Tak bisa dipungkiri bahwa musik merupakan bagian integral dari hidup
manusia. Ada begitu banyak orang yang menggeluti musik dengan sungguh-
sungguh dan mencurahkan seluruh hidupnya untuk musik. Di samping itu juga
saat ini banyak musik yang tersedia dengan segala jenis dan bentuk rekaman.
Kenyataan ini memang mengungkapkan bahwa musik sudah menjadi
kebutuhan hidup manusia; yakni kebutuhan untuk hiburan dan kebutuhan
untuk mengungkapkan cira rasa, isi hati, dan ungkapan jiwa dari manusia.
Bahkan musik mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi suasana batin,
pikiran dan perilaku manusia, baik dalam dirinya sendiri maupun dengan
sesama manusia dan alam. Musik juga dapat mengungkapkan dan
mengembangkan relasi manusia dengan Yang Ilahi. Musik dapat menjadi
sarana pengungkapan relasi personal terdalam manusia untuk bersyukur,
memuji, memuliakan dan memohon kepada Tuhan. Kita menyaksikan dengan
kasat mata bahwa musik sangat mewarnai setiap agama dan segala bentuk
kepercayaan yang ada di muka bumi ini. Jadi dapat dikatakan bahwa musik
sangat mempengaruhi hidup manusia sejak permulaan sampai akhir hidupnya,
baik secara pribadi maupun kelompok.
Demikian pula Gereja Katolik melihat musik sebagai sarana yang
memainkan peranan penting dalam liturgi. Konsili Vatikan II menggarisbawahi
bahwa Musik Liturgi merupakan bagian yang penting dan utuh dari liturgi
dengan peranan yang khusus yakni; melayani ibadat kepada Allah, dan dengan
tujuan khusus pula, yakni ; memuliakan Allah, menguduskan kaum beriman,
memperindah dan memeriahkan ibadat, menciptakan suasana sakral dan
khidmat serta mempersatukan umat. Selain itu, musik liturgi membantu kita
untuk merenungkan amanat keselamatan dari Kitab Suci. Dalam hal ini,
Nyanyian Liturgi (antar bacaan) adalah sarana pewartaan Sabda Allah karena
menyampaikan dan mewartakan pesan keselamatan kepada umat manusia.
Melihat hakekat dan peranan musik liturgi tersebut di atas maka tidaklah
berlebihan bila dikatakan bahwa musik liturgi adalah salah satu sarana Pastoral
yang harus mendapat perhatian serius dalam gereja kita, guna membantu
umat dalam membentuk dan mengungkapkan iman dan sikapnya. Hal ini
ditekankan karena sampai saat ini ada kesan bahwa musik liturgi (nyanyian
liturgi) masih belum mendapat perhatian semestinya. Sebagai buktinya yakni
masih ada keluhan bahwa ibadat atau perayaan di gereja tertentu terasa
membosankan, kurang khidmat dan semarak. Perayaan terasa ‘kering’ apalagi
pada hari-hari, atau hari-hari Raya.
Konsili Vatikan II juga menghimbau supaya di paroki, lingkungan dan
wilayah-wilayah jemaat beriman untuk memperhatikan dengan sungguh-
sungguh pengembangan musik liturgi. Pendidikan dan pelaksanaan musik
liturgi di lembaga-lembaga pendidikan (sekolah-sekolah) Katolik, biara-biara,
dan seminari-seminari perlu mendapat perhatian.
Lembaga Sekolah Tinggi Pastoral (STP) dan Pendidikan Guru Sekolah
Dasar (PGSD) Don Bosco Tomohon adalah dua lembaga Katolik yang secara
khusus membina calon-calon tenaga pastoral dan pendidikan umat dan
masyarakat. Maka sangatlah penting di kedua lembaga ini mata kuliah musik
liturgi diajarakan, supaya para mahasiswa memperoleh pengetahuan dan
keterampilan yang cukup untuk karya pastoral di mana saja mereka berada.
Melihat latar belakang pemikiran di atas maka disusunlah traktat/diktat
kuliah Musik Liturgi ini yang lebih dimaksudkan pemakaiannya untuk kalangan
sendiri di lingkungan Kampus Don Bosco ( STP-IPI dan PGSD Don Bosco
Tomohon). Traktat ini bukan dimaksudkan sebagai suatu uraian lengkap yang
mendetail tentang musik liturgi dari segi ilmunya, yang mengkaji secara dalam
tentang musik liturgi, akan tetapi lebih dimaksudkan dengan orientasi
pastoral yakni sebagai suatu panduan atau pedoman umum untuk memahami
dan mengembangkan musik liturgi bagi para tenaga pastoral dan tenaga
pendidik awam demi pengembangan Liturgi Gereja.
Adapun sistematika dari traktat ini adalah sebagai berikut:
1
Bab I : Pandangan Dasar tentang Musik liturgi.
Pada bagian ini akan dibahas tentang pengertian musik,
pembagian musik secara skematis, pengertian liturgi, dan musik
dalam liturgi.
Bab II : Peranan Musik/Nyanyian dalam Liturgi.
Pada bagian ini akan dibahas tentang tempat/kedudukan musik
dalam liturgi, Peranan musik dalam tata urutan liturgi.
Bab III : Cara Pemilihan Nyanyian Liturgi yang Baik.
Pada bagian ini diketengahkan beberapa prinsip dan langkah-
langkah konkret dalam memilih nyanyian liturgi.
Bab IV : Pelayan Musik Liturgi.
Pada bagian ini akan dibahas tentang beberapa catatan pokok
tentang pelayanan musik liturgi dan bagaimana peranan dari para
pelayan musik liturgi.
Bab V : Praktek Musik Liturgi
Pada bagian ini akan diberikan kesempatan untuk mempraktekkan
musik liturgi sebagai latihan demi perkembangan pelayanan dalam
tugas liturgi di Gereja di masa yang akan datang.
Kiranya traktat ini dapat bermanfaat bagi para calon tenaga pastoral dan
tenaga pendidik serta bagi siapa saja yang punya tugas dan panggilan dalam
pengembangan jemaat khususnya melalui Musik Liturgi.
Tentunya traktat ini masih terdapat kelemahan di sana-sini, kiranya dapat
dimaklumi. Usulan dan kritik yang membangun dari siapa saja yang sempat
menyimaknya akan diterima dengan terbuka dari penulis untuk
penyempurnaan di masa mendatang.
2
BAB I
a. Etimologi Liturgi
Kata ‘liturgi’ berasal dari bahasa Yunani leitourgia. Kata leitourgia terbentuk
dari akar kata ergon, yang berarti ‘karya’, dan leitos, yang merupakan kata
sifat untuk kata benda laos yang berarti bangsa. Secara harafiah, leitourgia
berarti ‘kerja’ atau ‘pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa’.
Dalam masyarakat Yunani Kuno, kata leitourgia dimaksudkan untuk menunjuk
kerja bakti atau kerja pelayanan yang tidak dibayar, iuran atau sumbangan dari
warga masyarakat yang kaya, dan pajak untuk masyarakat atau negara.
Dengan begitu menurut asal-usulnya, istilah leitourgia memiliki arti profan-
politis, dan bukan arti kultis sebagaimana biasa kita pahami sekarang ini. Sejak
abad keempat sebelum masehi, pemakaian kata leitourgia diperluas, yakni
untuk menyebut berbagai macam karya pelayanan.
3
Lih. uraian selengkapnya dalam E Martasudjita, Pr, Pengantar Liturgi (Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi),
Kanisius-Yogyakarta, 1999, hal., 18-27.
4
Istilah liturgia masih ditemukan juga dalam tulisan-tulisan PB yang lain,
antara lain dalam Kis 13:2 (Leitourgein yang dimengerti sesuai dengan
pengertian saat ini), Rom 15:16 (Paulus disebut leitourgos =pelayan, maka
liturgi dimengerti sebagai pelayanan dalam bidang pewartaan Injil ), dalam 2
Kor 9:12 dan Rom 15:27 kata ‘liturgi’ berasrti sumbangan yang merupakan
tindakan amal kasih bagi saudara-saudara seiman di tempat lain. Dalam teks-
teks seperti Flp 2:25.30; Rom 13:6; Ibr 1:7, kata ‘liturgi’ memiliki arti
‘melayani’ dalam arti biasa.
Dapat disimpulkan, kata ‘liturgi’ dalam Perjanjian Baru dihubungkan dengan
pelayanan kepada Allah dan sesama. Pelayanan kepada Allah dan sesama itu
tidak dibatasi hanya pada bidang ibadat saja, tetapi juga pada aneka bidang
kehidupan lain. Yang menarik ialah istilah liturgi dalam PB tidak menunjuk
pada pelayanan kultis dari para pemimpin jemaat, karena memang Gereja
perdana hanya memahami bahwa imamat yang sejati hanya ada dalam diri
Yesus Kristus. Imamat umat beriman hanya merupakan partisipasi dalam
imamat Kristus.
4
Lih. E. Martasudjita. Pr, dan J. Kristanto, Pr., Musik dan Nyanyianm Liturgi (Panduan untuk Memahami
dan Memilih Nyanyian Liturgi, Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang, Kanisius-Yogyakarta, 2000, hal. 15-16.
5
Dalam Gereja Katolik musik sangat mendapat perhatian yang besar dalam
liturgi. Namun perlu diketahui mana yang termasuk musik liturgi. Kongregasi
Suci untuk Ibadat pada tahun 1967 memberikan penjelasan dalam Instruksi
mengenai musik Liturgi (Musicam Sacram, 4) bahwa musik liturgi atau
musica sacra mencakup nyanyian gregorian, berbagai jenis musik Gereja baik
yang lama maupun baru, musik Gereja untuk Orgel dan untuk alat musik lain
yang diizinkan, nyanyian Gereja atau nyanyian liturgi umat dan nyanyian
rohani umat. Dengan demikian, pengertian musik di sini cukup luas.
Musik liturgi prinsipnya ialah segala macam musik, baik menyangkut jenis
musik astau nyanyiannya, maupun alat musiknya, yang digunakan dalam
rangka perayaan iman Gereja. Pengertian umum membedakan antara musik
vokal dan musik intrumental, meski dalam kenyataannya keduanya sering
dibawakan bersama-sama. Musik Gereja mencakup keduanya dan biasa juga
dibawakannya bersama-sama. Istilah musik liturgi kita mengerti sebagai
keseluruhan jenis musik liturgi yang digunakan dalam liturgi, sedangkan
nayanyian liturgi menunjuk hasil atau apa yang dinayanyikan dalam rangka
musik Gereja.
Musik liturgi atau musik Gereja atau musica sacra merupakan salah satu
unsur dan bentuk ungkapan liturgi Gereja. Kita mengerti bahwa liturgi Gereja
Katolik mempunyai makna simbolis, artinya liturgi selalu dirayakan dalam
bentuk simbol. Musik merupakan salah satu ungkapan simbolis dari peryaan
iman Gereja. Yang dirayakan ialah misteri penebusan Kristus. Umat beriman
dapat mengalami kehadiran misteri penebusan Kristus itu melalui aneka
simbol, termasuk musik liturgi. Maka musik liturgi dapat sungguh
menghadirkan misteri Yesus Kristus kepada umat dan umat dapat masuk
secara sungguh-sungguh dalam misteri Kristus melalui musik liturgi.
Musik memiliki tempat atau kedudukan yang sangat penting dalam liturgi
Gerejas Katolik. Pentingnya musik liturgi ini dapat kita lihat berdasarkan
Konstitusi Liturgi Vatikan II, yang memberi satu bab tersendiri untuk
menjelaskan musik liturgi (Bab VI :SC 112-121).
Berikut ini beberapa gagasan Konsili Vatikan II tentang martabat Musik
Liturgi seperti yang terdapat dalam Sacrosanctum Concilium 112-113 :
Musik Liturgi Gereja merupakan bagian dari tradisi Gereja Semesta yang
kekayaannya tak terperikan nilainya; lebih gemilang dari ungkapan-
ungkapan seni lainnya, terutama karena nyanyian suci yang terikat pada
kata-kata mrupakan bagian Liturgi meriah yang penting atau integral.
Musik Liturgi (lagu-lagu ibadat) mendapat perhatian yang besar dalam
Kitab Suci maupun oleh Bapa-bapa Gereja; begitu pula oleh para Paus,
yang dipelopori oleh Paus Pius X, yang akhir-akhir ini semakin cermat
menguraikan peran serta Musik Liturgi mendukung ibadat kepada Tuhan.
Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan
upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih
bergema, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan
memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak. Gereja
menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat
menurut persyaratan Liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam
ibadat kepada Allah.
Tujuan Musik Liturgi pertama dan utama adalah demi kemuliaan dan
pengudusan Umat beriman.
Penggunaan Musik Liturgi perlu memperhatikan kaidah-kaidah serta
peraturan-peraturan menurut Tradisi dan tertib gerejawi.
Upacara Liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan
dengan nyanyian meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas Liturgi, dan
bila Umat ikut serta secara aktif.
6
Secara singkat tahap-tahap perkembangan istilah musik liturgi adalah
sebagai-berikut: 5
Sekitar tahun 1200 (berhubungan dengan perkembangan musik polifon )
muncul istilah cantus ecclesiasticus ( = Musik Gereja) artinya nyanyian
yang dipakai dalam liturgi.
Tahun 1614 (berhubungan dengan pengaruh Gereja Reformasi) muncul
istilah musica sacra yang berarti musik rohani dalam arti seluas-
luasnya; sedangkan musica ecclesiasticus tetap dipakai untuk musik
dalam liturgi.
Sejak tahun 1820 dalam tulisan tentang musik liturgi, nyanyian grogorian
dimaksudkan dalam musik sacra; namun dokumen-dokumen dari Roma
menyebut nyanyian liturgi tetap cantus ecclesiasticus.
Tahun 1903 dalam Motu Propio Tra le sollecitudine (Pius X) dipakai istilah
musica sacra sebagai istilah umum untuk nyanyian gregorian, musik
polifon klasik dan musik baru.
Tahun 1958 dalam instruksi De Musica Sacra, musik organ, nyanyian
rohani umat dan musik religius pada umumnya termasuk dalam musica
sacra.
Tahun 1963 konstitusi liturgi menghindari istilah musik Gereja. Namun
untuk pertama kali musik gereja dikatakan “merupakan bagian integral
dalam liturgi” (SC 112).
Tahun 1967 dalam instruksi Musicam Sacram (Instruksi dari Kongregasi
Ibadat Roma, 5 Maret 1967) no. 4 dijelaskan musica sacra sebagai berikut
:
- “yang dimaksud dengan musik ibadat (musica sacra) adalah musik
yang digubah untuk perayaan ibadat suci, dan dari segi bentuknya
memiliki suatu bobot kudus tertentu”
- “yang masuk dalam kategori musik ibadat adalah: lagu gregorian,
polifoni suci, dengan aneka bentuknya baik kuno maupun modern,
musik ibadat untuk organ dan alat musik lain yang telah disahkan, dan
musik ibadat rakyat entah itu liturgis entah sekedar lagu rohani.”
Istilah “Musik Liturgi” baru dipakai sesudah Konsili Vatikan II dan
sekarang dimengerti sebagai musik yang terikat pada liturgi, artinya
musik yang isinya dan bentuknya ditentukan oleh bentuk dan urutan
liturgi.
6
Ibid., hal., 88
7
- pemecahan roti (nyanyian Anak Domba Allah);
- perjamuan Tuhan (nyanyian komuni);
- pembasuhan kaki (Kamis Putih);
- penyembahan salib (Jumat Agung) dsb.
7
Ibid., hal., 89
8
Motu Propio (Latin) yang artinya atas prakarsa sendiri, adalah istilah untuk sebuah dokumen penting yang
dikeluarkan paus atas prakarsanyas sendiri. Dokumen-dokumen seperti ini biasanya menyangkut masalah administrasi.
8
BAB II
Dalam pembahasan tentang arti dan martabat musik liturgi serta sejarah
perkembangan musik Gereja (musik yang berkembang dalam Gereja Kristen,
khususnya dalam penggunaannya dalam liturgi) kita sudah melihat betapa
musik sangat berperan dalam liturgi Gereja. Pada bab ini akan dibahas lebih
lanjut lagi tentang tempat dan kedudukan musik dalam liturgi secara
menyeluruh, kemudian akan diuaraikan tentang peranan musik dan nyanyian
dalam tata urutan liturgi Gereja Katolik.
9
seterusnya, pilihan lagu dan musik harus membantu orang berdoa, sehingga
orang merasa didukung dalam berdoa dan berjumpa dengan Allah.
Kalau kita berbicara mengenai peran musik dan nyanyian dalam liturgi,
maka kita harus membahas musik dan nyanyian itu dalam seluruh bidang
liturgi. Sudah dikemukakan bahwa bidang liturgi resmi Gereja katolik adalah :
perayaan sakramen-sakramen, perayaan sabda, dan ibadat harian.
Tentunya kita tidak melupakan ibadat-ibadat lain yang walaupun tidak
termasuk liturgi resmi, tetapi masuk dalam lingkaran urusan liturgi. Misalnya
ibadat-ibadat berkat, ibadat-ibadat wilayah dan lingkungan-kelompok,
sakramentali, devosi, dan sebagainya.
Dalam pembahasan tentang peranan musik dan nyanyian dalam tata
urutan liturgi, tidaklah mungkin akan dibahas secara keseluruhan setiap liturgi
resmi atau ibadat-ibadat lainnya. Diambil satu bidang perayaan liturgi sebagai
pusat pola dan contoh utama, yang memang menjadi pusat dari seluruh bidang
liturgi, yakni perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi merupakan sumber dan
puncak seluruh hidup kristiani.12 Perayaan Ekaristi juga merupakan tingkatan
tertinggi dan puncak dari seluruh perayaan liturgi Gereja. Bahkan bila kita
memperdalam peran musik dan nyanyian liturgi dalam Perayaan Ekaristi, kita
dapat pula menerapkan pengertian ini pada bidang liturgi lain menurut
tingkatan dan arti tertentu. Contohnya, apa yang kita pikirkan mengenai peran
nyanyian pembukaan dalam misa kudus kiranya juga berlaku untuk perayaan
liturgi lainnya, entah perayaan sakramen lain, perayaan sabda ataupun ibadat
berkat dan devosi, dan sebagainya.13
Berikut ini kita akan melihat peranan musik-nyanyian dalam tata urutan
Perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi tersusun dalam dua bagian pokok yaitu
11
Ibid., hal. 3.
12
Lih. Dokumen Konsili Vatikan II , Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatik tentang Gereja) art. 11.
13
Lih. E. Martasudjita Pr., J. Kristanto Pr., Op.Cit., hal., 23-24.
11
Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Dua bagian ini diapit oleh upacara
pembukaan dan upacara penutup.
A. PEMBUKAAN
Perayaan Ekaristi gereja dibuka dengan suatu opening ceremony :
perarakan masuk pemimpin ibadat dengan pembantu-pembantunya, dan dapat
di bawah : salib, dupa, lilin yang bernyala, buku Injil, serta diiringi nyanyian.
Dalam bagian pembukaan kita hayatati bahwa “Tuhan hadir dalam umat yang
berkumpul atas nama-Nya.” (lih. MB hal. 119). Gereja atau umat yang dipanggil
Tuhan berkumpul dan menghayati persatuannya dengan Tuhan. “Di mana dua
atau tiga orang berkumpul atas nama-Ku, di situ Aku hadir di tengah-tengah
mereka” (Mat.18:20).14 Umat yang berkumpul merupakan tanda kehadiran
Tuhan. Unsur-unsur musik dan nyanyian pada bagian liturgi pembukaan
adalah: Nyanyian pembukaan, doa tobat dan Tuhan Kasihanilah Kami (Kyrie),
Kemuliaan (Gloria).
1. Nyanyian Pembukaan
Nyanyian pembukaan biasa kita nyanyikan sambil berdiri untuk menyambut
perarakan imam dan para petugas liturgi menuju altar. Namun tentu saja,
apabila struktur dan keadaan tempat dan umat lebih menuntut bahwa umat
lebih baik tetap duduk, maka umat tidak perlu berdiri. Yang penting sikap
hormat dan siap siaga menyambut kedatangan Tuhan harus ada dan dijaga.
Nyanyian pembukaan memiliki beberapa peran atau fungsi dan tujuan :15
a. Membuka Perayaan Ekaristi.
b. Membina kesatuan umat yang berhimpun.
c. Mengantar masuk ke dalam misteri iman yang dirayakan pada liturgi
tersebut (sesuai masa dan pesta liturginya).
d. Mengiringi berjalannya imam besertas pembantu-pembantunya menuju
altar. Karena itu, lama nyanyian pembukaan harus disesuaikan dengan
kapan imam atau pemimpin liturgi sudah siap di altar.
Nyanyian pembukaan adalah nyanyian umat dan harus menggerakkan umat
serta umat harus diikutsertakan. Boleh dinyanyikan silih berganti antara
paduan suara dan umat. Akan tetapi lebih tepat kalau dinyanyikan oleh seluruh
umat. Nyanyian yang paling cocok adalah nyanyian berbait (jangan hanya
sastu bait saja), yang sudah dikenal dan disenangi umat (jangan umat
dipaksakan diam). Apabila bait sudah selesai sedangkan imam masih
mendupai maka organ masih dapat mengiringi, atau lagu dapat diulangi mulai
pada bait yang pertama. Maka dituntut inisiatif atau spontanitas yang baik dan
tepat dari sang dirigen ataupun pemusik yang senantiasa dapat membaca
situasi perayaan.
Apabila tidak ada nyanyian pembukaan, antifon pembukaan dapat
dibacakan oleh seluruh umat atau beberapa atau seorang pembaca atau oleh
imam sendiri. Antifon pembukaan dapat dibacakan sebelum tanda salib atau
sesudah salam.
Pada permulaan perayaan ekaristi ada tiga nyanyian yang saling
berdekatran : pembukaan, Tuhan Kasihanilah kami, dan Kemuliaan. Kalau ini
dinyanyikan semua berturut-turut (ingat : berkesinambungan, tanpa henti),
maka hal ini sebenarnya membuat bagian pembukaan agak berat, tidak
seimbang dengan liturgi sabda dan ekaristi. Di bawah ini disajikan tabel variasi
nyanyian pembukaan dengan membatasi diri pada dua nyanyian pada bagian
pembukaan 16
14
Lih. Karl-Edmund Prier SJ., Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi, Pusat Musik Liturgi (PML A-52)
Yogyakarta, 1987, hal., 4-5.
15
Ibid., hal. 5; bdk. juga E. Matasudjita Pr., dan J. Kristanto Pr., Op.Cit., hal. 24-25.
16
Lih. Karl-Edmund Prier SJ, Liturgi Perayaan Keselamatan, PML-Yogykarta A-24, 1978, hlm 20.
12
Tabel Variasi
dalamNyanyian Pembukaan
18
Ibid. hal 7
19
Bdk. Dr. E. Martasudjita Pr, J. Kritanto Pr, Op.Cit., hal. 28.
20
Ibid. hal. 29, bdk juga Karl-Edmund Prier SJ, Op.Cit., hal. 7.
21
Lih. Karl-Edmund Prier SJ, Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi, PML-Yogyakarta A-52, 1987, hal. 7.
22
Lih. D. E. Martasudjita Pr dan J. Kristanto Pr, Op. Cit. hal. 29.
14
peringatan hari Raya Paska). Lama-kelamaan dipakai khusus untuk misa hari
minggu dan hari raya, kecuali selama masa adven dan Pra-paskah. Imam-imam
mula-mula tidak boleh memakai ‘Kemuliaan’ kecuali pada hari Paskah saja.
Namun akrena begitu disenangi, maka ‘Kemuliaan’ makin boleh digunakan
sampai akhirnya praktis tiap hari diucapkan sebagai doa wajib. Oleh Konsili
Vatikan II penggunaan ‘Kemuliaan’ dibatasi kembali pada hari Minggu dan Hari
Raya saja.
Kidung kemuliaan merupakan kidung pujian yang dilambungkan oleh
dorongan Roh Kudus kepada Bapa dan Putra. Kemuliaan terdiri tiga bagian:23
a. Pujian berasal dari kidung para malaikat (Luk 2:14;
b. Pujian (sedikit panjang) kepada Allah yang disertai dengan permohonan
belas kasihan kepada Bapa dan Putra;
c. Penghormatan kepada Kristus sebagai satu-satunya Tuhan (untuk melawan
ibadat kafir yang mengkultuskan kasiar pada abad-abad pertama), dengan
doksologi kepada Allah Tri-tunggal.
Jadi Kemuliaan adalah madah pujian syukur terutama pada Kristus, yang
tadi disapa dengan seruan ‘Kasihanilah Kami’. Maka Kemuliaan dimaksudkan
sebagai ‘terima kasih’ atas penebusan yang kita alami dalam Kristus sebagai
Penyelamat. Sebagai tujuan yang paling nyata Kemuliaan adalah merupakan
‘syukur’ bila dilagukan, sedangkan jika di-deklamasikan maka tujuan tersebut
kurang wajar. Susunan dalam bentuk sahut-menyahut dibawakan oleh dua
pihak yakni umat dan kor. Namun pada Hari Raya untuk meningkatkan segi
syukur dapat juga dibawakan oleh kor tanpa umat. Karena isinya merupakan
puji-pujian pada Kristus Sang Penyelamat, maka kurang tepat bila diganti
dengan sembarangan lagu syukur lain/umum. Bisa diganti dengan nyanyian
berbait, asal isinya sesuai dengan kemuliaan.
Kemuliaan bisa diucapkan atau dinyanyikan secara bergantian atau
bersamaan. Suatu usaha penyusunan lagu kemuliaan yang lain, misalnya lebih
singkat dan padat, tetap dimungkinkan. Yang penting dalam kidung itu harus
diungkapkan puji-syukur kepada Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus (lih. Misa
Dolo-Dolo, PS 358). Kemuliaan diucapkan atau dinyanyikan pada hari-hari
Minggu, hari Raya dan pesta-pesta, kecuali dalam masa Adven dan Pra-paska.24
B. LITURGI SABDA
23
Lih. Karl- Edmund Prier SJ, Op. Cit. hal. 8, bdk juga Dr. E. Martasudjita Pr dan J. Kristanto Pr,
Op.Cit. hal. 29- 30.
24
Ibid. hal. 30
25
Ibid. hal 30.
26
Lih.Karl-Edmund Prier SJ, Op.Cit. hal. 9-10.
15
2. Mazmur Tanggapan 27
Mazmur tanggapan pada mulnya disebut nyanyian selingan, antar bacaan.
Mulai 1985 baru disebut Mazmur tanggapan. Mazmur tanggapan merupakan
unsur pokok dalam liturgi sabda. Sesuai dengan namanya, Mazmur tanggapan
dimaksudkan untuk memperdalam renungan atas sabda Allah dan sekaligus
menanggapi sabda Allah yang baru saja kita dengarkan dalam bacaan yang
mendahuluinya.
Mazmur tanggapan diambil dari Kitab Suci dan disesuaikan dengan bacaan
pertama. Mazmur dinyanyikan oleh solis atau pemazmur; umat mendengarkan
dan menjawab dengan sebuah ulangan atau refren. Untuk masa liturgi atau
pesta orang kudus tertentu, disediakan sejumlah mazmur dan ulangan yang
dapat selalu dipakai, agar umat mudah berpartisipasi. Mazmur tanggapan
sebaiknya dinyanyikan, tetapi juga dapat dibacakan. Sebelum membawakan,
mazmur tanggapan sebaiknya didahului saat hening, meskipun singkat.
Pada prinsipnya, liturgi sabda selalu menggunkan mazmur tanggapan
sebagai nyanyian tanggapan. Hanya dalam kasus darurat saja, mazmur
tanggapan dapat diganti dengan lagu lain yang sesuai dengan tema, tetapi
sebaiknya teks lagunya bersifat biblis.
Sering ada pertanyaan dari para petugas: apakah pemazmur harus
menyanyikan atau membacakan seluruh ayat mazmur yang disediakan di buku
kita. Jawabannya : tidak harus. Harus kita akui bahwa ayat-ayat mazmur
diambil di situ juga bersifat pilihan dan tidak memuat seluruh ayat dari
mazmur yang bersangkutan. Maka kalau keadaan meminta agar kita tidak
terlalu panjang menyanyikan ayat-ayat mazmur, baiklah kita mengambil dua
atau tiga bait saja. Kasus konkret apabila bacaan-bacaan hari itu semua
panjang.
Ada dua cara untuk melagukan mazmur : cara responsorial dan cara
antifonal. Cara Responsorial : pola menyanyi bersahut-sahutan antara
ulangan (oleh umat) dan ayat-ayat (oleh solis/kor). Solis/kor memulai mazmur
dengan melagukan ulangan. Lalu, umat melagukan ulangan yang sama.
Kemudian menyusullah ayat-ayat; sesudah tiap ayat, umat menyanyikan
ulangan, contoh dalam membawakan mazmur tanggapan. Sedangkan cara
antifonal: ayat-ayat dinyanyikan secara bersahut-sahutan antara dua
kelompok. Dalam pola ini, pemimpin memulai dengan melagukan ulangan. Lalu
semua umat melagukan ulangan yang sama. Kemudian, seluruh ayat mazmur
dibawakan bergantian oleh dua kelompok (A-B). sesudah ayat terakhir selalu
ditambahkan “Kemuliaan kepada Bapa…..” Kemudian, semua umat melagukan
ulangan. Contoh PS 35, mazmur 8.28
27
Uraian tentang mazmur tanggapan lih. Dr. E. Martasujita Pr dan J Kristanto Pr, Op.Cit. hal. 31-32 dan
Karl-Edmund Prier SJ, Op.Cit. hal. 10.
28
Lih. Seksi Musik Komisi Liturgi KWI, Nyanyian Perayaan Ekaristi dan Perayaan Sabda (PS 219-435),
Komisi Liturgi KWI- Jakarta, 1994, hal. Xii.
29
Lih. urainnya dalam Dr. E.Martasudjita Pr dan J. Kristanto Pr, Op.Cit., hal. 32-33.
16
Umat bediri pada saat bait pengantar Injil dinyanyikan sebagai ungkapan
kesiapan dan penghormatan akan Sabda Kristus sendiri melalui Injil. Alleluai
atau bait pengantar injil apabila tidak dinyanyikan, maka ditiadakan saja (bdk
PUBM 39). Artinya, alleluia seharusnya dinyanyikan dan tidak dibacakan.
C. LITURGI EKARISTI
1. Makna Liturgi Ekaristi.30
Liturgi Ekaristi disusun sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kata-kata
dan tindakan-tindakan Kristus.
a. Waktu persiapan persembahan, roti dan anggur serta air dibawa ke altar,
yaitu benda-benda yang sama yang juga dipegang Kristus waktu perjamuan
terakhir.
b. Dalam DSA diucapkan syukur kepada Allah Bapa atas seluruh karya
penyelamatan melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus, dan kepada Bapa
dipersembahkan Tubuh dan Darah kristus.
c. Dengan membagi-bagi roti yang satu itu pada saat komuni, dilambangkan
kesatuan umat dengan Tuhan dan sesama, dan dalam komuni itu umat
menerima tubuh (dan darah) Tuhan, sama seperti dahulu para rasul
menerima dari tuhan. Komuni termasuk bagian pokok Perayaan Ekaristi.
Dengan komuni umat berpartisipasi dalam seluruh dinamika keselamatan
Allah dalam Kristus yang didoakan dalam DSA. Komuni merupakan
pastisipasi setiap orang beriman secara personal dan sakramental dalam
DSA.
Prefasi
Prefasi bertujuan menguraikan alasannya mengapa kita bersyukur. Terdapat
kurang lebih 100 prefasi yang berlainan. Prefasi selalu berakhir dengan ajakan
untuk “menggabungkan suara dengan para malaikat yang tak henti-hentinya
30
Ibid. hal 33-34
31
Untuk uraian bagian Nyanyian persiapan persembahan sampai bagian Penutup dari Perayaan Ekaristi lihat
dalam Dr. E. Martasudjita Pr dan J Kristanto Pr, Op.Cit. hal 34-41.
17
berseru/bernyanyi.” Kemudian langsung disambung dengan Kudus. Sebagai
bagian dari DSA serta sebagai pelaksanaan syukur kepada Bapa maka prefasi
dari hakekatnya sendiri merupakan suatu nyanyian, pantaslah dilagukan bukan
saja pada misa agung (oleh imam).32
Nyanyian Kudus
Nyanyian kudus didasarkan pada dua teks Kitab Suci, yakni pujian malaikat
dalam penampakan yang dialami Yesaya (Yes 6:3) dan seruan pujian orang-
orang kepada Yesus yang tengah memasuki kota Yerusalem (Mat 21:9).
Nyanyian kudus ini termasuk warisan tertua semua liturgi, di mana bagian
pertama kudus itu barangkali diambil alih dari tradisi liturgi Yahudi. ‘Hosana’
adalah kata Ibrani yang aslinya berarti ‘tolonglah’, tetapi kemudian menjadi
seruan pujian untuk kemuliaan Tuhan dan raja-raja. Nyanyian Kudus merupakan
bagian Doa Syukur Agung, yang merupakan aklamasi atau seruan umat
beriman terhadap pujian syukur yang dilambungkan dalam prefasi sebelumnya.
Karena termasuk DSA, nyanyian kudus merupakan bagian liturgi yang tidak
bisa ditiadakan dalam setiap Perayaan Ekaristi. Meskipun dapat diucapkan,
Kudus paling cocok dinyanyikan.
Pada akhir prefasi yang kerap kali diakhiri dengan kata-kata ,”….segenap isi
surga dan semua malaikat bermadah melagukan pujian, dan memuliakan
Dikau dengan tak henti-hentinya bernyanyi/berseru….”, dirigen, organis, dan
kor hendaknya siap dengan nanyian tersebut. Sehingga bila imam mengakhiri
prefasi, semuanya dapat mulai dengan serempak, tanpa harus menunggu
lama, apalagi malah dirigen masih mengumumkan nomor segala.
Pengumuman nomor nyanyian Kudus dan barangkali juga nomor aklamasi
anamnese sebaiknya diadakan sebelum dialog pembukaan prefasi dari imam
atau langsung dengan nomor lampu yang dinyalakan di depan, sehingga umat
langsung paham nomor nyanyian Kudus yang akan dinyanyikan.
4. Bapa Kami
Doa Bapa Kami merupakan doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus
sendiri (bdk Mat 6 : 9-13 dan par). Doa ini memuat dua bagian pokok, yakni
mengungkapkan kerinduan akan Kerajaan Allah dan memohon apa yang kita
butuhkan hari ini : rezeki, pengampunan, dan damai. Doa ini bisa didoakan
ataupun dinyanyikan, namun diusahkan untuk dibawakan oleh seluruh umat
yang hadir. Pada hari Minggu dan kesempatan pesta atau perayaan khusus,
Bapa Kami lebih baik dinyanyikan.
Kalau doa ini dinyanyikan dalam bahasa Latin, hendaknya dipakai lagu yang
sudah disyahkan; tetapi kalau dinyanyikan dalam bahasa pribumi, gubahan
tersebut haruslah disahkan oleh pimpinan gerejawi setempat yang berwenang.
Prinsip lagu atau doa Bapa Kami yang boleh digunakan dalam liturgi ialah syair
itu sesuai dengan doa Bapa Kami sebagimana diwartakan dalam injil kita. Doa
BapaKami yang menjadi hafalan kita sudah dapat menjadi patokan juga. Maka
kalau ada lagu Bapa Kami ciptaan sendiri yang menghilangkan beberapa
pernyataan dari teks Injil kita, maka lagu tersebut janganlah digunakan untuk
liturgi. Kita juga harus hati-hati dengan melodi lagu Bapa Kami yang selalu
bercorak populer dan kurang religius. Meski barangkali lagu itu disukai, tetapi
belum tentu dapat digunakan dalam perayaan liturgi.
Perlu diperhatikan, bahwa bagian liturgi; Embolisme 33, doa damai, salam
damai, Anak Domba Allah merupakan aneka kemungkinan bagi usaha
persiapan umat untuk menyambut komuni. Maka baik kalau para pelayan
musik liturgi pernah membaca dan mempelajari Buku Tata Perayaan Ekaristi,
agar mengenal berbagai kemungkinan variasi.
32
Lih. Karl-Edmund Prier SJ, Op.Cit., hal 17.
33
Embolisme berasal dari bahasa Yunani yang berarti sisipan. Embolisme adalah doa yang bersambungan
pada kalimat terkahir Bapa Kami dalam Perayaan Misa. Doa ini sudah ada sejak abad ke-3 M yang berisi permintaan
pembebasan dari segala yang jahat supaya umat dapat mengharapkan kedatangan Sang Penebus, Yesus Kristus (bdk
Titus 2:13) (lih. A Heuken SJ, Op.Cit., hal 290).
18
Mengenai bagian salam damai, sesudah mengucapkan doa damai dan
salam damai, imam atau diakon (tertahbis) dapat mengajak umat untuk saling
menyampaikan salam damai. Bagian ini memang bukan keharusan, dan hanya
bersifat fakultatif. Tetapi bila salam damai antar umat akan diadakan, kor dapat
mengajak umat untuk menyanyikan dalam suasana gembira, spontan, ramah
dan hormat. Aneh rasanya kalau kita saling menyampaikan salam damai dalam
suasana tegang dan dengan wajah cemberut, sedih, dan tidak ramah. Maka
sang dirigen, bila memimpin umat dan kor dalam menyanyikansalam damai,
hendaknya mengajak mereka itu dengan wajah yang terang dan gembira.
6. Nyanyian Komuni
Nyanyian komuni dimaksudkan untuk:
a. mengiringi umat dalam menyambut Tubuh Kristus;
b. meneguhkan persaudaraan dan persatuan umat secara lahir batin
sebagai tubuh Kristus, sebab dari tubuh Kristus yang mereka santap
mengalirlah buah kesatuan umat itu;
c. membina suasana doa bagi umat yang sedang berjumpa dengan Tuhan
secara sakramental dalam komuni.
Lagu komuni dapat dinyanyikan sendiri oleh paduan suara. Meski pada saat
komuni paduan suara boleh ‘menampilkan’ kebolehannya, pilihan lagu harus
disesuaikan dengan misteri iman yang dirayakan dan mendukung suasana doa
bagi umat. Nyanyian komuni dapat juga dinyanyikan oleh paduan suara dan
umat secara bergantian ataupun bersama-sama, atau hanya instrumental saja
(secara lembut supaya tidak merusak suasana hening-doa). Untuk yang
terakhir ini, organis atau pengiring hendaknya mempersiapkan diri terlebih
dahulu. Harus juga diperhatikasn bahwa umat perlu diberi waktu hening pada
saat komuni. Maka, jumlah nyanyian komuni tidak perlu terlalu banyak.
19
Deum atau madah Allah Tuhan kami, Jiwa Kristus dan sebagainya, Madah
Syukur ini boleh dinyanyikan dan boleh juga diucapkan/dibacakan.
D. PENUTUP
20
BAB III
Pada bagian ini akan diuraikan tentang beberapa prinsip dalam pemilihan
nyanyian liturgi dan langkah-langkah konkret pemilihan nyanyian liturgi. 34
Mengalir dari kriteria pelayanan umat beriman itu, nyanyian liturgi harus
memberi kesempa umat untuk berpartisipasi di dalamnya. Partisipasi tidak
selalu berarti suatu keikutsertaan dalam mengucapkan atau menyanyikan saja.
Konsep partisipasi jauh lebih luas, tetapi selalu bermakna bahwa pihak lain
diberi ruang gerak untuk ikut masuk dan menghayati apa yang kita buat.
Meskipun paduan suara boleh menyanyikan sendiri tanpa umat untuk
beberapa kesempatan, seperti nyanyian persiapan persembahan, komuni dan
pada akhir Perayaan Ekaristi, nyanyian-nyanyian itu harus tetap dipilih untuk
membantu umat dalam menghayati doanya.
Agar umat dapat terlibat, nyanyian liturgi yang terutama dimaksudkan
sebagai nyanyian umat hendaknya dipilih dari buku nyanyian umat. Apabila
umat belum mengenal, umat dapat dilatih sebelum misa dimulai atau pada
waktu lain yang memungkinkan. Ada beberapa nyanyian yang seharusnya
umat dapat ikut berpartisipasi seperti refren mazmur tanggapan, bait
pengantar Injil, nyanyian kudus, aklamasi anamnese, Bapa Kami. Untuk
nyanyian pembukaan, Kyrie, Gloria, atau kemuliaan, sebaiknya umat dapat ikut
berpartisipasi dalam bernyanyi. Sebaiknya dihindari kebiasaan dari kor
semangat pamer atau ingin ‘show’, yang akibatnya dirigen atau kor hanya
memilih lagu-lagu yang hanya dapat dinyanyikan oleh kor saja, sementara
umat dijadikan penonton yang bisu.
Kita juga perlu memperhatikan teks atau buku nyanyian yang bisa
dipegang oleh umat. Untuk memungkinkan partisipasi umat dalam bernyanyi,
perlu tersedia teks atau buku nyanyian yang dimiliki umat. Kurang baik
kiranya, apabila seluruh nyanyian untuk misa kudus diambil dari teks-teks yang
hanya tersedia bagi anggota kor. Sementara umat beriman disuruh menjadi
penonton saja. Ini praktek yang kurang baik. Usahakanlah untuk menggunakan
buku nyanyian yang sudah dimiliki umat atau disediakan oleh Gereja setempat.
34
Untuk uraian ini lihat selengkapnya dalam Dr. E. Martasudjita Pr dan J. Kristanto Pr, Op.Cit., hal 43-54.
21
3.1.3. Nyanyian Liturgi harus Mengungkapkan Iman akan Misteri
Kristus
Nyanyian liturgi yang dipilih tidak boleh hanya sekadar semua bisa
menyanyidengan baik dan indah, tetapi apakah lagu itu membawa umat
kepada pengalaman iman akan Kristus dan kepada perjumpaan dengan Kristus.
Bahwa Kristus hadir dalam liturgi harus juga terungkap dalam nyanyian liturgi
itu. Itulah sebabnya isi-syair dan melodi nyanyian liturgi harus benar-benar
sesuai dengan citrasa iman umat dan bukan malah mengaburkan misteri iman
dengan memberi asosiasi yang lain. Itulah sebabnya gaya baru harus sesuai
dengan citarasa umat dan dapat diterima oleh umat sebagai nyanyian liturgis.
Terkadang ada lagu yang populer untuk umat dan mudah dinyanyikan,
tetapi ternyata melodi lagu itu mengasosiasikan pada melodi lagu profan
tertentu. Maka, lagu seperti itu sebaiknya dihindari sebab tidak jarang
mengantarkan imaginasi orang pada sesuatu yang tidak berhubungan dengan
iman kepada Kristus.
Meski ada nyanyian liturgi yang diorasakan selalu cocok untuk berbagai
macam tema dan masa liturgi, pilihan nyanyian liturgi harus memperhatikan
masa dan tema liturgi. Kesesuaian isi dan melodi lagu liturgi dengan masa
serta tema liturgi akan membantu umat dalam memperdalam dan
memperjelas misteri iman yang sedang dirayakan.
Buku-buku nyanyian yang telah ada, seperti Puji Syukur dan Madah Bakti,
sudah mencantumkan jenis-jenis atau judul-judul lagu sesuai dengan masa
liturgi. Ada kelompok lagu masa Adven, masa Natal, Pra-paskah, Paskah, masa
Biasa dan seterusnya. Lalu bagaimana kalau kita mau mengadakan Perayaan
Ekaristi dengan tema tertentu ? Bagaimana pilihan lagunya ? Pilihan lagu
hendaknya tetap didasarkan pada keselarasan tema dengan syair dan melodi
lagu itu. Seandainya nyanyian tertentu dari masa liturgi tersebut cocok dengan
tema Perayaan Ekaristi khusus tersebut, maka nyanyian tersebut dapat saja
digunakan. Contohnya dalam suatu Perayaan Ekaristi yang bertemakan
pertobatan, misalnya dalam rangka suatu retret kelompok, maka pilihan lagu
dari masa Pra-paskah bisa dimungkinkan, yakni nyanyian yang bertemakan
pertobatan. Demikian pula pilihan musik dan iringannya perlu disesuaikan
dengan tema dan masa liturgi.
Pilihan nyanyian liturgi tentu harus sesuai dengan tempat dan fungsi
nyanyian itu dalam bagian liturgi. Sebuah nyanyian tertentu mungkin hanya
cocok untuk nyanyian pembukaan dan bukan sebagai nyanyian persembahan.
Demikian seterusnya. Memang, ada juga nyanyian yang dapat digunakan untuk
beberapa bagian perayaan Liturgi. Katakanlah nynyian itu bersifat umum,
maka kita pun dapat menggunakannnya sesuai dengan pertimbangan akal
sehat kita, mana yang tepat untuk kapan. Akan tetapi, isi nyanyian dan
melodinya sebaiknya sungguh dipahami, untuk bagian manakah nyanyian itu.
Maka penguasaan dan pemahaman akan karakter nyanyian dan isinya serta
maksud sang pencipta lagu sungguh perlu bagi para pelayan musik liturgi.
Pilihan nyanyian sebaiknya juga memeperhatikan bobot nyanyian yang
selasras dengan gerak dinamis Perayaan Ekaristi. Umumnya kita dapat
mengikuti pengelompokan tingkatan bobot yang sebaiknya dinyanyikan
sebagai berikut:
a. Tingkat I: nyanyian-nyanyian aklamasi, yakni kudus, Aklamasi anamnese,
Amin pada akhir DSA serta semua aklamasi dialogal yang melibatkan
pemimpin dan umat, termasuk di dalamnya aklamasi sebelum dan
22
sesudah Injil. Alleluia juga termasuk aklamasi yang dari dirinya harus
dinyanyikan. Namun bila alleluia tidak dinyanyikan, maka itu bisa
ditiadakan atau dilewati.
b. Tingkat II: nyanyian mazmur tanggapan yang merupakan bagian integral
dan liturgi sabda, dan nyanyian yang dibawakan oleh imam dan umat
bersama-sama, seperti Kyrie, Kemuliaan, Bapa Kami dan Madah Syukur.
c. Tingkat III: nyanyian pembukaan dan penutup.
d. Tingkat IV: nyanyian tambahan yang dapat diganti dengan permainan
instrumental, seperti nyanyian persiapan persembahan dan komuni.
Tentu saja tingkatan bobot ini tidak bersifat mutlak, tetapi dapat memberi
inspirasi bagi pemilihan nyanyian liturgi yang baik. Pada kesempatan Perayaan
Ekaristi harian, banyak bagian yang boleh diucapkan atau dibacakan seperti
Kyrie, Gloria, Mazmur tanggapan, Bapa Kami dan sebagainya. Untuk hari
Minggu, tentu saja Perayaan Ekaristi hendaknya dibuat lebih meriah dengan
menyanyikan beberapa bagian misa secara mantap.
c. Kalau tidak ada nyanyian yang sesuai dengan bacaan Injil, bacaan I dan
mazmur tanggapan, pilihlah nyanyian yang sesuai dengan bacaan kedua.
Bacaan II baru diperhitungkan kemudian sebagai pertimbangan, sebab isi
bacaan II dalam hari-hasi Minggu Biasa belum tentu sesuai dengan isi Injil
dan Bacaan I, Gereja memilih bacaan II dari surat-surat Paulus dan surat-
surat Perjanjian Baru (bacaan epistola) lainnya dan hanya mengurutkan
begitu saja minggu demi minggu (prinsip semi kontinua). Pewartaan
utama hari Minggu Biasa terletak pada Injil dan bacaan I. Hanya dalam
masa-masa khusus, yaitu Adven, Pra-paskah, dan Paskah serta pada hari-
hasri raya dan pesta, bacaan I, II dan Injil mengandung isi yang saling
berhubungan.
25