gereja Toraja terhadap perhitungan 40 hari dimulai hari Rabu Abu, dilatar belakangi
oleh pembaruan liturgi gerakan ekumene sejak tahun 70-an untuk kembali ke norma Gereja mula-mula (sebelum ada
perpecahan Protestan dan Katolik) dan mengikuti tahun gereja berdasarkan Leksionari Ekumene (RCL). Perubahan
ini juga sekaligus menggantikan istilah “minggu sengsara” yang selama ini dibunakan, dengan perhitungan
Quinquagesima (50 hari) yang disebut Esto mihi, yaitu titik peralihan perjalanan Yesus di Galilea ke perjalanan-Nya
ke Yerusalem, sehingga seluruh 7 minggu (50 hari) Prapaskah itu, dipahami sebagai melulu masa sengsara menuju
Paskah.
Perubahan istilah ini terkait dengan masa 40 hari yang tidak lagi sepenuhnya dilihat sebagai masa sengsara (melulu
dukacita dan pergumulan berat), sebab sebenarnya sengsara Yesus hanya berkisar seminggu sebelum Paskah yaitu
ketika Yesus akan menuju Yerusalem.
Secara Simbolik, angka 40 untuk Prapaskah dihubungkan dengan masa pengujian dan persiapan dalam beberapa
bagian Alkitab, seperti: Musa 40 hari 40 malam di gunung Sinai (Kel 24:18), Elia 40 hari 40 malam dalam
perjalanan ke gunung Horeb (1 Raja-raja 19:8). 40 hari penduduk Ninewe puasa menyesali dosanya, Yesus setelah
baptisan, puasa selama 40 hari untuk memulai pelayanan-Nya. Selain itu, Dalam tradisi Israel yang melatarbelakangi
Paskah Kristiani, ada Paskah Yahudi yang didahului oleh 40 hari masa persiapan yang dimulai dengan hari
penebusan (Yom Kippur), melambangkan 40 tahun perjalanan Israel di padang gurun.
Dalam tradisi, masa 40 ini sering diisi dengan ibadah-ibadah puasa, tetapi tidak dengan penekanan pada
perkabungan atas keberdosaan diri sendiri, pertobatan, pemeriksaan batin dan introspeksi diri (Censura Morum),
pendekatan diri pada Tuhan melalui berpantang atau puasa, yang dilakukan oleh umat sambil memusatkan perhatian
pada pengorbanan Yesus. Salah satu upaya pemaknaan masa prapaskah selama 40 hari dalam rangka censura
morum, adalah pengekangan diri dari berbagai kesenangan dan kebiasaan pribadi.
Untuk penghayatan Prapaskah, Majelis Gereja dapat memilih salah satu dari dua simbol yaitu:
(1) Pengalungan 6 helai kain ungu, satu-per satu setiap minggu (atau bisa juga pote berbalut hitam) pada salib yang
diletakkan sisi altar. Kain ungu pada salib, menggambarkan karya Kristus yg menyatukan dua hal yang bertolak
belakang, yaitu keagungan (makna kain ungu dalam Alkitab), dengan kehinaan dan kutuk salib.
(2) Pemadaman 6 lilin, satu persatu setiap minggu. Pada Minggu Prapaskah 1, enam lilin dinyalakan 15 menit
sebelum ibadah. Saat prosesi, PF memadamkan satu lilin sebelum menerima Alkitab.Pada minggu Prapaskah 2,
enam lilin tetap terpasang, tetapi hanya 5 yang dinyalakan. Salah satu diantaranya, dipadamkan PF sebelum
menerima Alkitab. Demikian seterusnya, hingga keenam lilin dipadamkan pada minggu Palmarum atau prapaskah
keenam.
Pemadaman 6 lilin mengandung pemaknaan anamnesis dan mimesis. Sebagai anamnesis (mengingat/mengenang),
kita menghayati perjalanan Kristus yg harus masuk dalam kelamnya alam maut krn dosa-dosa manusia.
Sebagai mimesis, kita menjalani suatu proses menyalibkan dan mematikan kehidupan lama dan segala sesuatu yg
kita anggap terang, untuk bangkit sebagai baru.

g. Minggu Palma
Minggu Palma/Palem adalah saat terakhir Yesus masuk Yerusalem. Daun palma (Yohanes 12:13) adalah daun yang
ditebar di jalanan di mana Yesus lewat dengan menunggang keledai (Keledai muda, Yohanes 12:14) sebagai simbol
kedatangan Yesus untuk membawa damai. Seandainya Ia menunggang kuda, maka itu pertanda/simbol akan terjadi
perang, sebagaimana yang lasim pada waktu itu bahwa kalau raja menunggang kuda masuk kota, berarti akan ada
perang. Daun palem merupakan simbol perdamaian, kehidupan, kemenangan dan pengharapan pada pertolongan
Tuhan. Itulah yang dinyatakan untuk menyambut Yesus sebagai Raja yang membawa damai, dan dihamparkan pada
jalan agar perjalanan Pembawa damai itu, mulus. Jadi pada Minggu Palma ketika seseorang memegang daun palma
maka ia sesungguhnya sedang berperan sebagai umat yang menyambut Yesus sebagai Raja dan Pembawa damai
sama seperti rakyat Yerusalem menyambut Yesus saat terakhir masuk ke Yerusalem (dengan menunggang keledai).
Menggunakan daun palem, prosesi, teriakan atau nyanyian hosana dan simbol kesengsaraan, simbol warna merah.
Minggu Palmarum yang juga adalah Minggu Sengsara (Passion) menjadi pembukaan Pekan Suci yang meliputi: a)
Minggu Palma/Passion, b) Tridium (Triduum = tri hari) persiapan Paskah yaitu Senin, Selasa dan Rabu, c) Kamis
Putih, d) Jumat Agung, e) Sabtu Sunyi/Suci, dan f) Minggu Paskah/Hari Kebangkitan. Untuk d,e,f disebut juga
Triduum Paskah (tri hari Paskah).
Untuk konteks Gereja Toraja, minggu palma dapat dirayakan dengan dominasi ornament tabang dalam gedung
gereja, sebagai symbol penyambutan Kristus. Bisa juga tetap dengan daun palm kalau ada.
h. Kamis Putih
Kamis Putih atau Kamis Suci adalah hari Kamis sebelum Jumat Agung. Dalam tradisi Yahudi, Kamis Putih
bertepatan dengan awal masa Paskah Yahudi yang diteruskan dari Perjanjian Lama, untuk memeringati kelepasan
orang Israel dari Mesir. Kelepasan itu terjadi setelah Tuhan menjatuhkan tulah kesepuluh kepada orang Mesir yaitu
kematian semua anak sulung. Jadi, peristiwa Kamis Putih bersamaan dengan perayaan Paskah dari Perjanjian Lama.
Sebagai orang-orang Yahudi, Yesus dan murid-murid memeringati Paskah Yahudi dengan mengadakan jamuan
malam dengan roti tidak beragi, dan penyembelihan anak domba paskah di Bait Suci. Perayaan paskah itu dimulai
sejak matahari terbenam, karena dalam sistem kalender Yahudi, satu hari atau tanggal tidak dihitung dari jam 12
malam, tetapi dari terbenamnya matahari, sampai keesokan harinya ketika matahari terbenam lagi. Jadi hitungannya
kira-kira dari jam 6 sore ke jam 6 sore hari berikutnya. Itu berarti bisa dikatakan bahwa peristiwa dalam Kamis
Putih, berada pada hari yang sama dengan peristiwa Jumat Agung.
Dalam Kamis Putih, kita memeringati beberapa hal. Pertama, peristiwa Yesus makan Paskah dengan murid-
muridnya adalah saat pertama kalinya Perjamuan Kudus diperintahkan. Kedua, adalah pembasuhan kaki yang
dilakukan Yesus kepada murid-murid-Nya sebagai simbol perendahan diri Yesus. Dalam tradisi Yahudi,
pembasuhan kaki hanya dilakukan oleh seorang hamba kepada tuan yang dihormatinya. Ketiga, kita memeringati
saat dimana Petrus menyangkal Yesus, Yudas menghianati Yesus, murid-murid yang lari meninggalkan Yesus, dan
yang paling penting adalah peristiwa penangkapan Yesus. Persis pada hari penyembelihan anak domba Paskah,
Yesus, Anak Domba Allah ditangkap dan dipersiapkan untuk dikorbankan. Itulah kekayaan makna yang sangat
besar dalam Kamis Putih. Sesuai dengan namanya, warna yang digunakan adalah putih sebagai symbol kemurnian,
kesucian, terang yang tak terpadamkan dan kebenaran mutlak.
i. Jumat Agung
Jumat Agung adalah untuk memperingati kesengsaraan dan kematian Yesus di kayu salib di Golgota. Hari yang
muram untuk berefleksi diri atas segala dosa yang telah dilakukan dan kesediaan untuk bertobat. Pada umumnya,
Sakramen Perjamuan Kudus dilaksanakan pada Jumat Agung, selain kebiasaan di beberapa jemaat yang
melaksanakannya pada hari Kamis Putih dan Paskah (Calvin). Sedapat mungkin, Hari Jumat Agung hanya diisi
dengan satu akta khusus.
Biasanya jemaat kikuk dengan sapaan yang dipakai pada hari Jumat Agung. Selamat hari jumat ? Rasanya tidak
relevan. Selamat Paskah ? Bukankah Paskah hanya merujuk pada hari minggu ? Pertanyaan kita bisa melihat dalam
pemaknaan Paskah dalam Alkitab secara keseluruhan, bahwa karya penyelamatan yang berpusat dalam Yesus
Kristus, berpusat dalam Paskah yang bukan hanya menunjuk pada detik-detik kebangkitan Kristus, tetapi ketika Dia,
sebagai Anak Domba Allah mulai dikorbankan. Artinya, kesengsaraan, kematian dan kebangkitan Kristus berada
dalam bingkai Paskah secara utuh, meskipun peristiwa Kebangkitan merupakan Puncak dari sukacita Paskah. Jadi,
ucapan : “Selamat Paskah” juga relevan digunakan pada hari Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan tentunya
Paskah.
j. Sabtu Sunyi
Sabtu Sunyi atau Sabtu Suci atau Sabtu Sepi (bhs Latin: Sabbatum Sanctum) adalah hari setelah Jumat Agung dan
sebelum Minggu Paskah. Hari dalam rangka mengenang (anamnesis) tubuh Yesus yang dibaringkan dalam kubur.
Warna liturgis adalah ungu dan hitam yang menyimbolkan ketiadaan, kegelapan, pengorbanan, malam, kematian,
dan dunia orang mati.
Setelah Yesus dikuburkan, para murid berada dalam suasana duka yang teramat dalam, seperti kehilangan
pengharapan. Tidak ada bukti tekstual tentang keadaan tanpa harapan itu. Tetapi respons mereka yang ragu-ragu
dengan berita kebangkitan Yesus keesokan harinya, membuktikan rasa kehilangan harapan itu. Sikap itu tentu
merupakan ironi, sebab Yesus sudah berulangkali menjelaskan apa yang akan terjadi mengenai kebangkitan.
Tentu situasi kita tidak seperti para murid, karena kesaksian Alkitab telah membentangkan semua kenyataan yang
terjadi saat itu bahwa Yesus bangkit. Namun keadaan para murid pada saat itu dapat menjadi salah satu dimensi
perenungan kita dalam Sabtu Sunyi, dimana kita ditempatkan pada suatu transisi, yaitu antara kematian Yesus dan
peristiwa kebangkitan-Nya. Di dalamnya ada dua aspek yang saling menyatu, yaitu kedukaan dan harapan. Dalam
perayaan Sabtu Sunyi, dimensi kedukaan dan harapan dilabuhkan dalam sikap iman. Seraya merenungkan makna
kefanaan manusia di depan jenasah Yesus yang berada di dalam makam, umat menghayati makna Sabtu Sunyi
dengan keheningan di hadapan Allah.
Perayaan Sabtu Sunyi juga sering disebut “Sabat Kedua” yang membangkitkan ingatan umat akan karya Allah yang
menciptakan langit, bumi dan seisinya selama enam hari dan pada hari ketujuh Allah berhenti menguduskan.
Demikian pula pada Sabtu Sunyi, karya keselamatan Allah telah terjadi secara sempurna dalam kematian Kristus
sehingga pada hari “Sabat Kedua” jenasah Kristus diam terkubur dalam perut bumi. Melalui kematian Kristus, Allah
menciptakan kehidupan baru yang tampak pada hari Paskah, yaitu kebangkitan Kristus.
Perenungan dalam sabtu sunyi dapat dilakukan, disamping ibadah bersama menjelang sore hari, jemaat disarankan
untuk memberi nuansa kesunyian di rumah masing-masing, yaitu dengan sengaja mengurangi pembicaraan, diskusi
dan keramaian, tidak menyalakan radio, televisi. Kesempatan itu bukan hanya sekedar menciptakan kesunyian,
tetapi memberi ruang perenungan untuk peristiwa besar dalam kehidupan beriman yaitu Kematian dan Kebangkitan
Yesus. Sebaiknya hal ini disampaikan kepada jemaat pada ibadah Jumat Agung.

k. Hari Kebangkitan/Paskah
Paskah (bahasa Ibrani Pesakh), arti harafiahnya adalah lewat atau Tuhan lewat, melampaui (Kej. 3:8; Kel. 12: 13b).
Paskah dalam PL (Kel. 12: 12-13), terjadi pada peristiwa kematian semua anak sulung di tanah Mesir, baik manusia
mau pun binatang. Disitu Allah berjalan melewati, melampaui (pesakh) rumah-rumah dengan pintu bertanda darah.
Tetapi tidak demikian dengan rumah-rumah yang pintunya tidak bertandakan darah, disitu akan terjadi tulah
kematian anak sulung.
Dalam PB Paulus menyebut Yesus adalah “Anak Domba Paskah”. Gereja percaya bahwa sebagai Anak Domba
Paskah, Yesus disalibkan, mati dan dikuburkan, dan pada hari yang ketiga bangkit dari antara orang mati. Paskah
menjadi symbol memperingati peristiwa yang paling sakral dalam hidup Yesus, yaitu kematian dan kebangkitan-
Nya. Masa Paskah yang intinya adalah kebangkitan Yesus, perayaannya sudah dimulai pada perayaan Kamis Putih
jam 6 sore untuk 7 minggu Masa Paskah selanjutnya sampai Keturunan Roh Kudus. Tetapi Siklus Paskah sampai
Minggu Kristus Raja.
Kebangkitan Yesus dari antara orang mati adalah klimaks dari peristiwa Paskah yaitu Sengsara, Kematian, dan
Kebangkitan-Nya. “Haleluya” menggema:
Simbol Paskah
Obor Paskah merupakan simbolisasi yang sangat kuat dalam Perayaan Paskah. Pawai obor
pada waktu subuh merupakan simbol perjalanan murid ke kubur Yesus.
Telur Paskah.
Mengenai Telur Paskah, sungguh menakjubkan bahwa suatu makhluk hidup yang baru, muncul
dari obyek (telur) yang nampaknya mati. Demikianlah dengan kebangkitan Yesus. Di kalangan
Kristen, telur sebagai simbol makam batu dari mana Kristus keluar menyongsong hidup baru
melalui kebangkitan-Nya. Bisa juga dipertimbangkan sekarang sebagai symbol ikut bersama
dengan Yesus dalam penderitaan-Nya.
Lilin paskah
Lilin Paskah dinyalakan pada Hari Kebangkitan, karena: “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu
adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak
menguasainya” (Yoh 14.:1,4-5). Lilin paskah adalah simbol Kristus sendiri sebagai terang atau
cahaya dunia.
l. Hari Kenaikan
Hari Kenaikan selalu hari kamis, yaitu 40 hari setelah kebangkitan Kristus. Hari Kenaikan adalah hari dimana Yesus
Kristus kembali naik tahta kemuliaan-Nya. Oleh karena itu hari minggu berikutnya disebut Minggu Pemuliaan
Kristus di surga (Minggu Paskah VII).
m. Hari Pentakosta/Keturunan Roh Kudus
Pentakosta atau Pantekosta (hari ke lima puluh) adalah hari raya Yahudi untuk merayakan shavout atau festival
panen raya. Oleh gereja, pentakosta menjadi hari keturunan Roh Kudus, yaitu peristiwa dicurahkannya Roh Kudus
pada hari ke 50 setelah kebangkitan Yesus, yang disebut juga hari lahirnya gereja mula-mula.
n. Hari Minggu
Dalam gereja mula-mula, hari minggu adalah satu-satunya perayaan yaitu lanjutan persekutuan para rasul setiap
tujuh hari sekali untuk memeringati kebangkitan Kristus (Paskah). Selanjutnya, dalam peraturan gerejawi dari abad
pertama atau awal abad kedua, orang Kristen diingatkan untuk sungguh-sungguh “akan hari Tuhan di mana Tuhan
akan mengumpulkan kita memecahkan roti dan mengadakan ekaristi”. Pada masa itu, hari minggu telah disebut
sebagai ari Tuhan
Penekanan lain muncul pada pertengahan abad ke-2 dari Yustinus Martir yang mengatakan bahwa “kami semua
mengadakan pertemuan bersama pada hari Minggu karena hari itu adalah hari pertama, saat Allah mengangkat
kegelapan dan menciptakan alam semesta, dan Yesus Kristus Penyelamat kami bangkit dari kematian pada hari yang
sama”.
Selanjutnya, Hari Minggu sebagai hari ibadah orang Kristen dan hari libur, ditetapkan melalui perintah Kaisar pada
tahun 321, dan menjadi hari istirahat. Hal itu membuat hari Minggu semakin terbentuk menjadi struktur waktu
ibadah gereja perdana. Sejak itu hari Minggu menjadi hari yang sangat menonjol bagi orang Kristen. Pada waktu itu
masih ada peringatan Sabat tetapi dijalankan sebagai “peringatan akan penciptaan”. Jika sebelumnya, Gereja mula-
mula yang berlatar belakang Yahudi, masih menghadiri ibadah di bait suci pada hari Sabat, dan keesokan harinya
berkumpul untuk merayakan perjamuan bersama pada hari Minggu. Namun seiring dengan penekanan pada
penghayatan mengenai karya Yesus Kristus sebagai muatan utama dari perayaan hari Minggu, peringatan sabat
semakin bergeser dan meredup. Penghayatan ini pula yang membawa pemaknaan Sabat ke hari minggu sebagai
perhentian, pembebasan, dan kemenangan yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Kebangkitan Kristus adalah
kegenapan Sabat, setelah Allah memulihkan ciptaanNya menjadi ciptaan baru. Jadi dalam perayaan hari minggu,
ada dua unsur sekaligus yang ditekankan yaitu peringatan kebangkitan Yesus (paskah) dan pemaknaan Sabat.
Kata “minggu” adalah serapan dari bahasa Portugis: Dominggo, atau Latin: Dominus yang berarti Tuhan. Adapun
kata dalam bahasa Inggris “Sunday”, diserap dari penyembahan dewa matahari, dan membandingkan Kristus yang
bangkit dari kematian dengan matahari yang bersinar sebagai terang dan dihubungkan dengan penciptaan terang.

Anda mungkin juga menyukai