Dosen Pengampu:
Stefanus Sutrisno
1
E. Martasudjita, Pengantar Liturgi-Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi,
Yogyakarta; Kanisius, 1999, 18.
1
kelompok Septuaginta (LXX), yakni ketika mereka menerjemahkan Kitab Suci dari bahasa
Ibrani ke Yunani pada abad 2-3 sebelum masehi. Dalam terjemahan Septuaginta itu leitourgia
dipakai untuk menunjuk pelayan ibadat para imam atau kaum Lewi. Sedangkan tindakan
kultis umat biasanya diungkapkan dengan istilah latreia (penyembahan). Bila leitourgikos
menunjuk alat atau perlengkapan liturgis, maka leitourgos hanya dipakai dalam Yes 61:6 dan
Sir 7:30 dan di situ berarti pelayan liturgi atau pelayan dalam arti umum.2
Dalam Perjanjian Baru kata liturgi semakin berkembang karena istilah tersebut
dihubungkan dengan pelayanan kepada Allah dan sesama. Pelayanan kepada Allah dan
sesama itu tidak hanya dibatasi pada bidang ibadat saja, tetapi juga pada aneka bidang
kehidupan lain. Hal yang menarik ialah bahwa istilah liturgi dalam Perjanjian Baru tidak
pernah untuk menunjuk pelayanan kultis dari pimpinan jemaat Kristiani, seperti para rasul,
nabi, imam atau uskup. Hal ini berkaitan dengan paham Gereja Perdana tentang imamat
Perjanjian Baru. Imamat Perjanjian Baru sama sekali tidak berdasarkan imamat Perjanjian
Lama. Kalau imamat Perjanjian Lama dihubungkan pada kelompok imam atau lewi dan
didasarkan pada pelayanan Bait Suci, maka imamat Perjanjian Baru didasarakan pada satu-
satunya imamat Yesus Kristus. Sedangkan, imamat yang kita kenal seperti imamat umum
ataupun imamat khusus (Tahbisan) dalam Gereja selalu merupakan partisipasi pada satu-
satunya imamat Yesus Kristus.3
2
E. Martasudjita, Pengantar Liturgi-Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, 19.
3
E. Martasudjita, Pengantar Liturgi-Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, 19-21.
4
Pius XII, Mediator Dei, Encyclic (20 November 1947), (Rome: Castel Gandolfo,
1947), Art. 20. “......Dia hadir, akhirnya, dalam doa pujian dan permohonan kita langsung kepada Tuhan seperti
ada tertulis: “ketika ada dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu di sanalah Aku hadir di tengah mereka”.
Liturgi kudus adalah sebagai konsekuensinya, penyembahan publik penebus kita sebagai Kepala Gereja
membawakan kepada Bapa, serta penyembahan yang oleh komunitas umat beriman berikan kepada pendiri-Nya
(Yesus Kristus), dan melalui Dia kepada Bapa surgawi. Singkatnya, ibadah yang diberikan oleh Tubuh Mistik
Kristus dalam keseluruhan Kepala Gereja dan anggota-anggota-Nya”.
2
Dari artikel ini dimaknai sebagai kebaktian umum, resmi, dan utuh yang dilakukan Tubuh
Mistik Yesus Kristus, yakni oleh Kepala beserta anggota-anggotanya. Penjelasan ini
dijelaskan dalam Mediator Dei untuk tetap mempertahankan teradisi Gereja Latin yang selalu
mementingkan bakti manusia kepada Allah san pencipta, sehingga penekanannya diletakkan
dalam pelaksanaan ibadat dari pada perayaan keselamatan. Oleh karena itu, dalam
penggunaan “Tubuh Mistik Yesus Kristus”, Mediator Dei ingin menandaskan bahwa hidup
dan karya Gereja tidak mungkin dipikirkan tanpa Liturgi dan Kristus. Roh Kristuslah yang
menjiwai Gereja, sedangkan dengan menyebutkan “Kepala serta anggota-anggotanya”,
Mediator Dei mau menegaskan bahwa Kristus adalah sentrum dan pelaku utama dari Liturgi.
Tanpa Kristus tidak ada Liturgi. Tanpa Kristus tidak ada Gereja. Dengan demikiain, Liturgi
dan Gereja adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.5
5
Antonius Marius Tangi, Pr, Liturgi Sumber dan Puncak Kehidupan (Diktat) (Flores: STFK Ledalero, 2007),
hal. 5
6
3
sebagai tindakan bersama antara sang Imam Agung Yesus Kristus dan Gereja-Nya bagi
pengudusan manusia dan pemuliaan Allah.7
Katekismus Gereja Katolik menjabarkan tentang liturgi sebagai karya Allah dengan
mengutip surat Rasul Paulus, demikian:
“Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan
kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita
sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia
telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai
dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang
dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya.” (Ef 1:3-6) (Lihat KGK 1077)
Maka “berkat rohani” merupakan karya Allah. Sumber dari segala berkat rohani ini
adalah Allah Bapa, berkat ini dicurahkan kepada kita di dalam Kristus, oleh kuasa Roh
Kudus. Sejak awal mula Allah telah memberkati mahluk ciptaan-Nya, secara khusus umat
manusia (KGK 1080). Dalam liturgi inilah berkat rohani surgawi dicurahkan kepada kita.
Karena berkat rohani dari Allah yang terbesar adalah karya keselamatan Allah yang
dilaksanakan oleh Kristus dan di dalam Kristus, maka karya keselamatan Allah itulah yang
dihadirkan kembali di tengah Gereja dalam liturgi, oleh kuasa Roh Kudus.
Liturgi pada awalnya berarti “karya publik”. Dalam sejarah perkembangan Gereja,
liturgi diartikan sebagai keikutsertaan umat dalam karya keselamatan Allah. Di dalam liturgi,
Kristus melanjutkan karya Keselamatan di dalam, dengan dan melalui Gereja-Nya. (KGK
1069) Pada jaman Gereja awal seperti dijabarkan di dalam surat rasul Paulus, para pengikut
Kristus beribadah bersama di dalam liturgi (dikatakan sebagai “korban dan ibadah iman” di
dalam Flp 2:17). Termasuk di sini adalah pewartaan Injil (Rom 15:16); dan pelayanan kasih
(2 Kor 9:12). Dengan demikian, dalam Perjanjian Baru, kata ‘liturgi’ mencakup tiga hal,
yaitu ibadat, pewartaan dan pelayanan kasih yang merupakan partisipasi Gereja dalam
meneruskan tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja (Lihat KGK 1070).
Secara khusus, liturgi merupakan wujud pelaksanaan tugas Kristus sebagai Imam
Agung. Dalam hal ini, liturgi merupakan penyembahan Kristus kepada Allah Bapa, namun
dalam melakukan penyembahan ini, Kristus melibatkan TubuhNya, yaitu Gereja; sehingga
liturgi merupakan karya bersama antara Kristus (Sang Kepala) dan Gereja (Tubuh Kristus).
Konsili Vatikan II mengajarkan pengertian tentang liturgi sebagai berikut:
“Maka, benarlah bahwa liturgi dipandang sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus. Di
dalam liturgi, dengan tanda-tanda lahiriah, pengudusan manusia dilambangkan dan dihasilkan
dengan cara yang layak bagi masing-masing tanda ini; di dalam Liturgi, seluruh ibadat publik
7
E. Martasudjita, 27.
4
dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya. Oleh
karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni
Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang
menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama.”
(Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium, 7)
Oleh karena itu tidak ada kegiatan Gereja yang lebih tinggi nilainya daripada liturgi
(KGK 1070, Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concillium, 7.) karena di dalam liturgi
terwujudlah persatuan yang begitu erat antara Kristus dengan Gereja sebagai ‘Mempelai’-
Nya dan Tubuh-Nya sendiri.
8
Konsili Vatikan II, Optatam Totius, Dekrit Tentang Pembinaan Imam, Art. 4, (28 Oktober 1965), dalam R.
Hardawiryana (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.
9
F. Mardiprasetya, Psikologi Hidup Rohani I, Yogyakarta: Kanisius, 1993, 249.
10
F. Mardiprasetya, Psikologi Hidup Rohani I, 250.
6
Kesimpulan
Sumber Pustaka :
Dokumen Konsili Vatikan II, Optatam Totius, Dekrit Tentang Pembinaan Imam, Art. 4, (28
Oktober 1965), dalam R. Hardawiryana (penerj.), Jakarta: Obor, 1993.
Pius XII, Mediator Dei, Encyclic (20 November 1947), Rome: Castel Gandolfo,
Tangi Antonius Marius, Liturgi Sumber dan Puncak Kehidupan (Diktat) Flores: STFK
Ledalero, 2007.