Anda di halaman 1dari 8

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER LITURGI I

LITURGI SEBAGAI SUMBER KEHIDUPAN BAGI CALON IMAM

Dosen Pengampu:

Antonius Padua Dwi Joko, C.I.L

Stefanus Sutrisno

INSTITUTUM THEOLOGICUM IOANNIS MARIAE VIANNEY SURABAYANUM


2021
Pengantar
Sakramen adalah penghadiran Misteri Kristus di dalam liturgi. Oleh karena itu, Gereja
merayakan Misteri Paskah Kristus yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan Yesus ke
surga yang membawa kita kepada Keselamatan (Lih. Sacrosanctum Concilium, Vatikan II,
Konstitusi tentang Liturgi Suci, 5, dan Katekismus Gereja Katolik 1067, 1068). Dengan
merayakan Misteri Kristus ini, kita sebagai umat beriman memperingati dan merayakan
sebagaimana Allah Bapa telah memenuhi janji dan menyingkapi rencana keselamatan-Nya
dengan menyerahkan Putra-Nya yang tunggal oleh kuasa Roh Kudus untuk datang ke dunia
dan menyelatkan manusia (Lih. KGK, 1066). Dengan demikian, sumber dan tujuan liturgi
adalah terletak pada diri Allah sendiri.
Menanggapi Allah yang datang ke dunia dan mengutus Putera-Nya untuk
menyelamatkan manusia, maka memiliki panggilan untuk terlibat atau berpartisipasi dalam
karya Allah, yakni karya keselamatan. Partisipasi umat Allah adalah menjawab suatu
panggilan umum maupun panggilan secara khusus, karena baptisan yang telah kita terima
merupakan suatu tanda keselamatan yang juga perlu untuk ditanggapi. Seorang imam
merupakan seseorang yang telah menanggapi panggilan secara khusus yakni dengan
meninggalkan kepunyaanya demi mencapai kesatuan dengan Yesus Kristus. Oleh karena itu,
seorang calon imam perlu mempersiapkan dirinya untuk menerima tahbisan yang dapat
membawa Kristus kepada umat-Nya. Dengan demikianlah sejarah liturgi merupakan sumber
kehidupan bagi calon imam yang harus dipelajari dan dihayati dalam proses pembinaan
sebagai calon imam.

Pengertian dan Sejarah Liturgi


“Liturgi” berasal dari kata bahasa Yunani leiturgia yang berakar dari kata ergon, yang
berarti “karya” dan leitus yang merupakan kata sifat untuk kata benda laos yang berarti
bangsa. Maka, kata leiturgia berarti ‘kerja’ atau pelayanan’ yang dibangkitkan bagi
kepentingan bangsa. Dalam pemahaman masyarakat Yunani kuno, kata leiturgia
dimaksudkan untuk menunjuk kerja bakti atau kerja pelayanan yang tidak dibayar. Kata
leiturgia diperluas pada abad keempat sebelum masehi, yakni untuk menyebut berbagai
macam karya pelayanan.1
Kemudia kata leiturgia semakin meluas lagi, yakni diartikan dalam arti kultis yang
berarti pelayanan ibadat. Pengertian akan pengertian liturgi yang kultis ini digunakan

1
E. Martasudjita, Pengantar Liturgi-Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi,
Yogyakarta; Kanisius, 1999, 18.
1
kelompok Septuaginta (LXX), yakni ketika mereka menerjemahkan Kitab Suci dari bahasa
Ibrani ke Yunani pada abad 2-3 sebelum masehi. Dalam terjemahan Septuaginta itu leitourgia
dipakai untuk menunjuk pelayan ibadat para imam atau kaum Lewi. Sedangkan tindakan
kultis umat biasanya diungkapkan dengan istilah latreia (penyembahan). Bila leitourgikos
menunjuk alat atau perlengkapan liturgis, maka leitourgos hanya dipakai dalam Yes 61:6 dan
Sir 7:30 dan di situ berarti pelayan liturgi atau pelayan dalam arti umum.2
Dalam Perjanjian Baru kata liturgi semakin berkembang karena istilah tersebut
dihubungkan dengan pelayanan kepada Allah dan sesama. Pelayanan kepada Allah dan
sesama itu tidak hanya dibatasi pada bidang ibadat saja, tetapi juga pada aneka bidang
kehidupan lain. Hal yang menarik ialah bahwa istilah liturgi dalam Perjanjian Baru tidak
pernah untuk menunjuk pelayanan kultis dari pimpinan jemaat Kristiani, seperti para rasul,
nabi, imam atau uskup. Hal ini berkaitan dengan paham Gereja Perdana tentang imamat
Perjanjian Baru. Imamat Perjanjian Baru sama sekali tidak berdasarkan imamat Perjanjian
Lama. Kalau imamat Perjanjian Lama dihubungkan pada kelompok imam atau lewi dan
didasarkan pada pelayanan Bait Suci, maka imamat Perjanjian Baru didasarakan pada satu-
satunya imamat Yesus Kristus. Sedangkan, imamat yang kita kenal seperti imamat umum
ataupun imamat khusus (Tahbisan) dalam Gereja selalu merupakan partisipasi pada satu-
satunya imamat Yesus Kristus.3

Liturgi menurut Mediator Dei


Kata liturgi memang memiliki arti dan makna dalam konteks perkembangan sejarah,
maka kata liturgi dalam perkembangan zaman memiliki pemahaman yang lebih jelas. Pada
tahun 1947 Paus Pius XII menggunakan kata “liturgi” dalam ensikliknya Mediator Dei.
Dalam ensiklik Mediator Dei Art. 20 tertulis:
“......He is present, finally, in prayer of praise and petition we direct to God, as it is written:
"Where there are two or three gathered together in My Name, there am I in the midst of them."
The sacred liturgy is, consequently, the public worship which our Redeemer as Head of the
Church renders to the Father, as well as the worship which the community of the faithful
renders to its Founder, and through Him to the heavenly Father. It is, in short, the worship
rendered by the Mystical Body of Christ in the entirety of its Head and members”.4

2
E. Martasudjita, Pengantar Liturgi-Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, 19.
3
E. Martasudjita, Pengantar Liturgi-Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, 19-21.
4
Pius XII, Mediator Dei, Encyclic (20 November 1947), (Rome: Castel Gandolfo,
1947), Art. 20. “......Dia hadir, akhirnya, dalam doa pujian dan permohonan kita langsung kepada Tuhan seperti
ada tertulis: “ketika ada dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu di sanalah Aku hadir di tengah mereka”.
Liturgi kudus adalah sebagai konsekuensinya, penyembahan publik penebus kita sebagai Kepala Gereja
membawakan kepada Bapa, serta penyembahan yang oleh komunitas umat beriman berikan kepada pendiri-Nya
(Yesus Kristus), dan melalui Dia kepada Bapa surgawi. Singkatnya, ibadah yang diberikan oleh Tubuh Mistik
Kristus dalam keseluruhan Kepala Gereja dan anggota-anggota-Nya”.
2
Dari artikel ini dimaknai sebagai kebaktian umum, resmi, dan utuh yang dilakukan Tubuh
Mistik Yesus Kristus, yakni oleh Kepala beserta anggota-anggotanya. Penjelasan ini
dijelaskan dalam Mediator Dei untuk tetap mempertahankan teradisi Gereja Latin yang selalu
mementingkan bakti manusia kepada Allah san pencipta, sehingga penekanannya diletakkan
dalam pelaksanaan ibadat dari pada perayaan keselamatan. Oleh karena itu, dalam
penggunaan “Tubuh Mistik Yesus Kristus”, Mediator Dei ingin menandaskan bahwa hidup
dan karya Gereja tidak mungkin dipikirkan tanpa Liturgi dan Kristus. Roh Kristuslah yang
menjiwai Gereja, sedangkan dengan menyebutkan “Kepala serta anggota-anggotanya”,
Mediator Dei mau menegaskan bahwa Kristus adalah sentrum dan pelaku utama dari Liturgi.
Tanpa Kristus tidak ada Liturgi. Tanpa Kristus tidak ada Gereja. Dengan demikiain, Liturgi
dan Gereja adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.5

Liturgi menurut Konsili Vatikan II


Makna dan hakikat liturgi tertuang dalam hasil Konsili Vatikan II, melalui Konstitusi
liturginya, Sacrosanctum Concilium. Dokumen liturgi ini sebenarnya merupakan hasil
perumusan dari perjuangan panjang gerakan pembaharuan liturgi, yang memuat hasil refleksi
dan studi liturgis selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Menurut sejarahnya gerakan
pembaharuan liturgi dalam Gereja Katolik Roma sudah diupayakan sejak abad ke-17. Akan
tetapi, gerakan pembaharuan liturgi tersebut tidak pernah berhasil, karena pihak Vatikan tidak
mendukungnya.6 Pada abad XIX di biara-biara, seperti kelompok Benediktin, terjadi usaha
pembaharuan liturgi juga. Namun, baru pada awal dan terutama pada pertengahan pertama
abad XX, gerakan pembaharuan liturgi menggelinding secara mengagumkan. Dokumen
Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium boleh disebut sebagai puncak dan mahkota
perjuangan panjang usaha pembaharuan liturgi itu.
Konstitusi Liturgi suci juga menyebut subyek atau pelaksana liturgi. Menurut SC art.
7 subyek liturgi adalah kepala dan anggota Tubuh Mistik Yesus Kristus. Itu berarti subyek
atau pelaku liturgi adalah Yesus Kristus dan Gereja. Maka, liturgi selalu merupakan tindakan
Kristus dan sekaligus tindakan Gereja. Pengertian Liturgi di dalam dokumen-dokumen
Gereja pasca-Vatikan II juga selalu mengacu dan menegaskan apa yang diajarkan oleh
konstitusi liturgi ini. Oleh karena itu, benar juga, bila orang merumuskan definisi liturgi

5
Antonius Marius Tangi, Pr, Liturgi Sumber dan Puncak Kehidupan (Diktat) (Flores: STFK Ledalero, 2007),
hal. 5
6

3
sebagai tindakan bersama antara sang Imam Agung Yesus Kristus dan Gereja-Nya bagi
pengudusan manusia dan pemuliaan Allah.7
Katekismus Gereja Katolik menjabarkan tentang liturgi sebagai karya Allah dengan
mengutip surat Rasul Paulus, demikian:
“Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan
kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita
sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia
telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai
dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang
dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya.” (Ef 1:3-6) (Lihat KGK 1077)
Maka “berkat rohani” merupakan karya Allah. Sumber dari segala berkat rohani ini
adalah Allah Bapa, berkat ini dicurahkan kepada kita di dalam Kristus, oleh kuasa Roh
Kudus. Sejak awal mula Allah telah memberkati mahluk ciptaan-Nya, secara khusus umat
manusia (KGK 1080). Dalam liturgi inilah berkat rohani surgawi dicurahkan kepada kita.
Karena berkat rohani dari Allah yang terbesar adalah karya keselamatan Allah yang
dilaksanakan oleh Kristus dan di dalam Kristus, maka karya keselamatan Allah itulah yang
dihadirkan kembali di tengah Gereja dalam liturgi, oleh kuasa Roh Kudus.
Liturgi pada awalnya berarti “karya publik”. Dalam sejarah perkembangan Gereja,
liturgi diartikan sebagai keikutsertaan umat dalam karya keselamatan Allah. Di dalam liturgi,
Kristus melanjutkan karya Keselamatan di dalam, dengan dan melalui Gereja-Nya. (KGK
1069) Pada jaman Gereja awal seperti dijabarkan di dalam surat rasul Paulus, para pengikut
Kristus beribadah bersama di dalam liturgi (dikatakan sebagai “korban dan ibadah iman” di
dalam Flp 2:17). Termasuk di sini adalah pewartaan Injil (Rom 15:16); dan pelayanan kasih
(2 Kor 9:12). Dengan demikian, dalam Perjanjian Baru, kata ‘liturgi’ mencakup tiga hal,
yaitu ibadat, pewartaan dan pelayanan kasih yang merupakan partisipasi Gereja dalam
meneruskan tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja (Lihat KGK 1070).
Secara khusus, liturgi merupakan wujud pelaksanaan tugas Kristus sebagai Imam
Agung. Dalam hal ini, liturgi merupakan penyembahan Kristus kepada Allah Bapa, namun
dalam melakukan penyembahan ini, Kristus melibatkan TubuhNya, yaitu Gereja; sehingga
liturgi merupakan karya bersama antara Kristus (Sang Kepala) dan Gereja (Tubuh Kristus).
Konsili Vatikan II mengajarkan pengertian tentang liturgi sebagai berikut:
“Maka, benarlah bahwa liturgi dipandang sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus. Di
dalam liturgi, dengan tanda-tanda lahiriah, pengudusan manusia dilambangkan dan dihasilkan
dengan cara yang layak bagi masing-masing tanda ini; di dalam Liturgi, seluruh ibadat publik

7
E. Martasudjita, 27.
4
dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya. Oleh
karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni
Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang
menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama.”
(Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium, 7)
Oleh karena itu tidak ada kegiatan Gereja yang lebih tinggi nilainya daripada liturgi
(KGK 1070, Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concillium, 7.) karena di dalam liturgi
terwujudlah persatuan yang begitu erat antara Kristus dengan Gereja sebagai ‘Mempelai’-
Nya dan Tubuh-Nya sendiri.

Liturgi bagi Seorang Calon Imam


Sebagaimana pengertian litugi yang memiliki perkembangan dalam penggunaan dan
pemaknaanya, maka bagaimanakah seorang calon imam harus mempelajari dan mengerti
akan liturgi. Oleh karena itu, kita paham bahwa dalam karya Kristus, liturgi menjadi kegiatan
Gereja di mana Kristus hadir dan membagikan rahmat- Nya, (KGK 1071) yang menjadi
sumber kehidupan rohani calon. Meskipun demikian, liturgi harus didahului oleh pewartaan
Injil, iman dan pertobatan, (Sacrosanctum Concillium, 9, KGK 1072.) karena tanpa ketiga hal
tersebut akan sangat sulit bagi kita sebagai calon imam untuk menghayati perayaan liturgi,
apalagi menghasilkan buahnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat diibartkan sebagai
ungkapan “tak kenal maka tak sayang,” maka jika kita ingin menghayati liturgi, maka sudah
selayaknya kita mengetahui makna liturgi, menerimanya dengan iman dan menanggapinya
dengan pertobatan
Liturgi yang bersumber pada Allah menjadi sumber dan puncak kegiatan Gereja.
Bersumber pada liturgi ini, Gereja menimba kekuatan untuk melaksanakan pembaharuan di
dalam Roh, misi perutusan, dan menjaga persatuan umat. Kehidupan rohani kita tidak
terbatas hanya dari keikutsertaan dalam liturgi, tetapi juga dari kehidupan doa yang benar
“doa pribadi” (Mat 6:6) dan “doa tanpa henti” (1Tes 5:17).
Dengan demikian kita perlu meniliki diri kita lagi, yakni dalam aspek-aspek
pembinaan calon imam. Di mana calon imam disiapkan untuk menjadi seorang imam yang
kelak mampu mengahadirkan Kristus melalui Perayaan Ekaristi. Maka, semua aspek
pembinaan yang berlangsung dalam proses pembinaan calon imam perlu diarahkan pada
aspek pastoral dan diwujudkan dalam penghayatan lliturgi Ekaristi sebagai tujuan dalam
pembinaan calon imam seperti yang dikatakan dalam Dekrti Tentang Pembinaan Imam:
“Seluruh pendidikan dan pembinaan seminaris di Seminari harus bertujuan supaya seturut
teladan Tuhan kita Yesus Kristus, Guru, Imam, dan Gembala, mereka dibina untuk menjadi
5
Gembala jiwa-jiwa yang sejati. Maka, hendaknya mereka disiapkan untuk pelayanan sabda
supaya mereka makin menyelami makna sabda Allah yang telah diwahyukan, dengan
merenungkannya kian diresapi olehnya, serta mengungkapkannya dengan kata-kata maupun
perilaku mereka. Hendaknya mereka disiapkan bagi pelayanan ibadat dan pengudusan
supaya seraya berdoa supaya melalui perayaan Liturgi Suci, mereka melaksanakan karya
keselamatan melalui kurban Ekaristi dan sakramen-sakramen. Hendaknya mereka disiapkan
pula untuk pelayanan kegembalaan supaya mereka tahu menghadirkan Kristus bagi sesama,
Dia yang datang “datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan menyerahkan
nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10;45 bdk. Yoh 13:12-17), dan dengan
mengabdikan diri kepada siapa saja, memperoleh banyak orang.”8
Semua proses dalam formasi pembinaan calon imam dapat membantu calon imam
untuk bertumbuh dalam kemampuannya untuk internalisasi yakni mengasimilasikan dan
membatinkan cita-citanya sedemikian rupa, sehingga ditransformasikan oleh cita-cita tersebut
dan dengan demikian menjadi “alter Christus”.9 Para calon imam harus mampu membangun
persahabatan sejati bahkan tinggal di dalam Yesus. Oleh karena itu, segala bentuk pembinaan
perlu diarahkan untuk meningkatkan kemampuan para calon dalam segala disposisinya untuk
menjawabi rahmat Allah.10 Untuk dapat meningkatkan kemampuan para calon imam dalam
proses pembinaan maka hal pertama yang mesti diperhatikan ialah motivasi dasarnya mau
menjadi imam.
Berangakat dari pemahaman tentang tujuan seorang calon imam, maka liturgi adalah
bagian penting yang harus dimengerti oleh seorang calon imam. Oleh karena itu, memahami
sejarah liturgi dapat diartikan sebagai mencintai Allah dalam karya keselamatannya. Keikut
sertaan kita dalam yang kelak ambil bagian dari imamat Kristus, maka menyiapkan diri sejak
dini adalah hal yang harus dilakukan. Dengan pemahaman liturgi dengan benar maka kelak
yang akan kita wartakan pun juga semakin benar. Dengan demikianlah, pentingnya liturgi
bagi seorang calon.
Secara tulus seorang calon imam telah memberikan dirinya untuk dibina menjadi
seorang calon imam, maka pembinaan ini tidak didasari oleh keterpaksaan. Keterbukaan
adalah hal penting yang harus dimiliki oleh seorang calon imam, karena dengan keterbukaan
hidup kita akan senantiasa dinanungi oleh Roh Kudus. Karya pelayanan seorang imam akan
bergantung dari pelayanan yang dijiwai oleh Roh Kudus.

8
Konsili Vatikan II, Optatam Totius, Dekrit Tentang Pembinaan Imam, Art. 4, (28 Oktober 1965), dalam R.
Hardawiryana (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.
9
F. Mardiprasetya, Psikologi Hidup Rohani I, Yogyakarta: Kanisius, 1993, 249.
10
F. Mardiprasetya, Psikologi Hidup Rohani I, 250.
6
Kesimpulan

Berangkat dari pemahamann dalam pengertian dan sejarah liturgi, penulis


menyimpulkan bahwa litus saat erat kaitannya dalam kehidupan kita sebagai seorang calon
imam. Liturgi yang kita pahami terletak pada diri Kristus yang selalu hadir di dalam Gereja,
terutama di dalam perayaan liturgi. Pada perayaan Ekaristi atau Misa kudus, Kristus tidak
hanya hadir di dalam diri imam-Nya, namun juga di dalam wujud hosti kudus. Liturgi di
dunia menjadi gambaran liturgi surgawi di mana Yesus duduk di sisi kanan Allah Bapa, dan
kita semua sebagai anggota Gereja memuliakan Allah bersama seluruh isi surga. Dengan
demikian, seorang calon imam akan dipersiapkan dengan baik supaya apa yang diajarkannya
sesuai dengan ajaran Gereja, yakni juga dengan pemahaman liturgi yang semakin jelas dan
benar sehingga dalam karya pastoralnya sebagai seorang imam.

Sumber Pustaka :

Dokumen Konsili Vatikan II, Optatam Totius, Dekrit Tentang Pembinaan Imam, Art. 4, (28
Oktober 1965), dalam R. Hardawiryana (penerj.), Jakarta: Obor, 1993.

Martasudjita, E., Pengantar Liturgi-Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Yogyakarta;


Kanisius, 1999

Mardiprasetya, F., Psikologi Hidup Rohani I, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Pius XII, Mediator Dei, Encyclic (20 November 1947), Rome: Castel Gandolfo,

1947, Art. 20.

Tangi Antonius Marius, Liturgi Sumber dan Puncak Kehidupan (Diktat) Flores: STFK

Ledalero, 2007.

Anda mungkin juga menyukai