Anda di halaman 1dari 5

Nama : Andri Vincent Sinaga, S.

Th
NIM : 23.07.251
Prodi : Magister Teologi
Mata Kuliah : Upaya Berteologi dalam Konteks
Dosen Pengampu : Ramli Harahap, D.Th
Keterangan : Laporan Bacaan
PERJAMUAN KUDUS:
“Makna Misiologis Mengikutsertakan Anak yang Belum Sidi”1
I PENDAHULUAN
Laporan bacaan kelompok 1 (satu) ini mengkaji tentang “Perjamuan Kudus: Makna
Misiologis Mengikutsertakan Anak yang Belum Sidi,” yang ditulis oleh Pdt. Dr. Jusen
Boangmanalu dalam Buku Merangkai Teologi Kehidupan Terkini, hendak menghantarkan
kita dalam pemahaman yang mendalam tentang arti dan makna teologis Perjamuan Kudus,
khususnya tentang alasan teologis-dogmatis dalam mengikutsertakan anak yang belum sidi
dalam Perjamuan Kudus. Berikut saya akan paparkan hasil laporan bacaan saya terhadap
tema Perjamuan Kudus ini. Sekiranya melalui hasil bacaan saya ini, kita mendapatkan
pengertian dan pemahaman yang baru terkait dengan Perjamuan Kudus, termasuk
pergumulan kita dalam mengikutsertakan anak yang belum sidi dalam Perjamuan Kudus.

II GAGASAN PENULIS
2.1 PENGANTAR AWAL
Mengawali kajiannya, Boangmanalu menegaskan bahwa Perjamuan Kudus adalah
salah satu bentuk pelayanan sakramen di dalam gereja. Menurut Boangmanalu, pada 2008
sejak diterbitkannya buku ini, dan hemat saya hal ini masih relevan hingga kini, bahwa
banyak warga jemaat yang masih ragu-ragu bahkan belum mengerti makna Perjamuan Kudus
sesungguhnya. Boangmanalu menuliskan beberapa penyebab, mengapa masih ada
kekurangmengertian warga jemaat tentang Perjamuan Kudus, yaitu: pertama, kelangkaan
berita dalam Alkitab untuk menjelaskan seputar Perjamuan Kudus. Boangmanalu
mensinyalir bahwa percakapan tentang Perjamuan Kudus hanya didapati dalam empat
periode yaitu Markus 14:22-24; Matius 26:26-29; Lukas 22:14-20 dan 1 Korintus 11:23-26);
kedua, gereja dan hamba Tuhan kurang menaruh minat untuk mendiskusikanya.
Boangmanalu mengatakan bahwa pembahasan tentang topik Perjamuan Kudus kurang
mendapatkan perhatian dan sangat terbatas. Mirisnya, menurut Boangmanalu, bahwa ada
banyak hamba Tuhan (khususnya pelayan tertahbis seperti pendeta, sintua, dan sebagainya)
menutup dialog bahkan mendiamkan percakapan mengenai topik Perjamuan Kudus, karena
dianggap terlalu dogmatis dan kurang pantas untuk konsumsi warga gereja; ketiga,
minimnya minat baca warga gereja terhadap literatur yang bertemakan Perjamuan
Kudus. Boangmanalu menyebut bahwa literatur yang membahas Perjamuan Kudus secara
khusus sudah ada, yaitu seperti tulisan Abineno yang berjudul “Perjamuan Kudus,” lalu
tulisan C.J. Den Heyer yang berjudul “Perjamuan Tuhan” yang diterjemahkan oleh Ny. S.
Lumbantobing & Kartohadiprojo. Namun, warga jemaat kurang meminatinya.

1
Jusen Boangmanalu, “Perjamuan Kudus: Makna Misiologis Mengikutsertakan Anak yang Belum Sidi,”
dalam Wilda Simanjuntak (Ed.), Merangkai Teologi Kehidupan Terkini (Pematangsiantar: L-SAPA, 2008), 49-67.
1|STT Abdi Sabda Medan
2.2 ISI GAGASAN PENULIS
Berdasarkan pembacaan saya terhadap topik ini, berikut saya paparkan yang menjadi
gagasan utama yang dikemukakan oleh Boangmanalu:
A. Dasar dan Perkembangan Dogma Perjamuan Kudus
Penetapan dan Sebutannya. Menurut Boangmanalu, dasar teologi penetapan
Perjamuan Kudus (sejak jemaat mula-mula hingga jemaat masa kini) adalah bersumber
dari Alkitab. Teks Alkitab yang mencatatnya antara lain: 1 Korintus 11:23-25 (ada
anggapan bahwa teks ini adalah sumber tertua); kemudian teks selanjutnya seperti:
Markus 14:22-25; Matius 26:26-29; Lukas 22:15-20 dan Yohanes 6:51c. Secara eksplisit,
menurut Boangmanalu bahwa makna Perjamuan Kudus menekankan penghayatan iman
Kristen terhadap karya penebusan Yesus Kristus melalui kematian dan kebangkitan-Nya.
Sekilas, Boangmanalu memaparkan kaitan antara Perjamuan Kudus dengan Perjamuan
Paskah orang Yahudi. Boangmanalu mendasari pandangannya dengan hasil penelitian
Joachim Jeremias yang berjudul “The Eucharistic Words of Jesus,” dengan
menyimpulkan bahwa Perjamuan Malam yang dilakukan oleh Yesus bersama murid-
muridnya bisa “ya” merupakan Perjamuan Paskah menurut tradisi orang Yahudi. Bukan
berhenti pada temuan penelitian itu saja, melainkan Boangmanalu meneruskan
pandangan Jeremias, bahwa sekalipun Perjamuan Kudus itu adalah Perjamuan Paskah
orang Yahudi, Yesus telah mengisinya dengan bantuk dan pemahaman yang baru, yaitu
di mana Yesus membuat penekanannya kepada keselamatan daripada-Nya dan hal yang
bersifat eskatologis (Bnd. 1 Kor. 11:23-25).
Dalam memaknai Perjamuan Kudus, Boangmanalu berpendapat bahwa Perjamuan
Kudus tidak cukup hanya sekadar “peringatan” akan kematian Yesus saja, melainkan
lebih kepada penekanan “makna keselamatan yang dihasilkan” dari pengorbanan Yesus
di kayu Salib, mati dan bangkit dari kematian untuk menebus manusia dari dosa. Inilah
sebenarnya dasar orang Kristen dalam mengikuti Perjamuan Kudus. Terkait penetapan
dan penyebutan ini, Boangmanalu menyimpulkan bahwa Perjamuan Kudus bukan saja
melulu tentang passion melainkan berkaitan erat dengan Paskah.
Perayaan Perjamuan Kudus Gereja Mula-mula. Melanjutkan kajiannya,
Boangmanalu memaparkan bagaimana bentuk Perjamuan Kudus yang dipraktikkan oleh
gereja mula-mula. Menurut 1 Korintus 10:21, setidaknya ada enam istilah yang merujuk
kepada praktik (bentuk dan unsur) Perjamuan Kudus, yaitu: Deipon Kuriakon (Tuhan
sebagai Penjamu); Trapeza Kuriou (mereka bersama-sama berada di “Meja Tuhan”);
Poterion (terdapat gelas atau cawan sebagai media kurban darah Kristus); Klasis tou
artou (adanya pemecahan roti sebagai bukti pengurbanan tubuh Kristus demi dan untuk
kesatuan persekutuan umat-Nya); Eucharistia (pengucapan syukur atas kehadiran Kristus
dan keselamatan daripada-Nya); Eulogia (jemaat mesti meyakini bahwa lewat Perjamuan
Kudus, hidupnya diberkati Tuhan). Awalnya jemaat mula-mula sarat dengan yang
namanya Perjamuan kasih yang di dalamnya termaktub Perjamuan Kudus (hal itu tercatat
secara eksplisit dalam Kisah Para Rasul 2:24). Berjalannya waktu, antara Perjamuan
Kasih dan Perjamuan Kudus kemudian dipisahkan dikarenakan adanya penyalahgunaan
terhadap Perjamuan Kudus oleh jemaat Korintus, dan hal itulah yang dikritik oleh Paulus
dengan keras (1 Kor. 11:17-34).

2|STT Abdi Sabda Medan


Pemahaman Bapa-Bapa Gereja. Ignatius (98-11M). Bagi Ignatius, Perjamuan
Kudus adalah saluran penting bagi seluruh kehidupan umat Kristen untuk menerima
anugerah Allah (mengalami pengampunan lewat Perjamuan Kudus). Ignatius memahami
bahwa Perjamuan Kudus adalah visualisasi dalam karya penyelamatan Yesus Kristus
untuk memberikan hidup kekal bagi umat-Nya; Yustinus Martir (110-165M). Yustinus
tergolong sebagai bapa gereja yang tekun belajar, bukan saja ilmu teologi melainkan ilmu
filsafat juga. Menurut Yustinus, tatkala umat mengikuti Perjamuan Kudus, memakan roti
dan meminum anggur, pada saat itulah roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah
Kristus; Irenaeus dari Lyon (175-195). Menurutnya, Perjamuan Kudus adalah sarana
ibadah, di mana semua umat yang percaya dapat menerima kurban tubuh dan darah
Kristus. Bagi Irenaeus, tatkala elemen Perjamuan Kudus dipandang semacam ragi yang
dapat mengubah sifat dan karakter umat semakin baik; Augustinus (354-430).
Menurutnya, Perjamuan Kudus adalah sakramen, yaitu Firman yang kelihatan (visible
Verbum), sebab tatkala Perjamuan Kudus dilayankan, pada saat yang sama juga
diikutsertakan oleh Firman-Nya.
Perkembangan Ajaran Gereja Roma Katolik. Boangmanalu menyatakan bahwa
ajaran Perjamuan Kudus Katolik dan Protestan memiliki perbedaan yang signifikan.
Dalam GKR, Perjamuan Kudus itu dipandang sebagai Transubstansiasi (pada saat
elemen Perjamuan Kudus dilayankan imam, maka pada saat yang sama roti dan anggur
berubah menjadi tubuh dan darah Yesus), yang dikembangkan oleh Pastor Radbertus.
Keyakinan ini dipercayai oleh semua umat Katolik. Namun, seiring berjalannya waktu,
akibat derasnya arus oikumene Gereja dari berbagai belahan dunia, membuat GKR
membuka dialog dengan gereja-gereja di dunia, dengan munculnya naskah “Joint
Declaration” tahun 2000, antara GKR dan Protestan. Salah satu tema besar dalam
deklarasi itu adalah pembenaran oleh iman, termasuk juga dialog Perjamuan Kudus.
Boangmanalu menyebut bahwa di Indonesia, melalui KWI, telah dirumuskan arti
Perjamuan Kudus yaitu sebaai pujian syukur kepada Tuhan dan sebagai peringatan akan
kebaikan Tuuhan dan sebagai epiclesis yaitu suatu permohonan turunnya Roh Kudus.
Boangmanalu memandang bahwa tindakan KWI ini sebagai bentuk pembaharuan diri
dan perumusan kembali pengakuan iman berdasarkan konteks budaya setempat.
Pengajaran Gereja Protestan. Menurut Boangmanalu, di kalangan gereja-gereja
Protestan juga mengalami perkembangan dan variasi pengajaran mengenai Perjamuan
Kudus. Misalnya, dogma Luther memahami bahwa tubuh dan darah Kristus dihadirkan
melalui roti dan anggur.2 Bagi Luther, Firman adalah asas, dasar dan penyebab roti dan
anggur yang biasa itu menjadi sakramen. Luther berkata: “Accedat verbum ad
elementument fit sacramentum,” artinya setelah Firman itu bergabung dengan unsur
lahiriah, maka unsur itu (roti dan anggur Perjamuan) berubah jadi sakramen. Kehadiran
Kristus dalam Perjamuan Kudus, diakui secara real melalui Firman-Nya. Selanjutnya,
Boangmanalu memaparkan juga pandangan John Wesley yang awalnya berlatar belakang
gereja Anglikan, kemudian menjadi tokoh paling sentral dalam berkembangnya
Methodis. Dogma Methodis mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus adalah suatu
anugerah, tanda dan simbol dari karya penebusan Kristus. Perjamuan Kudus menurut
Methodis lebih kepada anamsesis atau memorial terhadap pengorbanan Yesus sekaligus
2
Pengakuan ini tercatat dalam Konfesi Ausburg pasal X berbunyi: “Di kalangan kami juga diajarkan bahwa
tubuh dan darah Kristus benar-benar hadir dalam pelayanan Perjamuan Kudus dalam bentuk roti dan anggur yang
dibagi-bagikan dan diterima.
3|STT Abdi Sabda Medan
perjamuan persekutuan dengan Kristus. Dalam pengamatannya, Boangmanalu menyebut
bahwa Gereja Methodis sudah melayankan Perjamuan Kudus kepada anak-anak. Hal itu
didasari oleh keyakinan bahwa, Perjamuan Kudus itu adalah persekutuan bersama Tuhan.
Jadi, siapa saja tanpa terkecuali bisa ikut Perjamuan Kudus. Artinya Methodis memegang
keyakinan bahwa keselamatan yang diberikan Yesus itu bersifat universal (tidak terbatas
atau dibatasi). Itu berarti anak-anak juga membutuhkan keselamatan.

B. Diskusi Kontekstual: Bagaimana dengan anak yang belum sidi?


Makna Misiologis: Mengikutsertakan anak yang belum sidi. Boangmanalu
menyebut (sejak terbitnya artikel ini pada 2008 silam dan itu masih relevan hingga
sekarang ini) topik tentang mengikutsertakan anak yang belum sidi dalam Perjamuan
Kudus masih dalam tahap perdebatan, percakapan bahkan pertimbangan yang panjang di
kalangan gereja-gereja di Indonesia. Berbeda dengan gereja GMI yang sudah mulai
mengikutsertakan anak dalam Perjamuan Kudus dan juga GKJ yang sudah merumuskan
dan sekarang sudah melakukannya. Menurut Boangmanalu, dasar teologis
mengikutsertakan anak yang belum sidi dalam Perjamuan Kudus adalah berdasarkan
aspek misiologis, di mana agar anak-anak turut serta mengalami pengampunan dosa
lewat Perjamuan Kudus. Dengan kata lain, Perjamuan Kudus tentang keselamatan
universal, artinya keselamatan bukan saja diberikan kepada orang dewasa, melainkan
juga dibutuhkan oleh anak-anak. Ringkasnya, dasar teologis Perjamuan Kudus adalah
bahwa Perjamuan Kudus itu merupakan undangan bagi semua orang, untuk ikut serta
dalam persekutuan bersama Tuhan.
Selain alasan teologis di atas, Boangmanalu memaparkan beberapa alasan dogmatis
berikut ini: 1) Perjamuan Kudus dalam Perspektif Paskah. Paskah adalah perayaan
keluarga, sehingga peran anak tetap diikutsertakan. Dari alasan itulah, dapat dikatakan
bahwa tidak salah jika anak yang belum sidi di dalam Perjamuan Kudus; 2) Perjamuan
Kudus sebagai Persekutuan Terbuka dari Anugerah Allah. Perjamuan Kudus adalah
anugerah Allah. Oleh karena itu siapa saja dapat menerimanya tanpa syarat sidi terlebih
dulu. 3) Gambaran Meja Tuhan yang Eskhatologis. Perjamuan Kudus itu terbuka bagi
segenap orang yang percaya kepada Kristus, hal itu tercatat dalam Wahyu 19:9. Artinya,
Perjamuan Kudus itu tidak hanya diperuntukkan kepada orang yang sudah sidi saja, tapi
kepada siapa saja. Boangmanalu berpendapat bahwa seyogianya alasan dogmatis
demikian dapat menjadi perhatian komisi teologi dan liturgi-liturgi di Indonesia,
khususnya Gereja Batak.
Gereja pada “Zaman yang berubah” harus tetap terbuka melakukan
pembaharuan ajaran dan hasil rumusan oikumenis Gereja. Boangmanalu tiba pada
penghujung tulisannya, ia berpendapat bahwa seyogianya sebagai Gereja yang berada di
zaman yang terus berubah, gereja-gereja di Indonesia perlu melakukan pembaharuan
terus menerus rumusan oikumenis termasuk tentang Perjamuan Kudus. Gereja-gereja di
Indonesia berhimpun dalam satu wadah persekutuan yaitu PGI. Hasil rumusan PGI
terkait Perjamuan Kudus (sejak 1984 dan disempurnakan pada 1989) belum menyentuh
aspek keikutsertaan anak belum sidi dalam Perjamuan Kudus, dan kurang membuka
ranah kepada anak-anak untuk ambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Pada akhirnya,
Boangmanalu menegaskan bahwa gereja-gereja di Indonesia perlu tetap belajar dan
membenahi diri melalui hasil-hasil rumusan oikumenis gereja mengenai Perjamuan

4|STT Abdi Sabda Medan


Kudus, dalam rangka “pengembangan misi Gereja,” termasuk pengembangan liturgi yang
alternatif dan variatif.

III TANGGAPAN TERHADAP BACAAN DAN REKOMENDASI


Topik seputar Perjamuan Kudus bukanlah topik yang baru, melainkan topik yang sudah ada
sejak zaman Alkitab dan diperbincangkan hingga sekarang ini. Tampaknya, dari berbagai diskusi
yang berkepanjangan tentang Perjamuan Kudus, bukan memunculkan kesepahaman teologi
tentang topik Perjamuan Kudus, melainkan memunculkan berbagai perspektif yang berbeda-
beda (beragaman pandangan), bahkan tak jarang ada pemahaman yang salah tentang Perjamuan
Kudus.3 Salah satu topik seputar Perjamuan Kudus yang masih diperbincangkan bahkan
diperdebatkan hingga sekarang adalah perihal Perjamuan Kudus kepada anak yang belum sidi,
khususnya di kalangan gereja-gereja arus utama, termasuk gereja Batak (GKPS, 4 GKPA, dan
sebagainya). Sudah barang tentu, perdebatan ini tidak jarang melontarkan berbagai argumentasi
yang berasal dari latar belakang teologi yang berbeda-beda. Penolakan terhadap Perjamuan
Kudus anak ini menjadi polemik di tengah gereja, bahkan tak jarang hal ini dipandang sebagaii
topik yang kurang esensial sehingga kurang mendapatkan perhatian yang lebih. Perjamuan
Kudus anak sering dianggap remeh bahkan kurang penting, karena alasan yang paling dominan
adalah dikarenakan si anak belum naik sidi dan belum paham (secara kognitif) atau
penghayatannya kurang tentang peringatan kepada pengorbanan Yesus Kristus yang dirayakan
melalui Perjamuan Kudus di gereja. Oleh sebab itu, tidak jarang terjadi di gereja, ketika
Perjamuan Kudus dilakukan, anak-anak yang belum naik sidi hanya akan duduk di kursi dan
tidak menerima roti dan anggur Perjamuan Kudus. Dengan hadirnya tulisan Boangmanalu ini,
kiranya menolong Gereja-gereja di Indonesia, khususnya Gereja Batak untuk memahami lebih
dalam makna sebenarnya Perjamuan Kudus dan makna misiologis mengikutsertakan anak yang
belum sidi dalam Perjamuan Kudus dan mengaktualisasikannya dalam pengakuan serta
liturginya.

IV DAFTAR PUSTAKA
Boangmanalu, Jusen. “Perjamuan Kudus: Makna Misiologis Mengikutsertakan Anak yang
Belum Sidi.” Dalam Simanjuntak, Wilda (Ed.), Merangkai Teologi Kehidupan
Terkini. Pematangsiantar: L-SAPA, 2008.
Saragih, Jan Hotner, “Praktik Perjamuan Kudus di Gereja Kristen Protestan Simalungun
dalam Perspektif Dogmatika Lutheran,” Makalah Unpublished.

3
Menurut pengalaman empiris saya, tatkala saya ikut serta dalam Perjamuan Kudus (salah satunya Ketika
Perjamuan Kudus kepada orang sakit), ada jemaat yang beranggapan bahwa Perjamuan Kudus itu dilakukan sebagai
cara untuk mendatangkan kesembuhan kepada seseorang yang mengalami sakit penyakit. Perjamuan Kudus
dijadikan sebagai alat untuk memberikan kesembuhan (tatkala ia memakan roti dan anggur), maka disitulah terjadi
kesembuhan.
4
Dalam tulisannya berjudul: “Praktik Perjamuan Kudus di GKPS dalam Perspektif Dogmatika Lutheran,”
Unpublished, 9-10, 14. Jan Hotner menyebut bahwa hingga sekarang ini, dalam pelaksanaan Perjamuan Kudus,
GKPS masih terjadi pembeda-bedaan, di mana yang boleh mengikuti Perjamuan Kudus hanyalah anggota Sidi
GKPS pun non GKPS (Tata Gereja Bab III “Horja Banggal Na Pansing,” Pasal 17 nomor 1). Itu artinya, GKPS
belum terbuka terhadap mengikutsertakan anak yang belum sidi dalam Perjamuan Kudus.
5|STT Abdi Sabda Medan

Anda mungkin juga menyukai