Pada zaman gereja mula-mula kata “sakramen” awalnya ditujukan kepada setiap doktrin dan perundangan. Inilah alasan dari sebagian orang untuk menolak istilah sakramen, dan memakai istilah “tanda”, “meterai”, atau “misteri”. Demikian juga dengan pemakaian kata “sakramen” (yang dijabarkan dari kata sacer = kudus) juga mengandung arti perbuatan atau perkara yang rahasia, yang kudus yang berhubungan dengan dewa. [3] Dalam gereja-gereja Lutheran, pada umumnya sakramen diadakan bukan sebagai tanda bahwa dengannya seseorang dapat dikatakan sebagai orang Kristen, melainkan agar sakramen tersebut menjadi tanda dan kesaksian akan kehendak Allah atas umat manusia (orang percaya) untuk meneguhkan iman kita.[4] Itu sebabnya dalam sakramen harus disertai dengan iman. Sakramen digunakan dengan benar apabila diterima dalam iman dan untuk meneguhkan iman itu sendiri. Hal ini juga dihubungkan dengan keadaan religius pada masa gereja mula-mula, sebab pada zaman itu perbuatan-perbuatan misterius dalam melakukan konsentrasi ditemukan dalam berbagai agama atau kepercayaan. Tindakan-tindakan gereja saat itu pada umumnya masih dipahami bersifat misterius.[5] Salah satu tokoh bapa gereja yaitu Agustinus memberikan defenisi tentang sakramen. Menurutnya, “Sakramen adalah tanda kelihatan dari hal yang kudus ataupun bentuk yang kelihatan dari kasih karunia yang tidak kelihatan”. Tanda-tanda yang kelihatan dari yang tidak kelihatan dari suatu hal suci; atau wujud yang kelihatan dari rahmat yang tidak kelihatan; Firman yang kelihatan. Tanda dan materei yang kelihatan dan suci yang ditentukan oleh Tuhan Allah, menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dijanjikan-Nya supaya iman kita dikuatkan, Ditetapkan Tuhan Allah untuk menguatkan persekutuan sesama anak-anak Allah. Sakramen memberikan anugerah dan mengu-dusan seseorang. Cara untuk mempersatukan seseorang manusia dengan Kristus, dan mempertahankan persatuan itu. Gereja mula-mula memberikan makna dan isi baru tentang sakramen, dengan pemahaman bahwa sakramen adalah suatu kesepakatan antara manusia dengan Tuhan Allah. Sehingga dengan menerima Sakramen, seseorang berjanji untuk hidup setia kepada Yesus Kristus. Pada zaman gereja mula-mula hingga abad pertengahan, ketentuan tentang jumlah sakramen selalu berubah-ubah. Munculnya reformasi yang dilakukan oleh Martin Luhter, meragukan akan keberadaan sakramen dalam gereja Katolik. Karena Katolik menyatakan ada 7 Sakramen , sedangkan Martin Luther menyatakan hanya ada 2 Sakramen yaitu : Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus. Hal itu menjadi pokok perdebatan antara para teolog pada zaman reformasi. Sakramen-sakramen gereja ternyata mendapat perhatian yang lebih khusus dalam pembahasan-pembahasan, khususnya menyangkut substansi sakramen tersebut, termasuk maknanya masing-masing, bahkan juga menyangkut soal-soal praktis.[6] Menurut gereja gereja Protestan, sakramen yang diakui adalah “Baptisan” dan “Perjamuan Kudus”. Allah yang mendirikan, menetapkan, memerintah, mensyahkan baptisan itu dan perjamuan kudus, yang melaluinya Allah memberikan berkat dan pengampunan dosa.[7]
3. Sejarah dan Makna Sakramen
Kedua jenis sakramen tersebut bertitik tolak dan berdasarkan pada amanat penetapan, perintah dan perbuatan Yesus Kristus. Penetapan Baptisan Kudus terdapat dalam Injil Matius 28:19 dan Markus 16:16, sedangkan penetapan Perjamuan Kudus terdapat dalam Injil synoptis (Mat. 26:26-29; Mrk. 14:22-25; Luk. 22:14-20) dan surat Rasul Paulus (I Kor. 11:23-25). Kuasa dari sakramen tidak terletak pada unsur-unsur yang digunakan (air, roti atau anggur), tetapi pada Allah yang menjadi fokus dari tanda-tanda itu. Kuasanya tidak tergantung pada karakter dari pada iman yang melaksanakannya, tetapi pada integritas Allah, sebab sakramen tidak pernah dimaksudkan untuk berdiri sendiri tanpa disertai dengan Firman Tuhan. Firman dan ketentuan atau perintah-perintah Allah dalam sakramen tersebutlah yang membuat sakramen ada dan benar.[8] Sejarah Perjamuan Kudus dalam Protestan. Istilah Perjamuan Kudus (bahasa Inggris: holy communion) digunakan oleh gereja Protestan. Perjamuan Kudus didasari pada perjamuan makan malam yang lazim di Israel Kuno. Selain hal tersebut terdapat makna dari ritus perjamuan malam dalam tradisi Israel kuno yang dilakukan untuk menghayati perbuatan Allah yang melepaskan nenek moyang mereka dari perbudakan di Mesir (Ul. 16:1 dst). Perjamuan itu mereka sebut Pesakh (Paskah) artinya “berlalu” atau “melewati”. Dalam Kel.12:13, Tuhan berjanji bahwa hukuman-Nya akan berlalu pada pintu-pintu yang diberi tanda dengan darah anak domba. Gereja Mula-mula atau orang-orang yang menjadi percaya setelah peristiwa Pentakosta setiap hari berkumpul untuk memecahkan roti yang disebut Perjamuan Kudus (Kisah 2:42). Apa yang mereka lakukan ini diimani sebagai perintah dari Tuhan Yesus. Gereja melakukan atau melaksanakan Perjamuan Kudus sebagai peringatan terhadap penderitaan dan juga kematian serta kebangkitan yang Tuhan Yesus alami, sampai Ia datang kedua kali (1 Kor. 11:28). Dalam tradisi Perjanjian Baru, Perjamuan berasal dari Perjamuan yang diadakan Tuhan Yesus beserta murid-muridNya pada malam Ia ditangkap untuk disalibkan (1 Kor. 11:23; Mrk 14:22; Mat 26:26; Luk 22:14). Oleh karena itu Perjamuan Kudus menghadapkan kepada kematian Yesus dan kebangkitanNya yang telah nyata, bahwa kematian-Nya itu telah menerbitkan keselamatan bagi yang mempercayainya.[9]