Anda di halaman 1dari 7

Nama : Jeremia Tiopan Armendo Dongoran

Marika Nababan

Swani Juwita Sinaga

Tingkat/Prodi : IIB/Teologi

Mata Kuliah : Liturgika I

Dosen Pengampu : Meri Ulina Br. Ginting, MSi. Teol.

ARTI DAN TUJUAN LITURGIKA

I. Pendahuluan
Liturgi adalah karya bakti gereja, yang artinya menandakan diri sebagai tanda
keselamatan. Liturgi juga merangkum keseluruhan kebangkitan gereja yang resmi,
yang dimana kebangkitan kepada Allah merupakan tugas gereja yang utama dan
hakiki. Dan liturgi juga memiliki tujuan untuk membangkitkan atau membuat
suasana gereja bisa berjalan dengan baik dan tertip, penuh hikmat dan pengurapan
dari Tuhan. Maka dari itu sajian kali ini akan membahas tentang apa arti dan
tujuan liturgi.
II. Pembahasan
II.1. Pengertian Liturgi

Kata Liturgi berasal dari kata leitorgia yang berarti ”ibadat”. Liturgy ialah
perayaan iman Gereja. Dengan kata lain, dalam liturgi itu orang Kristen
mengungkapkan dan merayakan iman kepercayaannya. Oleh karena itu, sia-sia
saja kita mengadakan liturgi kalau kita sendiri tidak memiliki iman. Disamping itu
dengan mengungkapkan iman dalam liturgi, kita juga sekaligus memupuk iman
kita. Iman hanya berkembang dan menjadi kuat jika dilatih secara terus-menerus.1

Liturgi merupakan bentuk doa yang menntut perhatian istimewa dari para
perencana liturgi paroki dan para pelayan liturgi. Liturgi selalu melibatkan
sejumlah orang karena liturgi adalah upacara jemaat, kegiatan suatu kelompok
yang berhimpun.2 Litugi adalah sebuah perayaan kehidupan. Dengan mendekati
1
I. Marsana Windhu, Mengenal Tahun Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 15.
2
Gabe Huck, Liturgi Yang Anggun dan Menawan; Pedoman dan Menyiapkan dan Melaksanakan
Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 17.
makna liturgi menurut pengalaman konkret dalam hal pesta hajatan itu, niscaya
kita akan menemukan dua keuntungan besar, yaitu:

a. Kita akan lebih mudah memahami liturgi sederhana karena pendekatan


kita bertolak dari pengalaman konkret.
b. Pendekatan antropologis ini juga dapat membantu pengembangan
spritualitas berliturgi mengingat liturgi dan pengalaman konkret dibahas
bersama-sama secara saling menerangi.3

Yang termasuk liturgi adalah

a. Semua perayaan sakramen (ada 7 sakramen)


b. Ibadat sabda, yakni ibadat yang menggantikan perayaan Ekaristi bila
imam yang memimpin tidak ada;
c. Ibadat harian, yakni doa Gereja yang didoakan 5 waktu dalam sehari.
Ibadat harian ini biasanya didoakan oleh para biarawan dan rohaniawan-
rohaniawati. Meskipun bagi awam doa ini tidak diwajibkan, tetapi tetap
dianjurkan oleh Gereja seperti yang dianjurkan agar para awam pun
mendaras ibadat harian.
d. Sakramentali, yaitu ibadat berkat dengan berbagai perayaannya.4
Pendekatakan antropologis ini sesuai dengan paham dasar liturgi
sebagai perayaan. Kami memahmi bahwa gagasan perayaan menunjuk
tiga hal pokok.
a. Liturgi bukan tindakan perseorangan, melainkan tindakan bersama.
b. Liturgi menuntut dari hakikatnya partisipasi seluruh umat beriman secara
sadar dan aktif.
c. Liturgi merangkum keterlibatan hati dan pengalam hidup konkret umat
secara penuh, dan bukan sekedar suatu upacara yang menekankan
rutinitas dan kewajiban.

II.2. Sejarah Istilah Liturgi

Sejarah juga meyakinkan Bunda Gereja bahwa penyesuaian terhadap


bermacam ragam kebudayaan merupakan ciri abadi liturg Kristen.

3
E. Martasudjita, Makna Liturgi Bagi Kehidupan Sehari-hari, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 11.
4
I. Marsana Windhu, Mengenal Tahun Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 15-16.
Penyesuaian merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari tradisi Gereja.
Penyesaian liturgi dengan bermacam-macam budaya penduduk asli dan tradisi
setempat, bukanlah suatu hal yang baru melainkan suatu bukti kesetiaan
terhadap tradisi gereja. Sejarah mengajarkan Bunda Gereja bagaimana
menanggung risiko dengan adanya hal baru dan bagaimana harus bertindak
bijaksana terhadap suatu hal yang baru. Konstitusi Liturgi suci (SC 23)
menuntut penelitian teologis, historis dan pastoral yang cermat tentang setiap
bagian liturgi yang hendak ditinjau kembali. Pada umumnya pembaharuan
liturgi modern ditentukan oleh data sejarah, dan program penyesuaian hanya
dapat diwujudkan dengan memahami perkembangan historis bentuk-bentuk
liturgi. Ini berarti bahwa sesungguhnya kemajuan dalam liturgi harus
mengakui adanya proses evaluasi, dengan bentuk asli yang diuraikan dan
dibawa pada perkembangannya yang lebih sempurna dalam perkembangan
sejarah. Pembaharuan bertujuan memperbaiki hal ini dengan cara kembali ke
bentuk liturgi Romawi yang klasik, yang memiliki ciri sebagai berikut:
sederhana, singkat, dan mengutamakan ketenangan hati. Ia harus sesuai
dengan daya tangkap umat beriman, dan pada umumnya tidak membutuhkan
banyak penjelasan. Akan tetapi sebagai masyarakat manusia, Bunda Gereja
tergantung pada lingkungan kebudayaan, sejarah dan perkembangan
pemikiran teologi. Alam masa pasca-pasca rasul, kata liturgi sudah digunakan
untuk menunjukkan ibadat atau doa Kristiani. Akan tetapi, pada abad
pertengahan kata “liturgi” hanya terbatas digunakan untuk menyebut Perayaan
Ekaristis saja. Bahkan, penggunaan kata “liturgi” bagi penyebutan Ekaristis itu
hingga kini tetap dipertahankan di Gereja Timur, sedangkan untuk perayaan-
perayaan ibadat lain dipakai sebuah doa atau tata perayaan (Yunani: taxis,
Latin: ordo).5

Sebagai ganti istilah liturgi dalam kamus peribadatan digunakan


berbagai istilah lain:

a. Officia divina ialah titel dari kebanyakan karya/buku tentang


liturgi sejak Isidorus dari Sevilla dalam Abad Pertengahan hinggaa
pada zaman modern . Officium divinum kini biadanya dipakai
hanya untuk liturgi harian.
5
Anscar J. Chupungco OSB, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 11-13.
b. Ritus atau ibadat ialah titel buku yang amat disukai dari abad ke-
16 hingga ke-20. Istilah “ritus” atau “ibadat” biasanya diartikan
sebagai sisi luar dari liturgi, yakni dari aspek manusia yang
beribadat kepada Allah, jadi dari sisi manusia ke Allah.
c. Caeremonice atau upacara merupakan titel dari beberapa buku
liturgi dari abad XVI dan XVII dan hanya secara kadang-kadang
digunakan dalam dokumen Vatikan II dan KHK 1983 (mis. Kanon
788,1).
Istilah “liturgi” kembali dikenal dalam Gereja Barat mulai abad
ke-16, yakni melalui pengaruh kau humanis (seperti Beatus
Rhnanus). Mula-mula “liturgi” digunakan oleh Gereja-gereja
Reformasi pada abad XVII dan XVIII dengan arti ‘ibadat gereja’.
Kemudian Gereja Katolik Roma mulai juga memakai kata sifat
litigicus untuk menunjuk hal-hal yang berkaitan dengan ibadat.
Pada 1947 Pius XII menggunakan kata “liturgi” dalam ensikliknya
Mediator Dei. Akhirnya, Konsili Vatikan II membakukan istilah
“liturgi” untuk menyebut ‘peribadatan Gereja’ dalam Konstitusi
Liturgi Sacrosanctum Concilium (SC).6

II.3. Istilah Liturgi Dalam Perjanjian Baru


Kata leitourgia dan leitourgein mengalami perkembangan yang
menarik dalam perjanjian baru. Dalam Luk 1:23, leitourgia masih memiliki
makna yang sama sekali persis dengan penggunaannya dalam LXX atau
Perjanjian Lama, yakni pelayanan iman Perjanjian Lama. Dibandingkan
dengan tulisan Perjanjian Baru lain, surat Ibrani merupakan kitab yang paling
sering menggunakan kedua kata itu (sebanyak 3 kali, dalam Ibr 8:6; 9:21;
10:11). Penulis surat Ibrani menggunakan kata leitourgia untuk menjelaskan
makna imamat Yesus Kristus sebagai satu-satunya imamat Perjanjian Baru.
Oleh karena itu, imamat dan tata liturgi Perjanjian Lama sudah tidak berlaku
lagi, sebab kristus adalah satu-satunya pelayan (Leitourgos), tempat kudus dan
kemah sejati (bdk. Ibr 8:2).

6
E.Martasudjita, Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, (Yogyakarta: Pustaka Teologi,
1999), 21-23.
Kis. 13:2 merupakan satu-satunya teks Perjanjian Baru yang
menggunakan kata liturgi menurut arti yang biasa kita mengerti, yakni untuk
menunjuk ibadat atau doa Kristiani. Dalam Rm. 15:16, Paulus disebut pelayan
(leitourgos) Yesus Kristus melalui pelayanan pemberitaan Injil Allah. Kalau
disimpulkan, kata “liturgi” dalam Perjanjian Baru dihubungkan dengan
pelayanan kepada Allah dan sesama. Yang menarik ialah bahwa istilah liturgi
dalam Perjanjian Baru tidak pernah untuk menunjuk pelayanan kultis dari
pemimpin jemaat Kristiani, sepeti para rasul, nabi, iman atau uskup. Imamat
Perjanjian Baru sama sekali tidak berdasarkan pada imamat Perjanjian Lama.
Perjanjian Baru hanya mengenal satu imamat saja, yaitu imamat Yesus
Kristus.7

II.4. Ciri-ciri Liturgi


 Allah yang mengambil inisiatif dan sekaligus menjadi tujuan kegiatan
liturgi. Artinya, Allah yang memanggil kita berkumpul untuk
mengadakan liturgi dan Allah pula yang menjadi “alamat” doa-doa
kita.
 Umat melakukam kegiatan liturgi dalam Kristus. Artinya, umat
menghadap Allah dengan perantaraan Kristus, karena Allah
mendatangi umat-Nya dalam diri Kristus.
 Umat melakukannya bersama-sama. Artinya, liturgi sungguh-sungguh
merupakan ibadat umat, maka menuntut keterlibatan seluruh umat.
 Kegiatan liturgi merupakan antisipasi perjamuan surgawi. Artinya,
adalah dalam merayakan liturgi, kita memupuk pengharapan akan
kebahagiaan kekal di sorga.
 Kegiatan liturgi menggunakan tanda-tanda lahir. Artinya, kita
menggunakan kata-kata atau lambing/symbol yang dapat dilihat atau
dirasakan oleh kita.8

3. Tujuan Liturgi

7
E.Martasudjita, Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, (Yogyakarta: Pustaka Teologi,
1999), 19-21
8
Marsana Windhu, Mengenal Tahun Liturgi, 17.
Liturgi adalah suatu tata gereja atau karya bakti gereja yang
menyatakan diri. Tujuan liturgi adalah untuk membuat suasana ibadah bisa
berjalan dengan baik dan tertib, penuh hikmat dan pengurapan dari Tuhan.
Dengan demikian, liturgi dikatakan sebagai wadah, sarana, alat perjumpaan
dengan Tuhan. Salah satu tugas dan fungsi gereja yang sangat penting ialah
melakukan pembinaan jemaat atau sering disebut dengan pembinaan warga
gereja. Pembinaan adalah bentuk pelayanan gereja untuk memperlengkapi
warganya dengan Firman Allah, pengakuan iman dan pengajaran. Pembinaan
warga jemaat adalah pembinaan yang berpusat pada Kristus, pengajaran
Alkitab, dan merupakan proses untuk menghubungkan kehidupan warga
jemaat dengan firman Tuhan, selain membimbing dan mendewasakannya
dalam Kristus melalui Roh Kudus. Pembinaan warga jemaat adalah proses
dimana seseorang dilayani seperti yang digariskan dalam 2 Timotius 3:15-17.
Tugas ini pada dasarnya hendak menjelaskan bagaimana gereja melalui
hamba-hamba Tuhan memberi pelayanan menolong jemaat untuk mengalami
“pertumbuhan dan kedewasaan” iman. Pembinaan dimaknai sebagai sarana
menolong warga jemaat yang sudah bergabung dalam gereja lokal dengan
tujuan menjadikan mereka jemaat yang berfungsi dengan baik. Pembinaan
warga gereja sebagai pembinaan iman pada dasarnya mempunyai tujuan
membangun dasar-dasar iman yang benar diantara jemaat sehingga mereka
memiliki tahapan-tahapan perkembangan yang baik dan benar.9

III. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa liturgika merupakan
susunan atau pola ibadat, yang digunakan digunakan gereja atau denominasi
Kristen secara teratur. Liturgi juga merupakan bentuk doa yang menntut perhatian
istimewa dari para perencana liturgi paroki dan para pelayan liturgi. dan liturgi
juga mengandung makna peribadatan bentuk kasih kepada Allah. Dengan
demikian, liturgi dapat dikatakan sebagai wadah, sarana, alat perjumpaan dengan
Tuhan.

IV. Daftar Pustaka

9
E.H. Van Olst, Alkitab dan Liturgi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 5
Huck, Gabe, Liturgi Yang Anggun dan Menawan; Pedoman dan Menyiapkan dan
Melaksanakan Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
J. Anscar, Chupungco OSB, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, Yogyakarta: Kanisius,
1987.
Marsana, I. Windhu, Mengenal Tahun Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Martasudjita, E, Makna Liturgi Bagi Kehidupan Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Martasudjita, E, Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Yogyakarta:
Pustaka Teologi, 1999.
Van, E.H. Olst, Alkitab dan Liturgi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Anda mungkin juga menyukai