Anda di halaman 1dari 25

PENDAHULUAN

Tak bisa dipungkiri bahwa musik merupakan bagian integral dari hidup
manusia. Ada begitu banyak orang yang menggeluti musik dengan sungguh-
sungguh dan mencurahkan seluruh hidupnya untuk musik. Di samping itu juga
saat ini banyak musik yang tersedia dengan segala jenis dan bentuk rekaman.
Kenyataan ini memang mengungkapkan bahwa musik sudah menjadi
kebutuhan hidup manusia; yakni kebutuhan untuk hiburan dan kebutuhan
untuk mengungkapkan cira rasa, isi hati, dan ungkapan jiwa dari manusia.
Bahkan musik mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi suasana batin,
pikiran dan perilaku manusia, baik dalam dirinya sendiri maupun dengan
sesama manusia dan alam. Musik juga dapat mengungkapkan dan
mengembangkan relasi manusia dengan Yang Ilahi. Musik dapat menjadi
sarana pengungkapan relasi personal terdalam manusia untuk bersyukur,
memuji, memuliakan dan memohon kepada Tuhan. Kita menyaksikan dengan
kasat mata bahwa musik sangat mewarnai setiap agama dan segala bentuk
kepercayaan yang ada di muka bumi ini. Jadi dapat dikatakan bahwa musik
sangat mempengaruhi hidup manusia sejak permulaan sampai akhir hidupnya,
baik secara pribadi maupun kelompok.
Demikian pula Gereja Katolik melihat musik sebagai sarana yang
memainkan peranan penting dalam liturgi. Konsili Vatikan II menggarisbawahi
bahwa Musik Liturgi merupakan bagian yang penting dan utuh dari liturgi
dengan peranan yang khusus yakni; melayani ibadat kepada Allah, dan dengan
tujuan khusus pula, yakni ; memuliakan Allah, menguduskan kaum beriman,
memperindah dan memeriahkan ibadat, menciptakan suasana sakral dan
khidmat serta mempersatukan umat. Selain itu, musik liturgi membantu kita
untuk merenungkan amanat keselamatan dari Kitab Suci. Dalam hal ini,
Nyanyian Liturgi (antar bacaan) adalah sarana pewartaan Sabda Allah karena
menyampaikan dan mewartakan pesan keselamatan kepada umat manusia.
Melihat hakekat dan peranan musik liturgi tersebut di atas maka tidaklah
berlebihan bila dikatakan bahwa musik liturgi adalah salah satu sarana Pastoral
yang harus mendapat perhatian serius dalam gereja kita, guna membantu
umat dalam membentuk dan mengungkapkan iman dan sikapnya. Hal ini
ditekankan karena sampai saat ini ada kesan bahwa musik liturgi (nyanyian
liturgi) masih belum mendapat perhatian semestinya. Sebagai buktinya yakni
masih ada keluhan bahwa ibadat atau perayaan di gereja tertentu terasa
membosankan, kurang khidmat dan semarak. Perayaan terasa ‘kering’ apalagi
pada hari-hari, atau hari-hari Raya.
Konsili Vatikan II juga menghimbau supaya di paroki, lingkungan dan
wilayah-wilayah jemaat beriman untuk memperhatikan dengan sungguh-
sungguh pengembangan musik liturgi. Pendidikan dan pelaksanaan musik
liturgi di lembaga-lembaga pendidikan (sekolah-sekolah) Katolik, biara-biara,
dan seminari-seminari perlu mendapat perhatian.
Lembaga Sekolah Tinggi Pastoral (STP) dan Pendidikan Guru Sekolah
Dasar (PGSD) Don Bosco Tomohon adalah dua lembaga Katolik yang secara
khusus membina calon-calon tenaga pastoral dan pendidikan umat dan
masyarakat. Maka sangatlah penting di kedua lembaga ini mata kuliah musik
liturgi diajarakan, supaya para mahasiswa memperoleh pengetahuan dan
keterampilan yang cukup untuk karya pastoral di mana saja mereka berada.
Melihat latar belakang pemikiran di atas maka disusunlah traktat/diktat
kuliah Musik Liturgi ini yang lebih dimaksudkan pemakaiannya untuk kalangan
sendiri di lingkungan Kampus Don Bosco ( STP-IPI dan PGSD Don Bosco
Tomohon). Traktat ini bukan dimaksudkan sebagai suatu uraian lengkap yang
mendetail tentang musik liturgi dari segi ilmunya, yang mengkaji secara dalam
tentang musik liturgi, akan tetapi lebih dimaksudkan dengan orientasi
pastoral yakni sebagai suatu panduan atau pedoman umum untuk memahami
dan mengembangkan musik liturgi bagi para tenaga pastoral dan tenaga
pendidik awam demi pengembangan Liturgi Gereja.
Adapun sistematika dari traktat ini adalah sebagai berikut:
1
Bab I : Pandangan Dasar tentang Musik liturgi.
Pada bagian ini akan dibahas tentang pengertian musik,
pembagian musik secara skematis, pengertian liturgi, dan musik
dalam liturgi.
Bab II : Peranan Musik/Nyanyian dalam Liturgi.
Pada bagian ini akan dibahas tentang tempat/kedudukan musik
dalam liturgi, Peranan musik dalam tata urutan liturgi.
Bab III : Cara Pemilihan Nyanyian Liturgi yang Baik.
Pada bagian ini diketengahkan beberapa prinsip dan langkah-
langkah konkret dalam memilih nyanyian liturgi.
Bab IV : Pelayan Musik Liturgi.
Pada bagian ini akan dibahas tentang beberapa catatan pokok
tentang pelayanan musik liturgi dan bagaimana peranan dari para
pelayan musik liturgi.
Bab V : Praktek Musik Liturgi
Pada bagian ini akan diberikan kesempatan untuk mempraktekkan
musik liturgi sebagai latihan demi perkembangan pelayanan dalam
tugas liturgi di Gereja di masa yang akan datang.

Kiranya traktat ini dapat bermanfaat bagi para calon tenaga pastoral dan
tenaga pendidik serta bagi siapa saja yang punya tugas dan panggilan dalam
pengembangan jemaat khususnya melalui Musik Liturgi.
Tentunya traktat ini masih terdapat kelemahan di sana-sini, kiranya dapat
dimaklumi. Usulan dan kritik yang membangun dari siapa saja yang sempat
menyimaknya akan diterima dengan terbuka dari penulis untuk
penyempurnaan di masa mendatang.

2
BAB I

PANDANGAN DASAR TENTANG


MUSIK LITURGI

1.1. PENGERTIAN MUSIK 1

Kata ‘musik’ berasal dari bahasa Yunani: mousike, untuk mengartikan


tiga hal sekaligus, yaitu : kata-kata puitik, bunyi dan dansa. Bila dipandang dari
sudut asal-usulnya, musik dapat dimengerti :
- musik adalah suatu pemberian ilahi kepada manusia;
- musik adalah kesatuan bunyi-bunyi yang teratur;
- musik adalah sesuatu yang mengungkapkan perasaan seseorang.
Selain itu musik memiliki efek yakni : dengan musik kita mendapatkan
unsur pewahyuan, mistik, pemberian, karisma, inspirasi, ekpresi, emosional,
sentimen, kesenian dan keindahan; dengan musik kita menemukan adanya
aturan-aturan, teknik, rasionalitas, ilmu dan perhitungan.

1.2. PEMBAGIAN MUSIK SECARA SKEMATIS 2

Musik pada umumnya dapat dibagikan sebagai :


a. Musik profan dan musik sakral
Musik profan antara lain : lagu nasional, lagu mars, tari, lagu daerah dan
tradisional, lagu hiburan, lagu pop dan lagu klasik barat.
Musik sakral dalam arti sempit : musik liturgi/ibadat; dalam arti luas: musik
rohani.
Pembagian profan-sakral sebenarnya problematis, karena distingsi
(perbedaan) ini sedikit banyak berdasarkan rasionalisme Barat abad 18/19:
seakan-akan ada dunia di mana Tuhan hadir (sakral) dan ada dunia di mana
Tuhan tidak hadir (profan). Namun perbedaan ini tidak cocok dengan alam
pikiran Timur di mana hanya ada satu dunia; misalnya di Pura Bali tari dan
gamelan Bali yang riuh pun ada tempatnya; mengadakan musyawarah dan
makan di mesjid dirasa tidak bertentangan dengan tempat ‘suci’; mengadakan
misa di rumah keluarga tidak ada masalah.
Tentu saja ada lagu yang tujuannya hiburan dan ada lagu yang tujuannya
permohonan kepada Tuhan. Perbedaan ini terletak dalam sikap orang yang
menciptakan dan membawakan lagu tersebut yang nampak antara lain juga
(tetapi tidak hanya) dalam syair. Namun tidak ada tangga nada, ritme,
harmoni, alat pengiring, bahasa atau tempat yang dikhususkan untuk lagu
sakral/profan.

b. Musik ibadat/liturgi dan musik rohani


Musik liturgi : lagu fungsional dalam ibadat (lagu vokal dan musik
intrumental); musik rohani : lagu fungsional dalam hidup kristiani, untuk
pertemuan rohani, mis rekoleksi, untuk gerekan karismatik, untuk renungan
misalnya waktu retret, untuk pelajaran PIA (pembinaan iman anak), untuk
hiburan misalnya berupa kaset, untuk pentas misalnya waktu Natal, untuk
pertunjukan misalnya di layar TV.
Musik rohani di sini dimaksudkan sebagai musik non-liturgis, artinya yang
diciptakan untuk keperluan di luar ibadat. Ciri khas musik rohani ialah : syair
berisi rohani (namun tidak perlu dari Kitab Suci atau teks liturgi, syair dapat
berpola individual (“aku”) atau kolektif (“kita”, “kami”), syair umumnya
bertema ringan sesuai dengan penggunaan sebagai hiburan (namun ada juga
pengecualian), musik pun umumnya ringan dengan mementingkan
“bungkusnya”/ aransemen dan iringan yang mengesan.
1
Uraian bagian ini lih. Harry Singkoh MSC, Msuik Liturgi Gereja Katolik (pandangan Umum), Seminari
Kakaskasen Tomohon, 2003, hal. 1
2
Lih. Karl- Edmund Prier SJ, Musik Gereja (bahan kuliah di Fakultas Teologi Wedhabakti Kentungan,
Yogyakarta) , dimuat dalam Warta Musik, No. 3/XXIV/1999, Pusat Musik Liturgi (PML) -Yogyakarta hal. 87-89.
3
1.3. PENGERTIAN LITURGI 3

a. Etimologi Liturgi
Kata ‘liturgi’ berasal dari bahasa Yunani leitourgia. Kata leitourgia terbentuk
dari akar kata ergon, yang berarti ‘karya’, dan leitos, yang merupakan kata
sifat untuk kata benda laos yang berarti bangsa. Secara harafiah, leitourgia
berarti ‘kerja’ atau ‘pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa’.
Dalam masyarakat Yunani Kuno, kata leitourgia dimaksudkan untuk menunjuk
kerja bakti atau kerja pelayanan yang tidak dibayar, iuran atau sumbangan dari
warga masyarakat yang kaya, dan pajak untuk masyarakat atau negara.
Dengan begitu menurut asal-usulnya, istilah leitourgia memiliki arti profan-
politis, dan bukan arti kultis sebagaimana biasa kita pahami sekarang ini. Sejak
abad keempat sebelum masehi, pemakaian kata leitourgia diperluas, yakni
untuk menyebut berbagai macam karya pelayanan.

b. Dalam Perjanjian Lama


Istilah leitourgia mendapat arti kultis sejak abad kedua sebelum masehi.
Dalam arti kultis, liturgi berarti pelayanan ibadat. Pengertian liturgi secara
kultis ini terutama digunakan oleh kelompok Septuaginta (LXX), ketika mereka
menerjemahkan Kitab Suci dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani pada abad III-II
SM. Terjemahan KS itu biasa kita kenal sebagai KS Perjanjian Lama berbahasa
Yunani. Dalam terjemahan Septuaginta itu, kata leitourgia digunakan untuk
menunjuk pelayanan ibadat para imam atau kaum Lewi. Sedangkan tindakan
kultis umat biasanya diungkapkan dengan istilah latreia (penyembahan). Bila
leitourgikos menunjuk alat atau perlengkapan liturgis, maka leitourgia hanya
dipakai dalam Yes 61:6 dan Sir 7:30 dan di situ berarti pelayan liturgi atau
pelayan dalam arti umum.

c. Dalam Perjanjian Baru


Kata leitourgia dan leitourgein mengalami perkembangan yang menarik
dalam PB. Dalam Luk 1:23, leitourgia masih memiliki makna yang sama sekali
persis dengan penggunaannya dalam LXX atau PL, yakni pelayanan imam
Perjanjian Lama. Dibandingkan dengan tulisan Perjanjian Baru yang lain, surat
Ibrani merupakan kitab yang paling sering menggunakan kedua kata itu
(sebanyak 3 kali, dalam Ibr 8:6; 9:21 10:11). Memang surat Ibrani masih
menggunakan kata leitourgia dan leitourgein untuk menjelaskan makna
imamat Yesus Kristus sebagai satu-satunya imamat Perjanjian Baru. Imamat
Kristus merupakan pelayanan yang jauh lebih agung dan berdaya guna
dibandingkan dengan pelayanan imam Perjanjian lama. Oleh karena itu,
imamat dan tata liturgi Perjanjian Lama sudah tidak berlaku lagi, sebab Kristus
adalah satu-satunya pelayan (leitourgos), tempat kudus dan kemah sejati (bdk
Ibr 8:2). “Yang pertama Ia hapuskan, supaya menegakkan yang kedua. Dan
karena kehendaknya inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-
lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus” (Ibr 10:9-10).

3
Lih. uraian selengkapnya dalam E Martasudjita, Pr, Pengantar Liturgi (Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi),
Kanisius-Yogyakarta, 1999, hal., 18-27.

4
Istilah liturgia masih ditemukan juga dalam tulisan-tulisan PB yang lain,
antara lain dalam Kis 13:2 (Leitourgein yang dimengerti sesuai dengan
pengertian saat ini), Rom 15:16 (Paulus disebut leitourgos =pelayan, maka
liturgi dimengerti sebagai pelayanan dalam bidang pewartaan Injil ), dalam 2
Kor 9:12 dan Rom 15:27 kata ‘liturgi’ berasrti sumbangan yang merupakan
tindakan amal kasih bagi saudara-saudara seiman di tempat lain. Dalam teks-
teks seperti Flp 2:25.30; Rom 13:6; Ibr 1:7, kata ‘liturgi’ memiliki arti
‘melayani’ dalam arti biasa.
Dapat disimpulkan, kata ‘liturgi’ dalam Perjanjian Baru dihubungkan dengan
pelayanan kepada Allah dan sesama. Pelayanan kepada Allah dan sesama itu
tidak dibatasi hanya pada bidang ibadat saja, tetapi juga pada aneka bidang
kehidupan lain. Yang menarik ialah istilah liturgi dalam PB tidak menunjuk
pada pelayanan kultis dari para pemimpin jemaat, karena memang Gereja
perdana hanya memahami bahwa imamat yang sejati hanya ada dalam diri
Yesus Kristus. Imamat umat beriman hanya merupakan partisipasi dalam
imamat Kristus.

d. Dalam perkembangan Gereja selanjutnya.


Dalam masa pasca-para rasul, kata liturgi sudah digunakan untuk menunjuk
ibadat atau doa Kristiani. Istilah liturgi lama menghilang dalam kamus Gereja
Barat sejak ada penerjemahan Kitab Suci dari bahasa Yunani ke dalam bahasa
Latin (Vulgata) oleh Hieronimus (347-420). Umumnya istilah liturgi
diterjemahkan dengan minister atau juga officium, obsequium, caeremonia,
munus, opus, servitus.
Istilah liturgi kembali dikenal dalam Gereja Barat mulai abad ke-16, melalui
pengaruh kaum humanis (seperti Beatus Rhenanus). Sejak Konsili Vatikan II
istilah ‘liturgi’ dibakukan untuk menyebut ‘peribadatan Gereja’ khususnya
seperti yang terdapat dalam Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium (SC).

e. Liturgi menurut Konsili Vatikan II


Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium tidak secara eksplisit dan tegas
merumuskan suatu definisi liturgi, namun memberikan suatu pemahaman
liturgi yang segar. Dalam SC 7 liturgi dipandang sebagai pelaksanaan tugas
imamat Yesus Kristus oleh Tubuh Mistik Kristus, yaitu Kepala dan para
anggotan-Nya. Isi tugas imamat Yesus Kristus adalah karya keselamatan Allah
yang dilaksanakan oleh Kristus (SC 5).Dalam liturgi terutama dalam Ekaristi
terlaksana karya penyelamatan Allah (SC 2). Subjek dan pelaksana liturgi
adalah Kepala dan para anggota Tubuh Mistik Kristus (SC 7). Maka liturgi dapat
dimengerti sebagai tindakan bersama antara Sang Imam Agung Yesus Kristus
dan Gereja-Nya bagi pengudusan manusia dan pemuliaan Allah (Adolf Adam).
Menurut Rm. E. Martasudjito, Pr., liturgi dapat didefinisikan sebagai berikut:
Liturgi adalah perayaan misteri karya keselamatan Allah dalam
Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung,
bersasma Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus. Yang termasuk Liturgi
resmi Gereja adalah perayaan sakramen-sakramen, perayaan Sabda dan
ibadat harian. Jadi dalam pengembangan musik Liturgi yang dimaksud adalah
penggunaan musik dalam semua perayaan sakramen (terutama Ekaristi
Kudus), perayaan Sabda tanpa Imam hari Minggu dan hari-hari raya dan dalam
ibadat harian (offisi)

1.4. MUSIK DALAM LITURGI

a. Makna Musik Liturgi 4

4
Lih. E. Martasudjita. Pr, dan J. Kristanto, Pr., Musik dan Nyanyianm Liturgi (Panduan untuk Memahami
dan Memilih Nyanyian Liturgi, Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang, Kanisius-Yogyakarta, 2000, hal. 15-16.

5
Dalam Gereja Katolik musik sangat mendapat perhatian yang besar dalam
liturgi. Namun perlu diketahui mana yang termasuk musik liturgi. Kongregasi
Suci untuk Ibadat pada tahun 1967 memberikan penjelasan dalam Instruksi
mengenai musik Liturgi (Musicam Sacram, 4) bahwa musik liturgi atau
musica sacra mencakup nyanyian gregorian, berbagai jenis musik Gereja baik
yang lama maupun baru, musik Gereja untuk Orgel dan untuk alat musik lain
yang diizinkan, nyanyian Gereja atau nyanyian liturgi umat dan nyanyian
rohani umat. Dengan demikian, pengertian musik di sini cukup luas.
Musik liturgi prinsipnya ialah segala macam musik, baik menyangkut jenis
musik astau nyanyiannya, maupun alat musiknya, yang digunakan dalam
rangka perayaan iman Gereja. Pengertian umum membedakan antara musik
vokal dan musik intrumental, meski dalam kenyataannya keduanya sering
dibawakan bersama-sama. Musik Gereja mencakup keduanya dan biasa juga
dibawakannya bersama-sama. Istilah musik liturgi kita mengerti sebagai
keseluruhan jenis musik liturgi yang digunakan dalam liturgi, sedangkan
nayanyian liturgi menunjuk hasil atau apa yang dinayanyikan dalam rangka
musik Gereja.
Musik liturgi atau musik Gereja atau musica sacra merupakan salah satu
unsur dan bentuk ungkapan liturgi Gereja. Kita mengerti bahwa liturgi Gereja
Katolik mempunyai makna simbolis, artinya liturgi selalu dirayakan dalam
bentuk simbol. Musik merupakan salah satu ungkapan simbolis dari peryaan
iman Gereja. Yang dirayakan ialah misteri penebusan Kristus. Umat beriman
dapat mengalami kehadiran misteri penebusan Kristus itu melalui aneka
simbol, termasuk musik liturgi. Maka musik liturgi dapat sungguh
menghadirkan misteri Yesus Kristus kepada umat dan umat dapat masuk
secara sungguh-sungguh dalam misteri Kristus melalui musik liturgi.
Musik memiliki tempat atau kedudukan yang sangat penting dalam liturgi
Gerejas Katolik. Pentingnya musik liturgi ini dapat kita lihat berdasarkan
Konstitusi Liturgi Vatikan II, yang memberi satu bab tersendiri untuk
menjelaskan musik liturgi (Bab VI :SC 112-121).
Berikut ini beberapa gagasan Konsili Vatikan II tentang martabat Musik
Liturgi seperti yang terdapat dalam Sacrosanctum Concilium 112-113 :
 Musik Liturgi Gereja merupakan bagian dari tradisi Gereja Semesta yang
kekayaannya tak terperikan nilainya; lebih gemilang dari ungkapan-
ungkapan seni lainnya, terutama karena nyanyian suci yang terikat pada
kata-kata mrupakan bagian Liturgi meriah yang penting atau integral.
 Musik Liturgi (lagu-lagu ibadat) mendapat perhatian yang besar dalam
Kitab Suci maupun oleh Bapa-bapa Gereja; begitu pula oleh para Paus,
yang dipelopori oleh Paus Pius X, yang akhir-akhir ini semakin cermat
menguraikan peran serta Musik Liturgi mendukung ibadat kepada Tuhan.
 Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan
upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih
bergema, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan
memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak. Gereja
menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat
menurut persyaratan Liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam
ibadat kepada Allah.
 Tujuan Musik Liturgi pertama dan utama adalah demi kemuliaan dan
pengudusan Umat beriman.
 Penggunaan Musik Liturgi perlu memperhatikan kaidah-kaidah serta
peraturan-peraturan menurut Tradisi dan tertib gerejawi.
 Upacara Liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan
dengan nyanyian meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas Liturgi, dan
bila Umat ikut serta secara aktif.

b. Perkembangan Istilah Musik Liturgi

6
Secara singkat tahap-tahap perkembangan istilah musik liturgi adalah
sebagai-berikut: 5
 Sekitar tahun 1200 (berhubungan dengan perkembangan musik polifon )
muncul istilah cantus ecclesiasticus ( = Musik Gereja) artinya nyanyian
yang dipakai dalam liturgi.
 Tahun 1614 (berhubungan dengan pengaruh Gereja Reformasi) muncul
istilah musica sacra yang berarti musik rohani dalam arti seluas-
luasnya; sedangkan musica ecclesiasticus tetap dipakai untuk musik
dalam liturgi.
 Sejak tahun 1820 dalam tulisan tentang musik liturgi, nyanyian grogorian
dimaksudkan dalam musik sacra; namun dokumen-dokumen dari Roma
menyebut nyanyian liturgi tetap cantus ecclesiasticus.
 Tahun 1903 dalam Motu Propio Tra le sollecitudine (Pius X) dipakai istilah
musica sacra sebagai istilah umum untuk nyanyian gregorian, musik
polifon klasik dan musik baru.
 Tahun 1958 dalam instruksi De Musica Sacra, musik organ, nyanyian
rohani umat dan musik religius pada umumnya termasuk dalam musica
sacra.
 Tahun 1963 konstitusi liturgi menghindari istilah musik Gereja. Namun
untuk pertama kali musik gereja dikatakan “merupakan bagian integral
dalam liturgi” (SC 112).
 Tahun 1967 dalam instruksi Musicam Sacram (Instruksi dari Kongregasi
Ibadat Roma, 5 Maret 1967) no. 4 dijelaskan musica sacra sebagai berikut
:
- “yang dimaksud dengan musik ibadat (musica sacra) adalah musik
yang digubah untuk perayaan ibadat suci, dan dari segi bentuknya
memiliki suatu bobot kudus tertentu”
- “yang masuk dalam kategori musik ibadat adalah: lagu gregorian,
polifoni suci, dengan aneka bentuknya baik kuno maupun modern,
musik ibadat untuk organ dan alat musik lain yang telah disahkan, dan
musik ibadat rakyat entah itu liturgis entah sekedar lagu rohani.”
Istilah “Musik Liturgi” baru dipakai sesudah Konsili Vatikan II dan
sekarang dimengerti sebagai musik yang terikat pada liturgi, artinya
musik yang isinya dan bentuknya ditentukan oleh bentuk dan urutan
liturgi.

c. Jenis Musik Liturgi

Musik Liturgi terdapat dua kemungkinan : 6


1. Musik sebagai kegiatan liturgis :
- sebagai aklamasi/dialog antara selebran dan umat (misalnya “Tuhan
sertamu” – “Dan sertamu juga “);
- sebagai pewartaan (misalnya dalam mazmur tanggapan);
- sebagai syukur (misalnya dalam Kemuliaan, Kudus, Madah Syukur
sesudah komuni);
- sebagai permohonan (misalnya dalam Tuhan Kasihanilah, Bapa Kami,
Anak Domba Allah);
- sebagai pernyataan iman (misalnya dalam Syahadat Iman,
Anamnesis).
2. Musik untuk mengiringi suatu kegiatan liturgis :
- pearakan (nyanyian pembukaan-namun tujuan nyanyian pembukaan tidak
terbatas iringan, Alleluya sebelum Injil, nyanyian penutup);
- seluruh persiapan persembahan: perarakan dan persiapan/pendupaan
altar (nyanyian persembahan);
5
Lih. Karl-Edmund Prier SJ, Op. Cit., hal. 88.

6
Ibid., hal., 88
7
- pemecahan roti (nyanyian Anak Domba Allah);
- perjamuan Tuhan (nyanyian komuni);
- pembasuhan kaki (Kamis Putih);
- penyembahan salib (Jumat Agung) dsb.

d. Sifat Musik Liturgi 7


Musik dan seluruh isi liturgi harus selalu disesuaikan dengan harapan yang
dibawa oleh umat yang berkumpul untuk beribadat dan situasi sosiokultural.
Seperti yang ditegaskan dalam Sacrosanctum Concilium (SC) no. 113 :
“Upacara liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan
dengan nyanyian meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas liturgi, dan bila
umat ikut serta secara aktif”. Juga dalam Musicam Sacram (MS) no. 11 :
”hendaknya dicamkan sungguh-sungguh bahwa kemeriahan sejati suatu liturgi
tidak tergantung pertama-tama pada indahnya nyanyian atau bagusnya
upacara, tetapi pada makna dan peryaan ibadat yang memperhitungkan
keterpaduan perayaan liturgis itu sendiri“.
Dokumen-dokumen Gereja sejak Vatikan II (SC dan MS dan Pedoman Umum
Buku Misa) sangat menekankan bahwa partisipasi umat dalam bernyanyi
sangat penting, karena liturgi adalah perayaan bersama. Namun ini tidak
berarti bahwa seluruh nyanyian misa harus dibawakan oleh umat. Karena
perayaan liturgi terdiri dari dialog dan kerja sama antara sejumlah petugas,
termasuk juga pemazmur dan paduan suara.
Paus Pius X dalam Motu Propio8 tahun 1903 menyebut sebagai sifat dari
musica sacra: suci, bermutu dan universal. Akan tetapi ternyata syarat-syarat
ini mencerminkan suatu posisi yang terlalu Eropasentris: apa yang dirasakan
‘suci’ dan ‘bermutu’ tidak sama di barat dan di timur; maka tidak mungkin pula
bahwa musik liturgi yang diciptakan dalam konteks sosiobudaya tertentu harus
cocok untuk seluruh dunia (“universal”).

7
Ibid., hal., 89
8
Motu Propio (Latin) yang artinya atas prakarsa sendiri, adalah istilah untuk sebuah dokumen penting yang
dikeluarkan paus atas prakarsanyas sendiri. Dokumen-dokumen seperti ini biasanya menyangkut masalah administrasi.

8
BAB II

PERANAN MUSIK – NYANYIAN DALAM LITURGI

Dalam pembahasan tentang arti dan martabat musik liturgi serta sejarah
perkembangan musik Gereja (musik yang berkembang dalam Gereja Kristen,
khususnya dalam penggunaannya dalam liturgi) kita sudah melihat betapa
musik sangat berperan dalam liturgi Gereja. Pada bab ini akan dibahas lebih
lanjut lagi tentang tempat dan kedudukan musik dalam liturgi secara
menyeluruh, kemudian akan diuaraikan tentang peranan musik dan nyanyian
dalam tata urutan liturgi Gereja Katolik.

2.1. TEMPAT MUSIK DALAM LITURGI

Konsili Vatikan II memandang bahwa musik memiliki tempat dan


kedudukan yang sangat penting dalam liturgi. Berikut ini beberapa gagasan
teologis tentang tempat musik dalam liturgi.9

a. Musik merupakan bagian liturgi sendiri yang penting dan integral


(dimensi liturgis)
Bagi Konsili Vatikan II musik liturgi bukan sekedar untuk selingan, tambahan,
atau “dekorasi” demi kemeriahan liturgi, melainkan “merupakan bagian liturgi
meriah yang penting atau integral” (SC 112). Dengan kata lain, musik liturgi
termasuk liturgi itu sendiri. Kalau kita umpamakan, musik itu bukan sekedar
baju atau pakaian luar, akan tetapi termasuk bagian badan atau tubuh sendiri.
Tampak misalnya dalam beberapa bagian liturgi, seperti : sebagai pewartaan
(dalam Mazmur Tanggapan), sebagai renungan (dalam Mazmur tanggapan),
sebagai syukur (dalam gloria, Sanctus, Madah Syukur sesudah komuni),
sebagai doa permohonan (dalam Kyrie, Bapa Kami, Agnus Dei), sebagai
pernyataan iman (dalam nyanyian Credo, Anamnese). 10 Sanctus atau Kudus
dan aklamasi Anamnese merupakan nyanyian yang menjadi bagian liturgi
Gereja sendiri, sebab keduanya termasuk bagian Doa Syukur Agung. Jadi musik
liturgi tersebut bukan hanya sekedar selingan dalam keseluruhan Perayaan
Ekaristi.
Justru karena musik merupakan bagian liturgi sendiri, musik harus
digunakan dalam rangka perayaan liturgi. Kita boleh berkata bahwa musik
harus melayani liturgi. Suatu pertunjukan orkes musik yang amat indah,
mengahrukan dan membuat orang menangis tersedu-sedu dalam Perayaan
Ekaristi belum tentu merupakan musik liturgi yang baik. Sebaliknya, suatu koor
umat yang menyanyikan suatu nyanyian dengan gembira dan bersemangat,
dengan seluruh jiwa dan raganya, walaupun lagunya hanya itu-itu saja, belum
tentu merupakan musik liturgi yang jelek.
Kalau kita bertolak dari paham liturgi sebagai perayaan perjumpaan dengan
Allah, maka kita dapat menarik suatu kriteria utama: musik macam manakah
yang boleh masuk menjadi musik liturgi ? Yang boleh menjadi musik liturgi
adalah musik dan nyanyian yang dapat membantu orang dalam
berliturgi, yaitu berjumpa dengan Tuhan dan sesamanya atau tidak.
Itulah sebabnya mengapa musik profan yang populer tidak termasuk musik
liturgi. Bayangkan saja, kalau ada lagu dangdut dengan lirik suara yang nakal,
syair yang menggoda iman, dan biasa dinayanyikan oleh penyanyi centil dan
seksi, lalu digunakan dalam liturgi gereja, apa akibatnya ? Tentu kekacauan.
Contoh musik tersebut tentu mengganggu kekhidmatan dan terarahnya hati
kepada Allah. Maka, musik dangdut tidak cocok untuk liturgi. Demikian
9
Ibid., hal., 17-22
10
Bdk. Karl-Edmund Prier SJ, Pedoman Umum Bagi para petugas Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi
(PML A-11) Yogyakarta, 1989, hal., 3.

9
seterusnya, pilihan lagu dan musik harus membantu orang berdoa, sehingga
orang merasa didukung dalam berdoa dan berjumpa dengan Allah.

b. Musik memperjelas misteri Kristus (dimensi kristoligis)


Konsili Vatikan II menunjuk tujuan musik liturgi sebagai sarana untuk
memuliakan Allah dan menguduskan umat beriman (bdk SC 112). Kalau
dicermati, pemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman ini merupakan
tujuan liturgi gereja sendiri. Pemuliaan Allah dan pengudusan manusia
merupakan isi karya penebusan Yesus Kristus yang dirayakan dalam peryaaan
liturgi. Maka, akhirnya kita boleh merumuskan bahwa tujuan musik liturgi
mengarah kepada hal yang memperjelas misteri Yesus Kristus yang menjadi isi
peryaan liturgi.
Demikianlah, musik liturgi juga berperan dalam memperjelas misteri Kristus.
Melalui isi syairnya, nyanyian dapat ikut memperdalam misteri iman akan Yesus
Kristus yang sedang dirayakan dalam liturgi. Nyanyian liturgi harus mempunyai
syair-syair yang sesuai dengan ajaran iman gereja. Di pihak petugas,
pemilihan lagu atau musik juga harus memperhatikan tema dan jiwa perayaan
liturgi yang akan dirayakan. Melalui melodinya, nyanyian dapat membantu
umat untuk merenungkan dan “berkontemplasi” pada misteri iman yang
dirayakan sebab melodi akan menciptakan suasana yang kondusif (membantu
dan mendukung) bagi doa dan perjumpaan dengan Allah.
Dari gagasan di atas dapat dikemukakan juga kriteria selanjutnya : musik
macam apa yang termasuk musik liturgi Gereja ? Musik liturgi Gereja
ditentukan pertama-tama bukan pada soal popularitas nyanyian itu di antara
umat (artinya: disukasi umat), tetapi pada kesesuain nyanyian itu dengan
jiwa dan misteri iman akan Kristus yang dirayakan dalam liturgi. Maka
tidak baik kiranya, bila kita memilih nyanyian untuk liturgi dengan kriteria
sekedar bagus liriknya, disukai umat, tetapi isi syair dan temanya amat
berlainan dengan misteri iman yang dirayakan. Usahakanlah selalu untuk
memilih nyanyian yang sesuai dengan misteri iman yang dirayakan dalam
perayaan liturgi tersebut. Kita berusaha agar isi nyanyian dan syairnya
membantu umat beriman dalam memahami misteri pribadi dan karya Tuhan
kita Yesus Kristus.

c. Musik mengungkapkan peran serta umat secara aktif (dimensi


eklesiologis)
Musik liturgi dapat membantu umat dalam berpartisipasi secara aktif dalam
liturgi. Konsili Vatikan II sendiri mengharapkan agar umat dapat berperan serta
secara sadar dan aktif dalam peryaan liturgi (bdk SC 14). Dalam hal ini, musik
dapat memberi sumbangan yang penting. Berbagai nyanyian dan musik yang
amat sesuai dengan tema liturgi dan tempatnya akan membantu umat dalam
memasuki misteri iman yang dirayakan dan memungkinkan umat untuk lebih
baik menangkap sabda Tuhan dan kurnia sakramen yang dirayakan. Misalnya,
sebuah lagu pembukaan yang tepat dan baik akan membantu umat memasuki
perayaan liturgi secara siap, bersemangat, serta mempersatukan umat yang
hadir. Mereka datang menjelang misa tentu belum amat siap untuk masuk ke
perayaan liturgi. Barangkali napas mereka belum teratur dan mereka belum
tenang di tempat duduk karena baru saja datang. Maka, mereka ini akan
dibantu dalam mengarahkan hatinya kepada Allah oleh nyanyian pembukaan
yang tepat.
Di samping itu, nyanyian dapat ikut membangun kebersamaan umat
beriman yang sedang beribadat. Kebersamaan itu mungkin sudah tercipta
sejak tahap persiapan seperti ketika para anggota koor dan pengirng berlatih.
Namun, nyanyian itu akan sangat membantu untuk mempersatukan umat
dalam pelaksanaan perayaan liturgi itu. Coba lihat saja, kalau orang tampil dan
menyanyi bersama, mereka tentu suka saling pandang dan melirik antar
penyanyi. Mengapa ? Barangkali karena mereka merasa senang, tetapi kiranya
karena mereka saling diteguhkan dan memiliki ikatan bersama; sedang
menyanyi bersama. Demikian pula dalam rangka ibadat, umat yang menyanyi
10
bersama merasa disatukan oleh lagu itu dan entah bagaimana suatu
persaudaraan sedang dibangun dan dibentuk. Jadi nyanyian di sini dapat
mempersatukan umat dan mempersatukan para penyanyi. Dengan bernyanyi
bersama tercipta persatuan batin. Misalnya pada permulaan ibadat, waktu
menyambut Tuhan dalam Sabda Injil (dalam nyanyian Alleluya), nyanyian
kudus, menyambut komuni, madah syukur sesudah komuni (sebagai ungkapan
sikap bersama) dan waktu bersahut-sahut (dalam jawaban-jawaban).11
Untuk itu kiranya dapat dikemukakan lagi suatu kriteria yang perlu dipegang
: musik macam mana yang boleh menjadi musik liturgi ? Musik liturgi ialah
musik yang mampu mempersatukan umat beriman dan membantu umat dalam
berpartisipasi secara sadar dan aktif dalam perayaan liturgi itu. Kriteria di sini
ialah bukan pertama-tama indahnya nyanyian itu ataupun hebatnya kelompok
paduan suara itu, tetapi bagaimana musik itu memungkinkan umat
berpartisipasi secara sadar dan aktif dalam perayaan liturgi itu.
Termasuk dalam kriteria ini adalah nyanyian yang sesuai dengan citarasa umat
setempat.
Suatu orkes musik yang bagus dengan para penyanyi yang jempolan dan
profesional belum tentu cocok digunakan dalam musik liturgi. Sebabnya, kalau
orkes dan koor penyanyi profesional itu lalu hanya menjadi tontonan umat,
maka penampilan mereka itu malah tidak mendukung perayaan liturgi. Kurang
tepat lagi, kalau ada kebiasaan sang pemusik dan koor jalan-jalan di depan
altar, sementara umat menonton dengan takjub dan kagum. Mengapa ini tidak
tepat ? Sebab koor dan pemusik tersebut lebih menjadi suatu tontonan atau
pertunjukan daripada pengiring dan pembantu perayaan liturgi yang hidup. Bila
musik malah membuat umat lupa berdoa dan sebaliknya membuat umat
merasa berada di suatu ruangan atraksi konser musik, maka musik tersebut
tidak mendukung liturgi umat. Sebaiknya, koor dan pemusik seperti itu
ditampilkan bukan dalam ruangan gereja untuk mengiringi perayaan liturgi,
tetapi dalam ruangan aula untuk pertunjukan orkes musik.

2.2. PERANAN MUSIK – NYANYIAN DALAM TATA URUTAN LITURGI

Kalau kita berbicara mengenai peran musik dan nyanyian dalam liturgi,
maka kita harus membahas musik dan nyanyian itu dalam seluruh bidang
liturgi. Sudah dikemukakan bahwa bidang liturgi resmi Gereja katolik adalah :
perayaan sakramen-sakramen, perayaan sabda, dan ibadat harian.
Tentunya kita tidak melupakan ibadat-ibadat lain yang walaupun tidak
termasuk liturgi resmi, tetapi masuk dalam lingkaran urusan liturgi. Misalnya
ibadat-ibadat berkat, ibadat-ibadat wilayah dan lingkungan-kelompok,
sakramentali, devosi, dan sebagainya.
Dalam pembahasan tentang peranan musik dan nyanyian dalam tata
urutan liturgi, tidaklah mungkin akan dibahas secara keseluruhan setiap liturgi
resmi atau ibadat-ibadat lainnya. Diambil satu bidang perayaan liturgi sebagai
pusat pola dan contoh utama, yang memang menjadi pusat dari seluruh bidang
liturgi, yakni perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi merupakan sumber dan
puncak seluruh hidup kristiani.12 Perayaan Ekaristi juga merupakan tingkatan
tertinggi dan puncak dari seluruh perayaan liturgi Gereja. Bahkan bila kita
memperdalam peran musik dan nyanyian liturgi dalam Perayaan Ekaristi, kita
dapat pula menerapkan pengertian ini pada bidang liturgi lain menurut
tingkatan dan arti tertentu. Contohnya, apa yang kita pikirkan mengenai peran
nyanyian pembukaan dalam misa kudus kiranya juga berlaku untuk perayaan
liturgi lainnya, entah perayaan sakramen lain, perayaan sabda ataupun ibadat
berkat dan devosi, dan sebagainya.13
Berikut ini kita akan melihat peranan musik-nyanyian dalam tata urutan
Perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi tersusun dalam dua bagian pokok yaitu
11
Ibid., hal. 3.
12
Lih. Dokumen Konsili Vatikan II , Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatik tentang Gereja) art. 11.
13
Lih. E. Martasudjita Pr., J. Kristanto Pr., Op.Cit., hal., 23-24.
11
Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Dua bagian ini diapit oleh upacara
pembukaan dan upacara penutup.

A. PEMBUKAAN
Perayaan Ekaristi gereja dibuka dengan suatu opening ceremony :
perarakan masuk pemimpin ibadat dengan pembantu-pembantunya, dan dapat
di bawah : salib, dupa, lilin yang bernyala, buku Injil, serta diiringi nyanyian.
Dalam bagian pembukaan kita hayatati bahwa “Tuhan hadir dalam umat yang
berkumpul atas nama-Nya.” (lih. MB hal. 119). Gereja atau umat yang dipanggil
Tuhan berkumpul dan menghayati persatuannya dengan Tuhan. “Di mana dua
atau tiga orang berkumpul atas nama-Ku, di situ Aku hadir di tengah-tengah
mereka” (Mat.18:20).14 Umat yang berkumpul merupakan tanda kehadiran
Tuhan. Unsur-unsur musik dan nyanyian pada bagian liturgi pembukaan
adalah: Nyanyian pembukaan, doa tobat dan Tuhan Kasihanilah Kami (Kyrie),
Kemuliaan (Gloria).

1. Nyanyian Pembukaan
Nyanyian pembukaan biasa kita nyanyikan sambil berdiri untuk menyambut
perarakan imam dan para petugas liturgi menuju altar. Namun tentu saja,
apabila struktur dan keadaan tempat dan umat lebih menuntut bahwa umat
lebih baik tetap duduk, maka umat tidak perlu berdiri. Yang penting sikap
hormat dan siap siaga menyambut kedatangan Tuhan harus ada dan dijaga.
Nyanyian pembukaan memiliki beberapa peran atau fungsi dan tujuan :15
a. Membuka Perayaan Ekaristi.
b. Membina kesatuan umat yang berhimpun.
c. Mengantar masuk ke dalam misteri iman yang dirayakan pada liturgi
tersebut (sesuai masa dan pesta liturginya).
d. Mengiringi berjalannya imam besertas pembantu-pembantunya menuju
altar. Karena itu, lama nyanyian pembukaan harus disesuaikan dengan
kapan imam atau pemimpin liturgi sudah siap di altar.
Nyanyian pembukaan adalah nyanyian umat dan harus menggerakkan umat
serta umat harus diikutsertakan. Boleh dinyanyikan silih berganti antara
paduan suara dan umat. Akan tetapi lebih tepat kalau dinyanyikan oleh seluruh
umat. Nyanyian yang paling cocok adalah nyanyian berbait (jangan hanya
sastu bait saja), yang sudah dikenal dan disenangi umat (jangan umat
dipaksakan diam). Apabila bait sudah selesai sedangkan imam masih
mendupai maka organ masih dapat mengiringi, atau lagu dapat diulangi mulai
pada bait yang pertama. Maka dituntut inisiatif atau spontanitas yang baik dan
tepat dari sang dirigen ataupun pemusik yang senantiasa dapat membaca
situasi perayaan.
Apabila tidak ada nyanyian pembukaan, antifon pembukaan dapat
dibacakan oleh seluruh umat atau beberapa atau seorang pembaca atau oleh
imam sendiri. Antifon pembukaan dapat dibacakan sebelum tanda salib atau
sesudah salam.
Pada permulaan perayaan ekaristi ada tiga nyanyian yang saling
berdekatran : pembukaan, Tuhan Kasihanilah kami, dan Kemuliaan. Kalau ini
dinyanyikan semua berturut-turut (ingat : berkesinambungan, tanpa henti),
maka hal ini sebenarnya membuat bagian pembukaan agak berat, tidak
seimbang dengan liturgi sabda dan ekaristi. Di bawah ini disajikan tabel variasi
nyanyian pembukaan dengan membatasi diri pada dua nyanyian pada bagian
pembukaan 16

14
Lih. Karl-Edmund Prier SJ., Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi, Pusat Musik Liturgi (PML A-52)
Yogyakarta, 1987, hal., 4-5.
15
Ibid., hal. 5; bdk. juga E. Matasudjita Pr., dan J. Kristanto Pr., Op.Cit., hal. 24-25.

16
Lih. Karl-Edmund Prier SJ, Liturgi Perayaan Keselamatan, PML-Yogykarta A-24, 1978, hlm 20.

12
Tabel Variasi
dalamNyanyian Pembukaan

No Nyanyian Pembukaan Kyrie Gloria

1 Nyanyian Berbait Mis. MB diucapkan Dinyanyikan


167/PS 324 sahut-menyahut,
mis. MB 204

2. Nyanyian berbait nyanyian Dinyanyikan


----------
yang memuat seruan sahut-menyahut
“tuhan kasihanilah”, mis.
MB 190

3. Nyanyian berbait, mis MB Litani, Ditiadakan/dipin


166/PS 325 Mis. MB 179/PS dahkan sesudah
komuni
347

4. Nyanyian berbait. Mis MB diucapkan Nyanyian kor-


165/PS 329 umat, mis. MB
193/PS 354

5. Nyanyian kombinasi yang ---------- ----------


memuat pembukaan,
Tuhan Kasihanilah,
Kemuliaan, mis MB 519

6. Nyanyian berbait (lih. no 1 Dinyanyikan/ Diucapkan/dinya


di atas) nyikan
diucapkan

Kita sering menjumpai istilah klasik: propium. Istilah propium biasanya


menunjuk nyanyian-nyanyian dalam Perayaan Ekaristi yang selalu berganti-
ganti menurut tema Ekaristi atau bacaan-bacaan Ekaristi, yaitu nyanyian
pembukaan, antar bacaan (sekarang diganti dengan mazmur tanggapan),
nyanyian persiapan persembahan dan nyanyian komuni/penutup. Nyanyian-
nyanyian tersebut senantiasa harus dipilih sesuai dengan tema Perayaan
Ekaristi. Propium ini dibedakan dengan jelas dari apa yang biasa disebut
ordinarium yang menunjuk bagian-bagian misa yang tetap.

2. Doa Tobat dan Tuhan Kasihanilah Kami


Sejak dahulu perayaan misa diawali dengan suatu pernyataan tobat. Lihat
Didake (didache)17 tahun 100: “Pada hari Tuhan (minggu) berkumpul untuk
memecahkan roti dan bersyukurlah. Namun lebih dahulu kalian harus mengaku
kesalahanmu agar persembahanmu murni.” Dalam PUBM no. 29 dikatakan:
”Imam mengajak umat untuk mengheningkan cipta dan menyatakan tobatnya
dengan pengakuan dosa bersama. Sesudah itu imam memberikan
pengampunan.”
“Tuhan Kasihanilah Kami” merupakan teks kuno sebelum ada agama
Kristen, bahkan ada dalam tradisi kafir Yunani, sebagai seruan pemujaan-
penghormatan kepada yang Ilahi. Dengan seruan/nyanyian tersebut orang-
orang Yunani dan Romawi menghormati Sang Raja atau menyambut Sang
Matahari atau juga salah satu dewa.
17
Didache atau sering dikenal dengan ajaran kedua belas rasul berisi ajaran Kristiani; ditulis menjelang akhir
abad ke-1, ditemukan kembali pada tahun 1833 oleh Bryennios, Metropolit Ortodoks di Nikomedia. Isi dibagi atas (1)
Dua jalan : jalan Kehidupan dan Jalan Kematian; (2) Pedoman Liturgi Pembaptisan, Puasa, Pengakuan Dosa dan
Komuni Kudus; (3) Uraian singkat mengenai pelayanan. (Lih. Ensiklopedi Gereja I, A. Heuken SJ, CLC-Jakarta,
1990, hal 242).
13
Sebagai langkah inkulturasi (inkulturasi dalam liturgi Gereja purba) sejak
tahun 529 seruan Kyrie eleison (Tuhan kasihanilah kami) dipakai sebagai
seruan penghormatan kepada Kristus dalam misa, dengan pengikutsertaan
umat sambil memeprkembangkannya dengan diselingi dan dikonkritkan
menjadi : Christe Eleison (Kristus kasihanilah kami).18 Gereja menggunakan
seruan ini menurut arti Santo Paulus yang melihat “Tuhan” adalah Yesus
Kristus. Semula seruan ini dipakai dalam rangka doa ltani di timur, lalu juga
dipakai di Barat. Sifat seruan ini ialah berseru kepada Tuhan dan memohon
belas-kasihan-Nya.19 Namun lama-kelamaan Kyrie eleison berubah menjadi
seruan permohonan (tobat, permohonan ampun) sedangkan dalam lagu
Gregorian dan lagu polifon abad-abad pertengahan segi permohonan kepada
Kristus sebagai raja masih nampak, tanpa meninggalkan maksud aslinya ialah
memohon ampun kepada Kristus yang kini dihormati sebagai Penyelamat dan
Tuhan.
Dalam perkembangan selanjutnya bentuk litani seruan ini beruba+h dengan
dibatasi pada 9 ulangan tanpa sisisipi ujud-ujud. Dalam Konsili Vatikan II malah
dibtasi hanya 6 seruan, namun dengan anjuran agar disisipi ujud-ujud (lih.
Cara C, mis. MB No. 188 yakni sebuah nyanyian dari ibadat gereja Timur
(Ortodoks).
Dalam liturgi Gereja sekarang ‘Tuhan Kasihanilah Kami”diucapkan atau
dinyayikan langsung sesudah doa tobat (cara A dan cara B) atau diucapkan
atau dinyanyikan secara selang-seling dengan ungkapan-pernyataan tobat
(cara C). “Tuhan kasihanilah kami” pada bagian ini bisa ditiadakan apabila lagu
pembukaan sudah memuat pernyataan ini. Umumnya seruan ini diulangi satu
kali, tetapi dalam rangka inkulturasi bisa disesuaikan dengan umat setempat.
Doa tobat dan Tuhan kasihanilah kami bisa diganti dengan pernyataan tobat
cara D, yaitu pemercikan yang dapat diiringi misalnya dengan nyanyian
Asperges Me atau Vidi aquam, untuk masa paskah (PS 234). Setelah upacara
pemercikan air, imam langsung memberi obsolusi (jadi tanpa ‘Tuhan
Kasihanilah Kami’), dilanjutkan dengan Madah kemuliaan.20
Untuk pernyataan tobat tersedia empat cara: Cara A (Saya mengaku), Cara
B (dengan Mazmur), Cara C (dengan tiga seruan dan jawaban Tuhan
kasihanilah kami-Kristus kasihanilah kami-Tuhan kasihanilah kami), Cara D
(dengan percikan air sambil dinyanyikan Asperges me/Vidi aquam). Namun
pernyataan tobat dapat ditiadakan, bila sebelum misa ada upacara lain,
misalnya perarakan atau juga pada hari raya besar. 21
Ordinarium merupakan istilah yang digunakan untuk memudahkan
penyebutan 5 lagu abgian Perayaan ekaristi yang tidak pernah berubah, yaitu
Kyrie, Gloria, Credo, Sanctus, dan Agnus Dei. Namun, kelima bagian tersebut
tidak sejajardalam tingkatan atau pentingnya. Kudus berada pada lingkaran
terpenting, karena kudus termasuk bagian dari Doa Syukur Agung (DSA) yang
merupakan inti liturgi ekaristi. Maka Kudus pasti selalu ada.Kemuliaan dan
Credo untuk misa harian ditiadakan, tetapi untuk hari Minggu biasa selalu ada.
Pada masa Adven dan Pra-paskah kemuliaan hilang. Anak Domba Allah hanya
bersifat fakultatif, yakni dapat dihilangkan bila pemecahan roti sudah terjadi
dan tidak perlu diiringi lagu.22
3. Kemuliaan (Gloria)
Gloria adalah suatu himne kuno ( sebelum tahun 340 sudah dipakai) yang
mula-mula dipakai dalam doa pagi Gereja pada abad-abad pertama; lahir
sebagai madah pagi untuk menghormati Kristus yang bangkit bagai matahari
yang terbit. Syairnya bukan diambil dari Kitab Suci. Pada mulanya dipakai
khusus untuk memeriahkan Misa Agung Sri Paus pada hari Minggu (=

18
Ibid. hal 7
19
Bdk. Dr. E. Martasudjita Pr, J. Kritanto Pr, Op.Cit., hal. 28.
20
Ibid. hal. 29, bdk juga Karl-Edmund Prier SJ, Op.Cit., hal. 7.
21
Lih. Karl-Edmund Prier SJ, Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi, PML-Yogyakarta A-52, 1987, hal. 7.
22
Lih. D. E. Martasudjita Pr dan J. Kristanto Pr, Op. Cit. hal. 29.

14
peringatan hari Raya Paska). Lama-kelamaan dipakai khusus untuk misa hari
minggu dan hari raya, kecuali selama masa adven dan Pra-paskah. Imam-imam
mula-mula tidak boleh memakai ‘Kemuliaan’ kecuali pada hari Paskah saja.
Namun akrena begitu disenangi, maka ‘Kemuliaan’ makin boleh digunakan
sampai akhirnya praktis tiap hari diucapkan sebagai doa wajib. Oleh Konsili
Vatikan II penggunaan ‘Kemuliaan’ dibatasi kembali pada hari Minggu dan Hari
Raya saja.
Kidung kemuliaan merupakan kidung pujian yang dilambungkan oleh
dorongan Roh Kudus kepada Bapa dan Putra. Kemuliaan terdiri tiga bagian:23
a. Pujian berasal dari kidung para malaikat (Luk 2:14;
b. Pujian (sedikit panjang) kepada Allah yang disertai dengan permohonan
belas kasihan kepada Bapa dan Putra;
c. Penghormatan kepada Kristus sebagai satu-satunya Tuhan (untuk melawan
ibadat kafir yang mengkultuskan kasiar pada abad-abad pertama), dengan
doksologi kepada Allah Tri-tunggal.
Jadi Kemuliaan adalah madah pujian syukur terutama pada Kristus, yang
tadi disapa dengan seruan ‘Kasihanilah Kami’. Maka Kemuliaan dimaksudkan
sebagai ‘terima kasih’ atas penebusan yang kita alami dalam Kristus sebagai
Penyelamat. Sebagai tujuan yang paling nyata Kemuliaan adalah merupakan
‘syukur’ bila dilagukan, sedangkan jika di-deklamasikan maka tujuan tersebut
kurang wajar. Susunan dalam bentuk sahut-menyahut dibawakan oleh dua
pihak yakni umat dan kor. Namun pada Hari Raya untuk meningkatkan segi
syukur dapat juga dibawakan oleh kor tanpa umat. Karena isinya merupakan
puji-pujian pada Kristus Sang Penyelamat, maka kurang tepat bila diganti
dengan sembarangan lagu syukur lain/umum. Bisa diganti dengan nyanyian
berbait, asal isinya sesuai dengan kemuliaan.
Kemuliaan bisa diucapkan atau dinyanyikan secara bergantian atau
bersamaan. Suatu usaha penyusunan lagu kemuliaan yang lain, misalnya lebih
singkat dan padat, tetap dimungkinkan. Yang penting dalam kidung itu harus
diungkapkan puji-syukur kepada Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus (lih. Misa
Dolo-Dolo, PS 358). Kemuliaan diucapkan atau dinyanyikan pada hari-hari
Minggu, hari Raya dan pesta-pesta, kecuali dalam masa Adven dan Pra-paska.24

B. LITURGI SABDA

1. Makna Liturgi Sabda


Liturgi sabda memiliki struktur dialogis yang amat jelas, yakni Allah
bersabda kepada umat-Nya melalui bacaa-bacaan dan homili; lalu umat
menanggapi sabda Tuhan dengan nyanyian atau mazmur tanggapan, syahadat
dan doa umat. Pusat dan puncak liturgi sabda adalah pembacaan Injil. Itulah
sebabnya pembacaan Injil dibuat lebih meriah, di mana umat berdiri, ada
salam khusus, pembuatan tanda salib pada dahi, mulut dan dada, pembacaan
dilakukan oleh diakon atau imamnya sendiri, dst.25
Inti setiap ibadat sabda terdiri dari tiga unsur pokok : Bacaan – nyanyian
tanggapan/jawaban – doa. Skema ini dapat diulang-ulang misalnya dalam
ibadat malam Paska dengan 12 bacaan; dapat diadakan variasi: bacaan dapat
dipilih yang panjang (malam paska) atau pendek (ibadat
completorium/penutup); nyanyian dapat ditiadakan (sesudah Injil) atau
dintensifkan (dalam ibadat vesperae/sore); dan dapat ditonjolkan (dalam litani
misalnya waktu tahbisan imam), atau ditiadakan (selain ibadat malam paska
mazmur tanggapan tidak dilanjutkan dengan doa).26

23
Lih. Karl- Edmund Prier SJ, Op. Cit. hal. 8, bdk juga Dr. E. Martasudjita Pr dan J. Kristanto Pr,
Op.Cit. hal. 29- 30.
24
Ibid. hal. 30
25
Ibid. hal 30.
26
Lih.Karl-Edmund Prier SJ, Op.Cit. hal. 9-10.

15
2. Mazmur Tanggapan 27
Mazmur tanggapan pada mulnya disebut nyanyian selingan, antar bacaan.
Mulai 1985 baru disebut Mazmur tanggapan. Mazmur tanggapan merupakan
unsur pokok dalam liturgi sabda. Sesuai dengan namanya, Mazmur tanggapan
dimaksudkan untuk memperdalam renungan atas sabda Allah dan sekaligus
menanggapi sabda Allah yang baru saja kita dengarkan dalam bacaan yang
mendahuluinya.
Mazmur tanggapan diambil dari Kitab Suci dan disesuaikan dengan bacaan
pertama. Mazmur dinyanyikan oleh solis atau pemazmur; umat mendengarkan
dan menjawab dengan sebuah ulangan atau refren. Untuk masa liturgi atau
pesta orang kudus tertentu, disediakan sejumlah mazmur dan ulangan yang
dapat selalu dipakai, agar umat mudah berpartisipasi. Mazmur tanggapan
sebaiknya dinyanyikan, tetapi juga dapat dibacakan. Sebelum membawakan,
mazmur tanggapan sebaiknya didahului saat hening, meskipun singkat.
Pada prinsipnya, liturgi sabda selalu menggunkan mazmur tanggapan
sebagai nyanyian tanggapan. Hanya dalam kasus darurat saja, mazmur
tanggapan dapat diganti dengan lagu lain yang sesuai dengan tema, tetapi
sebaiknya teks lagunya bersifat biblis.
Sering ada pertanyaan dari para petugas: apakah pemazmur harus
menyanyikan atau membacakan seluruh ayat mazmur yang disediakan di buku
kita. Jawabannya : tidak harus. Harus kita akui bahwa ayat-ayat mazmur
diambil di situ juga bersifat pilihan dan tidak memuat seluruh ayat dari
mazmur yang bersangkutan. Maka kalau keadaan meminta agar kita tidak
terlalu panjang menyanyikan ayat-ayat mazmur, baiklah kita mengambil dua
atau tiga bait saja. Kasus konkret apabila bacaan-bacaan hari itu semua
panjang.
Ada dua cara untuk melagukan mazmur : cara responsorial dan cara
antifonal. Cara Responsorial : pola menyanyi bersahut-sahutan antara
ulangan (oleh umat) dan ayat-ayat (oleh solis/kor). Solis/kor memulai mazmur
dengan melagukan ulangan. Lalu, umat melagukan ulangan yang sama.
Kemudian menyusullah ayat-ayat; sesudah tiap ayat, umat menyanyikan
ulangan, contoh dalam membawakan mazmur tanggapan. Sedangkan cara
antifonal: ayat-ayat dinyanyikan secara bersahut-sahutan antara dua
kelompok. Dalam pola ini, pemimpin memulai dengan melagukan ulangan. Lalu
semua umat melagukan ulangan yang sama. Kemudian, seluruh ayat mazmur
dibawakan bergantian oleh dua kelompok (A-B). sesudah ayat terakhir selalu
ditambahkan “Kemuliaan kepada Bapa…..” Kemudian, semua umat melagukan
ulangan. Contoh PS 35, mazmur 8.28

3. Bait Pengantar Injil 29


Bait pengantar Injil berbeda dengan mazmur tanggapan. Bait pengantar Injil
bukanlah untuk menanggapi bacaan yang baru saja didengarkan, sebagimana
dalam mazmur tanggapan, tetapi mempersiapkan umat untuk mendengarkan
Injil yang akan diwartakan.
Alleluia dinyanyikan sepanjang tahun kecuali masa Pra-paskah. Alleluia
dinaynyikan oleh umat atau paduan suara atau solis. Alleluia bisa diulangi, teks
ayat diambil dari bacaan misa (misalnya : Injil saat itu atau sebuah mazmur
lain). Jika sebelum Injil hanya ada satu bacaan saja, maka (1) di luar masa Pra-
paskah dapat digunkan nyanyian mazmur alleluai atau mazmur beserta alleluai
dengan baitnya atau kedua-duanya; (2) dalam masa Pra-paskah dapat
dinyanyikan mazmur saja atau bait pengantar Injil.

27
Uraian tentang mazmur tanggapan lih. Dr. E. Martasujita Pr dan J Kristanto Pr, Op.Cit. hal. 31-32 dan
Karl-Edmund Prier SJ, Op.Cit. hal. 10.
28
Lih. Seksi Musik Komisi Liturgi KWI, Nyanyian Perayaan Ekaristi dan Perayaan Sabda (PS 219-435),
Komisi Liturgi KWI- Jakarta, 1994, hal. Xii.
29
Lih. urainnya dalam Dr. E.Martasudjita Pr dan J. Kristanto Pr, Op.Cit., hal. 32-33.
16
Umat bediri pada saat bait pengantar Injil dinyanyikan sebagai ungkapan
kesiapan dan penghormatan akan Sabda Kristus sendiri melalui Injil. Alleluai
atau bait pengantar injil apabila tidak dinyanyikan, maka ditiadakan saja (bdk
PUBM 39). Artinya, alleluia seharusnya dinyanyikan dan tidak dibacakan.

C. LITURGI EKARISTI
1. Makna Liturgi Ekaristi.30
Liturgi Ekaristi disusun sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kata-kata
dan tindakan-tindakan Kristus.
a. Waktu persiapan persembahan, roti dan anggur serta air dibawa ke altar,
yaitu benda-benda yang sama yang juga dipegang Kristus waktu perjamuan
terakhir.
b. Dalam DSA diucapkan syukur kepada Allah Bapa atas seluruh karya
penyelamatan melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus, dan kepada Bapa
dipersembahkan Tubuh dan Darah kristus.
c. Dengan membagi-bagi roti yang satu itu pada saat komuni, dilambangkan
kesatuan umat dengan Tuhan dan sesama, dan dalam komuni itu umat
menerima tubuh (dan darah) Tuhan, sama seperti dahulu para rasul
menerima dari tuhan. Komuni termasuk bagian pokok Perayaan Ekaristi.
Dengan komuni umat berpartisipasi dalam seluruh dinamika keselamatan
Allah dalam Kristus yang didoakan dalam DSA. Komuni merupakan
pastisipasi setiap orang beriman secara personal dan sakramental dalam
DSA.

2. Nyanyian Persipan persembahan 31


Nyanyian persiapan persembahan berfungsi untuk mengiringi perarakan
persembahan dan sekaligus untuk membina kesatuan umat dan mengantar
umat masuk ke dalam misteri Ekaristi suci yang kini sedang dipersiapkan
dengan persembahan itu. Nyanyian persiapan persembahan juga harus
ditempatkan dalam rangka persembahan roti dan anggur dan uang daru umat
sebagai hasil bumi dan usaha kerja serta jerih payah manusia. Pengumpulan
uang (kolekte) pada dasarnya dimaksudkan untuk orang miskin atau untuk
keperluan Gereja. Sekurang-kurangnya nyanyian persiapan persembahan
berlangsung hingga persembahan ditaruh di atas altar.
Apabila tidak ada nyanyian persiapan persembahan, pengiring dapat
memainkan intrumennya secara lembut, untuk menciptakan suasana liturgis
yang sesuai. Dengan demikian suasana liturgi tidak menjadi kosong dan
mencekam.

3. Doa Syukur Agung dan Kudus


Doa Syukur Agung merupakan pusat dan puncak Perayaan Ekaristi. Dalam
seluruh DSA-lah, roti dan anggur dikuduskan menjadi tubuh dan darah Kristus
oleh Roh Kudus. Dalam doa ini Gereja menggabungkan diri dengan Kristus
dalam memuji karya Allah yang agung dan mempersembahkan kurban, yaitu
Kristus sendiri dan hanya bersama Kristus Gereja juga mempersembahkan
dirinya kepada Allah. DSA dimulai sejak dialog pembukaan, dilanjutkan dengan
prefasi, kudus, doa epiklese, kisah institusi, doa anamnese, doa korban, doa
permohonan dan ditutup denagn doksologi. Seluruh DSA diakhiri dengan
jawaban AMIN yang meriah dari umat.

Prefasi
Prefasi bertujuan menguraikan alasannya mengapa kita bersyukur. Terdapat
kurang lebih 100 prefasi yang berlainan. Prefasi selalu berakhir dengan ajakan
untuk “menggabungkan suara dengan para malaikat yang tak henti-hentinya

30
Ibid. hal 33-34
31
Untuk uraian bagian Nyanyian persiapan persembahan sampai bagian Penutup dari Perayaan Ekaristi lihat
dalam Dr. E. Martasudjita Pr dan J Kristanto Pr, Op.Cit. hal 34-41.
17
berseru/bernyanyi.” Kemudian langsung disambung dengan Kudus. Sebagai
bagian dari DSA serta sebagai pelaksanaan syukur kepada Bapa maka prefasi
dari hakekatnya sendiri merupakan suatu nyanyian, pantaslah dilagukan bukan
saja pada misa agung (oleh imam).32

Nyanyian Kudus
Nyanyian kudus didasarkan pada dua teks Kitab Suci, yakni pujian malaikat
dalam penampakan yang dialami Yesaya (Yes 6:3) dan seruan pujian orang-
orang kepada Yesus yang tengah memasuki kota Yerusalem (Mat 21:9).
Nyanyian kudus ini termasuk warisan tertua semua liturgi, di mana bagian
pertama kudus itu barangkali diambil alih dari tradisi liturgi Yahudi. ‘Hosana’
adalah kata Ibrani yang aslinya berarti ‘tolonglah’, tetapi kemudian menjadi
seruan pujian untuk kemuliaan Tuhan dan raja-raja. Nyanyian Kudus merupakan
bagian Doa Syukur Agung, yang merupakan aklamasi atau seruan umat
beriman terhadap pujian syukur yang dilambungkan dalam prefasi sebelumnya.
Karena termasuk DSA, nyanyian kudus merupakan bagian liturgi yang tidak
bisa ditiadakan dalam setiap Perayaan Ekaristi. Meskipun dapat diucapkan,
Kudus paling cocok dinyanyikan.
Pada akhir prefasi yang kerap kali diakhiri dengan kata-kata ,”….segenap isi
surga dan semua malaikat bermadah melagukan pujian, dan memuliakan
Dikau dengan tak henti-hentinya bernyanyi/berseru….”, dirigen, organis, dan
kor hendaknya siap dengan nanyian tersebut. Sehingga bila imam mengakhiri
prefasi, semuanya dapat mulai dengan serempak, tanpa harus menunggu
lama, apalagi malah dirigen masih mengumumkan nomor segala.
Pengumuman nomor nyanyian Kudus dan barangkali juga nomor aklamasi
anamnese sebaiknya diadakan sebelum dialog pembukaan prefasi dari imam
atau langsung dengan nomor lampu yang dinyalakan di depan, sehingga umat
langsung paham nomor nyanyian Kudus yang akan dinyanyikan.
4. Bapa Kami
Doa Bapa Kami merupakan doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus
sendiri (bdk Mat 6 : 9-13 dan par). Doa ini memuat dua bagian pokok, yakni
mengungkapkan kerinduan akan Kerajaan Allah dan memohon apa yang kita
butuhkan hari ini : rezeki, pengampunan, dan damai. Doa ini bisa didoakan
ataupun dinyanyikan, namun diusahkan untuk dibawakan oleh seluruh umat
yang hadir. Pada hari Minggu dan kesempatan pesta atau perayaan khusus,
Bapa Kami lebih baik dinyanyikan.
Kalau doa ini dinyanyikan dalam bahasa Latin, hendaknya dipakai lagu yang
sudah disyahkan; tetapi kalau dinyanyikan dalam bahasa pribumi, gubahan
tersebut haruslah disahkan oleh pimpinan gerejawi setempat yang berwenang.
Prinsip lagu atau doa Bapa Kami yang boleh digunakan dalam liturgi ialah syair
itu sesuai dengan doa Bapa Kami sebagimana diwartakan dalam injil kita. Doa
BapaKami yang menjadi hafalan kita sudah dapat menjadi patokan juga. Maka
kalau ada lagu Bapa Kami ciptaan sendiri yang menghilangkan beberapa
pernyataan dari teks Injil kita, maka lagu tersebut janganlah digunakan untuk
liturgi. Kita juga harus hati-hati dengan melodi lagu Bapa Kami yang selalu
bercorak populer dan kurang religius. Meski barangkali lagu itu disukai, tetapi
belum tentu dapat digunakan dalam perayaan liturgi.
Perlu diperhatikan, bahwa bagian liturgi; Embolisme 33, doa damai, salam
damai, Anak Domba Allah merupakan aneka kemungkinan bagi usaha
persiapan umat untuk menyambut komuni. Maka baik kalau para pelayan
musik liturgi pernah membaca dan mempelajari Buku Tata Perayaan Ekaristi,
agar mengenal berbagai kemungkinan variasi.

32
Lih. Karl-Edmund Prier SJ, Op.Cit., hal 17.
33
Embolisme berasal dari bahasa Yunani yang berarti sisipan. Embolisme adalah doa yang bersambungan
pada kalimat terkahir Bapa Kami dalam Perayaan Misa. Doa ini sudah ada sejak abad ke-3 M yang berisi permintaan
pembebasan dari segala yang jahat supaya umat dapat mengharapkan kedatangan Sang Penebus, Yesus Kristus (bdk
Titus 2:13) (lih. A Heuken SJ, Op.Cit., hal 290).

18
Mengenai bagian salam damai, sesudah mengucapkan doa damai dan
salam damai, imam atau diakon (tertahbis) dapat mengajak umat untuk saling
menyampaikan salam damai. Bagian ini memang bukan keharusan, dan hanya
bersifat fakultatif. Tetapi bila salam damai antar umat akan diadakan, kor dapat
mengajak umat untuk menyanyikan dalam suasana gembira, spontan, ramah
dan hormat. Aneh rasanya kalau kita saling menyampaikan salam damai dalam
suasana tegang dan dengan wajah cemberut, sedih, dan tidak ramah. Maka
sang dirigen, bila memimpin umat dan kor dalam menyanyikansalam damai,
hendaknya mengajak mereka itu dengan wajah yang terang dan gembira.

5. Nyanyian Iringan Pemecahan Roti dan Anak Domba Allah


Lagu ini dimaksudkan untuk mengiringi pemecahan dan pencampuran roti.
Pada masa lalu roti yang digunakan adalah roti besar, sehingga untuk dapat
dibagikan kepada umat, roti harus dipecah-pecahkan dahulu. Berhubung roti
sekarang sudah dibuat kecil-kecil, maka lagu Anak Domba Allah bisa digunakan
untuk persiapan pembagian komuni, apabila komuni akan diterimakan oleh
beberapa pelayan. Anak Domba Allah itu boleh diulangi seperlunya, sampai
persiapan pembagian hosti suci ke sibori-sibori selesai. Pada akhir bagian
selalu ditutup ‘berilah kami damai’. Untuk mengiringi pemecahan roti tidak
harus dengan nyanyian Anak Domba Allah, tetapi dapat dipakai nyanyian lain
yang sesuai misalnya PS 418-423.
Sesudah lagu Bapa Kami ada beberapa macam pilihan : A,B dan C. Untuk
model B dan C (lih. TPE no 29b dan 29 c), Anak Domba Allah tidak digunakan
(terutama dalam misa sederhana atau harian). Maka perlu diperhatikan, bahwa
lagu Anak Domba Allah bukan merupakan bagian pokok liturgi dan bersifat
fakultatif. Maka kita tidak usaha heran, apabila kadang-kadang Anak Domba
Allah ditiadakan, karena hal ini memang boleh dan mungkin.

6. Nyanyian Komuni
Nyanyian komuni dimaksudkan untuk:
a. mengiringi umat dalam menyambut Tubuh Kristus;
b. meneguhkan persaudaraan dan persatuan umat secara lahir batin
sebagai tubuh Kristus, sebab dari tubuh Kristus yang mereka santap
mengalirlah buah kesatuan umat itu;
c. membina suasana doa bagi umat yang sedang berjumpa dengan Tuhan
secara sakramental dalam komuni.
Lagu komuni dapat dinyanyikan sendiri oleh paduan suara. Meski pada saat
komuni paduan suara boleh ‘menampilkan’ kebolehannya, pilihan lagu harus
disesuaikan dengan misteri iman yang dirayakan dan mendukung suasana doa
bagi umat. Nyanyian komuni dapat juga dinyanyikan oleh paduan suara dan
umat secara bergantian ataupun bersama-sama, atau hanya instrumental saja
(secara lembut supaya tidak merusak suasana hening-doa). Untuk yang
terakhir ini, organis atau pengiring hendaknya mempersiapkan diri terlebih
dahulu. Harus juga diperhatikasn bahwa umat perlu diberi waktu hening pada
saat komuni. Maka, jumlah nyanyian komuni tidak perlu terlalu banyak.

7. Nyanyian Madah Syukur


Nyanyian madah syukur mengungkapkan puji-syukur seluruh umat beriman
bukan hanya atas karunia Ekaristi Suci yang baru saja disambut, tetapi juga
seluruh perayaan Ekaristi yang dirayakan. Karena itulah, nyanyian ini
hendaknya baru dilagukan setelah imam selesai membersihkan piala dan
kembali ke tempat duduk. Secara liturgis, nyanyian madah syukur dinyanyikan
sebelum doa penutup. Maka sebaiknya, nyanyian madah syukur adalah
nyanyian yang dapat mengikutsertakan seluruh umat beriman.
Dalam kesempatan tertentu, madah kemuliaan dapat juga dipindahkan di
sini. Kalau begitu, kemuliaan atau gloria tidak ditempatkan pada upacara
pembukaan. Ada banyak kidung dan madah syukur yang ditawarkan oleh
Gereja seperti Kidung Magnificat Maria, Kidung Efesus, Mazmur 23, atau Te

19
Deum atau madah Allah Tuhan kami, Jiwa Kristus dan sebagainya, Madah
Syukur ini boleh dinyanyikan dan boleh juga diucapkan/dibacakan.

D. PENUTUP

Nyanyian penutup dilaksanakan langsung sesudah salam pengutusan dari


imam. Nyanyian penutup ini memiliki beberapa fungsi, antara lain :
a. menutup perayaan Ekaristi;
b. memberi gairah dan semangat kepada umat agar mereka mpergi
menjalankan perutusan untuk mewartakan damai dan kebaikan Tuhan
dengan gembira.
c. Mengiringi perarakan imam dan para petugas liturgi memasuki sakristi.
Fungsi ini memberi kriteria sampai kapan lagu penutup dinyanyikan, yakni
ketika perarakan itu sudah selesai.

20
BAB III

CARA PEMILIHAN NYANYIAN LITURGI YANG BAIK

Pada bagian ini akan diuraikan tentang beberapa prinsip dalam pemilihan
nyanyian liturgi dan langkah-langkah konkret pemilihan nyanyian liturgi. 34

3.1. Beberapa Prinsip Dalam Pemilihan Nyanyian Liturgi

3.1.1. Nyanyian Liturgi Melayani Seluruh Umat Beriman

Nyanyian liturgi merupakan bagian penting dari liturgi. Karena liturgi


sendiri merupakan perayaan bersama, maka nyanyian itu harus melayani
kebutuhan semua umat beriman yang sedang berliturgi. Yang harus dihindari
adalah memilih lagu yang hanya berdasarkan selera pribadi atau kelompok
(paduan suara) dan melupakan kepentingan liturgi seluruh umat. Nyanyian
yang paling disukai oleh kor atau dirigen belum tentu merupakan nyanyian
yang juga disukai oleh seluruh umat. Maka, kriteria pilihan bukan terletak pada
apa yang kita sukai, tetapi apa yang bisa menjawab harapan dan kebutuhan
umat, agar perayaan liturgi sungguh menjadi perayaan bersama.
Termasuk dalam rangka pelayanan seluruh umat beriman itu ialah
perhatian terhadap kelompok minoritas. Hal ini berkaitan dengan kenyataan
bahwa umat beriman kita biasanya majemuk. Dalam memilih nyanyian, kita
hendaklah tidak hanya memperhatikan kepentingan mayoritas umat saja,
tetapi juga kelompok minoritas.

3.1.2. Nyanyian Liturgi Bisa Melibatkan Partisipasi Umat.

Mengalir dari kriteria pelayanan umat beriman itu, nyanyian liturgi harus
memberi kesempa umat untuk berpartisipasi di dalamnya. Partisipasi tidak
selalu berarti suatu keikutsertaan dalam mengucapkan atau menyanyikan saja.
Konsep partisipasi jauh lebih luas, tetapi selalu bermakna bahwa pihak lain
diberi ruang gerak untuk ikut masuk dan menghayati apa yang kita buat.
Meskipun paduan suara boleh menyanyikan sendiri tanpa umat untuk
beberapa kesempatan, seperti nyanyian persiapan persembahan, komuni dan
pada akhir Perayaan Ekaristi, nyanyian-nyanyian itu harus tetap dipilih untuk
membantu umat dalam menghayati doanya.
Agar umat dapat terlibat, nyanyian liturgi yang terutama dimaksudkan
sebagai nyanyian umat hendaknya dipilih dari buku nyanyian umat. Apabila
umat belum mengenal, umat dapat dilatih sebelum misa dimulai atau pada
waktu lain yang memungkinkan. Ada beberapa nyanyian yang seharusnya
umat dapat ikut berpartisipasi seperti refren mazmur tanggapan, bait
pengantar Injil, nyanyian kudus, aklamasi anamnese, Bapa Kami. Untuk
nyanyian pembukaan, Kyrie, Gloria, atau kemuliaan, sebaiknya umat dapat ikut
berpartisipasi dalam bernyanyi. Sebaiknya dihindari kebiasaan dari kor
semangat pamer atau ingin ‘show’, yang akibatnya dirigen atau kor hanya
memilih lagu-lagu yang hanya dapat dinyanyikan oleh kor saja, sementara
umat dijadikan penonton yang bisu.
Kita juga perlu memperhatikan teks atau buku nyanyian yang bisa
dipegang oleh umat. Untuk memungkinkan partisipasi umat dalam bernyanyi,
perlu tersedia teks atau buku nyanyian yang dimiliki umat. Kurang baik
kiranya, apabila seluruh nyanyian untuk misa kudus diambil dari teks-teks yang
hanya tersedia bagi anggota kor. Sementara umat beriman disuruh menjadi
penonton saja. Ini praktek yang kurang baik. Usahakanlah untuk menggunakan
buku nyanyian yang sudah dimiliki umat atau disediakan oleh Gereja setempat.

34
Untuk uraian ini lihat selengkapnya dalam Dr. E. Martasudjita Pr dan J. Kristanto Pr, Op.Cit., hal 43-54.

21
3.1.3. Nyanyian Liturgi harus Mengungkapkan Iman akan Misteri
Kristus

Nyanyian liturgi yang dipilih tidak boleh hanya sekadar semua bisa
menyanyidengan baik dan indah, tetapi apakah lagu itu membawa umat
kepada pengalaman iman akan Kristus dan kepada perjumpaan dengan Kristus.
Bahwa Kristus hadir dalam liturgi harus juga terungkap dalam nyanyian liturgi
itu. Itulah sebabnya isi-syair dan melodi nyanyian liturgi harus benar-benar
sesuai dengan citrasa iman umat dan bukan malah mengaburkan misteri iman
dengan memberi asosiasi yang lain. Itulah sebabnya gaya baru harus sesuai
dengan citarasa umat dan dapat diterima oleh umat sebagai nyanyian liturgis.
Terkadang ada lagu yang populer untuk umat dan mudah dinyanyikan,
tetapi ternyata melodi lagu itu mengasosiasikan pada melodi lagu profan
tertentu. Maka, lagu seperti itu sebaiknya dihindari sebab tidak jarang
mengantarkan imaginasi orang pada sesuatu yang tidak berhubungan dengan
iman kepada Kristus.

3.1.4. Nyanyian Liturgi Harus sesuai dengan Masa dan Tema


Liturgi

Meski ada nyanyian liturgi yang diorasakan selalu cocok untuk berbagai
macam tema dan masa liturgi, pilihan nyanyian liturgi harus memperhatikan
masa dan tema liturgi. Kesesuaian isi dan melodi lagu liturgi dengan masa
serta tema liturgi akan membantu umat dalam memperdalam dan
memperjelas misteri iman yang sedang dirayakan.
Buku-buku nyanyian yang telah ada, seperti Puji Syukur dan Madah Bakti,
sudah mencantumkan jenis-jenis atau judul-judul lagu sesuai dengan masa
liturgi. Ada kelompok lagu masa Adven, masa Natal, Pra-paskah, Paskah, masa
Biasa dan seterusnya. Lalu bagaimana kalau kita mau mengadakan Perayaan
Ekaristi dengan tema tertentu ? Bagaimana pilihan lagunya ? Pilihan lagu
hendaknya tetap didasarkan pada keselarasan tema dengan syair dan melodi
lagu itu. Seandainya nyanyian tertentu dari masa liturgi tersebut cocok dengan
tema Perayaan Ekaristi khusus tersebut, maka nyanyian tersebut dapat saja
digunakan. Contohnya dalam suatu Perayaan Ekaristi yang bertemakan
pertobatan, misalnya dalam rangka suatu retret kelompok, maka pilihan lagu
dari masa Pra-paskah bisa dimungkinkan, yakni nyanyian yang bertemakan
pertobatan. Demikian pula pilihan musik dan iringannya perlu disesuaikan
dengan tema dan masa liturgi.

3.1.5. Nyanyian Liturgi Harus Sesuai dengan Hakekat Masing-masing


Bagian

Pilihan nyanyian liturgi tentu harus sesuai dengan tempat dan fungsi
nyanyian itu dalam bagian liturgi. Sebuah nyanyian tertentu mungkin hanya
cocok untuk nyanyian pembukaan dan bukan sebagai nyanyian persembahan.
Demikian seterusnya. Memang, ada juga nyanyian yang dapat digunakan untuk
beberapa bagian perayaan Liturgi. Katakanlah nynyian itu bersifat umum,
maka kita pun dapat menggunakannnya sesuai dengan pertimbangan akal
sehat kita, mana yang tepat untuk kapan. Akan tetapi, isi nyanyian dan
melodinya sebaiknya sungguh dipahami, untuk bagian manakah nyanyian itu.
Maka penguasaan dan pemahaman akan karakter nyanyian dan isinya serta
maksud sang pencipta lagu sungguh perlu bagi para pelayan musik liturgi.
Pilihan nyanyian sebaiknya juga memeperhatikan bobot nyanyian yang
selasras dengan gerak dinamis Perayaan Ekaristi. Umumnya kita dapat
mengikuti pengelompokan tingkatan bobot yang sebaiknya dinyanyikan
sebagai berikut:
a. Tingkat I: nyanyian-nyanyian aklamasi, yakni kudus, Aklamasi anamnese,
Amin pada akhir DSA serta semua aklamasi dialogal yang melibatkan
pemimpin dan umat, termasuk di dalamnya aklamasi sebelum dan
22
sesudah Injil. Alleluia juga termasuk aklamasi yang dari dirinya harus
dinyanyikan. Namun bila alleluia tidak dinyanyikan, maka itu bisa
ditiadakan atau dilewati.
b. Tingkat II: nyanyian mazmur tanggapan yang merupakan bagian integral
dan liturgi sabda, dan nyanyian yang dibawakan oleh imam dan umat
bersama-sama, seperti Kyrie, Kemuliaan, Bapa Kami dan Madah Syukur.
c. Tingkat III: nyanyian pembukaan dan penutup.
d. Tingkat IV: nyanyian tambahan yang dapat diganti dengan permainan
instrumental, seperti nyanyian persiapan persembahan dan komuni.
Tentu saja tingkatan bobot ini tidak bersifat mutlak, tetapi dapat memberi
inspirasi bagi pemilihan nyanyian liturgi yang baik. Pada kesempatan Perayaan
Ekaristi harian, banyak bagian yang boleh diucapkan atau dibacakan seperti
Kyrie, Gloria, Mazmur tanggapan, Bapa Kami dan sebagainya. Untuk hari
Minggu, tentu saja Perayaan Ekaristi hendaknya dibuat lebih meriah dengan
menyanyikan beberapa bagian misa secara mantap.

3.1.6. Pilihan Nyanyian Liturgi Perlu Memperhatikan Pertimbangan


Pastoral dan Praktis

Meskipun setiap nyanyian mempunyai peranan masing-masing, namun


bukan berarti semuanya harus dinyanyikan, sekalipun itu dalam Perayaan
Ekaristi besar. Hal ini berhubungan erat dengan kesiapan umat dalam
menyanyikannya. Selain itu, apabila semua lagu dinyanyikan, Perayaan Ekaristi
menjadi terlalu lama. Ini yang disebut dengan pertimbasngan praktis.
Pertimbangan pastoral terutama berkaitan dengan pilihan nyasnyian
yang paling sesuai dengan pelayanan iman seluruh umat beriman. Bagaimana
pilihan nyanyian itu dapat sungguh membantu umat untuk dapat berdoa
dengan baik.
Sering kali terdengar keluhan dari anggota kor, mengapa ada nyanyian
yang sudah dilatih tetapi tidak dinyanyikan pada saat Perayaan Ekaristi.
Persoalannya adalah apakah semua nyanyian yang sduah dilatih harus
dinyanyikan ? Dalam hal ini kiranya persoalannya terletak pada komunikasi
antara petugas kor dengan pemimpin ibadat (imam atau seksi liturgi).
Problemnya juga menyangkut soal pilihan dan aneka kemungkinan yang bisa
dibuat dalam Ekaristi. Kiranya pilihan aneka kemungkinan tersebut tergantung
kreativitas imam dan tim liturgi dalam mengolah liturgi mingguan. Itulah
sebabnya, kita perlu mengembangkan Tim Liturgi paroki yang akan dapat
mengkoordinasikan seluruh unsur dan hal yang berkaitan dengan perayaan
liturgi.
Akhirnya, pada dirigen tetap harus memperhatikasn saat hening,
sehingga liturgi tidak terkesan ramai dan mengakibatkan tidak lagi bisa
merenung serta mengendapkan sabda Tuhan yang didengarkan. Sayang sekali
apabila kor dan pelayan musik liturgi lebih didorong oleh keinginan untuk
tampil dan menonjolkan kepiawaiannya dalam olah suara daripada mau
membantu umat untuk dapat berdoa dengan hening dan khidmat.

3.2. Langkah-Langkah Konkret Pemilihan Nyanyian Liturgi

3.2.1. Langkah Pertama dan Utama : Memahami Pedoman Pokok


dalam pemilihan Nyanyian Liturgi
Pedoman Pokok :

Nyanyian-nyanyian dalam suatu ibadat dipih berdasarkan


kesesuaian kata-kata nyanyian itu dengan bacaan-bacaan dalam
ibadat itu.

3.2.1. Langkah Konkret Untuk Memilih Nyanyian Liturgi yang Baik


23
a. Membaca bacaan Injil, bacaan pertama dan mazmur tanggapan secara
berulang-ulang, dan merenungkannya serta mencari intinya. Untuk
Perayaan Ekaristi hari raya dan hari Minggu, Gereja memilih bacaan
pertama yang ada hubungannya dengan Injil, dan memilih mazmur
tanggapan yang ada hubungannya dengan bacaan pertama yang
ditanggapinya. Itilah “tanggapan” berarti bahwa mazmur itu menanggapi
bacaan yang baru saja kita dengarkan, jadi bukan sembarang mazmur.
Maka istilah “mazmur antar bacaan” sekarang kirannya perlu kita
tinggalkan.
b. Memilih nyanyian pembukaan, persiapan persembahan, madah syukur
sesudah komuni, dan nyanyian penutup yang sesuai dengan isi Injil,
bacaan I, dan mazmur tanggapan. Kalau sulit menemukan empat
nyanyian yang sesuai, maka sekurang-kurangnya kita memilih nyanyian
pembukaan dan penutup sesuai dengan bacaan-bacaan, Nyanyian
persiapan persembahan dapat dipilih dari kelompok nyanyian yang
bertema persembahan; sedangkan untuk nyanyian pengiring komuni
atau madah syukur sesudah komuni dapat dipilih nyanyian yang
bertemakan perjamuan atau soal tubuh dan darah kristus. Pemilihan
nyanyian jangan terikat pada pengelompokan dalam buku Madah Bakti,
Puji Syukur atau buku lainnya dengan judul ‘pembukaan/pambuka’,
‘antar bacaan/antara’,’ persembahan/pisungsung’, ‘komuni’. Nyanyian
yang termasuk dalam salah satu kelompok tersebut dapat dipakai di
tempat lain. Sebagai contoh, Minggu Paskah V tahun B, bacaan Injilnya
dari Yohanes 15:1-8, yaitu tentang pokok anggur yang benar. Sebagai
nyanyian pembukaan atau madah syukur sesudah komuni dapat dipilih
PS 365/MB 215 (=KA 200), meskipun lagu tersebut dikelompokkan dalam
kelompok nyanyian ‘Pujian Sabda’ (dalam Puji Syukur) atau nyanyian
‘antar bacaan’ (dalam Madah bakti) atau’Kidung antara’ (dalam Kidung
Adi).

c. Kalau tidak ada nyanyian yang sesuai dengan bacaan Injil, bacaan I dan
mazmur tanggapan, pilihlah nyanyian yang sesuai dengan bacaan kedua.
Bacaan II baru diperhitungkan kemudian sebagai pertimbangan, sebab isi
bacaan II dalam hari-hasi Minggu Biasa belum tentu sesuai dengan isi Injil
dan Bacaan I, Gereja memilih bacaan II dari surat-surat Paulus dan surat-
surat Perjanjian Baru (bacaan epistola) lainnya dan hanya mengurutkan
begitu saja minggu demi minggu (prinsip semi kontinua). Pewartaan
utama hari Minggu Biasa terletak pada Injil dan bacaan I. Hanya dalam
masa-masa khusus, yaitu Adven, Pra-paskah, dan Paskah serta pada hari-
hasri raya dan pesta, bacaan I, II dan Injil mengandung isi yang saling
berhubungan.

d. Dalam masa-masa khusus (misalnya Pra-paskah, Paskah,dll), nyanyian


boleh diambil dari nyanyian umum atau masa biasa, asal syairnya sesuai
dengan bacaan-bacaan yang digunakan. Sebaliknya, nyanyian-nyanyian
masa khusus juga dapat dipakai dalam masa biasa. Sebagai contoh,
nyanyian MB 423 (= KA 348) ini dapat digunakan pada banyak
kesempatan (bdk penempatan nyanyian yang sama dalam PS 603).

e. Usahakan agar nyanyian-nyanyian dalam satu ibadat bertangga nada


sama atau sejenis. Kalau isinya tidak ada yang sesuai dengan bacaan-
bacaan, boleh dicari nyanyian dengan tangga nada yang bermacam-
macam seperti gregorian,mayor/minor, pelog, slendro, pentatonis.

f. Kalau bukan Perayaan Ekaristi atau ibadat untuk menghormati Maria,


nyanyian-nyanyian Maria sebaiknya tidak digunakan, karena tema
nyanyian harus senantiasa disesuasikan dengan tema misa atau tema
yang sesuai dengan bacaan-bacaan hari itu. Nyanyian-nyanyian
24
devosional umunya dapat dinyanyikan pada pereyaan Ekaristi khusus
(berkaitan dengan perayaan devosi) dan pada bagian-bagian tertentu.

g. Dalam pemilihan nyanyian untuk Perayaan Ekaristi, sebaiknya


diperhatikan antifon-antifon yang ada dalam buku Misale.

h. Sesudah selesai mengadakan pemilihan nyanyian, hendaklah kita


membuat catatan nyanyian yang akan digunakan dalam Perayaan
Ekaristi itu. Catatan daftar itu harus dikomunikasikan dan kalau perlu
dikonsultasikan dengan imam yang akan memimpin Misa jauh-jauh hari
sebelumnya, supaya kalau ada perubahan masih sempat untuk dilatih
dalam kor atau bagi umat, atau paling lambat (dalam keadaan
mendesak) beberapa waktu sebelum misa dimulai. Yang harus dihindari
adalah bahwa dirigen atau pelayan musik liturgi tidak mengadakan
komunikasi dan konsultasi dengan imam yang akan memimpin Misa.
Dalam praktek banyak kekacauan ditimbulkan karena tidak adanya
komunikasi antara imam dan dirigen. Akibatnya misalnya, imam memilih
doa tobat cara C, di mana Kyrie diucapkan selang-seling dengan
pernyataan iman atau tobat, padahal kor sudah berlatih dan menyiapkan
Kyrie cara misa dolo-dolo. Contoh lain, imam tidak menyiapkan nyanyian
kemuliaan secara meriah. Maka sekali lagi, dirigen harus berkonsultasi
dengan imam paling tidak beberapa saat sebelum Ekaristi dimulai.
Janganlah saling mengandaikan saja! Di samping itu, umat harus selalu
diberi informasi mengenai lembaran teks liturgi ataupun daftar nomor
lagu yang dipasang di depan secara elektronik ataupun secara tertulis.

25

Anda mungkin juga menyukai