Anda di halaman 1dari 4

Definisi umum tentang sakramen ialah bahwa sakramen merupakan tanda lahiriah

yang nampak, ditetapkan oleh Kristus, menyatakan dan menjanjikan suatu berkat rohani.
Sakramen secara pasti dapat diartikan terhadap ritus baptisan kudus dan perjamuan kudus
yang secara khusus memberi makna keselamatan. Istilah “sakramen” mengandung arti
“sumpah jabatan” atau “sumpah prajurit” atau “suatu rahasia ilahi”, “benda suci” atau
“perbuatan kudus”.

Pada zaman gereja mula-mula kata “sakramen” awalnya ditujukan kepada setiap
doktrin dan perundangan. Inilah alasan dari sebagian orang untuk menolak istilah sakramen,
dan memakai istilah “tanda”, “meterai”, atau “misteri”. Demikian juga dengan pemakaian
kata “sakramen” (yang dijabarkan dari kata sacer = kudus) juga mengandung arti perbuatan
atau perkara yang rahasia, yang kudus yang berhubungan dengan dewa. Hal ini juga
dihubungkan dengan keadaan religius masa itu, sebab pada zaman itu perbuatan-perbuatan
misterius dalam melakukan konsekrasi ditemukan dalam berbagai-bagai agama. Perbuatan-
perbuatan kudus gereja pada waktu itu muncul dalam derajat yang sama dengan hal-hal yang
misterius.

Sakramen merupakan saluran yang dipakai Allah untuk memberikan anugerahNya


kepada manusia berdosa. Agustinus memberikan defenisi tentang sakramen sebagai berikut :
“Sakramen adalah tanda kelihatan dari hal yang kudus ataupun bentuk yang kelihatan dari
kasih karunia yang tidak kelihatan”. Sakramen adalah peraturan kudus yang ditetapkan oleh
Kristus, di mana tanda-tanda yang bisa dilihat dan dirasa dari anugerah Allah di dalam
Kristus. Anugerah dalam sakramen dilambangkan, dimeteraikan dan diterapkan untuk orang
percaya yang pada gilirannya adalah untuk menyatakan iman dan kesetiaan mereka kepada
Tuhan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa sakramen adalah menerima anugerah yang
kelihatan dari Allah, yang tidak kelihatan yang diberikan kepada manusia berdosa.

Sejak zaman gereja mula-mula hingga abad pertengahan, ketentuan tentang jumlah
sakramen selalu berubah-ubah. Munculnya reformasi yang dilakukan oleh Martin Luhter,
meragukan akan keberadaan sakramen dalam gereja Katolik. Hal itu menjadi pokok
perdebatan antara para teolog pada zaman reformasi. Sakramen-sakramen gereja ternyata
mendapat perhatian yang lebih khusus dalam pembahasan-pembahasan, khususnya
menyangkut substansi sakramen tersebut, termasuk maknanya masing-masing, bahkan juga
menyangkut soal-soal praktis.
Sakramen adalah saluran anugerah Allah atau saluran kasih karunia Allah. Sakramen
adalah perjanjian anugerah atau perjanjian kasih karunia Allah tentang keselamatan manusia.
Sakramen menjadi saluran sukacita bagi setiap orang untuk memasuki suatu perjanjian
keselamatan dengan Allah. Oleh karena itu maka perjanjian keselamatan itu harus senantiasa
diterima, dijalani dan dilaksanakan dengan penuh kesetiaan dan penuh ucapan syukur
maupun sukacita. Maksudnya ialah bahwa setiap orang yang telah menerima baptisan dan
perjamuan kudus akan melihat sakramen sebagai perjanjian yang menyelamatkan, pernyataan
kesetiaan dan pengakuan iman dari setiap orang kepada Kristus yang mengasihi manusia.
Dalam gereja Protestan sakramen yang diakui adalah “Baptisan Kudus” dan
“Perjamuan Kudus ”. Allah yang mendirikan, menetapkan, memerintah, mensyahkan

1
baptisan itu dan perjamuan kudus, yang melaluinya Allah memberikan berkat dan
pengampunan dosa. Kedua jenis sakramen tersebut bertitik tolak dan berdasarkan pada
amanat penetapan, perintah dan perbuatan Yesus Kristus.
 Sakramen Baptisan Kudus
Penetapan baptisan kudus terdapat dalam Injil Matius 28:19 dan Markus 16:16,
Baptisan itu adalah saluran kemurahan Allah bagi manusia, anak-anak dan dewasa,
karena melalui baptisan itu gereja berdiri di tengah dunia ini, dan melalui iman
dijadikan layak menerima keampunan dosa, kelahiran kedua kali, kelepasan dari
kuasa maut dan dari kuasa iblis, dan memperoleh kebahagiaan kekal. Dan melalui
baptisan itu jugalah orang percaya dipersatukan ke dalam kematian dan
kebangkitan Tuhan Yesus, dan menerima kuasa Roh Kudus (Mrk. 10:14; Luk
18:16; Kis 2: 41; 10:48; 16:33; Rom. 6:4; 1 Kor 10:1-9; Tit. 3: 5; Ibr 11:29; 1
Ptr. 3:21).

Menurut Konfessi HKBP adanya pengajaran penting bahwa Baptisan adalah


“jalan pemberian anugerah” yang terpenting bukanlah cara, teknik atau tempatnya
dilaksanakan (kolam, sungai, danau dan sebagainya) atau bentuknya. Tetapi makna
dan berkat yang kita dapati dari baptisan itulah yang paling penting. Baptisan itu
bagaimanapun dilakukan dan dimanapun itu berlangsung adalah merupakan
saluran dari jaminan berkat keselamatan yang diberikan oleh kematian dan
kebangkitan Yesus Kristus. Berkat itu mengalir kepada orang-orang percaya
melewati saluran yang bermacam-macam. Adanya berkat dan anugerah serta janji
yang diberikan oleh Allah melalui baptisan, yaitu: keampunan dosa, kebaharuan
hidup, kelepasan dari kematian dan ikatan iblis serta keselamatan kekal.

HKBP juga mengenal yang dinamai Babtisan Darurat (Tardidi na hinipu)


hal ini bisa dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

Baptisan darurat dilakukan kepada anak-anak yang sakit keras, yang belum
sempat dibawa ke gereja untuk menerima baptisan. Di HKBP dirumuskan sebagai
berikut : Bila ada orang yang belum dibabtis yang sakit keras, dan orang tuanya
berkehendak anaknya dibaptiskan, dimintalah sintua.. setempat.. untuk…
melaksanakannya. Bila sintua setempat tidak bisa ditemui dimintalah sintua
tetangganya. Bila itu juga tidak ada, dicarilah anggota jemaat yang rajin kegereja
dan hidupnya saleh untuk melakukan pembaptisan. Bila anggota jemaat yang
seperti itu juga tidak sempat lagi dicari, orang tuanya juga boleh melakukan
pembaptisan itu, asal baptisan itu dilaksanakan dengan benar sesuai dengan
pemahaman HKBP. Bila itu yang terjadi, mereka hanya boleh membaptiskan tanpa
memberi berkat. Namun dalam situasi yang semakin maju sekarang ini, gereja
tidak lagi hanya ada di pedesaan, dan sudah banyak dikota, sekiranya ada anak
yang sakit keras, mereka bisa meminta pendeta untuk melakukan baptisan darurat.

Pendeta harus berusaha lebih dulu menghubungi sintua sekitar keluarga


tersebut, untuk sama-sama mengunjungi si anak yang sakit keras tersebut, dan
sebaiknya sintua yang melakukannya untuk menghubungi pendeta yang
2
bersangkutan. Tetapi bila itu tidak dapat dilakukan, bahkan guru huria, bibelvrow
atau diakones tidak bisa dihubungi, pendeta sendiri yang melakukan baptisan
darurat. Apabila anak itu meninggal, maka harus dilayani dengan liturgi HKBP.
Bila anak itu menjadi sehat, anak itu kemudian harus dibawa ke gereja pada waktu
kebaktian minggu waktu ada pembaptisan. Pada waktu anak itu dibawa ke depan
altar dihadapan pendeta, maka pendeta mengumumkan kepada jemaat sebagai
berikut : Saudara-saudara yang terkasih, kita bersyukur kepada Tuhan kita yang
maha pengasih yang menyembuhkan anak ini, karena pada waktu yang lalu anak
ini sakit keras dan telah dibaptiskan dengan baptisan darurat.

Oleh sebab itu, hanya berkat yang akan diberikan kepadanya, namun
namanya adalah:...................... (disebut nama anak itu, nama itu hanya
dibacakan tanpa baptis ulang). Kemudian pendeta memberkatinya.
 Sakramen Perjamuan Kudus
penetapan perjamuan kudus terdapat dalam Injil synoptis (Mat. 26:26-29; Mrk. 14:22-
25; Luk. 22:14-20) dan surat Rasul Paulus (I Kor. 11:23-25).

Dalam Konfessi HKBP dirumuskan bahwa kita percaya dan


menyaksikan, Perjamuan Kudus ialah : memakan roti, dengan roti dimana
(parhitean) kita terima daging dari Yesus Kristus Tuhan kita dan meminum
anggur, dengan anggur dimana kita terima darah Tuhan kita Yesus Kristus, supaya
kita peroleh keampunan dosa, hidup dan sejahtera (1 Kor 11:17-34); Mat 26; Mark
14; Luk 22). Dengan demikian Perjamuan Kudus hanya sebagai alat atau
media saja. Oleh karena itu, melalui Perjamuan Kudus manusia memperoleh
keampunan dosa. Melalui keampunan dosa menusia dituntut untuk hidup bersekutu
dan hidup dalam damai antara yang satu dengan yang lain.

Gereja Protestan pada umumnya lebih menekankan Perjauan Kudus sebagai


peringatan akan kematian dan pengorbanan Yesus bagi umat manusia. Adapun roti
dan anggur dalam sakramen yang berarti bahwa :
a. Roti ;
melambangkan Tubuh Kristus yang disalibkan. Makan tubuh Krists dalam
arti kita dipersatukan dengan Dia, dengan menerima apa yang dilakukanNya
bagi manusia (Yoh 6: 8-58). Makan roti mengingatkan bahwa Yesus
menjadi manusia supaya tubuh manusiawi itu disalibkan. Ia menderita dan
mati serta bangkit, untuk menciptakan tubuh baru yaitu jemaat Kristus.
b. Anggur
melambangkan darah Kristus yang ditumpahkan untuk menyucikan dosa-
dosa manusia. Darah ditumpahkan dari tubuh Yesus yang terpaku di kayu
salib untuk pengampunan atau penghapusan dosa seluruh manusia. Darah
yang adalah hidup, ditumpahkan agar memberi hidup kekal bagi manusia.
Minum anggur dari cawan pada saat Perjamuan Kudus, mengingatkan kita
bahwa Yesus sendiri telah minum cawan murka Allah yang seharusnya
diterima manusia

3
HKBP memahami bahwa Perjamuan Kudus dipahami sebagai “parhitean”
untuk menerima tubuh dan darah Kristus yang sebenarnya. Yesus tidak mengubah
hakikat roti dan anggur menjadi tubuh dan darahNya sendiri, juga tubuh dan darah
Yesus tidak melekat pada roti dan anggur, melainkan bahwa melalui Perjamuan
Kudus kita menerima tubuh dan darah Yesus yang masuk ke dalam tubuh rohani
kita, sedangkan roti dan anggur tersebut masuk ke dalam tubuh jasmaniah kita.
Artinya Perjamuan Kudus merupakan sarana menerima tubuh dan darah Kristus.
Melalui Perjamuan Kudus manusia diyakinkan bahwa dia tumbuh menjadi satu
tubuh dengan Kristus. Dengan demikian segala sesuatu yang adalah kepunyaan Dia
boleh kita namakan kepunyaan kita.
Melalui Perjamuan Kudus manusia diyakinkan bahwa kehidupan kekal yang
telah diwarisinya menjadi milik manusia dan bahwa Kerajaan Sorga yang telah
dimasuki-Nya tak dapat luput dari manusia sebagaimana tak dapat luput dari Dia.

Namun harus tetap diingat bahwa keselamatan bukanlah mutlak melalui sakramen.
Keselamatan adalah melalui iman di dalam Yesus Kristus (bnd. Yoh. 5:24 ; 6:29 ; 3:36 ; Kis.
16:31). Kuasa dari sakramen tidak terletak pada unsur-unsur yang digunakan (air, roti atau
anggur), tetapi pada Allah yang menjadi fokus dari tanda-tanda itu. Kuasanya tidak
tergantung pada karakter dari pada iman yang melaksanakannya, tetapi pada integritas Allah,
sebab sakramen tidak pernah dimaksudkan untuk berdiri sendiri tanpa disertai dengan Firman
Tuhan. Firman dan ketentuan atau perintah-perintah Allah dalam sakramen tersebutlah yang
membuat sakramen ada dan benar.

Anda mungkin juga menyukai