Anda di halaman 1dari 12

PAPER I

LITURGI DAN SPIRITUALITAS

A. Pengantar
Hubungan antara liturgi dan spiritualitas merupakan pusat perhatian
pembaharuan liturgi, dan menjadi obyek penelitian para ahli liturgi. Kedua istilah
ini merujuk pada realitas yang berhubungan erat dengan hidup orang beriman dan
komunitas gerejani. Liturgi mengungkapkan dan menyuburkan spiritualitas
kristen. Spiritualitas kristen yang sesungguhnya ditemukan dalam liturgi yang
dirayakan dan dialami.
Liturgi berarti perayaan misteri kristen, sedangkan spiritualitas berarti
pengalaman kristen yang dihidupi dalam kekayaan aspeknya yang beragam.
Sementara spiritualitas liturgis dimaknai sebagai suatu pengalaman spiritual yang
ditumbuhkembangkan, dimodelkan, dan diungkapkan dalam prinsip-prinsip
doktrinal dan vital, yang semuanya itu berangkat dari liturgi. Spiritualitas liturgis
menunjukkan bahwa liturgi bukan terbatas pada tindakan ritual saja, tetapi seluas
lingkungan hidup manusia. Maka dari itu dapat disimpulkan, spiritualitas liturgis
merupakan cara, sikap, atau gaya hidup seseorang dalam menghayati atau
menghidupi perayaan liturgi dalam konteks seluruh hidupnya seturut pimpinan
Roh Kudus sendiri.1.

B. Liturgi dan Spiritualitas


1. Makna Liturgi
a. Liturgi: Penyembahan oleh Tubuh Mistik Kristus2
Ensiklik Mediator Dei, no. 25, mendefinisikan liturgi sebagai
“ibadat umum yang mana Penebus kita sebagai kepala, Gereja berikan
kepada Bapa, serta ibadat yang diberikan komunitas umat beriman kepada
Pendirinya, dan melalui dia kepada Bapa surgawi. Singkatnya, itu adalah

1
E. Martasudjita, Liturgi – Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Yogyakarta: Kanisius,
2011), hlm.273-274.
2
Anscar J. Chupungco (ed.), Handbook for Liturgical Studies: Introduction of Liturgy, Vol. I
(Minnesota: Liturgical Press, 1997), hlm. 4.

1
penyembahan yang dilakukan oleh Tubuh Mistik Kristus di seluruh kepala
dan anggotanya.”

b. Liturgi: Sekolah perdana dari hidup rohani3


Dalam peresmian konstitusi liturgi Sacrosanctum Concilium (SC)
pada tanggal 4 Desember 1963, Paus Paulus IV mendefinisikan liturgi
sebagai “sekolah perdana dari hidup rohani kita”. Dalam hal ini,
“sekolah” mengungkapkan karakter pendidikan dan pengajaran dari liturgi
dalam isi dan perayaannya: Sabda Allah, doa-doa, teks-teks liturgis, ritus-
ritus, tata gerak, simbol universal, sakramen-sakramen, dan tahun liturgi.
Dengan liturgi, Gereja melaksanakan pengajaran spiritual yang kaya isi
dan sikap.

c. Liturgi: Sumber dan puncak spiritualitas kristiani4


Selanjutnya, Paus Paulus IV menyebut liturgi “sebagai sumber
utama untuk menimba semangat krsitiani yang sejati”. istilah “sumber”
menunjuk pada karakter mistagogis5 – inisiasi kepada misteri, persatuan
dengan misteri-misteri keselamatan yang hadir dalam liturgi. Lebih lanjut,
tentang aktivitas Gereja, Konsili menyebutkan bahwa “liturgi adalah
puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja, dan serta-merta sumber segala
daya kekuatannya”6. Dari pengertian ini, liturgi dapat dipahami sebagai
sumber dan puncak spiritualitas kristiani.

d. Liturgi: Perayaan realitas terdalam dari kehidupan iman7


Liturgi diprakarsai oleh Allah atas nama manusia. Melalui liturgi,
Tuhan menawarkan karunia diri kepada manusia melalui perantaraan
Sabda yang menjelma, Yesus Kristus, dan mengurapi mereka dengan Roh
3
Anscar J. Chupungco (ed.), Handbook for Liturgical Studies: Fundamental Liturgy. Volume
II (Minnesota: Liturgical Press, 1998), hlm. 48.
4
Anscar J. Chupungco (ed.), Handbook for Liturgical Studies… , hlm. 48.
5
Menurut René Bornert, mistagogi pertama-tama adalah tindakan liturgi. Ini pada dasarnya
merupakan pencerahan dari misteri Allah; dalam merayakan misteri, kita diinisiasi ke dalam misteri. Ia
juga berpendapat bahwa mistagogi memperhitungkan baik misteri yang terkandung dalam Kitab Suci
maupun misteri yang terkandung dalam liturgi. [Lihat Goffredo Boselli, The Spiritual Meaning of
Liturgy: School of Prayer, Source of Life (Minnesota: Liturgical Press, 2014), hlm. 4-5.]
6
Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta:
Dokumentasi dan Penerangan KWI – OBOR, 1990), no. 10.
7
Alexander Peck, Liturgy, Spirituality, and Liturgical Spirituality: Definitions, [online]
Spirituality For Life, 2012, https://www.spirituality-for-life.org/Liturgy-and-Spirituality-
Definitions.html , diakses 4 Februari 2022, hlm. 1-2.

2
kekudusan. Semua liturgi secara intrinsik trinitarian – melibatkan karya
Yesus Kristus yang berdoa kepada Tuhan atas nama dunia, dan Roh Tuhan
yang memberdayakan orang-orang dengan kehidupan baru. Liturgi
semacam itu, dengan dasar trinitasnya, mengakui bahwa semua ciptaan
berasal dari "Allah yang berpribadi tiga, yang menjaga dan
memeliharanya." Oleh karena itu, penyebutan nama-nama Allah Bapa,
Putra, dan Roh memainkan peran penting dalam liturgi. Tujuan liturgi
adalah untuk memampukan manusia masuk ke dalam suatu hubungan
dengan Misteri Ilahi yang pernah bekerja untuk, dengan, dan dalam diri
manusia.
Liturgi memiliki fungsi ganda dalam komunitas iman, yaitu “untuk
membentuk Gereja dan mengekspresikan Gereja”. Dalam konteks ini,
liturgi dapat digambarkan di dalam empat tindakan penting:
mengumpulkan, menceritakan, memelihara, dan bermisi – dengan kata
lain, komunitas iman berkumpul, mendengarkan, berbagi, dan pergi untuk
melakukan keadilan di dunia, semua diberdayakan oleh Roh. Dari sini
mengalir fakta bahwa liturgi dan kehidupan tidak dapat dipisahkan.
Artinya, roh yang terekspresikan dalam liturgi harus melanjutkan karya
pengubahan seseorang menjadi gambar Kristus. Ringkasnya, liturgi
merayakan realitas terdalam dari kehidupan iman.

e. Liturgi: Perjumpaan dengan Allah8


Liturgi dapat didefinisikan juga dari sudut perjumpaan antara umat
beriman dan Allah. Ini menyiratkan bahwa melalui ibadat Gereja umat
beriman baik sebagai tubuh maupun sebagai anggota individu masuk ke
hadirat Allah Tritunggal. Dalam liturgi, Gereja biasanya menyapa Bapa,
melalui Kristus, dalam kesatuan Roh Kudus. Doa-doa sentral, seperti Doa
Syukur Agung, ditujukan kepada pribadi Bapa. Doa diakhiri dengan
memohon mediasi Kristus. Kuasa Roh Kudus dipanggil atas umat dan
unsur-unsur sakramental.
Liturgi adalah perjumpaan pribadi dalam arti bahwa pribadi
manusia bertemu dengan tiga pribadi ilahi sesuai dengan peran khusus
yang dimainkan masing-masing dalam sejarah keselamatan. Dengan
8
Anscar J. Chupungco (ed.), Handbook for Liturgical Studies: Introduction to the Liturgy.
Volume I (Minnesota: Liturgical Press, 1997), hlm. 6.

3
demikian, liturgi mengabadikan tindakan dan campur tangan Allah dalam
sejarah manusia.
Dimensi trinitarian dari liturgi telah melahirkan konsep dasar
liturgi seperti anamnesis dan epiklesis. Melalui anamnesis, perbuatan-
perbuatan Tuhan yang luar biasa diingat oleh majelis liturgi dan dihadirkan
di tengah-tengah mereka. Melalui anamnesis pula, para penyembah
dimampukan untuk mengalami dalam hidup mereka karya keselamatan
Tuhan. Perayaan Misa dan sakramen dengan demikian selalu merupakan
anamnesis karya penyelamatan Tuhan, kehadiran dalam bentuk ritual, dan
pengalaman iman. Di sisi lain, epiklesis melengkapi tindakan anamnesis.
Kedua konsep tersebut terkait satu sama lain dalam banyak cara yang sama
seperti misteri Paskah dan misteri Pentakosta. Doa epiklesis merupakan
puncak tindakan anamnesis. Anamnesis mengarah ke epiklesis, sama
seperti misteri Paskah mengarah ke Pentakosta. Dalam liturgi kita tidak
hanya mengingat misteri Paskah Kristus, tetapi kita juga menerima Roh
Kudus.
Jadi definisi liturgi sebagai perjumpaan dengan Allah melibatkan
kerja ekstra Trinitas dalam sejarah keselamatan. Dimensi trinitarian ini
diekspresikan oleh liturgi melalui komponen dasar anamnesis dan
epiklesis, di mana peran yang berbeda dari tiga pribadi dipanggil dan
kehadiran mereka yang menyelamatkan dipanggil.

2. Definisi Spiritualitas
Secara etimologis, kata spiritualitas berasal dari kata ruah dalam
Perjanjian Lama yang artinya roh. Sedangkan dalam alam Perjanjian Baru
ruah disebut pneuma yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai spirit.9 Kata
spirit ini dapat juga dikaitkan dengan kata Latin yakni spiritus yang berarti
nafas, roh, jiwa, sikap batin, keteguhan hati (courage) serta hidup.10 Dalam
istilah modern saat ini, kata spirit mengacu pada energi batin manusia yang
bersifat non jasmani dan meliputi emosi serta karakter. Istilah “spiritualitas”

9
Adam McClendon, “Defining the Role of the Bible in Spirituality: Three Degrees of
Spirituality in American Culture” dalam Journal of Spiritual Formation & Soul Care vol. 5, no. 2 (Fall
2012), hlm. 209.
10
Thomas H. Russell, A. C. Bean, and L. B. Vaughan, Webster’s Twentieth-Century
Dictionary of the English Language (New York: Publishers Guild, 1938), hlm. 1597.

4
berasal dari kata benda bahasa Inggris yaitu spirituality, turunan dari kata sifat
spiritual.
Spiritual dalam hal ini mencakup seluruh aspek kehidupan manusia
yang merupakan sarana pencerahan diri guna menjalani kehidupan untuk
menemukan tujuan dan makna hidup. Spiritualitas dapat dimaknai dengan
suatu cara hidup dalam tuntunan Roh atau hidup dalam Roh. Dengan
menghayati spiritualitas, umat beriman akan menjadi pribadi yang spiritual,
yakni akan selalu menghayati Roh Allah dalam hidup sehari-hari. Spiritualitas
berkaitan erat dengan kekuatan atau Roh yang memberi daya kekuatan kepada
seseorang untuk dapat mempertahankan, mengembangkan dan mewujudkan
kehidupan.11 Dapat juga dikatakan bahwa spiritualitas merupakan suatu
program pelatihan hidup spiritual yang mencakup latihan rohani untuk
menumbuhkembangkan hidup rohani. Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa spiritualitas bertujuan untuuk mendorong, mengarahkan,
menggerakkan dan memotivasi umat beriman agar keseluruhan hidupnya
senantiasa dijiwai oleh semangat Roh Kudus. Jiwa yang disemangati oleh Roh
Kudus akan menghasilkan suatu cara hidup yang kaya akan buah-buah Roh,
yakni kasih, sukacita, damai sejahtera, kasabaran, kemurahan, kebaikan,
kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Gal. 5:22-23).
Menurut Henry Nouwen, spiritualitas adalah proses, yang sumbernya
berasal dari perjumpaan manusia dengan Allah, namun perwujudannya justru
terdapat di dalam seluruh bidang dan aspek kehidupan manusia. Karena
spiritualitas itu bersumber dari perjumpaan antara manusia dengan Allah,
maka spiritualitas itu nampak dalam bentuk tindakan yang nyata berupa doa,
persekutuan (komunitas) serta dalam bentuk keheningan batin.12 Spiritualitas
Kristiani pada umumnya memiliki tiga dimensi yang tampak jelas yakni
dimensi perjumpaan dengan Tuhan dalam doa, perjumpaan dengan sesama
dalam hidup harian dan perjumpaan dengan diri sendiri dalam keheningan
batin.13 Dalam setiap karya pelayanan gereja, spiritualitas merupakan bagian
yang sangat penting karena merupakan pusat dari seluruh pelayanan itu
11
A. M. Mangunhardjana, SJ., Prodiakon: Jati Diri, Wewenang, dan Tugasnya (Jakarta: Obor,
2013), hlm. 42-43.
12
Henry J.M. Nouwen, Out of Solitude: Three Meditations on the Christian Life (Notre Dame:
Ave Maria Press, 1974), hlm. 9.
13
Henry J.M. Nouwen, Out of Solitude:…, hlm. 11

5
sendiri. Hal ini dikarenakan spiritualitas merupakan standar untuk menilai
sejauh mana sebuah karya pelayanan telah membawa umat beriman kepada
pertumbuhan kehidupan spiritual. Dalam seluruh kehidupan orang Kristen,
doa pribadi dan askese menyuburkan hidup spiritual sebagai wujud dari
amanat pembaptisan yang telah mereka terima.

Spiritualitas dalam Kitab Suci


a. Kitab Suci Perjanjian Lama
Kitab Suci Perjanjian Lama menggunakan istilah ruah untuk roh
yang berarti angin atau hembusan. Istilah “ruah” ini mendapatkan
penekanan pada hubungan yang khusus antara manusia dengan Tuhan.
Hubungan yang khusus itu pertama-tama tampak pada kisah penciptaan
ketika hembusan nafas Allah menjadikan manusia itu hidup (Kej. 2:7).
Singkatnya, Perjanjian Lama memaknai spiritualitas sebagai suatu anugerah
kehidupan berkat hembusan nafas yang ditiupkan oleh Allah. Dengan
demikian, spiritualitas dalam Perjanjian Lama adalah ruah, yaitu Roh Allah
yang menggerakkan, memanggil, menjiwai, menuntun, dan menghantar
manusia pada panggilannya sebagai makhluk ciptaan yang berelasi dengan
Penciptanya. Dengan keyakinan dan pemaknaan inilah manusia dapat
menjalankan perutusan dan panggilan hidupnya karena manusia itu
digerakkan oleh Roh Allah yang adalah ruah.

b. Kitab Suci Perjanjian Baru


Istilah ruah dari Perjanjian Lama berubah menjadi parakletos dalam
Perjanjian Baru. Parakletos berasal dari kata parakaleo yang memiliki arti
menghibur atau meneguhkan. Istilah ini berkaitan dengan Roh Penghibur
yakni Roh Allah atau Roh Kudus yang Yesus janjikan sesaat sebelum Ia
terangkat ke surga (Yoh. 14:25-26). Spiritualitas dalam Perjanjian Baru
ialah parakletos yaitu Roh Kudus yang diutus Allah untuk menyertai para
murid dalam tugas perutusannya. Roh Kudus inilah yang menjadi sumber
kekuatan bagi para pengikut Kristus untuk tetap setia dalam mengikuti
jejak-Nya.
Jordan Aumann memaparkan lima sifat spiritualitas Kristiani dalam
Tradisi Katolik. Yang pertama, spiritualitas Kristiani bersifat kristosentris
(Christocentric) yang menajdikan Kristus sebagai pusat kehidupannya.

6
Yang kedua, bersifat eskatoligis (eschatological) yang meyakini adanya
kehidupan setelah kematian badan. Yang ketiga bersifat asketis (ascetism)
yang ajarannya berkaitan dengan praktek latihan rohani. Yang keempat,
spiritualitas Kristiani ialah liturg (liturgical) yang berkaitan dengan
kegiatan peribadatan. Dan yang kelima ialah bersifat komunal (communal)
yang hidup dalam kebersamaan.14
Jadi, pada intinya, spiritualitas Kristiani ialah suatu penghayatan
umat beriman akan adanya dorongan batin untuk senantiasa mendekatkan
diri pada Tuhan. dorongan ini timbul dalam hati manusia karena hembusan
Roh Kudus yang telah diutus Allah untuk membantu dan meneguhkan serta
menyertai langkah manusia dalam perutusannya di dunia ini. Spiritualitas
Kristiani dapat diaktualisasikan secara personal maupun komunal15 karena
berkaitan dengan penghayatan dan cara hidup.

3. Hubungan Liturgi dan Spiritualitas


Katekismus Gereja Katolik (KGK) nomor 1070 dapat menjadi titik
awal untuk dapat memahami hubungan yang sesungguhnnya antara liturgi
dengan spiritualitas. Dokumen Gereja ini berbunyi: “Dalam Perjanjian Baru
kata “liturgi” tidak hanya berarti “perayaan ibadat”, melainkan juga
pewartaan Injil dan cinta kasih yang melayani.” Dalam hal ini, kegiatan
melayani yang dimaksud ialah pelayanan yang terarah kepada Allah dan
manusia. Dalam perayaan liturgi, Gereja sebagai umat beriman mengambil
peran sebagai pelayan seturut teladan Yesus Kristus yang melakukan
pewartaan dan pelayanan cinta kasih. Dengan mengambil peran sebagai
pewarta dan pelayan dalam liturgi, umat beriman telah mengambil bagian
dalam martabat Kristus sebagai imam, nabi dan raja.
Liturgi dan spiritualitas memiliki kaitan yang saling mengisi. Liturgi
menarik perhatian spiritualitas karena liturgi itu menjadi sumber spiritualitas
untuk menimba semangatnya.16 Spiritualitas sebagai suatu cara hidup yang
sesuai dengan tuntunan Roh Kudus menimba semangatnya dari liturgi. Kata
14
Jordan Aumann, Christian Spirituality in the Catholic Tradition (USA: Ignatius Press,
1985), hlm. 22-34.
15
Anscar J. Chupungco (Ed.), Handbook For Liturgical Studies Volume II: Fundamental
Liturgy (Minnesota: Liturgical Press, 1998), hlm. 61.
16
Anscar J. Chupungco (Ed.), Handbook For Liturgical Studies Volume II: Fundamental
Liturgy (Minnesota: Liturgical Press, 1998), hlm. 46.

7
lainnya ialah umat beriman yang menimba spiritualitas dalam liturgi mesti
menampakkan imannya dalam bentuk tindakan kasih lewat cara hidupnya.
Semangat doa dan liturgi yang dilaksanakan dalam iman mestinya tidak
terbatas pada ruang ibadat yang sempit. Karena sesungguhnya seluruh
tindakan hidup umat beriman adalah tindakan liturgis. Dalam artian ini, umat
beriman yang dijiwai serta dituntun oleh Roh Kudus senantiasa berliturgi
dalam proses perjalanan hidupnya.
Buah dari perayaan liturgi dan spiritualitas yang tampak dalam
tindakan dan cara hidup yang penuh kasih menunjukkan bahwa seseorang itu
adalah orang yang beriman pada Kristus. Pada intinya kaitan dari liturgi dan
spiritualitas ini ialah umat beriman yang menimba kekuatan spiritual
dalam liturgi ambil bagian dalam imamat Kristus lewat ibadat,
pewartaan dan perbuatan kasih. Implikasinya ialah tidak akan mungkin
tercapai suatu kehidupan spiritual yang kaya dan subur tanpa liturgi.
Tak akan mungkin ada spiritualitas Kristen yang cara hidupnya menyerupai
Kristus tanpa adanya suatu sumber dan puncak. Sumber dan puncak yang
dimaksud ialah liturgi yang dirayakan dan dialami. Suatu pengalaman spiritual
diinspirasi, ditumbuhkembangkan, diamalkan dan diungkapkan berangkat dari
liturgi.

C. Spiritualitas Liturgis
1. Definisi Spiritualitas Liturgis
Jika liturgi dan spiritualitas melibatkan cara hidup, maka spiritualitas
liturgis menyiratkan cara hidup. Spiritualitas liturgis merupakan cara hidup
yang dibentuk oleh Misteri Paskah. Dalam pelayanan dan pengajaran Kristus,
dan khususnya dalam kematian dan kebangkitan-Nya, Ia mengungkapkan pola
hidup yang menawarkan kemungkinan keselamatan. Dari pembahasan ini,
spiritualitas liturgis adalah cara hidup yang menerima panggilannya oleh
Kristus.
Spiritualitas liturgis adalah praktik sempurna (sejauh mungkin) dari
kehidupan Kristen di mana seseorang, yang dilahirkan kembali dalam
baptisan, yang penuh dengan Roh Kudus yang diterima dalam penguatan, dan
berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi, menarik seluruh hidupnya dari
sakramen-sakramen ini, untuk tujuan, dalam rangka perayaan berulang tahun

8
liturgi, doa terus-menerus - khususnya, liturgi jam - dan kegiatan hidup sehari-
hari, tumbuh dalam pengudusan melalui keselarasan dengan Kristus, yang
disalibkan dan bangkit, dengan harapan pemenuhan eskatologis terakhir, untuk
memuji kemuliaan-Nya.”

2. Karakter Spiritualitas Liturgis17


Spiritualitas liturgis digambarkan dengan mengilustrasikan beberapa
karakteristiknya. Cara itu tepat, asalkan memperhatikan apa yang diungkapkan
mengenai konsep spiritualitas liturgi.

a. Trinitaris dan teosentris


Spiritualitas liturgi adalah trinitarian dan teosentris, karena mengakui
keutamaan tindakan penyelamatan Tuhan dan inisiatif cuma-cuma, dan
segala sesuatu pada akhirnya merujuk kepada Tuhan terutama di dalam
pujian, ucapan syukur, dan pemberian. Dari karakter ini Bapa diakui
sebagai sumber dan akhir dari setiap tindakan dan menempatkan misteri
Paskah di tengahnya.

b. Ekklesial dan komunitarian


Spiritualitas liturgis berkarakter ekklesial karena ekspresi peribadatan dan
pengudusannya diatur dan ditetapkan oleh otoritas gerejawi yang sah, yang
menjaga, dengan menghormati tradisi dan budaya gereja-gereja lokal yang
berbeda, kemurnian dan ortodoksi formula dan bentuk-bentuk liturgi.
penyembahan, dan pengudusan dalam kesatuan iman apostolik yang sama.
Sementara itu, karakter komunitaran menekankan aspek komunitas dari
rencana keselamatan, persatuan dan solidaritas semua orang dalam dosa
dan keselamatan, kesatuan umat Allah yang hadir di semua majelis lokal
yang sah di seluruh bumi, persekutuan para Orang Suci yang diperlukan,
dan persekutuan dalam hal-hal kudus.

c. Berbasis misteri
Spiritualitas liturgis memiliki karakter yang didasari oleh misteri, sejauh
pengalaman spiritual liturgi melewati misteri dan tanda-tanda liturgi; iman
dan katekese membantu dalam memahami pentingnya simbol-simbol
liturgi. Dalam keragamannya, simbol-simbol liturgi menganugerahkan
17
Anscar J. Chupungco (Ed.), Handbook For Liturgical Studies Volume II: Fundamental
Liturgy (Minnesota: Liturgical Press, 1998), hlm. 59-62.

9
kekayaan makna yang tak habis-habisnya kepada misteri Kristus dalam
pengudusan dan penyembahan. Melalui mereka seluruh pribadi diambil ke
dalam partisipasi dalam kehidupan ilahi, dan kosmos itu sendiri menjadi
sarana dan ekspresi persekutuan umat manusia dengan Tuhan. Ia tetap
terbuka untuk adaptasi budaya dan spiritualitas yang merupakan ekspresi
sah dari berbagai budaya.

d. Bersifat siklis
Sifat siklis pada spiritualitas liturgis mengandung makna bahwa ia
mengikuti siklus tahun liturgi. Dalam siklus liturgi yang berbeda (harian,
mingguan, tahunan) dengan perayaan peringatan khusus mereka sendiri,
umat beriman membenamkan keberadaan mereka sendiri ke dalam misteri
Kristus. Doa harian dengan pengudusan dan persembahan waktu, dengan
titik puncaknya dalam Ekaristi, menetapkan waktu manusia yang cepat
dengan upaya dan pekerjaannya ke dalam waktu penyelamatan Allah dan
ke dalam kekekalan; setiap minggu hari Tuhan memperbarui, dalam pesta
dan istirahat, misteri penciptaan dan ciptaan baru dengan harapan
kedatangan Tuhan yang pasti. Dalam siklus tahunan, umat beriman
ditempatkan ke dalam kontak dengan realitas penyelamatan dari misteri
kehidupan Kristus dan kematian-Nya yang mulia, yang dengannya mereka
harus menyesuaikan hidup mereka sendiri.

e. Personal sekalipun tetap komunal


Spiritualitas liturgis secara pribadi dihayati dan berasimilasi ke dalam
keadaan konkret masing-masing dalam komunitas Kristen dengan karunia
alam dan rahmat masing-masing (karakter, mentalitas, bakat, karisma,
keterlibatan dalam dunia). Dengan demikian liturgi menyadari misteri
kesatuan dalam Roh dan dalam keragaman karisma Roh.

f. Misionaris
Dengan karakter ini, spiritualitas liturgis berusaha untuk mewujudkan
rahmat yang diterima kepada dunia; setelah melibatkan dunia dalam
Gereja, yang dalam liturgi memanifestasikan dirinya sebagai komunitas
yang berkumpul ( ̓εκκλησία), cenderung menjadi manifestasi misteri
Kristus ( ̓επιφανέια) kepada dunia melalui perkataan dan perbuatan.

10
Λειτουργία cenderung ke arah pelayanan (διακονία) saudara-saudara
dalam amal, ke arah proklamasi misionaris, ke arah dialog.

g. Eskatologis
Spiritualitas liturgi bersifat eskatologis: ia cenderung menuju realisasi
penuh dalam kemuliaan. Pengudusan dan penyembahan cenderung menuju
ekspresi akhir yang sempurna di Yerusalem surgawi.

h. Marian
Spiritualitas liturgi, dalam terang kultus Marialis, juga pada dasarnya
adalah Marian. Hal ini dapat dipahami dengan melihat Gereja ketika
merayakan misteri menggunakan sikap yang sama yang digunakan
perawan Maria untuk mengaitkan dirinya dengan misteri Kristus: sebagai
perawan dalam mendengarkan dan berdoa, mempersembahkan sebagai
perawan dan ibu perawan, teladan dan guru kehidupan rohani bagi semua
orang Kristen, ketika dia mengajar mereka untuk menjadikan hidup
mereka sendiri sebagai ibadah yang menyenangkan Allah.

D. Kesimpulan
Hubungan antara liturgi dan spiritualitas berhubungan erat dengan hidup
orang beriman dan komunitas gerejani. Liturgi mengungkapkan dan menyuburkan
spiritualitas kristen. Spiritualitas kristen yang sesungguhnya ditemukan dalam
liturgi yang dirayakan dan dialami. Secara kristiani, spiritualitas berarti kehidupan
yang dijiwai dan dipimpin oleh Roh Kudus. Dari pengertian itu spiritualitas
liturgis dimaknai sebagai cara, sikap, atau gaya hidup seseorang dalam
menghayati perayaan liturgi dalam konteks seluruh hidupnya seturut pimpinan
Roh Kudus sendiri.

Bibliografi

Aumann, Jordan. Christian Spirituality in the Catholic Tradition. USA: Ignatius


Press, 1985.
Boselli, Goffredo. The Spiritual Meaning of Liturgy: School of Prayer, Source of
Life. Minnesota: Liturgical Press, 2014.

11
Chupungco, Anscar J. (ed.). Handbook for Liturgical Studies: Fundamental
Liturgy. Volume II. Minnesota: Liturgical Press, 1998.
Chupungco, Anscar J. (ed.). Handbook for Liturgical Studies: Introduction of
Liturgy. Volume I. Minnesota: Liturgical Press, 1997.
Konsili Vatikan II. Sacrosanctum Concilium. diterjemahkan oleh R.
Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – OBOR,
1990.
Keating, Thomas. The Mystery of Christ: The Liturgy as Spiritual Experience.
New York: Continuum, 2008.
Mangunhardjana, A. M. Prodiakon: Jati Diri, Wewenang, dan Tugasnya. Jakarta:
OBOR, 2013.
Martasudjita, E. Liturgi – Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi.
Yogyakarta: Kanisius, 2011.
McClendon, Adam. Defining the Role of the Bible in Spirituality: Three Degrees
of Spirituality in American Culture. dalam Journal of Spiritual Formation
& Soul Care vol. 5, no. 2. 2012.
Nouwen, Henry J.M. Out of Solitude: Three Meditations on the Christian Life.
Notre Dame: Ave Maria Press, 1974.
Peck, Alexander. Liturgy, Spirituality, and Liturgical Spirituality: Definitions.
[online] Spirituality For Life. 2012. Website: <https://www.spirituality-
for-life.org/Liturgy-and-Spirituality-Definitions.html> [diakses 4 Februari
2022].
Russell, Thomas H., A. C. Bean, L. B. Vaughan. Webster’s Twentieth-Century
Dictionary of the English Language. New York: Publishers Guild, 1938.

12

Anda mungkin juga menyukai