NIM : 23.07.262
M. Kuliah : Sosiologi Agama
Dosen : Pdt. Dr (C) Jon Renis Saragih, MTh.
II. Isi
II.1 Defenisi Gereja
Gereja berasal dari bahasa Protugis: “igreja”, yang berasal dari bahasa Yunani:
εκκλησία (ekklêsia) yang berarti dipanggil keluar (ek = keluar; klesia dari kata kaleo =
memanggil); kumpulan orang yang dipanggil ke luar dari dunia). Kata Inggris “cruch”
merupakan terjemahan yang tepat untuk ekklêsia. Gereja terbentuk 50 hari setelah
kebangkitan Yesus Kristus pada hari raya Pentakosta, yaitu ketika Roh Kudus yang
dijanjikan Allah diberikan kepada semua yang percaya pada Yesus Kristus. Christ
Marantika menjelaskan tentang pengertian gereja, bahwa; “Kata gereja bila diselidiki maka
menurut bahasa Yunani dari kata “Ekklesia” yang berarti orang-orang yang dipanggil keluar dari
kegelapan dosa oleh Injil Yesus Kristus untuk datang kepada terang ajaib”.1
Arti Gereja sebagai umat Allah ialah bahwa semua anggotanya memiliki
kesejajaran atau persamaan status yang fundamental. Tidak ada istilah yang disebut kelas
atau golongan dalam lingkup persekutuan para anggota jemaat karena semuanya
merupakan orang terpilih, orang kudus, para murid, dan saudara seiman. 2 Tidak ada
perbedaan di antara para anggota jemaat. 3 Tidak ada warga jemaat kelas dua di dalam
keluarga Allah.4 Arti Gereja sebagai bait Roh Kudus, bahwa setiap anggotanya adalah
1
Christ Marantika, Kepercayaan dan Kehidupan Kristen, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1984), 183.
2
Kung, H, The Church, (Garden City: Image, 1976), 473.
3
Ogden, Great. The New Reformation: Returning the Ministry to the People of God (Grand Rapids: Ministry
Resources, 1990), 11.
4
Dozier, V.J. Toward, A Theology of the Laity: Lay leaders' Resource Notebook, (Washington: Alban Institute,
1979), 16
sebuah bait yang didiami oleh Roh Kudus. Sesuai dengan gambaran ini, bait ini dibangun
dengan "batu hidup - batu penjuru”, yaitu Yesus Kristus yang telah dibangkitkan dari
antara orang mati dan kemudian membangun batu-batu hidup yang terdiri dari orang-
orang yang setia. Gambaran ini memperkenalkan gambaran selanjutnya tentang bait dari
suatu imamat (I Pet 2:4). Konsep ini tidak berlaku bagi suatu imamat yang resmi yang
terdiri dari segolongan orang Kristen secara khusus, tetapi berlaku bagi semua orang
percaya. "Seluruh umat, yang dipenuhi oleh Roh Kristus, menjadi suatu imamat yang
dipisahkan; semua orang percaya adalah imam".5
5
Gibbs, M. & Morton, T.R. God's Frozen People: A Book for and About Christian Laymen, (Philadelphia:
Westminster, 1964), 15
6
Edith L. Blumhofer, Pentacost in my Soul: Karya Roh Kudus dalam gereja di Abad Terakhir, (Malang: Gandum
Mas, 2007)
Kudus turun ke atas semua orang percaya, tanpa membedakan usia, jenis kelamin, atau
status sosial. Pertimbangan atas klaim atas manifestasi supernatural seperti itu, pada
dekade awal abad kedua puluh, menjadi ciri paling khas dari kelompok agama yang
secara umum disebut “Pentakosta” (Tenney, 1963, 636).7
7
Faktor Keajaiban Teologi dalam Gereja Pantekosta di Owerri, Ifeanyi J. Okeke, Diterbitkan di Misiologi
Global , www.globalmisiology.org , Juli 2023
8
Steven Talumewo, Sejarah Gerakan Pantekosta, (Yogyakarta; ANDI, 2008), 3.
9
Ibid, 17-18.
yang Alkitabiah, seperti yang dialami dan dilakukan oleh gereja mula-mula. Orang
Pentakosta meyakini bahwa baptisan Roh Kudus ditandai dengan berkata-kata dalam
bahasa lidah asing. Charles Fox Parham pendiri Episcopal Methodis, pada tahun 1900,
mendirikan “The Bathel Bible School” di Topeka, Kansas. Menurut Aritonang, Gerakan
Pentakosta dimulai sejak paham mempelajari ajaran tentang kesucian. Lebih lanjut
Aritonang mengatakan: “Semula Parham adalah pendeta Episcopal Methodist Church.
Di sinilah ia mempelajari ajaran kesucian sebagai berkat atau karunia kedua.”10 Untuk
mendukung gerakannya maka ia mendirikan “The Bathel Bible School.” Sekolah ini
untuk mempersiapkan calon misionaris. Ia percaya bahwa “hujan Akhir” dari Roh Kudus
akan segera membanjiri orang-orang percaya. Peristiwa itu (hujan akhir) akan diikuti
kedatangan Kristus kali kedua. Dalam ajarannya, ia menekankan untuk mempelajari
Kisah Para Rasul tentang tanda dan pengalaman orang-orang Kristen dengan Roh Kudus,
dengan harapan para murid sendiri akan menerima berkat itu. 11 Pada periode awal
Pentakostalisme yang masih berupa gerakan sering dituduh sebagai aliran sesat atau
bidat. Gerakan ini telah terbukti berkali-kali muncul di sepanjang sejarah.
Kemunculannya sebenarnya merupakan reaksi terhadap Gereja Arus Tengah yang dirasa
terlalu liturgis. Don Basham misalnya, mengatakan “It was a fellowship of believers
admittedly inperfect but vibrantly dan dynamically alive. It may have been despised by
the society around it, but no one ever accused it of being boring, dull or dead”12
Pada permulaan tahun 1901, salah satu muridnya (Agnes Ozman) menerima
baptisan Roh Kudus, yang diikuti dengan pengalaman berbahasa lidah asing.
Beberapa hari kemudian Parham mengalami hal yang sama, demikian juga pada
muridnya yang lain mengalami pengalaman yang sama. Sebenarnya gerakan
Pentakosta dimulai dari gerakan “holiness.” Hal itu dikemukakan oleh Steven H,
Talumewo dalam bukunya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa: “Gerakan Pentakosta
timbul dari aliran holiness, aliran yang didirikan oleh John Wesley.” Sehingga telah
diakui oleh para sejarawan, termasuk dari kalangan Pentakosta, “pada umumnya
sependapat bahwa gerakan ini merupakan kelanjutan dari gerakan kesucian (Holiness
Movement). Namun dapat dipahami pula bahwa gerakan itu bermula pada peristiwa di
Topeka. Hal penting dari perstiwa di Topeka adalah untuk pertama kalinya konsep
dibaptis Roh Kudus dikaitkan dengan tanda yang nampak yaitu berkata-kata dalam
lidah asing.
10
Jan Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Luar Gereja, (Jakarta;BPK-GM, 1996), 174.
11
Synan, Vinson, The Holiness–Pentecostal Tradition: Charismatic Movements in the Twentieth Century, Grand
Rapids, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1997), 89
12
Don Basham, A Handbook on Holy Spirit Baptism, (Ft. Lauderdale: Florida, 1969): 13-14.
Dua tahun kemudian, gerakan ini direspon oleh orang-orang sekitarnya.
Gereja-gereja Topeka dan Kansas dengan kasar mengkritik melalui media (surat
kabar). Hal itu menimbulkan rasa kegagalan dan frustasi. Namun, pada tahun 1903,
Parham diundang di Gelena, Kansas di tempat itu terjadi mujizat kesembuhan illahi.
Dalam tempo tiga bulan tercatat lebih dari 1000 orang disembuhkan dari bermacam-
macam penyakit, yang dibarengi dengan sedikitnya 800 orang dimenangkan untuk
Kristus. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1905 di Texas tercatat 25.000 orang
percaya, dan 60 orang menjadi pengkhotbah, semuanya itu merupakan hasil pelayanan
Parham.
Salah satu murid Parham adalah William J. Seymour. Ia seorang penggerak
“Black Holines” ia sangat mempercayai ajaran Parham, sekalipun ia sendiri belum
berbicara dengan lidah asing. Dalam khotbahnya di Los Angeles, ia menyatakan
bahwa setiap orang yang tidak berbahasa lidah asing berarti belum dibaptis Roh
Kudus. Banyak anggota jemaat yang menolaknya, bahkan mengusirnya. Kemudian, ia
mulai mengadakan ibadah di rumah-rumah. Aritonang dengan lengkap mengatakan:
“Beberapa Hari Seymor berkhotbah di sebuah jemaat kecil dari gereja Baptis.
Setelah mendengarkan khotbahnya tentang baptisan Roh Kudus, jemaat menolak
mendengar khotbahnya lebih lanjut . Setelah berkhotbah tiga hari berturut-turut
“Roh Kudus turun” dan terdengarlah bahasa lidah asing”.13 Pada tanggal 9 April
1906, “api turun” dan banyak orang menerima berkat Pentakosta, termasuk Seymour
sendiri. Dicatat bahwa selama tiga hari-tiga malam mereka berseru-seru dan memuji
Tuhan.
Jemaat sangat banyak, sehingga Seymour menyewa sebuah gudang tua, di jalan
Azusa 312, Los Angeles. Dari tempat itulah oleh sebagian besar orang pentakosta
mengakuinya sebagai tempat lahirnya agerakan Pentakosta. Di tempat itulah mereka
mengadakan kebaktian selama tiga tahun. Pada tahun 1910 seorang nabi dar Chicago
(William Durham). Ia datang ke Los Angeles mengajarkan doktrin kasih karunia yang
sama sekali berbeda, sehingga itu menyedot banyak pengikut Seymour. Gereja
tersebut sangat menyusut dan akhirnya tahun 1922, saat kematian Seymour, hanya ada
sekelompok kecil orang kulit hitam saja.
13
Jan Aritonang, Ibid, 176.
namun memiliki pengaruh yang tidak sedikit. Aliran itu disusul dengan kelompok
pengikut Wesley, Reformed dan Allience (persekutuan-persekutuan). Di Amerika
Serikat sendiri, khususnya bagian selatan, G. B. Cashwell, seorang penginjil dari
California Utara, menerima pengalaman Pentakosta pada bulan November 1906, ia
membawa pengalamannya kembali ke tempat pelayanannya sebagai gerakan baru.
Dari sana Cashwell bergerak ke selatan. Ia mengadakan kebangunan rohani di
Georgia, California Selatan, Alabama, dan Tennessee. Dalam salah satu kebaktian
ini, A. J. Tomlinson dari “The Church of God” menerima baptisan Roh Kudus.
Salah satu orang yang berpengaruh dalam penyebaran ajaran Pentakosta adalah
Charles H. Mason, seorang bekas pelayan aliran Baptis dari Memphis, yang
dikeluarkan dari denominasinya karena memproklamasikan “second blessing” dan
akhirnya mendirikan sebuah denominasi baru, yaitu “the Church of God in Christ.”
Tentang “second blessing” Steven mengatakan bahwa: “Orang Kristen dapat
mencapai kesucian penuh, hanya kalau ia menyerahkan diri sepenuhnya dan
mengijinkan Roh Kudus berdiam di dalam dirinya, maka akan terlihat suatu
pengalaman yang indah dari orang-orang percaya”.14 Saat Charles H. Mason
mengikuti kebaktian-kebaktian Seymour, ia menerima baptisan Roh Kudus, dan
berbahasa lidah asing. Kemudian ia kembali ke Tennesse, tetapi pengalaman barunya
itu disambut dingin oleh gerejanya. Perpecahan terjadi dan Mason mereorganisasi
gereja itu dan menjadi bishopnya. Pertumbuhannya sangat pesat dan saat itu “the
Church of God in Christ” adalah denominasi orang kulit hitam yang terbesar di
Amerika.
Selanjutnya, Gereja Sidang Jemaat Allah, sebuah denominasi besar orang kulit
putih yang menganut aliran Pentakosta. Gereja Sidang Jemaat Allah didirikan pada
tahun 1914 sebagai membawa kesatuan aliran Pentakosta di Amerika Serikat. Para
pendiri yang terkenal di antaranya adalah Eudorus Bell, Howard Goss, Daniel
Opperman, A. P. Collins dan Mack Pinson.
14
Steven H. Talumewo, Sejarah Gerakan Pentakosta, 4.
Kudus pada tahun 1907, setelah membaca majalah Pentakosta. Orang-orang
Pentakosta Amerika Latin-Itali membawa pesan itu ke Itali pada tahun 1908.
Aktivitas-aktivitas Pentakosta di Eropa menjadi selaras melalui terbentuknya Dewan
Pentakosta International di tahun 1912. Dewan ini menjadi sumber persekutuan yang
hangat bagi para pemilihnya, namun sayangnya dewan ini pecah pada awal Perang
Dunia I tahun 1914.
2.4.3. Pentakosta di Asia.
Pentakosta di India barangkali merupakan negara pertama yang mengalami
pencurahan Pantekostal modern, dan tentu saja yang paling awal di Asia. 15 Pada akhir
tahun 1906, aliran Pentakosta muncul di India, dibawah pimpinan Paudita Ramabi.
Pelayanannya dimulai dengan: “membangun Panti asuhan untuk yatim-piatu dan para
janda. Mereka setiap hari diajak berdoa terus-menerus, meminta kuasa dari tempat
yang Maha tinggi. Tiba- tiba seorang pendeta dipenuhi Roh Kudus sama seperti yang
terjadi di Amerika Serikat, yang mereka sebut Baptisan Api”. Selama abad ke-20 Asia
berkembang secara independen dari pengaruh pembaruan-pembaruan serupa yang
terjadi di Barat.16
Tahun 1908 para missionari Pentakosta mengadakan perjalanan ke Cina, Jepang
dan India, dengan keyakinan bahwa pengalaman dibaptis dengan Roh Kudus dan
berbahasa lidah asing, akan menyertai mereka untuk memproklamasikan Kristen
kepada penduduk setempat yang belum percaya. Namun mereka gagal. Di antara
para pioner ini adalah Robert dan Aimee Semple, pada tahun 1907 dari Kanada, pergi
ke Hongkong, dengan dukungan beberapa jemaat Pentaakosta. Dua puluh tahun
kemudian, ia sebagai penginjil yang sukses, kemudian kembali ke Cina untuk
meletakkan batu penjuru, gereja cabang “Foursquare Gospel Church” di Sanghai.
Sepanjang abad ini, kebanyakan gereja-gereja Pentakosta Asia berada di bawah
dukungan misi asing. Kecuali Korea Selatan, dimana pekerjaan di negara ini sangat
berkembang. Di sana aliran Pentakosta bertumbuh melebihi semua kelompok orang
Kristen apabila digabungkan. Yang paling terkenal adalah “Full Gospel Central
Church in Seoul” yang digembalakan oleh Paul Y. Cho, dengan jumlah jemaat lebih
dari setengah juta.
15
Allan Anderson, An Introduction to Pentecostalism, (United Kingdom: Cambridge University Press, 2004), 124.
16
G.B. McGee dan S.M. Burgess, “India”, dalam Burgess, The New International Dictionary of Pentecostal and
Charismatic Movements, 118.
Umum Sidang Jemaat Allah Amerika mengundang para pemimpin Pentakota dari
berbagai negara untuk menghadiri pertemuan- pertemuan mereka, selanjutnya
pertemuan ini disebut Konferensi Dunia di London pada tahun 1940. Tetapi kemudian
terhambat karena pecahnya Perang Dunia II. Sesudah perang, para pemimpin yang
diundang konferensi Pentakosta Dunia bertemu di Zurich Zwitzerland pada tahun
1947. Pada pertemuan itu, mengambil tema “Oleh satu Baptisan kita dibaptis menjadi
satu tubuh.”
Pada tahun 1949, Konferensi Pentakosta Dunia diadakan lagi di Paris. Dalam
konferensi itu dinyatakan bahwa tujuan dan sasaran konferensi adalah:
1. Untuk mendorong persekutuan dan memfasilitasi usaha-usaha koordinasi
pengikut Pentakosta di seluruh dunia.
2. Mendemontrasikan kepada dunia, petingnya kesatuan orang-orang yang dibaptis
Roh Kudus, melalui doa Yesus supaya mereka menjadi satu.
3. Untuk bekerjasama dalam usaha meresponi amanat Agung Tuhan Yesus yang
tidak berubah yaitu untuk membawa Injil kepada seluruh bangsa.
4. Untuk mempromosikan pengertian “usahakanlah untuk memelihara kesatuan roh
dalam ikatan damai sejahtera . . . sampai kita semua mencapai kesatuan iman” (Ef.
4: 3, 13).
5. Untuk mengupayakan dukungan doa dan bantuan bagi aliran Pentakosta yang
membutuhkan.
6. Untuk mempromosikan dan memelihara kemurnian iman melalui persekutuan
Pemahaman Alkitab dan doa. 7). Untuk mendukung dan memelihara kebanaran
aliran Pentakosta “yang telah terjadi di antara kita . . .” (Luk. 1: 1).
17
Th Sumartana. dkk, Tempat dan Arah Gerakan Oikumenis. (Jakarta: BPK-GM, 1994), 35.
berhasil menerjemahkan Injil Lukas ke dalam bahasa Bali. Sepuluh bulan kemudian para
penguasa Belanda mengusir keduanya dari Bali. Surabaya di Jawa Timur yang tidak jauh
dari Bali menjadi pangkalan baru keduanya. Gereja itu mulai dengan satu kelompok inti
yang terdiri dari sepuluh orang yang kemudian bertambah menjadi empat puluh orang
pada akhir tahun pertama. Mayoritas kelompok ini adalah orang-orang Belanda dan
beberapanya dari keturunan campuran Belanda-Indonesia. Pada tahun 1923 ke-13
anggota pertama dibaptis dengan cara ditenggelamkan dengan memakai rumusan “hanya
Yesus”. Sekelompok pemuda, yang ditobatkan antara tahun 1924-1926, menjadi tulang
punggung gerakan itu ketika para pemimpinnya yang berkewarganegaraan Belanda
ditawan selama masa pendudukan Jepang (1942-1945).
Dari kota Malang di Jawa Timur para penginjil muda dikirim ke Sumatra Utara,
Sulawesi Utara, Ambon dan Timor di mana Gereja-Gereja Pantekosta sudah ditanamkan
di sana pada tahun 1930-an. Pada penghujung tahun 1920-an beberapa orang Indonesia
keturunan Cina yang berpengaruh juga berhasil ditobatkan, dan selanjutnya
Pantekostalisme menjadi gerakan orang Indonesia keturunan Cina. Tidak ada catatan apa
pun tentang penerimaan secara besar-besaran terhadap Pantekostalisme di kalangan
orang-orang Jawa dalam kurun awal ini.18 Para pemimpin karismatik nasional yang kuat
mulai tampil khususnya ketika bala tentara pendudukan Jepang menuntut agar orang-
orang Indonesia mengambil alih jabatan pemimpin yang sebelumnya dipenggang oleh
orang-orang Barat. Gerakan pembaruan utama terjadi setelah digulingkannya
pemerintahan Soekarno oleh kaum militer pada tahun 1965, terutama sekali di Gereja
Presbiterian di Timor Barat.
Pertumbuhan mereka sungguh mencengangkan: dari sebuah Gereja rumah tangga
dengan anggota 10 orang pada tahun 1921 menjadi salah satu kekuatan utama dalam
Kekristenan Indonesia. Dengan jumlah total hampir sebanyak dua juta orang pada tahun
1980. Dua puluh tahun kemudian jumlah mereka meroket hingga setidak-tidaknya enam
juta orang. Dewasa ini denominasi-denominasi Pantekostal barangkali merupakan
separuh dari semua Gereja injili di Indonesia. Gereja Pantekosta di Indonesia adalah
Gereja Pantekosta terbesar dengan lebih dari 3 juta anggota. Gereja Sidang-Sidang
Jemaat Allah di Indonesia beranggotakan 70.000 orang dengan sekitar 700 jemaat di
hampir semua provinsi di Indonesia. Salah satu fenomena paling mencolok dalam
perkembangan Gereja-Gereja Pantekosta di Indonesia ialah intensitas skisma yang telah
melahirkan sekitar ratusan kelompok Pantekostal baru. Sekarang ini ada lebih dari 40
18
P. Lewis, “Indonesia” dalam Ed Van Der Mas dan Stanley Burgess (eds.), The New International Dictionary of
Pentecostal and Charismatic Movements (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2002), 126-127.
denominasi Pantekostal di Indonesia, yang kebanyakan darinya terus bertumbuh.19
Sejak terbentuknya satu organisasi gereja Pentakosta yakni Pinksterconvent
(Sidang Pentakosta) semacam badan pengurus yang bersifat longgar, sesuai dengan
gagasan Pentakosta mengenai organisasi gereja yang berjiwa kongregasionalistis. Mulai
nampak ketidak cocokan di antara pengurus dengan pokok persoalannya antara lain:
Pertama, ajaran “Jesus Only” yang menganggap nama Yesus meliputi tiga pribadi
Trinitas, sehingga pembaptisan cukup kalau dilakukan dalam nama Yesus saja. Ajaran ini
dibawa masuk dari Amerika Serikat oleh van Gessel. Kedua, ada tidaknya hak seorang
perempuan untuk memegang kedudukan kepemimpinan dalam gereja. Ketiga, Hubungan
antara jemaat setempat dengan organisasi pusat, misalnya dalam hal milik gereja.
Keempat, Prestise suku atau individualis yang tinggi. Keempat faktor tersebutlah yang
menyebabkan terjadinya rentetan perpecahan sehingga menyebabkan jumlah gereja
Pentakosta dari 1 nama gereja menjadi 25 nama gereja. Ini dapat dilihat dari beberapa
pendeta yang keluar memisahkan diri dari organisasi gereja Pentakosta dan mendirikan
gereja baru, seperti: Gereja Gerakan Pentakosta (GGP), Gereja Utusan Pentakosta (GUP),
Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA), Gereja Pentakosta Sumatera Utara (GPSU) atau
dikenal dengan nama GPdI-Sinaga, Gereja Isa Almasih (GIA), Gereja Pentakosta
Sumatera Utara atau dikenal GPdI Siburian, Gereja Sidang Jemaat Pentakosta, Gereja
Bethel Injil Sepenuh (GBIS) dan lain sebagainya.
Meskipun perpecahan demi perpecahan terjadi, namun mereka tetap berafiliasi
pada satu nama yaitu Pentakosta, sehingga timbul inisiatif untuk menyatukan kembali
sikap dan pandangan gereja-gereja beraliran Pentakosta. Hal ini diwujudkan dengan
berdirinya Dewan Kerjasama Gereja-gereja Kristen Pentakosta Seluruh Indonesia
(DKGKPSI) dan Persekutuan Pentakosta Indonesia (PPI). Tetapi pada tanggal 10
September 1979, kedua organisasi tersebut membubarkan diri dan bergabung menjadi
satu wadah dengan nama Dewan Pentakosta Indonesia (DPI), yang kemudian dirubah
menjadi Persekutuan Gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) hingga saat ini ada sekitar 82
Sinode / organisasi Gereja beraliran Pentakosta yang bergabung dalam PGPI.
19
Ibid, 129-130.
merupakan buah dan bukti dari pertobatan dan kelahiran kembali. Menurut
Wesley, “justificatio” merupakan pintu masuk “sanctificatio”.20 Ajaran dan
praktik kesempurnaan hidup ini dipelihara dengan sangat ketat dan sungguh-
sungguh di lingkungan Methodis. Sejak dasawarsa 1830-an, banyak orang di
lingkungan Methodis dan gereja-gereja lain yang menganut ajaran kesucian ini.
Mereka menghidupkan kembali ajaran dan praktik ini karena melihat bahwa
kesucian hidup makin kurang dipelihara. Ciri-ciri masyarakat dan budaya Amerika
berkaitan dengan gerakan ini, seperti individualisme, pragmatisme, empirisme dan
optimisme.21 Hal inilah yang memunculkan Gerakan Kesucian (Holiness
Movement).
20
J.W. Maris, Geloof en ervoring, van Wesley tot de Pinksterbeweging, (Leiden, 1992), 28.
21
N. Bloch-Hoell, The Pentecostal Movement, Its Oligin, Development and Distinctive Chamcter, (Oslo/ London,
1964), 6.
22
Jan Aritonang, Ibid, 188
cenderung menganut paham unitarian . . .”.23 Sebagai akibatnya, mereka
membaptis hanya dalam nama Yesus (Jesus only). Walaupun ajaran Trinitas
sangat ditekankan, namun tidak lama kemudian muncul kontroversi sekitar
Trinitas, ketika sejumlah pendeta terpengaruh oleh pengajaran Frank Ewart dan
G. A Cook, yang menyatakan bahwa baptisan dengan konsep Trinitas sesuai
dengan Matius 28: 19 tidak sah, sehingga menekankan pembaptisan hanya
dalam nama Yesus saja. Pengajaran ini menyebar dengan cepat ke Amerika
Utara, dan menjadi dominan dalam Pentakosta. Banyak di antara mereka yang
sudah dibaptis, mau dibaptis ulang dengan formulasi baptisan yang baru.
2.5.3. Tentang Keselamatan.
Pentakosta seperti kekristenan ortodoks lainnya, karena kaum Pentakosta
mengakui perlunya lahir kembali (lahir baru) sebagai sebuah pengalaman dalam
menerima Yesus. Namun lahir baru merupakan langkah awal saja, sebab
pengudusan juga merupakan hal yang sangat vital. Jan Aritonang mengakatan:
“Manusia diselamatkan melalui pemandian kembali dan pembaharuan Roh
Kudus”.24 Tentunya yang dimaksudkan adalah kelahiran kembali itu menjadi
sesuatu yang mutlak diperlukan, kemudian diikuti dengan pembaharuan Roh
Kudus, sehingga ia dikuduskan. Pengudusan terjadi bersamaan dengan peristiwa
lahir baru. Langkah akhir dalam Pentakosta adalah “Baptisan Roh Kudus”.
Disamping itu, Jan Aritonang menambahkan bahwa: “Bukti batiniah bagi orang
percaya tentang keselamatannya adalah kesaksian langsung dari Roh Kudus,
sedangkan bukti lahiriah adalah kehidupan di dalam kebenaran dan kesucian
yang sejati”. Mereka percaya bahwa gereja mula-mula tidak pernah bergerak dari
Paskah sampai Pentakosta, hingga mereka memiliki kekuatan rohani melalui
baptisan Roh Kudus, yang ditandai dengan berkata-kata dengan lidah asing.
Baptisan Roh Kudus, agaknya bersifat subyektif, sebab sering sarat dengan
emosional, dan melepaskan pengikut dari yang dibaptis untuk masuk dalam
pelayanan Kristen. Baptisan Roh Kudus memberikan kuasa yang melebihi
pelayanan yang biasa-biasa saja.
25
Steven H. Talumewo, Ibid, 4.
dalam pengajaran Pentakosta dibanding dengan gereja lainnya, terlebih kedatangan
kedua kalinya. Eskatologi Pentakosta sebagai penganut milenarisme, yaitu mereka
percaya bahwa sesuai dengan Kitab Suci, Yesus Kristus akan datang kembali dan
memerintah dalam kerajaan seribu tahun di dunia ini, sambil memulihkan dan
menyelamatkan bangsa Israel. Steven mengatakan bahwa: “pemulihan Israel ini
pada umumnya dihubungkan dengan kembalinya berdiri negara Israel di tanah
perjanjian yang berpusat di Yerusalem. Orang pentakosta menekankan
pengangkatan gereja sebelum masa kesusahan dan sebelum kerajaan 1000 tahun”.
27
Simul Justus Etpeccator : sudah dibenarkan tetapi sekaligus tetap berdosa. “Iman kita kepada Kristus tidak
membebaskan kita dari perbuatan, yaitu praanggapan yang sembrono bahwa pembenaran diperoleh melalui
perbuatan.” Konsep ini menegaskan kebenaran yang disampaikan dalam Efesus 2:8: “Sebab karena kasih karunia
kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah”.
gereja yang beraliran Pentakosta di Inodnesia. Baik yang jumlah jemaatnya
banyak maupun masih tergolong sedikit. Disamping itu, gereja-gereja Pentakosta
cederung ekslusif, yang alergi dengan gereja lain bahkan agama lain. Sehingga
yang terjadi, munculnya ketidak harmonisan di antara gereja-gereja dan sering
terjadi konflik dengan agama yang lain.
Tidak dapat dipungkiri, kehadiran gereja Pentakosta di Indonesia
berkembang begitu pesat. Mereka melakukan ibadah-ibadah di Mall, di ruko-ruko
sebagai tempat ibadah. Pengajaran, pemuridan dan liturgi ibadah yang dipahami
tidak kaku menjadi daya tarik gereja ini. Sistem komunitas gereja ini dapat
menjadi contoh bagi gereja-gereja yang beraliran lain, sehingga menumbuhkan
kerinduan bagi jemaat untuk beribadah kepada Tuhan.
Hubungan gereja ini terhadap adat (budaya) juga masih beragam. Ada
sebagian mereka yang sudah menerima adat tetapi tidak sepenuhnya, tetapi ada
juga yang menolak keras tentang adat. Salah satu contoh; sikap terhadap ulos.
Gereja Pentakosta memiliki pemahaman dan tanggapan yang beragam tentang
ulos. Ada yang menerima, tetapi ada juga yang menolak, dengan pemahaman,
bahwa dalam ulos itu ada nilai-nilai okultisme (sinkritisme). Dalam kaitan dengan
budaya, gereja hadir di dunia ini harus menjadi garam dan terang terhadap adat
(budaya). Gereja tidak hadir di dunia ini untuk merubuhkan adat sebagai sistem
keakraban dalam masyarakat. Gereja harus mengarahkan, menerangi adat itu
menjadi sesuatu yang bernilai bagi kehidupan manusia sesuai dengan kebenaran
Firman Allah.
III. Refleksi
Gereja adalah milik Kristus. Berbagai aliran gereja ada di dunia ini itu semua adalah
milik Kristus. Gereja hadir di dunia ini untuk menghadirkan syaloom Allah di tengah dunia ini.
Dengan berbagai denominasi/aliran gereja, hal itu merupakan peluang untuk ke-Kristenan
semakin menampakkan peranannya. Belajar dari gereja Pentakosta, ada hal positif yang dapat
dicontoh oleh denominasi gereja yang lain, baik dalam misi maupun komunitas (persekutuan).
Namun, ada juga yang harus dihindari yang sering membuat gesekan dan konflik di dalam
tubuh gereja itu sendiri. Salah satu contoh adalah kepentingan (di dalam organisasi gereja);
sering sekali perebutan kepemimpinan di sebuah Gereja menjadi pemicu terjadinya perpecahan.
Perbedaan pendapat dan teologi yang dianut oleh sebuah denominasi (aliran) janganlah
dipahami sebagai suprioritas dari gereja. Sikap seperti ini akan menimbulkan subjektifisme,
yang mengangap dirinya yang lebih benar dan yang lain adalah salah. Tidak saatnya lagi bagi
gereja menunjukkan ke-akua-nya sebagai gereja yang paling benar, dan sibuk dengan urusan
primordial dirinya sendiri. Gereja harus terus bergerak memainkan peranannya lewat program-
progam untuk memberikan solusi atas pergumulan dunia ini sehingga menciptakan damai
sejahtera bagi seluruh manusia di dunia ini. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah
yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan
buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku
diberikan-Nya kepadamu. Inilah perintah-Ku kepadamu; kasihilah seorang akan yang lain”
(Yohanes 15:16-17).
IV. Kesimpulan
Gereja Pentakosta yang sering disebut aliran Pentakosta lahir adalah buah dari semangat
reformasi. Gereja Pentakota pertama sekali dikenal di benua Amerika sekalipun ada beberapa
pendapat tentang keabsahan hal ini. Gereja ini mengalami perkembangan yang begitu pesat di
berbagai benua, termasuk di Asia, begitu juga di Indonesia, dengan warna teologi yang
beragam. Dalam tubuh Gereja Pentakosta sering terjadi kemelut dan perpecahan karena
perbedaan pandangan dan juga karena kepentingan. Enam pokok penting penekanan teologi
gereja Pentakosta yaitu; otoritas Alkitab, Allah, keselamatan, manusia, karunia rohani dan
eskatologis. Ajaran-ajaran ini menjadi acuan bagi gereja Penstakosta untuk menatalayankan
peranannya di dunia ini, yang menuai berbagai respon baik dari penganutnya, denominasi
maupun agama lain. Gereja Pentakosta sebagai komunitas yang cenderung menutup diri
(esklusif) terhadap yang lainnya sehingga dinilai sebagai aliran Kristen yang fundamentalis.
V. Daftar Pustaka
Anderson Allan, An Introduction to Pentecostalism, (United Kingdom: Cambridge University
Press, 2004).
Aritonang Jan, Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Luar Gereja, (Jakarta;BPK-GM, 1996).
Basham Don, A Handbook on Holy Spirit Baptism, (Ft. Lauderdale: Florida, 1969).
Bloch-Hoell N., The Pentecostal Movement, Its Oligin, Development and Distinctive Chamcter,
(Oslo/ London, 1964).
Blumhofer Edith L., Pentacost in my Soul: Karya Roh Kudus dalam gereja di Abad Terakhir
(Malang: Gandum Mas, 2007).
Great, Ogden, The New Reformation: Returning the Ministry to the People of God (Grand
Rapids: Ministry Resources, 1990).
Gultom Junifrius, Teologi Misi Pentakostal; Isu-isu Terpilih, (Jakarta;BPK-GM, 2018).
H. Kung, The Church, (Garden City: Image, 1976).
Lewis P., “Indonesia” dalam Ed Van Der Mas dan Stanley Burgess (eds.), The New
International Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movements (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 2002).
M. Gibbs, & Morton, T.R., God's Frozen People: A Book for and About Christian Laymen,
(Philadelphia: Westminster, 1964).
Maris W., Geloof en ervoring, van Wesley tot de Pinksterbeweging, (Leiden, 1992), 28.
McGee G.B. dan S.M. Burgess, “India”, dalam Burgess, The New International Dictionary of
Pentecostal and Charismatic Movements.
Sumartana Th. dkk, Tempat dan Arah Gerakan Oikumenis. (Jakarta: BPK-GM, 1994).
Talumewo Steven, Sejarah Gerakan Pantekosta, (Yogyakarta; ANDI, 2008).
Toward Dozier, V.J., A Theology of the Laity: Lay leaders' Resource Notebook, (Washington:
Alban Institute, 1979).
Vinson, Synan, The Holiness–Pentecostal Tradition: Charismatic Movements in the Twentieth
Century, Grand Rapids, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company,
1997)