Anda di halaman 1dari 3

Liturgi, Sumber Spiritualitas

Komunitas Hidup Bakti

Emmanuel J. Sembiring OFMCap

Judul tulis ini boleh jadi terkesan berlebihan. Pertama, karena sumber spiritualitas sejati ialah Yesus
Kristus. Kedua, karena liturgi sendiri merupakan spiritualitas semua orang yang telah dibaptis. Ketiga,
komunitas Hidup Bakti sendiri memiliki spiritualitas sebagaimana telah ditetapkan oleh pendiri
masing-masing. Judul ini dipertahankan untuk menggarisbawahi kesatuan setiap spiritualitas Hidup
Bakti justru dalam liturgi, dan liturgi menjadi “panduan” hidup sehari-hari bagi pelaku Hidup Bakti.
Dengan kata lain, liturgi sangat melekat dalam kehidupan kaum religius. Dari pagi sampai malam tata
kehidupan dirangkai dengan tindakan-tindakan litugis: Ibadat Pagi, Siang, Sore, dan Ekaristi yang
semuanya dirayakan seturut Tahun Liturgi. Tidak ada satu hari pun dilewatkan tanpa tindakan liturgis.
Pada kesempatan-kesempatan tertentu kepada kaum religius ditawarkan kesempatan menerima
Sakramen Tobat. Pesan dari setiap tindakan liturgis ini diwujudnyatakan oleh anggota tarekat sesuai
dengan spiritualitas tarekatnya.

Bhinneka Tunggal Ika

Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” kiranya dapat dipinjam untuk melukiskan aneka bentuk Hidup
Bakti dalam Gereja. Keberagaman itu lahir karena Gereja membutuhkannya. Setiap bentuk Hidup
Bakti merupakan cara hidup yang diresmikan oleh Gereja dalam mengikuti Yesus Kristus yang sama.
Pengakuan resmi Gereja akan keanekaan itu misalnya dinyatakan dalam Perfectae Caritatis, 1, Lumen
Gentium, 43 kemudian oleh Katekismus Gereja Katolik keanekaragaman ini diibaratkan pohon besar
dengan banyak dahan (No. 914-945). Kebhinnekaan spiritualitas yang ada dalam Gereja membawa
misi Kristus yang tunggal yakni pembebasan manusia untuk mengalami sukacita. Pembebasan itu
dilaksanakan dengan berbagai cara agar misi itu semakin dialami oleh sebanyak mungkin orang.

Dalam rangka Tahun Hidup Bakti, Paus Fransiskus menulis Surat Apostolik pada tgl 21 November
2014 kepada semua anggota Hidup Bakti. Beberapa orang beranggapan kalau pelaku Hidup Bakti itu
ialah pastor dan suster. Kenyataannya bukanlah demikian. Bukanlah pula semua imam adalah pelaku
Hidup Bakti. Imam diosesan umumnya tidak termasuk pelaku Hidup Bakti. Pelaku Hidup Bakti ialah
para pria dan wanita yang mengkaulkan ketiga nasihat Injil yakni kemiskinan, kemurnian, dan
ketaatan, baik secara tetap maupun sementara. Mereka secara umum dikategorikan dalam dua bagian
besar yakni 1) Tarekat Hidup Bakti dan 2) Serikat Hidup Kerasulan. Kedua kategori inilah yang
dimaksud oleh Paus Fransiskus dalam Surat Apostolik itu. Kedua kelompok besar ini memiliki
banyak cabang dan ranting (barangkali ada 169 jenis). Beberapa darinya disebut religius kontemplatif
(misalnya Karmelites, Carthusians, Benediktin, Trappist, Cistercians, Klaris dll) dan religius aktif
(seperti Fransiskan, Dominikan, Jesuit, dll). Religius kontemplatif dan religius aktif, seperti juga
pelaku Hidup Bakti lainnya, memusatkan cara hidup mereka pada doa dan liturgi.

Liturgi dan spiritualitas tarekat

Setiap bentuk Hidup Bakti itu didirikan oleh orang tertentu seturut kebutuhan zaman dan kebutuhan
Gereja. Dengan demikian kita mengenal tipe-tipe spiritualitas atau cara memandang Yesus Kristus
seturut misalnya Santo Benediktus dan Santo Basilius, Santo Agustinus dan Santo Bernardus, Santo
Fransiskus dan Santo Dominikus, Santo Ignatius Loyola dan Santa Teresa dari Avila, Santa Angelica
Merici dan Santo Vinsensius a Paulo, Santo Yohanes Bosco, dan Beata Teresa dari Kalkuta, dst.
Setiap bentuk Hidup Bakti ini memiliki spiritualitas. Sebenarnya spiritualitas tiap tarekat berakar pada
liturgi, sebagaimana juga berlaku untuk kaum beriman lainnya. Hal ini sangat jelas dengan baptisan
yang merupakan awal seseorang menjadi pengikut Kristus.

Pengikraran ketiga kaul bagi kaum religius merupakan perpanjangan semangat baptisan. Tindakan itu
terjadi dalam liturgi, tidak ada kaul tanpa liturgi. Dengan kaul seseorang dimasukkan menjadi anggota
resmi tarekat. Sejak itu ia menghayati spiritualitas tarekatnya yang senantiasa disuburkan oleh
tindakan liturgis khususnya Ekaristi, Sakramen Tobat, dan Ibadat Harian. Pernyataan ini hendak
mengatakan hubungan kaum religius tak terpisahkan dengan liturgi sebagai sumber dan puncak
kehidupan orang kristen.

Setiap tarekat bersatu dengan batangnya, yakni Yesus Kristus. Dialah sumber utama yang secara
misteri hadir dalam setiap tindakan liturgis. Dengan demikian liturgi menjadi sumber kehidupan bagi
setiap tarekat. Keberadaannya (being) bersumber dari liturgi yang dihayati seturut cara pandang
pendirinya, lazim disebut spiritualitas tarekat. Spiritualitas ini hendak diwujudkan dalam perbuatan-
perbuatan (doing) setiap hari. Baik being maupun doing setiap anggota tarekat ditentukan oleh
imannya yang dirayakan dalam liturgi.

Hanyalah dengan mengimani isi dan pesan dari perayaan liturgi kaum religius dimampukan
mengimplementasikan spiritualitas tarekatnya. Misalnya, pesan damai dalam Ekaristi semakin
berdayaguna ketika para fransiskan sungguh mewujudkan spiritualitas damai tarekatnya dalam hidup
sehari-hari. Semangat persaudaraan semakin disuburkan dengan menimba kasih persaudaraan yang
dirayakan dalam Ekaristi yang adalah perjamuan persaudaraan, dan sungguh mampu berkurban yang
disemangati oleh Ekaristi sebagai perayaan kurban. Dengan menghayati pesan pengampunan dari
Sakramen Tobat, kaum religius dimungkinkan menjadi saksi pengampunan dalam hidup sehari-hari.
Bila Paus Fransiskus mengharapkan kaum religius menjadi “ahli-ahli persekutuan”, Ekaristi sungguh
mengungkapkannya dalam “komuni”. Paus juga mengandalkan kaum religius “membangunkan
dunia” dengan kesaksian menurut karisma tarekat masing-masing, pesan itu juga dibarui setiap kali
dalam Ekaristi saat perutusan, “Ite, missa est”.

Maka apa pun juga hendak dilakukan oleh anggota tarekat sesuai dengan spiritualitas tarekatnya,
selalu dapat disuburkan dalam perayaan liturgi. Karena itu Konstitusi Liturgi Sacrasanctum
Concilium No. 10 menyatakan liturgi sebagai sumber dan puncak, “terutama dari Ekaristi, bagaikan
dari sumber, mengalirlah rahmat” yang membuat spiritualitas tarekat tetap berkembang. Dalam
konteks inilah liturgi merupakan “sekolah pertama hidup rohani” (Paus Paulus VI), “sumber utama
untuk menimba semangat kristiani yang sejati” (SC 14) atau “sebagai sekolah utama bagi
spiritualitas” (Joseph Ratzinger).

Mengikuti paham di atas spiritualitas setiap tarekat dibentuk oleh Misteri Paska (hidup, kematian, dan
kebangkitan Kristus) yang diungkapkan dalam setiap perayaan liturgi untuk diperpanjang oleh pelaku
Hidup Bakti dalam kehidupan sehari-hari. Semangat kurban dan pelayanan yang diungkapkan dalam
liturgi diintegrasikan dengan perjuangan setiap tarekat. Seperti Kristus yang menyerahkan diri secara
total diragakan dalam liturgi demikian kaum religius menyerahkan diri bagi kebutuhan masyarakat
dan Gereja. Dengan merayakan liturgi kaum religius tetap disegarkan dalam penyerahan diri sebagai
pengejawantahan ketiga kaul. Kelemahan-kelemahan manusiawi yang ada dalam diri kaum religius,
diperkecil setiap hari yang dimohonkan dalam doa tiada henti yang dicerminkan dengan mendoakan
Ibadat Harian menurut waktu-waktu yang ditentukan.
Kehidupan Liturgi di Komunitas Hidup Bakti dan misi Gereja

Dalam anjuran apostolik, Vita Consecrata, Paus Yohanes Paulus II menggarisbawahi eratnya
hubungan antara hidup bakti dengan misi Gereja. Pengikraran nasehat-nasehat Injili merupakan unsur
integral hidup Gereja. Dokumen ini amat menonjolkan dimensi ekklesial hidup bakti. Memang tak
bisa dipungkiri bahwa kaum religius itu hidup dalam Gereja dan demi Gereja. Paham ini sebenarnya
terungkap dengan sangat ringkas dalam ritus Pengikraran Kaul Kekal.

Sudah menjadi skema dasar bahwa dalam liturgi dirayakan iman yang resmi untuk selanjutnya
dihayati dalam kehidupan konkrit. Perayaan liturgi bukan terbatas di ruang gereja melainkan
dipraktekkan dalam kehidupan harian. Bila Paus Fransiskus mengajak kaum religius melalui Surat
Apostolik dalam rangka Tahun Hidup Bakti agar menjadikan Injil sebagai panduan hidup sehari-hari,
kirnya panduan itu juga terdapat dalam perayaan liturgi. Liturgi itu tidak cukup dirayakan sebab
Yesus meminta kaum religius menerapkan pesan-Nya dalam perkataan dan perbuatan. Spiritualitas
tarekat yang disuburkan oleh liturgi menjadi nyata bila turut serta mewujudkan visi-misi Gereja
setempat. Dengan demikian kaum religius menjadi bagian integral Gereja/Keuskupan dan tidak
pernah menjadi kaum pinggiran di keuskupan. Semakin ia menghayati spiritualitas tarekatnya,
semakin ia mencintai liturgi, dan semakin ia menghayati liturgi semakin nyata pulalah spiritualitas
tarekatnya bagi orang lain. Tanpa perayaan liturgi, ia tidak mungkin mencintai spiritualitas tarekat,
sebab spiritualitas tarekat selalu berdasar pada spiritualitas liturgis.

Harapan liturgi bagi komunitas religius

Komunitas religius, menurut apa yang sudah disebut di atas, pantaslah diharapkan sebagai panutan
dalam berliturgi. Konsili Vatikan II telah mengisyaratkan ini dengan menandaskan bahwa liturgi
merupakan unsur pendidikan dasar bagi kelompok-kelompok hidup bakti sehingga tarekat-tareka
religius dirasuki semangat liturgi secara mendalam (SC 16-17). Boleh jadi ada yang sedemikian
menekankan spiritualitas tarekat sehingga kurang waktu mendalami hubungan liturgi dengan
spiritualitas. Belum pula cukup sering ada pendalaman spiritualitas tarekat dalam hubungannya
dengan liturgi. Misalnya saat retret panjang bagi anggota tarekat menjelang kaul kekal, biasanya
bahan-bahan dihubungkan dengan spiritualitas tarekat. Dalam kesempatan ini sebenarnya menarik
jika menjadikan liturgi kaul kekal menjadi bahan utama yang kemudian dikaitkan dengan spiritualitas
tarekat. Sedemikian asik bisa tarekat berbicara tentang spiritualitasnya dalam berbagai pertemuan
tetapi belum cukup memilih liturgi (menyeluruh atau parsial) sebagai tumpuan. Ini barangkali
disebabkan liturgi dipahami sebatas aturan-aturan. Padahal liturgi adalah dasar setiap spiritualitas
tarekat bila konstitusinya dicermati.

Tidak berlebihan bila liturgi di komunitas kaum religius diharapkan menjadi panutan bagi komunitas
jemaat lainnya. Kaum biara bagaimanapun juga lebih akrab dengan liturgi ketimbang umat
kebanyakan. Berbicara tentang liturgi, umat kebanyakan merasa lebih tepat bertanya kepada kaum
religius ketimbang awam lainnya. Anggapan ini sering pula terbentur sebab ternyata kaum religius
juga tidak selalu mampu menerangkan lebih jauh, apa lagi hubungannya dengan spiritualitas tarekat.
Sebenarnya bukanlah harapan berlebihan bila komunitas religius menjadi teladan dalam berliturgi,
menjadi contoh bagaimana pesan liturgi itu diimplementasikan dalam program hidup, menjadi salah
satu bukti bahwa liturgi itu berhubungan erat tak terpisahkan dengan hidup nyata. Dengan demikian
komunitas religius telah memberi sumbangan bagi perkembangan iman Gereja akan liturgi sebagai
sumber dan puncak kehidupannya. ***

Anda mungkin juga menyukai