Anda di halaman 1dari 17

Arti liturgi

Liturgi (leitourgia) pada awalnya berarti “karya publik”. Dalam sejarah


perkembangan Gereja, liturgi diartikan sebagai keikutsertaan umat dalam karya
keselamatan Allah. Di dalam liturgi, Kristus melanjutkan karya Keselamatan di
dalam, dengan dan melalui Gereja-Nya. ((lih. Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1069))
Dalam kitab Perjanjian Baru, yaitu Surat kepada Jemaat di Ibrani,
kata leitourgia dan leitourgein disebut 3 kali (lih. Ibr 8:6; 9:21; 10:11) yang mengacu
kepada pelayanan imamat Kristus.
Maka, liturgi merupakan wujud pelaksanaan tugas Kristus sebagai Imam Agung, di
mana Kristus menjadi Pengantara satu-satunya antara manusia kepada Allah Bapa,
dengan mengorbankan diri-Nya sekali untuk selama-lamanya (lih. Ibr 9:12; 1 Tim
2:5). Korban Kristus yang satu-satunya inilah yang dihadirkan kembali oleh kuasa
Roh Kudus, dalam perayaan Ekaristi. Dengan demikian, liturgi merupakan
penyembahan Kristus kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus, dan dalam
melakukan penyembahan ini, Kristus melibatkan TubuhNya, yaitu Gereja. Karena
itu, liturgi merupakan karya bersama antara Kristus-Sang Kepala, dan
Gereja yang adalah Tubuh Kristus, ((lih. Konsili Vatikan II, Sacrosanctum
Concillium 7)) sehingga tidak ada kegiatan Gereja yang lebih tinggi nilainya daripada
liturgi karena di dalam liturgi terwujudlah persatuan yang begitu erat antara Kristus
dengan Gereja sebagai ‘Mempelai’-Nya dan Tubuh-Nya sendiri. ((lih. KGK 1070, SC
7))
Jadi definisi liturgi, menurut Paus Pius XII dalam surat ensikliknya tentang Liturgi
Suci, Mediator Dei, menjabarkan definisi liturgi sebagai berikut:
“Liturgi adalah ibadat publik yang dilakukan oleh Penebus kita sebagai Kepala
Gereja kepada Allah Bapa dan juga ibadat yang dilakukan oleh komunitas umat
beriman kepada Pendirinya [Kristus], dan melalui Dia kepada Bapa. Singkatnya,
liturgi adalah ibadat penyembahan yang dilaksanakan oleh Tubuh Mistik
Kristus secara keseluruhan, yaitu Kepala dan anggota-anggotanya.” ((Paus Pius
XII, Mediator Dei 20))
atau menurut Rm. Emanuel Martasudjita, Pr, “Liturgi adalah perayaan misteri karya
keselamatan Allah di dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang
Imam Agung, bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus.” ((Rm. Emanuel
Martasudjita, Pr., Liturgi, Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, (Yogyakarta:
Kanisius, 2011), p.22))

Partisipasi aktif dan sadar


Karena liturgi merupakan perayaan karya keselamatan yang dilakukan oleh Kristus
dalam kesatuan dengan Gereja-Nya, maka kita yang adalah anggota- anggota-Nya
harus turut mengambil bagian secara aktif di dalam liturgi. Mengapa? Karena liturgi
dimaksudkan sebagai karya Kristus dengan melibatkan kita anggota- anggota-
Nya, yaitu karya keselamatan Allah yang diperoleh melalui Misteri Paska Kristus,
yaitu: wafat, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke surga. Kita disatukan dalam
Misteri Paska Kristus ini, dengan membawa persembahan hidup kita ke hadapan
Allah, dan dengan inilah kita menjalankan martabat Pembaptisan kita sebagai umat
pilihan Allah.
Redemptionis Sacramentum (RS) 36     Perayaan Misa, sebagai karya Kristus serta
Gereja, merupakan pusat seluruh hidup Kristiani, baik untuk Gereja universal
maupun untuk Gereja partikular, dan juga untuk tiap-tiap orang beriman, yang
terlibat di dalamnya “pada cara-cara yang berbeda-beda sesuai dengan
keanekaragaman jenjang, pelayanan dan partisipasi nyata.” Dengan cara ini umat
Kristiani, “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, milik Allah sendiri”,
menunjukkan jenjang-jenjangnya menurut susunan hirarki yang rapih.
“Adapun imamat umum kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkis,
kendati berbeda hakekatnya dan bukan hanya tingkatannya, saling terarahkan.
Sebab keduanya dengan cara khasnya masing-masing mengambil bagian dalam
satu imamat Kristus.”
RS 37     Maka itu partisipasi kaum beriman awam dalam Ekaristi dan dalam
perayaan-perayaan gerejawi lain, tidak boleh merupakan suatu kehadiran melulu,
apalagi suatu kehadiran pasif, sebaliknya harus sungguh dipandang sebagai suatu
ungkapan iman dan kesadaran akan martabat pembaptisan.
Partisipasi secara aktif dan sadar ini terlihat dari keikutsertaan umat dalam
aklamasi-aklamasi yang diserukan oleh umat, jawaban-jawaban tertentu, lagu-lagu
mazmur dan kidung, gerak-gerik penghormatan, menjaga keheningan yang suci
pada saat-saat tertentu, dan adanya rubrik-rubrik untuk peranan umat. Di samping
itu peluang partisipasi umat dapat diwujudkan dalam pemilihan lagu-lagu, doa-doa,
pembacaan teks Kitab Suci, dan dekorasi gereja. Keikutsertaan umat ini tujuannya
adalah untuk semakin meningkatkan penghayatan akan sabda Allah dan misteri
Paska Kristus yang sedang dirayakan (lih. RS 39). Namun demikian, di atas semua
itu, partisipasi aktif dan sadar ini menyangkut sikap batin, yang semakin
menghayati dan mengagumi makna perayaan Ekaristi:
RS 40   Akan tetapi, meskipun perayaan liturgis menuntut partisipasi aktif semua
orang beriman, belum tentu berarti bahwa setiap orang harus melakukan kegiatan
konkrit lain di samping tindakan dan gerak-gerik umum, seakan-akan setiap orang
wajib melakukan satu tugas khusus dalam perayaan Ekaristi. Sebaliknya, melalui
instruksi katekis harus diusahakan dengan tekun untuk memperbaiki pendapat-
pendapat serta praktek-praktek yang dangkal itu, yang selama beberapa tahun
terakhir ini sering terjadi. Katekese yang benar akan menanam kembali dalam hati
seluruh orang Kristiani kekaguman akan mulianya serta agungnya misteri
iman, yakni Ekaristi…. seluruh hidup Kristiani yang mendapat kekuatan
daripadanya dan sekaligus tertuju kepadanya….
Tentang sikap batin ini, Redemptionis Sacramentum mengajarkan:
“Maka, haruslah menjadi jelas buat semua, bahwa Tuhan tidak dapat dihormati
dengan layak kecuali pikiran dan hati diarahkan kepada-Nya…. (RS 26) Oleh karena
itu, ….. semua umat harus sadar bahwa untuk mengambil bagian di dalam kurban
Ekaristi adalah tugas dan martabat mereka yang utama. Dan maka bahwa bukan
dengan cara yang pasif dan asal-asalan/malas, melantur dan melamun, tetapi
dengan cara penuh perhatian dan konsentrasi, mereka dapat dipersatukan dengan
se-erat mungkin dengan Sang Imam Agung, sesuai dengan perkataan Rasul Paulus,
“Hendaklah kamu menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus
Yesus” (Flp 2:5) Dan bersama dengan Dia dan melalui Dia hendaklah mereka
membuat persembahan, dan di dalam kesatuan dengan Dia, biarlah mereka
mempersembahkan diri mereka sendiri (RS 80). “….menaruh pikiran yang terdapat
juga dalam Kristus Yesus” mensyaratkan bahwa semua orang Kristen harus
mempunyai, sedapat mungkin secara manusiawi, sikap batin yang sama dengan
yang telah terdapat pada Sang Penebus ilahi ketika Ia mempersembahkan
Diri-Nya sebagai korban. Artinya mereka harus mempunyai sikap kerendahan
hati, memberikan penyembahan, hormat, pujian dan syukur kepada Tuhan yang
Maha tinggi dan maha besar. Selanjutnya, artinya mereka harus mengambil sikap
seperti halnya sebagai kurban, [yaitu] bahwa mereka menyangkal diri mereka
sendiri sebagaimana diperintahkan di dalam Injil, bahwa mereka dengan sukarela
dan dengan kehendak sendiri melakukan pertobatan dan tiap-tiap orang
membenci dosa-dosanya dan membayar denda dosanya. Dengan kata lain mereka
harus mengalami kematian mistik dengan Kristus di kayu salib, sehingga kita dapat
menerapkan kepada diri kita sendiri perkataan Rasul Paulus, “Aku telah disalibkan
dengan Kristus” (Gal 2:19) (RS, 81)
“…. Jelaslah penting bahwa ritus kurban persembahan yang diucapkan secara
kodrati, menandai penyembahan yang ada di dalam hati. Kini kurban Hukum yang
Baru menandai bahwa penyembahan tertinggi di mana Sang Kepala yang
mempersembahkan diri-Nya, yaitu Kristus, dan di dalam kesatuan dengan Dia dan
melalui Dia, semua anggota Tubuh Mistik-Nya memberi kepada Tuhan
penghormatan dan sembah sujud yang layak bagi-Nya. (RS 93)…. Agar
persembahan di mana umat beriman mempersembahkan Kurban ilahi di dalam
kurban ini kepada Bapa Surgawi memperoleh hasil yang penuh, adalah penting
bahwa orang-orang menambahkan…. persembahan diri mereka sendiri sebagai
kurban (RS 98). Maka semua bagian liturgi, akan menghasilkan di dalam hati kita
keserupaan dengan Sang Penebus ilahi melalui misteri salib, menurut perkataan
Rasul Paulus, “Aku telah disalibkan dengan Kristus. Aku hidup namun bukan aku
sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2:19-20) Jadi
kita menjadi kurban…. bersama dengan Kristus, untuk semakin memuliakan Bapa
yang kekal.” (RS 102)

Penyesuaian liturgi bertujuan untuk meningkatkan peran serta para peraya secara aktif
Liturgi, sebagai karya Gereja (karya Kristus dan anggota-anggota-Nya) mengalami
perkembangan dan penyesuaian; dan hal ini kita lihat dalam sejarah Gereja. Sebab
bagaimanapun, liturgi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Gereja, dan karena
itu segala bentuk penyesuaiannya harus semakin mendorong partisipasi umat di
dalamnya dan mengarahkan umat kepada peningkatan penghayatan akan
maknanya yang luhur.
Romo Boli Ujan SVD, seorang pakar liturgi di tanah air dan salah seorang
narasumber di situs ini, pernah menulis di artikel tentang Penyesuaian dan
Inkulturasi liturgi, silakan klik, demikian:
“Arah penyesuaian liturgi dari pihak para peraya sekaligus mengingatkan kita akan
tujuan dari penyesuaian liturgi yaitu agar para peraya dapat dengan mudah dan
jelas serta aktif mengambil bagian dalam perayaan. Dengan demikian kita lebih
mampu memahami tindakan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya. …. Liturgi adalah
perayaan pertemuan antara Allah dengan manusia dan antara anggota
persekutuan satu sama lain yang disatukan dalam Allah. Kehadiran Allah dalam
liturgi ini merupakan hal pokok yang tidak dapat digantikan oleh yang lain. Inilah
yang membuat keseluruhan suasana perayaan menjadi kudus dan berbeda dengan
suasana profan…..
[Namun] Sering penyesuaian liturgi dipandang sebagai kegiatan satu arah saja
yaitu upaya dari pihak Allah dan para petugas khusus untuk membuat liturgi itu
menjadi relevan dan sesuai dengan para peraya. Padahal liturgi merupakan
pertemuan antara Allah dan manusia, dalamnya terjadi dialog bukan
monolog. Liturgi sebagai karya Allah ditanggapi oleh para peraya. Maka
penyesuaian dari pihak Allah dan para petugas khusus dalam liturgi perlu
ditanggapi oleh semua peraya. Dalam liturgi manusia harus berusaha
menyesuaikan diri dengan Allah serta rencana-rencana-Nya, dan menyesuaikan diri
dengan pedoman-pedoman liturgi terutama pedoman umum mengenai hal-hal
pokok dan penting yang dipandang sebagai unsur pembentuk liturgi. Arah
penyesuaian terakhir sering kurang mendapat perhatian dalam pembicaraan
mengenai pokok ini, sebab yang lebih diutamakan dalam diskusi dan proses
penyesuaian liturgi adalah segala upaya membuat liturgi itu sesuai atau cocok
untuk para peraya. Kalau demikian penyesuaian liturgi menjadi pincang.”

Beberapa Pelanggaran Liturgi dalam Perayaan Ekaristi


Setelah kita mengetahui pengertian tentang liturgi, mari kita lihat bersama adanya
pelanggaran-pelanggaran yang umum terjadi di dalam liturgi Perayaan Ekaristi,
yang biasanya didasari oleh kekurangpahaman ataupun ketidakseimbangan dialog
antara pihak Allah dan pihak peraya. Dewasa ini, ada kecenderungan untuk terlalu
mengikuti kehendak para peraya, sampai mengesampingkan apa yang sebenarnya
menjadi hal prinsip yang menjadi kehendak Allah, atau yang selayaknya diberikan
kepada Allah sebagai ungkapan penghargaan kita akan Misteri Paska yang kita
rayakan dalam liturgi. Kekurangpahaman ataupun ketimpangan penyesuaian
dalam liturgi ini melahirkan banyak pelanggaran-pelanggaran, dan berikut ini
adalah beberapa contohnya:

Pelanggaran sehubungan dengan persiapan batin sebelum mengikuti Misa Kudus:


1. Tidak berpuasa sedikitnya sejam sebelum menerima Komuni
Seharusnya:
KHK Kan. 919
§ 1 Yang akan menerima Ekaristi Mahakudus hendaknya berpantang dari segala
macam makanan dan minuman selama waktu sekurang-kurangnya satu jam
sebelum komuni, terkecuali air semata-mata dan obat-obatan.
Maksud puasa sebelum Komuni tentu adalah untuk semakin menyadarkan kita
bahwa yang akan kita santap dalam Ekaristi adalah bukan makanan biasa, namun
adalah Tuhan sendiri: yaitu Kristus Sang Roti Hidup, yang dapat membawa kita
kepada kehidupan kekal (lih. Yoh 6:56-57)

2. Menggunakan pakaian yang tidak/ kurang sopan ke gereja, datang


terlambat,  ngobrol, berBBM/ SMS di gereja, makan dan minum di dalam
gereja, terutama anak- anak, anggota koor yang minum sebelum/ sesudah
bertugas, umat saat menunggu dimulainya perayaan Ekaristi.
Seharusnya:
KGK 1387 ….Di dalam sikap (gerak-gerik, pakaian) akan terungkap penghormatan,
kekhidmatan, dan kegembiraan yang sesuai dengan saat di mana Kristus menjadi
tamu kita. (CCC 1387 …. Bodily demeanor (gestures, clothing) ought to convey the
respect, solemnity, and joy of this moment when Christ becomes our guest)
Sudah sewajarnya dan sepantasnya jika kita memberikan penghormatan kepada
Allah yang kita jumpai di dalam liturgi. Jika sikap seenaknya tidak kita lakukan jika
kita sedang bertemu bapak Presiden, maka selayaknya kita tidak bersikap demikian
kepada Tuhan yang kita jumpai di gereja.
3. Tidak memeriksa batin, namun tetap menyambut Komuni meskipun dalam
keadaan berdosa berat
Seharusnya:
RS 81    Kebiasaan sejak dahulu kala menunjukkan bahwa setiap orang harus
memeriksa batinnya dengan mendalam, dan bahwa setiap orang yang sadar
telah melakukan dosa berat tidak boleh menyambut Tubuh Tuhan kalau
tidak terlebih dahulu menerima Sakramen Tobat, kecuali jika ada alasan berat
dan tidak tersedia kemungkinan untuk mengaku dosa; dalam hal itu ia harus ingat
bahwa ia harus membuat doa tobat sempurna, dan dalam doa ini dengan
sendirinya tercantum maksud untuk mengaku dosa secepat mungkin (lih. KGK
1385, KHK Kan 916, Ecclesia de Eucharistia, 36) 
Dosa berat memisahkan kita dari Kristus, dan karena itu untuk bersatu dengan-Nya
kita harus meninggalkan dosa tersebut, dan mengakukannya di dalam sakramen
Tobat. Contoh dosa berat ini misalnya jika hidup dalam perkawinan yang tidak sah
menurut hukum Gereja Katolik, atau hidup dalam perzinahan/ percabulan, atau
dalam keadaan kecanduan obat-obatan, dst. Kekecualian akan “adanya alasan
berat dan tidak tersedia kemungkinan mengaku dosa”, contohnya adalah bahaya
maut, atau jika tinggal di daerah terpencil di mana Komuni dibagikan oleh seorang
asisten imam dalam waktu sekian minggu sekali.

Pelanggaran dalam bagian- bagian Misa Kudus:


1. Mazmur Tanggapan digantikan dengan lagu rohani lainnya
Seharusnya:
Redemptoris Sacramentum (RS) 62    “Tidak juga diperkenankan meniadakan atau
menggantikan bacaan-bacaan Kitab Suci yang sudah ditetapkan, atas inisiatif
sendiri, apalagi “mengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi Sabda
Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci.” (lih. juga PUMR 57)
Katekismus mengajarkan bahwa kehadiran Kristus dalam Perayaan Ekaristi nyata
dalam: 1) diri imamnya; 2) secara khusus dalam rupa roti dan anggur; 3) dalam
sabda Allah (bacaan-bacaan Kitab Suci); 4) dalam jemaat yang berkumpul (lih. KGK
1088). Nah sabda Allah yang dimaksud di sini adalah bacaan di dalam Liturgi Sabda,
dan ini termasuk bacaan Mazmur pada hari itu.
Selanjutnya tentang pembahasan topik ini, klik di sini.
2. Ordinarium digantikan dengan lagu- lagu lain dengan teks yang berbeda,
yang tidak sama dengan yang sudah disahkan KWI.
RS 59    Di sana-sini terjadi bahwa Imam, Diakon atau umat dengan bebas
mengubahkan atau menggantikan teks-teks liturgi suci yang harus mereka
bawakan. Praktek yang amat tidak baik ini harus dihentikan. Karena dengan
berbuat demikian, perayaan Liturgi Suci digoyahkan dan tidak jarang arti asli liturgi
dibengkokkan.
Seharusnya:
PUMR 393    Perlu diperhatikan pentingnya nyanyian dalam Misa sebagai bagian
utuh dari liturgi. Konferensi Uskuplah yang berwenang mengesahkan lagu-lagu
yang serasi, khususnya untuk teks-teks Ordinarium, jawaban dan aklamasi umat,
dan untuk ritus-ritus khusus yang diselenggarakan dalam kurun tahun liturgi….
Rumusan Ordinarium merupakan pernyataan iman Gereja yang sifatnya baku,
sehingga tidak selayaknya diubah-ubah atas kehendak pribadi.
3. Kurangnya saat hening.
Seharusnya:
PUMR 45    Beberapa kali dalam Misa hendaknya diadakan saat hening. Saat hening
juga merupakan bagian perayaan, tetapi arti dan maksudnya berbeda-beda
menurut makna bagian yang bersangkutan. Sebelum pernyataan tobat umat
mawas diri, dan sesudah ajakan untuk doa pembuka umat berdoa dalam hati.
Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar amanat yang
didengar. Sesudah komuni umat memuji Tuhan dan berdoa dalam hati.
Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan dilaksanakan
dalam gereja, di sakristi, dan di area sekitar gereja, sehingga seluruh umat dapat
menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat.
PUMR 56    Liturgi Sabda haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga
mendorong umat untuk merenung. Oleh karena itu, setiap bentuk ketergesa-
gesaan yang dapat mengganggu permenungan harus sungguh dihindari. Selama
Liturgi Sabda, sangat cocok disisipkan saat hening sejenak, tergantung pada
besarnya jemaat yang berhimpun. Saat hening ini merupakan kesempatan bagi
umat untuk meresapkan sabda Allah, dengan dukungan Roh Kudus, dan untuk
menyiapkan jawaban dalam bentuk doa. Saat hening sangat tepat dilaksanakan
sesudah bacaan pertama, sesudah bacaan kedua, dan sesudah homili.
4. Diizinkannya seorang awam untuk berkhotbah/ memberikan kesaksian di
dalam homili  (misalnya untuk mengisi homili Minggu Panggilan, homili di
misa requiem, ataupun kesempatan khusus lainnya).
Seharusnya:
RS 64    Homili yang diberikan dalam rangka perayaan Misa Kudus, dan yang
merupakan bagian utuh dari liturgi itu “pada umumnya dibawakan oleh Imam
perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam
konselebran, atau kadang-kadang, tergantung situasi, kepada diakon, tetapi tidak
pernah kepada seorang awam….”
RS 66    Larangan terhadap orang awam untuk berkhotbah dalam Misa,
berlaku juga untuk para seminaris, untuk mahasiswa teologi dan untuk orang yang
telah diangkat dan dikenal sebagai “asisten pastoral”; tidak boleh ada kekecualian
untuk orang awam lain, atau kelompok, komunitas atau perkumpulan apa pun.
RS 74    Jika dipandang perlu bahwa kepada umat yang berkumpul di dalam gereja,
diberi instruksi atau kesaksian tentang hidup Kristiani oleh seorang awam, maka
sepatutnya hal ini dibuat di luar Misa. Akan tetapi jika ada alasan kuat, maka dapat
diizinkan bahwa suatu instruksi atau kesaksian yang demikian disampaikan setelah
Doa sesudah Komuni. Namun hal ini tidak boleh menjadi kebiasaan. Selain itu,
instruksi atau kesaksian itu tidak boleh bercorak seperti sebuah homili, dan tidak
boleh homili dibatalkan karena ada acara dimaksud.
RS 67 Perlulah diperhatikan secara khusus, agar homili itu sungguh berdasarkan
misteri-misteri penebusan, dengan menguraikan misteri-misteri iman serta
patokan hidup Kristiani, bertitik tolak dari bacaan-bacaan Kitab Suci serta teks-teks
liturgi sepanjang tahun liturgi, dan juga memberi penjelasan tentang bagian umum
(Ordinarium) maupun bagian khusus (Proprium) dala Misa ataupun suatu perayaan
gerejawi lain…..
5. Pemberian Salam Damai yang dilakukan terlalu meriah dan panjang,
sampai imam turun dari panti imam.
Seharusnya:
RS 71    Perlu mempertahankan kebiasaan seturut Ritus Romawi, untuk saling
menyampaikan salam damai menjelang Komuni. Sesuai dengan tradisi Ritus
Romawi, kebiasaan ini bukanlah dimaksudkan sebagai rekonsiliasi atau
pengampunan dosa, melainkan mau menyatakan damai, persekutuan dan cinta
sebelum menyambut Ekaristi Mahakudus. Segi rekonsiliasi antara umat yang hadir
lebih diungkapkan dalam upacara tobat pada awal Misa, khususnya dalam rumus
pertama.
RS 72    “Salam damai hendaknya diberikan oleh setiap orang hanya kepada mereka
yang terdekat dan dengan suatu cara yang pantas.” “Imam boleh memberikan
salam damai kepada para pelayan, namun tidak meninggalkan panti imam agar
jalannya perayaan jangan terganggu….”
Salam Damai perlu dipertahankan, hanya hal dinyanyikan atau tidak, itu tidak
secara eksplisit dinyatakan di dalam dokumen Gereja. Bagi yang memilih untuk
menyanyikannya, dasarnya karena menganggap bahwa nyanyian itu merupakan
cara menyampaikan damai. Sedangkan yang tidak menyanyikannya, kemungkinan
menganggap bahwa hal dinyanyikannya Salam Damai tidak eksplisit disyaratkan
dalam dokumen Gereja, dan karena jika dinyanyikan malah dapat mengganggu
pusat perhatian saat itu yang seharusnya difokuskan kepada Kristus. Jika kelak
ingin diseragamkan, maka pihak KWI-lah yang berwenang untuk menentukan
apakah Salam Damai ini akan dinyanyikan atau tidak dinyanyikan.

Pelanggaran dalam hal penerimaan Komuni:


1. Umat mencelupkan sendiri Hosti ke dalam piala anggur.
Seharusnya:
RS 94     Umat tidak diizinkan mengambil sendiri– apalagi meneruskan kepada
orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus.
RS 104     Umat yang menyambut, tidak diberi izin untuk mencelupkan sendiri
hosti ke dalam piala; tidak boleh juga ia menerima hosti yang sudah dicelupkan
itu pada tangannya…..
PUMR 160     Umat tidak diperkenankan mengambil sendiri roti kudus atau
piala, apalagi saling memberikannya antar mereka. Umat menyambut entah
sambil berlutut atau sambil berdiri, sesuai dengan ketentuan Konferensi Uskup…
Pada hakekatnya Komuni adalah sesuatu yang “diberikan” oleh Kristus:
“Terimalah  dan makanlah inilah Tubuh-Ku yang diserahkan  bagi-
Mu…. Terimalah  dan minumlah, inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagimu….”. Jadi
bukan sesuatu yang dapat diambil sendiri.
2. Pengantin saling menerimakan Komuni.
Seharusnya, tidak boleh:
RS 94     Umat tidak diizinkan mengambil sendiri- apalagi meneruskan kepada
orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus. Dalam konteks ini harus ditinggalkan
juga penyimpangan di mana kedua mempelai saling menerimakan Komuni
dalam misa perkawinan.
Ekaristi kudus adalah kurban Kristus, dan diberikan oleh Kristus (melalui imam
ataupun petugas pembagi Komuni tak lazim yang diberi tugas tersebut), sehingga
bukan untuk saling diterimakan oleh umat sendiri.
3. Umat yang menerima Komuni dengan tangan, tidak melakukan sikap
penghormatan sebelum menerimanya.
Seharusnya:
PUMR 160    ….Tetapi, kalau menyambut sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum
menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan mereka menyatakan tanda hormat
yang serasi, sebagaimana ditentukan dalam kaidah- kaidah mengenai komuni.
Adalah baik jika sesaat sebelum menyambut Komuni umat menundukkan kepala,
tanda penghormatan kepada Kristus Tuhan yang hadir di dalamnya.
4. Patena sudah jarang digunakan.
Seharusnya:
RS 93    Patena Komuni untuk umat hendaknya dipertahankan, demi
menghindarkan bahaya jatuhnya hosti kudus atau pecahannya.
5. Umat tidak menjawab “Amin” pada perkataan Romo, “Tubuh Kristus”
sebelum menerima hosti.
Seharusnya:
PUMR 287    Kalau komuni dua rupa dilaksanakan dengan mencelupkan hosti ke
dalam anggur, tiap penyambut, sambil memegang patena di bawah dagu,
menghadap imam yang memegang piala. Di samping imam berdiri pelayan yang
memegang bejana kudus berisi hosti. Imam mengambil hosti, mencelupkan
sebagian ke dalam piala, memperlihatkannya kepada penyambut sambil berkata:
Tubuh dan Darah Kristus. Penyambut menjawab: Amin, lalu menerima hosti
dengan mulut, dan kemudian kembali ke tempat duduk.
6. Petugas Pembagi Komuni Tak Lazim (atau dikenal umat dengan istilah pro-
diakon) membagi Komuni, Pastor malah duduk.
Seharusnya:
RS 154    Seperti  sudah dinyatakan, “pelayan yang selaku pribadi Kristus dapat
melaksanakan sakramen Ekaristi, hanyalah Imam yang ditahbiskan secara sah” (lih.
KHK Kan 900, 1) Karena itu, istilah “pelayan Ekaristi: hanya dapat diterapkan pada
seorang Imam. Di samping itu, berdasarkan pentahbisan suci, pelayan-pelayan
yang lazim untuk memberi komuni adalah Uskup, Imam dan Diakon….
RS 151    Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan pelayan-pelayan
tak lazim dalam perayaan liturgi. Permohonan akan bantuan yang demikian
bukannya dimaksudkan demi menunjang partisipasi umat, melainkan, karena
kodratnya, bersifat pelengkap dan darurat…..
RS 152    Jabatan- jabatan yang semata- mata pelengkap ini jangan dipergunakan
untuk menjatuhkan pelayanan asli oleh para Imam demikian rupa…..
RS 157    ….Tidak dapat dibenarkan kebiasaan para Imam yang, walaupun
hadir pada perayaan itu, tidak membagi komuni dan menyerahkan tugas ini
kepada orang-orang awam.

Pelanggaran dalam hal musik liturgis:


1. Dinyanyikannya lagu-lagu pop rohani dalam perayaan Ekaristi
Seharusnya:
Tra le Sollecitudini  1    Musik liturgis (sacred music)… mengambil bagian dalam ruang
lingkup umum liturgi, yaitu kemuliaan Tuhan, pengudusan dan pengajaran umat
beriman. Musik liturgis memberi kontribusi kepada keindahan dan keagungan
upacara gerejawi, dan karena tujuan prinsipnya adalah untuk melingkupi teks
liturgis dengan melodi yang cocok demi pemahaman umat beriman, tujuan
utamanya adalah untuk menambahkan dayaguna-nya kepada teks, agar
melaluinya umat dapat lebih terdorong kepada devosi dan lebih baik diarahkan
kepada penerimaan buah-buah rahmat yang dihasilkan oleh perayaan misteri-
misteri yang paling kudus tersebut.
Tra le Sollecitudini  2     Karena itu musik liturgis (sacred music) … harus kudus, dan
harus tidak memasukkan segala bentuk profanitas, tidak hanya di dalam musik
itu sendiri, tetapi juga di dalam cara pembawaannya oleh mereka yang
memainkannya.
Tra le Sollecitudini  5    Gereja telah selalu mengakui dan menyukai kemajuan dalam
hal seni, dan menerima bagi pelayanan agama semua yang baik dan indah yang
ditemukan oleh para pakar yang ada sepanjang sejarah — namun demikian, selalu
sesuai dengan kaidah- kaidah liturgi. Karena itu musik modern juga diterima
Gereja, sebab musik tersebut menyelesaikan komposisi dengan keistimewaan,
keagungan dan kedalaman, sehingga bukannya tak layak bagi fungsi-fungsi liturgis.
Namun karena musik modern telah timbul kebanyakan untuk melayani
penggunaan profan, maka perhatian yang khusus harus diberikan sehubungan
dengan itu, agar komposisi musik dengan gaya modern yang diterima oleh
Gereja tidak mengandung apapun yang profan, menjadi bebas dari sisa-sisa
motif yang diangkat dari teater, dan tidak disusun bahkan di dalam bentuk- bentuk
teatrikal seperti cara menyusun lagu- lagu profan.
Harus dibedakan bahwa untuk lagu-lagu liturgis, lagu bukan hanya sebagai
ungkapan perasaan tetapi ungkapan iman (lex orandi lex credendi).
2. Adanya tari- tarian yang menyerupai pertunjukan/ performance diadakan
dalam perayaan Ekaristi, kemudian diikuti dengan tepuk tangan umat.
Seharusnya:
RS 78     … Perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya
dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut gaya upacara-upacara lain,
termasuk upacara-upacara profan: agar Ekaristi tidak kehilangan artinya yang
otentik.
Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi 17    …. Di kalangan sejumlah
suku, nyanyian secara naluriah terkait dengan tepuk tangan, gerak tubuh secara
ritmis, dan bahkan tarian. Ini semua adalah bentuk lahiriah dari gejolak batin dan
merupakan bagian dari tradisi suku ….Jelas, itu hendaknya menjadi ungkapan tulus
doa jemaat dan tidak sekedar menjadi tontonan…
Paus Benediktus XVI dalam The Spirit of the Liturgy (San Francisco: Ignatius Press,
2000), p. 198: “Adalah suatu kekacauan untuk mencoba membuat liturgi menjadi
“menarik” dengan memperkenalkan tarian pantomim (bahkan sedapat mungkin
ditarikan oleh grop dansa ternama), yang sering kali (dan benar, dari sudut
pandang profesionalisme) berakhir dengan applause -tepuk tangan. Setiap kali
tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi
manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi  telah secara total hilang,
dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius. Atraksi sedemikian
akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing di arena pertunjukan untuk
mencapai kesenangan (leisure pursuits), dengan memasukkan tambahan berbagai
bentuk gelitik religius.”
Kardinal Arinze menjelaskannya demikian: bahwa pada budaya- budaya tertentu
(yaitu di Afrika dan Asia), tarian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cara
penyembahan, namun gerakan ini adalah ‘graceful movement‘ untuk menunjukkan
suka cita dan penghormatan, dan bukan ‘performance‘. Dalam budaya ini, gerakan
tersebut dapat diadakan dalam prosesi perayaan Ekaristi, namun bukan sebagai
pertunjukan. Sedangkan di tempat- tempat lain di mana tarian tidak menjadi
bagian dari penyembahan/ penghormatan (seperti di Eropa dan Amerika) maka
memasukkan tarian ke dalam perayaan Ekaristi menjadi tidak relevan. Untuk
mendengarkan penjelasan Kardinal Arinze tentang hal ini, silakan klik.
3. Band masuk gereja dan digunakan sebagai alat musik liturgi.
Seharusnya:
Tra le  Sollecitudini  19    Penggunaan alat musik piano tidak diperkenankan di
gereja, sebagaimana juga alat musik yang ribut atau berkesan tidak
serius (frivolous), seperti drum, cymbals, bells dan sejenisnya.
Tra le Sollecitudini 20    Dilarang keras menggunakan alat musik band di dalam
gereja, dan hanya di dalam kondisi- kondisi khusus dengan persetujuan Ordinaris
dapat diizinkan penggunaan alat musik tiup, yang terbatas jumlahnya, dengan
penggunaan yang bijaksana, sesuai dengan ukuran tempat yang tersedia dan
komposisi dan aransemen yang ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam
segala hal dengan penggunaan organ.
Maka diperlukan izin khusus untuk menggunakan alat-alat musik lain, terutama jika
alat tersebut dapat memberikan efek ribut/ keras, dan berkesan profan/ tidak
serius.

Beberapa Pertanyaan tentang Liturgi:


1. Mengenai musik liturgi, apa seharusnya alat musik yang digunakan?
Bolehkah menggunakan organ dengan tambahan suara alat musik lain?
Bila mengacu kepada Sacrosanctum Concilium 120, alat musik yang sebaiknya
digunakan adalah organ pipa. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan
penggunaan alat musik lain, sepanjang disetujui oleh pihak otoritas Gereja, dan
asalkan sesuai untuk digunakan dalam musik sakral.
SC 120    “Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat
musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja
secara mengagumkan, dan mengangkat hati Umat kepada Allah dan ke surga. Akan
tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi
setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37 dan 40, alat-alat
musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat
disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan
gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat
beriman.”
Paus Pius XII mengeluarkan dokumen tentang Musik Liturgis yang berjudul Musicae
Sacrae (MS), dan secara khusus menyebutkan tentang hal ini demikian:
MS 59    “Selain organ, alat-alat musik lain dapat digunakan untuk memberikan
bantuan besar dalam mencapai maksud yang tinggi dari musik liturgi, asalkan
mereka tidak memainkan apapun yang profan, yang berisik atau hingar bingar
dan tidak bertentangan dengan pelayanan sakral atau martabat tempat kudus. Di
antara alat-alat musik ini, biola dan alat-alat musik lainnya yang menggunakan
cekungan (bow) adalah baik sebab ketika dimainkan sendiri atau dengan alat musik
senar lainnya, alat- alat musik ini mengekspresikan perasaan suka cita dan dukacita
dalam jiwa dengan kekuatan yang tak dapat dilukiskan…”
Sedangkan tentang hal alat musik ini, Rm. Bosco da Cunha dari Komisi Liturgi KWI
mengatakan:
“KWI masih dalam proses berusaha mengaktualisasi dokumen Sacrosanctum
Concilium Konsili Vatikan II; KWI tidak gegabah. Usaha penelitian dan percobaan
alat musik tradisional aneka suku bangsa sudah mulai dengan “Pusat Musik Liturgi”
Yogyakarta dipimpin Romo Karl Edmund Prier SJ sejak 1980an namun masih
berlangsung”.
Beliau menyarankan bagi yang berminat mengetahui lebih lanjut untuk
mengunjungi PML Yogyakarta di Jl. Abubakar Ali Kotabaru Yogyakarta untuk
mengetahui studio dan showroom karya-karya musik liturgi inkulturatif.
2. Bila dikaitkan dengan adaptasi-adaptasi yang muncul di Sacrosanctum
Concilium, bagaimana batasan-batasannya agar tidak mengontradiksi
dokumen-dokumen Gereja lainnya (dalam hal penentuan musik liturgi)?
Musicae Sacrae 60    “Sebab jika musik itu tidak profan atau bertentangan
dengan kesakralan tempat dan fungsi dan tidak berasal dari keinginan untuk
mencapai efek-efek yang luar biasa dan tidak lazim, maka gereja-gereja kita harus
menerimanya, sebab mereka dapat menyumbangkan dalam cara yang tidak kecil
terhadap keagungan upacara-upacara sakral, dapat mengangkat pikiran kepada
hal-hal yang lebih tinggi dan dapat menumbuhkan devosi yang sejati dari jiwa.” (lih.
MD 193)
Maka, nampaknya yang perlu dijadikan patokan adalah prinsipnya, yaitu:
1) Tidak memasukkan unsur profanitas dalam musik liturgis;
2) Musik itu tidak menghasilkan efek suara yang luar biasa dan tak lazim
3) Musik itu dapat membantu mengangkat pikiran kepada hal- hal yang lebih tinggi:
Apakah membantu ke-empat hal ini: penyembahan (worship/ adoration), syukur
(thanksgiving), pertobatan (contrition),     permohonan (supplication).
4) Menggunakan musik-musik yang sudah mendapat persetujuan dari otoritas
Gereja (ada Nihil Obstat dan Imprimatur);
5) Mengacu kepada ketentuan yang sudah pernah secara eksplisit ditentukan oleh
otoritas Gereja.
3. Bolehkah choir (koor) terdiri dari perempuan?
Walaupun di dokumen yang dikeluarkan oleh Paus Pius X, Tra le Sollecitudini 13,14
(1903) dikatakan bahwa untuk koor anggotanya harus laki-laki- mungkin karena hal
ini merupakan tradisi Gereja sejak zaman dulu; namun ketentuan ini kemudian
diperbaharui di dokumen berikutnya tentang Musik Liturgi yang dikeluarkan oleh
Paus Pius XII, Musicae Sacrae, demikian:
MS 74     Ketika tidak mungkin diperoleh sekolah paduan suara (Scholae Cantorum)
atau di mana tidak ada cukup anak laki-laki untuk koor, diperbolehkan bahwa
“kelompok pria dan wanita atau anak-anak perempuan, yang ditempatkan di
luar tempat kudus (sanctuary) yang terpisah untuk penggunaan kelompok ini
secara khusus, dapat menyanyikan teks-teks liturgi pada saat Misa Agung,
sepanjang para pria dipisahkan dari para wanita dan anak- anak perempuan dan
segala yang tidak pantas dihindari….
4. Perlukah kita ikut membungkuk setiap saat seorang imam membungkuk
dalam Perayaan Ekaristi?
Tidak perlu. Yang ditulis dalam Tata Perayaan Ekaristi adalah, umat membungkuk
pada waktu Ritus Pembuka ketika Imam dan Pelayan lain menghormati Altar, dan
pada sesudah kata-kata Konsekrasi atas roti dan anggur, ketika Imam berlutut; dan
pada saat Credo (syahadat) yaitu pada perkataan, “[Yesus Kristus] yang dikandung
dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria”.
5. Bolehkah imam menambah hanya beberapa kata atau bagian dalam
sebuah Perayaan Ekaristi?
Jika ada titik-titik (….) boleh disebutkan nama orang yang didoakan (doa bagi orang
yang masih hidup maupun orang yang sudah meninggal) seperti dalam Doa Syukur
Agung pertama.
RS 51    ….”Tidak ada toleransi terhadap imam-imam yang merasa berhak
menyusun Doa Syukur Agungnya sendiri” atau mengubahkan teks-teks yang sudah
disahkan oleh Gereja atau memperkenalkan teks-teks lain, yang telah dikarang oleh
pribadi-pribadi tertentu.
6. Bagaimana seharusnya kostum pelayan altar? Apakah betul pelayan altar
putri seharusnya mengenakan alba dan mengapa?
Apakah wanita ideal untuk menjadi pelayan altar walaupun diperbolehkan?
PUMR 339    Akolit, lektor dan pelayan awam lain boleh mengenakan alba atau
busana lain yang disahkan oleh Konferensi Uskup untuk wilayah gerejawi yang
bersangkutan.
RS 47    Sangat dianjurkan untuk mempertahankan kebiasaan yang luhur yakni
pelayanan altar oleh anak laki-laki atau pemuda, biasanya disebut pelayan Misa,
suatu tugas yang dilaksanakannya seturut cara akolit. Hendaknya mereka diberi
katekese tentang fungsi mereka sesuai dengan daya tangkap mereka. Perlu diingat
bahwa berabad-abad lamanya dari amat banyak anak seperti ini telah muncul
banyak pelayan tertahbis….. Anak perempuan atau ibu-ibu boleh diterima
untuk melayani altar, sesuai dengan kebijakan Uskup diocesan dan dengan
memperhatikan norma-norma yang sudah ditetapkan.
7. Apakah inkulturasi liturgi memperbolehkan penggunaan berbagai macam
alat musik di luar organ pipa?
Hal ini dimungkinkan. Pimpinan Gereja yang mengambil keputusan untuk
menggunakan alat- alat musik lain, hendaknya dalam proses adaptasi- inkulturasi
membuat penelitian untuk mengetahui apakah alat musik tersebut digunakan
dalam ibadat religius menurut budaya setempat dan sungguh membantu umat
beriman mengangkat hati kepada Tuhan untuk memuji dan menyembahnya? Bisa
saja alat musik yang sama digunakan baik dalam upacara keagamaan dan dalam
perayaan profan, tetapi harus diperhatikan perbedaan dalam cara
menggunakannya. Ada nada dan melodi yang khas dalam upacara keagamaan dan
dalam acara profan. Seperti pada alat tifa dalam budaya orang Papua Selatan, ada
bunyi dan cara memukul yang khas dalam ibadat religius, yang berbeda dengan
bunyi dan cara memukul tifa tersebut jika digunakan untuk kegiatan- kegiatan yang
profan saja.
PUMR 393     …. Demikian pula, Konferensi Uskuplah yang berwenang memutuskan
gaya musik, melodi, dan alat musik yang boleh digunakan dalam ibadat ilahi;
semua itu sejauh serasi, atau dapat diserasikan dengan penggunaannya yang
bersifat kudus.

Kesimpulan: Mengapa perlu memperhatikan norma-norma Liturgi dan menghindari


penyelewengannya?
Adalah penting kita ketahui bersama, bahwa “Norma-norma liturgi Ekaristi
dimaksudkan untuk mengungkapkan dan melindungi misteri Ekaristi dan juga
menjelaskan bahwa Gerejalah yang merayakan sakramen dan pengorbanan yang
agung. Sebagaimana yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II, “Norma-norma ini
adalah ungkapan konkret dari kodrat gerejawi otentik mengenai Ekaristi; inilah
maknanya yang terdalam. Liturgi tak pernah menjadi milik perorangan, baik dari
selebran maupun komunitas, tempat misteri-misteri dirayakan.” ((Ecclesia de
Eucharistia, 52)) Ini berarti bahwa “… para imam yang merayakan Misa dengan setia
seturut norma-norma liturgi, dan komunitas-komunitas yang mengikuti norma-
norma itu, dengan tenang namun lantang memperagakan kasih mereka terhadap
Gereja. ((Ibid., lih. Redemptoris Sacramentum, Lampiran, 2))
Adanya penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam liturgi seringkali
berhubungan dengan salah persepsi tentang makna ‘kebebasan’; dan hal ini tidak
menuju kepada pembaharuan sejati yang diharapkan oleh Konsili Vatikan II. Karena
penyimpangan ini dapat mengakibatkan merosotnya/ hubungan yang perlu antara
hukum doa dengan hukum iman, yaitu bahwa doa harus merupakan ungkapan
iman (lex orandi, lex credendi).
Akhirnya, marilah kita berpartisipasi secara aktif dan sadar setiap kali kita
mengikuti perayaan liturgi, dan juga dengan memperhatikan dan melaksanakan
ketentuan- ketentuannya, sebagai tanda bukti bahwa kita mengasihi Kristus dan
Gereja-Nya.

Anda mungkin juga menyukai