Anda di halaman 1dari 15

HOMILITIKA DAN LITURGIKA

Miracle N M Korompis
NIM : 202141458

DOSEN PEMGAMPU :
Pdt. Meitha B. A Maliangkay. M.Th
FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON


2023
“ETIMOLOGI LITURGIKA DAN FUNGSI MUSIK DAN NYANYIAN DALAM LITURGI”

a. Liturgika
Gereja memiliki peran yang amat menentukan perwujudan Injil Yesus Kristus
kepada semua orang secara khusus kepada warga jemaat yang ada di dalam berbagai
kesempatan peribadatan. Peribadatan bukan hanya sebagai rutinitas keagamaan tetapi
juga meru pakan wujud respon manusia sebagai ciptaan kepada Allah Sang Pencipta.
1. Umat Kristen memaknai ibadah sebagai tanggapan manusia atas anugerah
keselamatan yang telah diberikan oleh Allah melalui Yesus Kristus
2. Namun demikian ibadah bukan hanya berkaitan dengan relasi manusia dengan
Allah, tetapi juga berkaitan dengan relasi manusia dengan sesamanya atau
bagi dunia. Kesadaran dan kesediaan manusia untuk menjumpai Allah dalam
ibadah berarti juga kesadaran dan kese- diaan manusia untuk ambil bagian
dalam misi Allah bagi dunia ini
3. Sebagian besar Ibadah Kristen yang diselenggarakan di gereja-gereja di dunia,
memiliki struktur yang teratur. Struktur tersebut disebut liturgi.
Liturgi memiliki bentuk tertentu dan tersusun atas unsur-unsur liturgis. Thomas H.
Schattauer, sebagaimana disebutkan oleh Stephen Bevans dan Roger Schroeder,
mengatakan bahwa ada tiga kemungkinan relasi antara liturgi dan misi. Ketiganya
yaitu, yang di dalam dan yang di luar, yang di luar ke dalam dan yang di dalam ke
luar. Kemungkinan pertama berarti liturgi (sebagai yang di dalam) memberdayakan
dan menyiapkan orang-orang Kristen bagi misi yang di luar. Kemungkinan ke dua
berarti hal- hal yang terjadi di luar, yaitu di tengah-tengah dunia, dibawa masuk ke
dalam kehidupan gereja di dalam liturgi. Kemungkinan ke tiga Kemungkinan ke tiga
berarti bahwa apa yang diperoleh di dalam liturgi, dibawa ke luar, ke tengah-tengah
dunia di dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Kristen. Ketiga relasi tersebut
menunjukkan bahwa bagaimanapun liturgi itu dimaknai, liturgi selalu berperan bagi
terwujudnya misi Allah yang direpresentasikan melalui misi Gereja.

b. Musik dan Nyanyian dalam liturgy


Music memegang peranan yang sangat penting di dalam kehidupan, selama ini
music selalu menjadi bagian dari peradaban manusia. Dalam agama Kristen sendiri
music dan nyanyian adalah suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam
persekutuan ibadah umat Kristen. Alkitab menyaksikan dengan jelas bahwa music
baik instumen maupun paduan suara adalah sebagai unsur-unsur yang mempunyai
tempatnya yang tepat dalam ibadah umum. Music membuat pendengar menaruh
perhatian bahkan music mampu mempengaruhi pendengarnya. Proses dalam
mendengar music yaitu pertama persepsi. Dimana suara music di tangkap oleh
telinga. Kedua, sensasi yakni dari telinga diteruskan ke otak. Dan yang ketiga reaksi
atau tanggapan. Setelah sampai ke otak akan segera diikuti reaksi atau tanggapan
yaitu tanggapan mental (mengerti, mengherankan, membingungkan) tanggapan emosi
(sukacita, marah, ketakutan, kepuasan), dan tanggapan fisik (senang, tertawa, bahkan
menangis. Oleh karena itu music menjdadi bagian yang begitu penting juga dalam
ibadah.
Dalam Alkitab sendiri memberi tekanan istimewa kepada music. Pemazmur
berkata bahwa kita memuliakan Allah di tempatnya yang kudus dengan sangka kala,
gambus, kecapi, dan tari-tariaan, seruling serta ceracak-ceracak yang berdenting dan
Pujilah Dia. Dalam Efesus 5:19 Rasul Paulus menulis bahwa kita menggunakan
mazmur, kidung pujian rohani yang dilakukan dengan segenap hati. Dan juga
beberapa kisah dalam alkitab bahwa music memiliki peranan pentinng dalam
khidupan dan ibadah bangsa Israel. Ada beberapa kegunaan musik pada zaman
Alkitab yaitu menyongsong seorang saudara (Luk. 15:25-27), berpisah dengan
saudara (Kej. 31:27-28), menangisi kematian seorang saudara (Mat. 9:18, 23, 24),
meringankan dan mempercepat pekerjaan (Yes. 16:10), bermain-main (Mat. 11:16-
17), mengejek seseorang (Ayub. 30:9-10), memeriahkan suatu pesta (Yes. 5:12), turut
menyembuhkan orang sakit (1 Sam. 16:23), menobatkan seorang raja baru (1 Raj.
1:39-40), memberi hiburan di istana raja (2 Sam. 19:33-35), menangisi kematian
seorang raja (2 Taw. 35:23-25), memberi tanda atau aba-aba (Bil. 10:1-7), menambah
semangat berperang (Hak. 7:19-21), merayakan kemenangan atas perang (2 Taw.
20:27-28), menyongsong seorang pahlawan perang (Hak. 11:32-34), mengiringi arak-
arakan (1 Taw. 13:7-8), menolong umat mengingat ajaran Tuhan (Ul. 31:19-22),
memuji-muji Tuhan dan mengucapkan syukur kepada-Nya (Ezr. 3:10-11) Dari
penjelasan di atas jelas bahwa musik sering dipakai umat Tuhan secara pribadi untuk
memuji Dia. Tetapi musik juga sering dipakai umat Tuhan saat beribadah kepada Dia.
Hal ini nyata dalam ibadah Israel di Bait Suci. Dimana orang-orang lewi dikhususkan
untuk melayani Tuhan melalui pujian dan alat-alat musik (Maz. 149:3, Maz. 150:3-5).
Selain itu penggunaan musik dalam memuji Tuhan adalah perintah dari Allah.
A. Etimologi Liturgika
Secara etimologis istilah liturgi berasal dari bahasa Yunani, yaitu leitourgia
(leitourgia). Kata leitourgia ini berasal dari dua kata, leitos (leitos) kata sifat dari laos (laos)
yang berarti bangsa, masyarakat atau negara, dan ergon (ergon) yang berarti karya, fungsi
atau pelayanan. Sehingga leitourgia berarti fungsi umum atau proyek negara. Leitourgia juga
berarti kerja atau pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa oleh pribadi-pribadi.
Dalam masyarakat Yunani kuno, kata leitourgia itu menunjukkan karya pembaktian yang
tidak dibayar, sumbangan orang yang kaya atau pajak untuk masyarakat atau negara. Dalam
perkembangan pada zaman hellenistik, kata leitourgia mempunyai arti yang lebih luas,
termasuk pelayanan yang dilaksanakan oleh para budak kepada majikan mereka dan juga
perbuatan-perbuatan kecil yang mereka laksanakan terhadap teman-teman. Jadi kata
leitourgia pada mulanya mempunyai arti profan-politis, dan bukan kultis seperti yang
dipahami pada masa ini. Dan pada abad ke 4 SM, kata leitourgia semakin diperluas
mencakup berbagai macam karya pelayanan.
Istilah leitourgia mendapat arti kultis sejak abad ke 2 SM, yang berarti pelayanan
ibadat. Kata ini dipakai dalam penerjemahan Kitab Suci dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani
(Teks Septuaginta). Teks Septuaginta memakai kata liturgi sebayak 170 kali untuk menunjuk
ibadat kaum Lewi. Ini sesuai dengan pengertian ibadat kamu Lewi sebagai institusi ilahi yang
dipercayakan kepada bangsawan Israel, para imam kaum Lewi.
Maka dari sinilah muncul nama yang kemudian disebut Liturgi Kristen yang
kesimpulannya menunjukkan bahwa liturgy adalah pelayanan kepada Allah dan sesama.
Sebagaimana juga pemahaman Paulus, liturgi tidak terbatas pada perayaan gereja. Istilah
liturgi malah telah diterima secara umum untuk menyebut ibadah Kristen, misalnya liturgy of
word untuk untuk pemberitaan firman.
Selain liturgi, kata dalam bahasa Indonesia yang sejajar ialah “kebaktian”. Bhakti
(sansekerta) ialah perbuatan yang menyatakan setia dan hormat, memperhambakan diri,
perbuatan baik. Bhakti dapat ditujukan baik untuk seseorang, Negara, maupun untuk Tuhan
yang dilakukan dengan sukarela. Istilah ini digunakan misalnya untuk menyebut kebaktian
Natal. Kata ibadah, misalnya ibadah minggu, berasal dari bahasa Arab, yakni ebdu atau abdu
(abdi= hamba). Kata ini sejajar dengan kata bahasa Ibrani, abodah (ebed=hamba), yang
artinya perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Tuhan. Ibadah terkait seerat-eratnya
dengan suatu kegiatan manusia kepada Allah, yakni dengan pelayanan kepada
Tuhan.Christoph Barth (1917-1986) tidak membedakan pemakaian “kebaktian”, “ibadah”
dan “pengabdian” untuk menyatakan sikap hidup hamba Allah dan untuk menghayati hidup
beragama, pengabdian yang dimaksud ialah pelayanan kepada Tuhan berupa kebaktian atau
ibadah. Pemahaman ibadah atau kebaktian tidak terbatas pada sisi selebrasi yakni upacara
bagi Tuhan tetapi mengandung “perbuatan tunduk dan hormat”. Pada satu pihak kebaktian
mempunyai makna terbatas pada upacara agama dalam bentuk perayaan. Pada pihak lain
kebaktian mempunyai makna luas yakni sikap hidup sebagai pelayan Tuhan. Sikap hidup ini
menyangkut tabiat, perbuatan, karakter, pola pikir yang ditunjukan secara utuh dan nyata oleh
orang percaya di dalam dunia.
konotasi kata-kata tersebut. Kata “liturgi” lebih sering digunakan dalam kaitan dengan
disiplin ilmu atau tata cara resmi dan agung sebagaimana dalam Gereja Katolik Roma. Kata
kebaktian lebih sering digunakan untuk menunjuk kegiatan perayaan peribadahan. Sementara
itu kata “ibadah” cenderung digunakan secara umum untuk menunjuk perayaan agama
apapun, bahkan agama-agama tradisi dan agama suku.
Liturgy adalah kreasi teologis yang sekaligus teoritis dan praksis. Yang pertama tak
dapat berjalann tanpa yang kedua. Jika liturgy hanya berupa teori pada teolog, ia hanyalah
sebuah dogma. Padahal, teologi adalah juga praksis gereja. Gereja sebagai tubuh Kristus
menjadi nyata melalui sikap para anggotanya yang telah diperbaharui. Teologi sebagai ilmu,
misi, dan pembaruan spritualitas adalah tritunggal dalam liturgy kesatuan tersebut terangkum
di dalamnya secara pastoral. Konsep yang lebih tegas tentang hal tersebut terbaca dalam
uraian berikut ini.
Tidaklah cukup membatasi praktik yang dengannya si teolog praktika melibatkan diri
pada sub bidang tradisional, yaitu homilitika, liturgika, kateketika dan pastoral. Tidaklah
cukup kalau praktik kristiani dianggap sekedar pelaksanaan tugas tradisional dan diakui
dalam struktur gerejawi yang tak diragukan atau sekedar kegiatan gerejawi yang
memantulkan dan mensahkan orde yang mapan.
Kegiatan berliturgi tidak memisahkan antara tindakan dan perayaan antara praktik dan
teori, antara kelakuan dan meditasi, antara praksis dan refleksi. Dalam kerangka pemikiran
yang lebih luas, teologi dipahami sebagai usaha untuk mengenal Allah sambil berjuang untuk
melaksanakan kehendak-Nya. Teologi harus juga melibatkan diri dengan kegiatan Allah
maupun kegiatan manusia. Hal itu ditampilkan dalam liturgy. Berdasarkan kajian G. Riemer,
maka kata leiturgi yang dipakai dalam Alkitab mempunyai beragam pengertian. Artinya
pengunaan kata leiturgia dalam Alkitab tidak menunjuk pada satu pengertian. Untuk
memastikan apakah benar demikian maka kita memperhatikannya dalam perjanjian lama dan
baru: Menurut G. Riemer, Liturgi berasal dari bahasa Yunani, Leiturgia. Kata ini berasal dari
kata kerja Leitourgeo artinya melayani, melaksanakan tugas dinas, memegang jabatan. Secara
literal/harfiah kata Leiturgia berasal dari dua kata Yunani, yaitu Leitos/laos yang berarti
rakyat, umat dan kata kedua, yaitu ergon yang berarti pekerjaan, perbuatan, tugas. Jadi
pengertian kata Leiturgi menurut dua kata ini berarti orang yang melakukan suatu pekerjaan
untuk rakyat. Dengan kata lain, kata leiturgi dipakai dalam konteks aktivitas seseorang yang
diperuntukkan untuk kepentingan orang banyak. Menurut Riemer, leiturgia juga dipakai
dalam bahasa umum negara, seperti penggunaan kata leiturgi untuk menunjuk tugas raja yang
berkarya bagi rakyatnya. Selain itu tugas- tugas yang dilakukan oleh para pejabat negara,
seperti tugas gubernur, camat, kepala desa dan lain-lain. Kata leiturgi juga dipakai dalam
bidang yang kurang resmi, misalnya seseorang yang mengatur pesta rakyat atau pertandingan
olah raga di kampung. Tugas yang dilakukan terakhir juga disebut leiturgia dalam bahasa
Yunani kuno.
B. Fungsi Musik dan Nyanyian dalam Liturgi
Bila dilihat dari fungsi musik secara umum. Musik adalah sarana untuk mengobyektifkan
pengalaman batin seseorang sehingga dapat dipahami atau dimengerti maknanya. Dalam hal
ini berarti musik memberikan fungsi lain yaitu sebagai media komunikasi yang bersifat
simbolik (Rusmansyah, 2009, p. 14). Menurut Plato (427-347SM) yang dapat disebut musik
sejati hanyalah musik vocal. Karena kata-katalah yang dapat menyentuh batin manusia dan
membentuk ethos jiwanya. Dapat dikatakan musik itu terkait dengan keindahan dan batin
manusia (Lontoh, 2016, p. 7). Menurut Aristoteles (384-322SM) musik pada manusia itu
memiliki pengaruh antara Lain
1) sebagai suatu sarana hiburan yang menyenangkan, dalam arti bahwa melalui musik
manusia mampu melupakan kesusahan hidupnya,
2) musik sebagai suatu pembentukan watak, karena sifat musik yang harmonis dan rintis
mampu mempengaruhi perilaku manusia, dan
3) musik dapat menjadi alat untuk mencapai kemajuan dan kebahagiaan rohani (Lontoh,
2016, p. 8).
Paul Hamil, seorang pakar musik di dalam bukunya “The Christian and His Music”, yang
dikutip oleh Rumansyah mengatakan bahwa musik itu dapat mempertajam syaraf-syaraf
panca indra kita, hal ini juga dikuatkan oleh penelitian di sebuah garment di Colorado,
Amerika Serikat, di mana setiap karyawannya yang mendengarkan ritme dari lagu-lagu
tertentu, ternyata produktivitasnya meningkat menjadi 10% dari sebelumnya (Rusmansyah,
2009, p. 15). Sedangkan dari penelitian ahli lain yaitu Henver mengatakan bahwa
harmonisasi musik yang buruk dan kompleks dapat menekan dan membuat sedih seseorang,
sedangkan harmonisasi musik yang sederhana dan senada akan membawa seseorang bahagia,
serasi, cerah, dan harmonis (Rusmansyah, 2009, p. 15).Menurut Bruce Leafblead tujuan dari
musik dalam gereja bukan untuk entertainment dan juga bukan untuk mempertahankan
kebudayaan maupun tradisi dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, melainkan sebagai
pelayanan terhadap Allah semata (Leafblad, 1999, pp. 5-7).Bila kita perhatikan lebih dalam
lagi ibadah itu di dalam kekristenan adalah penghormatan atau penghargaan kita kepada
Tuhan, karena sejatinya kita ini memang diciptakan untuk menjadi penyembah-
penyembahnya. Dalam hal tersebut penulis memiliki alasan seperti apa yang The
International Standard Encyclopedia telah definisikan dari kata “ibadah” sebagai “kemuliaan
dan penghormatan dalam pikiran, perasaan, atau tindakan yang dilakukan oleh manusia,
malaikat-malaikat yang ditunjukan semata-mata hanya kepada Allah saja.” Hal senada juga
dituliskan di dalam Webster Dictionary edisi kedua tentang definisi ibadah (Rusmansyah,
2009, p. 66). Evelyn Underhill mendefinisikan ibadah sebagai “penyembahan manusia yang
total sebagai bentuk ekspresi atau respons atau tanggapan kepada Allah yang kekal”
(Rusmansyah, 2009, p. 67). Secara konsep sederhana istilah ibadah itu adalah pelayanan.
Pelayanan disini bukan sekedar penyembahan semata akan tetapi juga melayani kepada
sesama manusia juga. Misalnya kita lihat di (Matius 5:23-24; Lukas 10:25-37) di mana
Ibadah itu tidak hanya sekedar memberikan persembahan semata akan tetapi harus ada wujud
kasih yang di munculkan. Bahkan Yohanes 4:20-24 menuliskan bahwa beribadah itu harus
dengan roh dan kebenaran. Jadi ibadah itu harus memiliki hati yang menyembah, hidup
dalam kekudusan, dan juga harus hidup bersama persekutan orang-orang percaya dengan
saling memperhatikan satu dengan yang lainnya.

Tiga dampak penting yang dimengerti dalam hubungan Musik Rohani, Ibadah & Pujian
Penyembahan (Lontoh, 2016, pp. 9-10).
1. Dampak Secara Vertikal (kepada Tuhan) Pujian dan Penyembahan bukan ditujukan
untuk manusia, tetapi utamanya ditujukan kepada Tuhan, maka dari itu kita akan
masuk dalam hadirat Allah, disaat Hadirat Allah ada, maka akan ada:
a) Kepenuhan Roh Kudus, urapan Roh Kudus, ada Kuasa Roh Kudus,
b) Akan ada Jamahan, Kesembuhan, Kelepasan,
c) Akan ada proses Perubahan (Transformasi), Pemulihan (Restoration) dan
Kegerakan (Revival) bahkan Pembersihan,
d) Akan ada keterbukaan saluran komunikasi dengan Tuhan.
2. Dampak secara Horizontal (kepada sesama jemaat) Mazmur 133 disebutkan bahwa
Pujian dan Penyembahan dapat mempersatukan, mempererat, dan dapat memperoleh
rasa kesatuan sesama anggota Tubuh Kristus. Di dalam hal tersebut memiliki makna
bahwa Musik tidak bisa lagi dibatasi, baik itu terikat kepada Denominasi maupun
aliran Gereja. Sehingga jemaat dapat lebih leluasa untuk menaikkan lagu pujian dan
penyembahan kepada Tuhan.
3. Dampak kepada Pribadi Disaat pujian dan penyembahan itu dinaikkan maka ada
dampak juga secara pribadi yang tidak dapat dielakkan yaitu, akan adanya Sukacita
(Mzm. 126:1-2), akan ada Pemulihan (Neh. 7:1, 66), akan menambah dan
memperkuat Iman kita (Rm. 10:17), kita semakin bertumbuh juga dalam kekudusan
kita (Mzm. 22:3). Harold Best, dekan dari The Wheaton Conservatory of Music,
dengan tegas mengatakan bahwa: “Music is also an act of worship” (Rusmansyah,
2009, p. 68). Dari permainan musik dan lagu yang pada saat ibadah itu berlangsung
sebenarnya menggambarkan seluruh yang kita rasakan untuk diugkapkan kepada
Tuhan. Dari musik yang dibawakan juga dapat menjadi perenungan bagi setiap jemat
yang mengikuti. Tidak saja jemaat bahkan pelayan yang mengambil bagian dalam
ibadah tersebut.
Bahkan musik memiliki pengaruh yang sangat kuat. Hampir semua gereja memakai musik
dalam ibadah. Fungsi musik dalam ibadah di gereja yaitu:
1. Dengan adanya musik akan menumbuhkan semangat jemaat dalam memuji dan
menyembah Tuhan.
2. Dengan adanya musik maka jemaat akan mudah dibawa dalam hadirat Tuhan yang
kudus.
3. Musik dapat membangkitkan emosi jemaat dalam memuji dan menyembah.
4. Musik dapat menolong kekompakan jamaat dalam memuji Tuhan.
5. Musik dapat menciptakan suasana ibadah yang tertib dan teratur.
Tetapi dari pada itu semua juga music ini adalah karya seni yang menjadi Alat bantu dalam
beribadah, maka hal itu perlu dilakukan dengan kerendahan hati dan dalam kesederhanaan
yang mengantar kita pada kemuliaan Allah, bukan sesuatu yang dilakukan dengan semarak
cemerlang tetapi hanya untuk keagungan manusia dalam hal ini untuk menunjukkan
kehebatan manusia dalam memainkan alat-alat music. Oleh karena ibadah yang berkualitas
bukan ditentukan oleh semaraknya, melainkan kehikmatannya, sehingga setiap orang yang
beribadah merasakan dengan sungguh bahwa music menunjang pemahaman dan penghayatan
akan kemuliaan Tuhan yang disembah. Dan music sebagai karena seni akan membantu
jemaat agar sungguh-sungguh bertumbuh dalam iman dan terus memberi manfaat
kerohaniaan bagi anggota jemaat.

LITURGI PERJANJIN LAMA


Konsep Liturgi dalam Perjanjian Lama atau tata cara ibadah muncul dalam Perjanjian Lama
dimulai dari peristiwa Habel memberikan persembahan kepada Allah (Kej 4:4). Salah satu contoh tata
cara yang dilakukan menyembah kepada Allah yakni dengan memberikan korban bakaran (Kejadian
8:20). Dari tata cara ibadah secara pribadi, kemudian berkembang liturgi secara umum atau bersama-
sama yang dilakukan oleh bangsa Israel. Dalam Perjanjian Lama kata Liturgi menunjuk kepada
pelayanan para imam di Bait Suci yang menekankan kesetiaan, ketaatan, penyerahan diri
seorang hamba kepada tuannya. Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa ibadah secara
mendasar adalah merupakan satu respons sebagai pribadi atau sebagai jemaat kepada
perbuatan Allah yang Mahatinggi.
Struktur dan unsur-unsur Liturgi
Aspek yang di- perhatikan di sini ialah urutan dan isi unsur-unsur ibadah seperti:
Isi dan peranan doa-doa (misalnya doa syafaat);
Musik dan lagu dalam ibadah;
Peranan paduan suara dalam ibadah;
Fungsi dan makna simbol-simbol seperti jubah pendeta (apakah toga dan stola
perlu dipakai);
Bagaimana penataan ruang ibadah, dan lain-lain.
Dalam liturgika juga diperhatikan susunan tahun gerejawi dengan urutan hari raya
gerejawinya.

Contoh-contoh Liturgi dala Perjanjian Lama


1). Upacara Korban.
Banyak bagian dari Kitab Imamat dan Kitab Bilangan menjelaskan secara rinci upacara-
upacara korban yang harus dilakukan oleh para imam dan orang-orang Israel. Contoh:
Bilangan 7:1-89 tentang “Persembahan pada waktu pentahbisan Kemah Suci”
2). Ibadah di Bait Suci.
Kitab Imamat merinci tugas-tugas imam-imam dalam memimpin ibadah di Bait Suci,
termasuk persembahan khusus, pengorbanan, dan penyucian diri sebelum memasuki Bait
Allah. Contoh: Imamat 17:1-11 tentang
“Tempat menyembelih dan mempersembahkan korban”
3). Doa Paskah.
Kitab Keluaran memberikan instruksi tentang perayaan Paskah, yang melibatkan
penyembelihan dan makan domba serta roti yang tidak beragi, sebagai peringatan
pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir.
Contoh: Keluaran 12:1-12 “Tentang perayaan Paskah”
4). Ibadah di Rumah Ibadat.
Kitab Mazmur berisi banyak nyanyian dan doa yang digunakan dalam ibadah di rumah
ibadat. Mazmur-mazmur ini sering digunakan dalam konteks liturgi. Contoh: Mazmur 100:1-
5 “Pujilah Tuhan dalam bait-Nya”
5).Yom Kippur (Hari Pendamaian).
Ini adalah hari suci dalam agama Yahudi yang diatur dalam Kitab Imamat. Selama Yom
Kippur, serangkaian upacara liturgis dilakukan, termasuk pengorbanan khusus dan pengakuan
dosa.
Contoh: Imamat 16:1-34 “Hari raya Pendamaian”
6). Festival-festival Agama.
Kitab Imamat dan Kitab Bilangan juga merinci perayaan-perayaan dan festival-festival
agama seperti Hari Raya Pondok Daun (Sukkot) dan Hari Raya Pentakosta. Contoh : Imamat
23:42-43
Peran penting dari Liturgi
Liturgi adalah pusat pelayanan kepada jemaat, di dalam melaksanakan ibadah, jemaat
distimulasi untuk berinteraksi dengan Tuhan, sehingga setiap ibadah dapat menjadi pengisian
jiwa jemaat dengan kehadiran Tuhan, Di dalam Liturgi, jemaat mempersembahkan pujian dan
penyembahannya kepada Tuhan serta mengucapkan pengakuan dan kesaksian iman yang
merupakan pilar dari kehidupan imannya, Di dalam Liturgi, gereja dapat menyampaikan
Firman Tuhan yang merupakan pesan Tuhan dan makanan rohani jemaat

LITURGI DALAM PERJANJIAN BARU


Dalam Perjanjian Baru, kata ‘liturgi’ mencakup tiga hal, yaitu ibadat, pewartaan dan
pelayanan kasih yang merupakan partisipasi Gereja dalam meneruskan tugas Kristus sebagai
Imam, Nabi dan Raja. Liturgi dalam Perjanjian Baru dapat dihubungkan dengan pelayanan
kepada Allah dan sesama. Pelayanan itu tidak dibatasi hanya pada bidang-bidang ibadah saja,
tetapi juga pada aneka bidang kehidupan lain.
Liturgi menurut Rasul Paulus
Di awal Masehi, Rasul Paulus menggunakan kata liturgi untuk jasa pelayanan orang-orang
seiman baginya. Dalam Filipi 2 : 30, Sebab oleh karena pekerjaan Kristus ia nyaris mati dan
ia mempertaruhkan jiwanya untuk memenuhi apa yang masih kurang dalam pelayananmu
(LEITURGIA) kepadaku. Kemudian Istilah LEITOURGIA mendapatkan arti khusus yaitu
arti kultis pelayanan kepada Allah dan lebih khusus lagi pelayanan pada Ekaristi (Perjamuan
Kudus). Selanjutnya, surat kepada jemaat di Ibrani merupakan kitab yang paling sering
menggunakan kata liturgi (sebanyak 3 kali dalam Ibrani 8 : 6 ; Ibrani 9 : 21 ; Ibrani 10 : 11).
Memang surat Ibrani masih menggunakan kata leitourgia dan leitourgein menurut arti
pelayanan imam, tetapi kedua kata itu kini telah mendapat konteks yang sama sekali baru.
Paulus penulis surat Ibrani menggunakan kata leitourgia untuk menjelaskan makna imamat
Yesus Kristus sebagai satu-satunya imamat Perjanjian Baru. Imamat Kristus merupakan
pelayanan yang jauh lebih agung dan berdaya guna dibandingkan dengan pelayan imam
Perjanjian Lama. Oleh karena itu, imamat dan tata liturgi Perjanjian Lama sudah tidak
berlaku lagi, sebab Kristus adalah satu-satunya pelayan (leitourgos), tempat kudus dan kemah
sejati (Ibrani 8 : 2). “yang pertama Ia hapuskan, supaya menegakkan yang kedua. Dan karena
kehendak-Nya inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan
tubuh Yesus Kristus” (Ibrani 10 : 9-10).
Makna dan Konteks Liturgi dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru, penggunaan kata leitourgia atau leitourgein memiliki beberapa makna
yang berbeda-beda, contohnya :
- Kisah para rasul 13 : 2, LEITOURGIA dengan kata kerja/ verba-nya: λειτουργέω -
LEITOURGEÔ menunjuk kepada kegiatan ibadah atau doa Kristiani.Kisah para rasul 13 : 2,
Pada suatu hari ketika mereka beribadah (LEITOURGEÔ) kepada Tuhan dan berpuasa,
berkatalah Roh Kudus: "Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah
Kutentukan bagi mereka.“
- Roma 15 : 27, verba: "LEITOURGEÔ" berarti tindakan memberikan sumbangan yang
merupakan tindakan pelayanan amal kasih bagi saudara-saudara seiman. Roma 15 : 27,
Keputusan itu memang telah mereka ambil, tetapi itu adalah kewajiban mereka. Sebab, jika
bangsa-bangsa lain telah beroleh bagian dalam harta rohani orang Yahudi, maka wajiblah
juga bangsa-bangsa lain itu melayani (LEITOURGEÔ)
- 2 Korintus 9:12, nomina feminine: "LEITOURGIA" berarti sumbangan yang merupakan
tindakan pelayanan amal kasih bagi saudara-saudara seiman :2 Korintus 9 : 1, Sebab
pelayanan kasih yang berisi pemberian (LEITOURGIA) ini bukan hanya mencukupkan
keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi juga melimpahkan ucapan syukur kepada
Allah.
- Roma 15 : 16, LEITOURGIA bentuk nomina maskulin : λειτουργός - LEITOURGOS
berarti pelayanan dalam bidang pewartaan Injil. Roma 15 : 16, yaitu bahwa aku boleh
menjadi pelayan (LEITOURGOS) Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi dalam
pelayanan pemberitaan Injil Allah, supaya bangsa-bangsa bukan Yahudi dapat diterima oleh
Allah sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, yang disucikan oleh Roh Kudus.

LITURGIKA ABAD REFORMASI DAN PASCA REFORMASI

Reformasi yang digulirkan oleh Martin Luther pada tahun 1517 pertama-tama bukanlah suatu
upaya untuk memperbarui liturgi gereja. Sebab Martin Luther semula bergumul dengan
masalah keselamatan yang diajarkan oleh gereja Katolik yang waktu itu dicapai melalui
perbuatan amal. [1]. Juga dia berulangkali mengaku dosa di hadapan imam, tetapi semuanya
tidak membawa damai di dalam hatinya. Yang mana waktu itu beberapa pihak seperti yang
dilakukan John Tetzel melakukan penjualan surat pengampunan dosa, sehingga gereja berada
dalam kesuraman rohani. Dalam pergumulan imannya, Luther kemudian menemukan makna
keselamatan melalui pembacaan Alkitab, khususnya dari Rom. 1:17 yang menyatakan:
“Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada
iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rom. 1:17). Dalam
pembaruannya, para reformator juga menolak struktur hirarkhi gereja yang dianggap
bertentangan dengan Alkitab Perjanjian Baru[2] ). Titik tolak utama dan prinsip reformasi
gereja adalah “kembali kepada Alkitab” (back to the Bible). Dengan menempatkan Alkitab
sebagai dasar pijakan satu-satunya (sola scriptura), maka perlahan-lahan gerakan reformasi
gereja pada abad XVI mengadakan pembaruan dalam berbagai bidang kehidupan gereja.
Umat diajak untuk melihat kekayaan dan wibawa Alkitab sebagai firman Allah yang
menuntun kepada keselamatan. Alkitab menjadi titik tolak dan “world view” untuk menilai
secara kritis segala sesuatu yang selama ini biasa dilakukan oleh gereja. Misalnya Luther
membersihkan gereja dari unsur-unsur kafir dan embel-embel zaman. Patung-patung dan
gambar-gambar orang kudus dalam gereja harus dihilangkan[3]. Dengan langkah-langkah
pembaruan tersebut, gerakan reformasi gereja pada abad XVI juga membarui liturgi.
Pembaruan dalam Pemberitaan Firman
Pembaruan liturgi yang utama dalam reformasi gereja abad XVI adalah pemberitaan firman.
Dengan pemahaman teologis yang dia temukan dari Alkitab, Martin Luther ingin
menempatkan pemberitaan firman seperti corak ibadah yang telah dilakukan oleh gereja
perdana dan para bapa gereja. Dalam hal ini Martin Luther menekankan perlunya pembacaan
Alkitab secara selektif (lectio selecta) dan teratur dari Perjanjian Lama (Tanakh), surat rasuli
(epistle) dan Injil (evangelium). Bagi Martin Luther, melalui pemberitaan firman, Allah
sedang mengumpulkan dan menggembalakan umat. Karena itu pemberitaan firman yang
disebut “homili” (bukan sekedar khotbah) harus disampaikan secara terbuka dan mendalam.
Melalui “homili” umat diajak untuk memahami kekayaan firman Allah di mana Kristus
sebagai Firman Hidup. Dengan demikian pusat seluruh pemberitaan firman adalah Kristus.
Prinsip pemberitaan firman demikian akan mencegah umat untuk memperoleh suatu
pengajaran yang melantur dan jauh dari nafas iman Kristen.
Pembaruan dalam Nyanyian Gereja
Para reformator melakukan pembaruan pula kepada nyanyian gereja. Dalam hal ini
menciptakan nyanyian gerejawi berdasarikan kitab Mazmur dan nyanyian Alkitab
lain. Namun nyanyian gerejawi tersebut harus senantiasa mudah dipahami dan menjemaat.
Karena itu Martin Luther mengundang dan mendorong ahli-ahli musik untuk menciptakan
nyanyian rohani dan dia juga menterjemahkan nyanyian-nyanyian gereja dari bahasa Latin.
Demikian pula halnya dengan Johanes Calvin. Bagi Calvin, firman Allah dapat dinyanyikan
sehingga dapat meresap di dalam hati umat. Kemudian Calvin memprakarsai terbitnya
nyanyian Mazmur Genewa. Dia mengganti corak nyanyian Gregorian. Pada tahun 1539,
Calvin mempublikasikan sebuah buku nyanyian Mazmur dalam bahasa Perancis. Isinya
terdiri dari: delapan belas nyanyian Mazmur, Pengakuan Iman Rasuli, nyanyian pujian
Simeon dan Dasa-Titah. Dengan demikian gerakan reformasi gereja telah membarui bahasa
komunikasi umat. Di mana umat tidak lagi terpaku kepada satu bahasa saja, yaitu bahasa
Latin, tetapi juga menggunakan bahasa ibu, sehingga pelaksanaan liturgi dapat dipahami
dengan baik dan mudah dimengerti.
Pembaruan dalam Sakramen Perjamuan Kudus
Hal sakramen Perjamuan Kudus, khususnya bagi Calvin memiliki tempat yang sama
pentingnya dengan pemberitaan firman. Calvin pada hakikatnya menghendaki suatu
pembaruan ibadah sesuai kesederhanaan Perjamuan Kudus yang terdapat dalam Injil.
Khususnya Calvin, dia menolak ekaristi sebagai “transubstansiasi” (perubahan roti dan
anggur menjadi tubuh dan darah Kristus). Gereja Roma Katolik secara perlahan telah
mengubah pelayanan meja menjadi altar (tempat persembahan kurban). Gereja Roma Katolik
menolak ajaran Agustinus tentang makna roti dan anggur dalam sakramen Perjamuan Kudus.
Karena itu pada tahun 1215, Paus Innocentius III menetapkan ajaran transubstansiasi sebagai
dogma gereja, di mana tubuh dan darah Kristus benar-benar ada dalam bentuk roti dan anggur
saat dilakukan konsekrasi. Walaupun Calvin menolak ajaran “transubstansiasi”, dia tetap
menekankan hadirnya Kristus secara sungguh (presentia realis) dalam tanda-tanda sakramen,
yaitu bahwa Kristus sungguh-sungguh bersekutu dengan umat melalui tanda-tanda yang
dihadirkan. Dalam hal ini Calvin berbeda pendapat dengan Zwingli yang hanya menganggap
roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus sebagai suatu tanda kehadiran Kristus secara kiasan
belaka. Sebab bagi Calvin, korban Kristus telah dipersembahkan hanya satu kali saja untuk
selama-lamanya. Sesuai surat Ibrani: “Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya
satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi, demikian pula Kristus hanya satu kali saja
mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. (Ibr. 9:27). Karena itu umat
perlu merayakan sakramen Perjamuan Kudus sesering mungkin. Dalam pengertian, umat
mengalami kehadiran Kristus melalui tanda-tanda yang dinyatakan dalam sakramen
Perjamuan Kudus.
Perlunya Ibadah Kontemporer Yang Alkitabiah
Ibadah atau liturgi pada yang dikembangkan oleh para bapa reformator pada abad XVI
bukanlah dimaksudkan suatu bentuk liturgi yang kaku, bersifat tetap dan tidak dapat berubah.
Sesuai dengan prinsip gereja reformatoris, yaitu: “ecclesia reformata, ecclesia simper
reformanda” (gereja reformasi adalah gereja yang senantiasa diperbarui). Namun harus
diingat pula pembaruan liturgi tidak dimaksudkan suatu pembaruan yang lahir dari
“manasuka”. Pembaruan liturgi tidak boleh dilepaskan dari akar yang mendasar yaitu Alkitab,
pola hidup jemaat perdana, dan para bapa gereja. Pembaruan liturgi pada zaman modern
memiliki suatu cita-cita yang mulia, yaitu gereja pada masa kini dan sepanjang zaman
mampu untuk menjelmakan kembali Kristus dalam kehidupan riel. Karena itu pembaruan
liturgi pada hakikatnya suatu keharusan teologis, agar melalui pembaruan liturgi tersebut
Kristus dihayati secara nyata dan eksistensial. Sebagaimana Kristus pernah hidup sebagai
suatu bangsa tertentu, yaitu bangsa Yahudi, maka pembaruan liturgi gereja hendak
menghadirkan inkarnasi Kristus dalam suatu bangsa tertentu dalam konteks tertentu. Dengan
demikian melalui pembaruan liturgi, inkarnasi Kristus dapat dialami oleh setiap suku, bangsa,
dan budaya serta adat-istiadatnya masing-masing. Inkarnasi Kristus yang nyata dalam
pembaruan liturgi akan menghasilkan keanekaragaman namun menyentuh secara mendalam,
personal dan eksistensial bagi umat. Ini berarti pula pembaruan liturgi sama sekali “tidak
dimaksudkan untuk menghapus dan mengurangi nilai-nilai cultural dan spiritual yang
merupakan warisan yang tak terkatakan” Dengan demikian esensi liturgi yang utama, yaitu
pribadi Kristus dan misteri Paskah akan senantiasa menjiwai dan menginspirasi berbagai
ungkapan liturgi kontemporer yang beranekaragam. Penyesuaian-penyesuaian liturgi
berkaitan dengan upaya konstekstualisasi, di mana gereja dalam melaksanakan ibadahnya
mampu berakar kepada nilai-nilai budaya setempat. Kontekstualisasi merupakan suatu upaya
teologis agar pembaruan bukan hanya sekedar suatu pembaruan di bagian permukaan saja,
seperti menggunakan arsitektur dan nyanyian suatu budaya, tetapi tidak mampu menangkap
“jiwa” (spirit) yang ada di dalamnya. Pembaruan liturgi kontemporer bukan sekedar tampilan
fisik, tetapi juga mampu mengungkapkan “roh” (spiritualitas) yang terkandung di dalamnya.
Roh/spiritualitas inilah yang perlu ditampilkan secara murni dalam sikap iman kepada Kristus
dan kuasa kebangkitanNya. Dengan sikap teologis demikian, umat akan dimampukan untuk
menghayati Kristus yang hidup sesuai dengan konteks hidupnya.
Sikap Kritis Terhadap Kecenderungan Ibadah Kontemporer Yang Semau-Gue
Upaya ekumenis yang ingin kembali kepada akar dan tradisi gereja tidak sepenuhnya
mendapat dukungan. Beberapa gereja Injili dan yang independen cenderung menghayati
ibadah kontemporer dengan personal-devisional, yaitu:
● Nyanyian yang bersifat devosional dan personal: Nyanyian umumnya disusun
bukan berdasarkan suatu pemahaman teologis dan penafsiran Alkitab atau pesan
teologis yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya nyanyian disusun untuk
menggugah perasaan atau emosi umat yang sifatnya sesaat, sehingga umat tidak
pernah mengalami pembelajaran iman secara utuh. Selain itu karena tekanannya
bersifat personal, maka nyanyian-nyanyian tersebut melumpuhkan umat untuk
menghayati kehidupan iman secara komunal khususnya dalam hubungan dengan
masyarakat. Umat tidak belajar bagaimana dipanggil untuk berjuang membela
keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
● Doa-doa secara bebas tanpa teks: Sikap spontanitas dalam berdoa sering
menggugah perasaan. Tetapi doa-doa yang diungkapkan tanpa pendalaman,
perenungan dan kepatuhan akan firman Tuhan akan menjadi suatu doa yang semakin
menjauh dari prinsip-prinsip iman Kristen. Sebaliknya melalui doa-doa yang
dipersiapkan secara tertulis, umat akan dimampukan untuk merumuskan pemikiran,
ungkapan perasaan dan arah kehendaknya secara lebih bertanggungjawab.
● Pembacaan Alkitab tanpa aturan terhadap tahun liturgi: Pola pembacaan Alkitab
yang mengikuti kemauan dan keinginan umat akan melahirkan suatu “kanon di dalam
kanon”. Umat akan cenderung memilih ayat-ayat yang disukai/digemari, tetapi
mereka tidak dengan rendah hati berusaha mendengarkan maksud firman Tuhan
secara utuh. Selain itu tanpa memperhatikan tahun liturgi, umat tidak mengalami
proses pembelajaran untuk menghayati kehidupan dan karya Kristus sebagaimana
yang disaksikan oleh Alkitab. Isi pembacaan Alkitab tersebut tidak lagi berfokus
kepada Kristus dan firmanNya, tetapi berfokus kepada kebutuhan-kebutuhan umat
yang sifat subyektif.

FUNGSI PELAYANAN FIRMAN DALAM LITURGI


KESATUAN ALKITAB
Alkitab adalah satu dan benar-benar menyaksikan tindakan Tuhan di alamnya sejarah. Namun
bagaimana dengan Perjanjian Baru? Sekali lagi, di sini kita dapat melihat struktur yang
konsentris." Pada intinya adalah Taurat baru, yaitu Injil, sedangkan surat-surat (seperti para
Nabi dalam Tanakh) mengingatkan dan mendesak gereja untuk hidup sesuai dengan Taurat
baru - untuk " mengingat" Injil. Maka Wahyu dipahami sebagai sebuah "tulisan" (kethubim).
Dengan mengacu pada hubungan antara perjanjian lama dan perjanjian baru, skema populer
mengenai nubuatan dan penggenapan atau menjadi kenyataan. Tidak dapat diterima.
Kesatuan yang melingkupi kedua hal ini "perjanjian-perjanjian" terlihat jelas dari banyaknya
kutipan, istilah-istilah, dan konsep-konsep Perjanjian Lama yang terkandung dalam
Perjanjian Baru. Kita dapat menyebut Perjanjian Baru sebagai suatu penafsiran berkelanjutan
atas Perjanjian Lama dengan penekanan yang baru. Seperti yang akan kita lihat nanti, justru
hal-hal inilah yang tafsir-tafsir yang berperan besar dalam liturgi, khususnya liturgi hari raya.

LITURGI KONVENSIONAL MAKNA TEOLOGIS DARI UNSURUNSUR LITURGI


MULAI DARI AWAL SAMPAI AKHIR
Makna teologis dari liturgi konvensional adalah untuk memfasilitasi komunikasi dan
persekutuan dengan Allah, mengajarkan ajaran iman, memperingati peristiwa-peristiwa
penting dalam sejarah keagamaan, dan memberikan bimbingan moral kepada jemaat. Setiap
denominasi atau gereja tradisi mungkin memiliki nuansa dan penekanan yang berbeda dalam
liturgi mereka, tetapi intinya adalah memuliakan dan menyembah Allah serta memperkuat
iman jemaat.

LITURGIKA ETNIS DAN KONTEKSTUAL


Liturgika Etnis dalam Kekristenan adalah bahwa pengaruh budaya, bahasa, dan tradisi etnis
memainkan peran penting dalam cara gereja-gereja Kristen merayakan ibadah mereka. Ini
menciptakan keragaman dan kekayaan dalam ekspresi iman Kristen di seluruh dunia.
Liturgika Etnis adalah salah satu cara yang penting dalam Kekristenan untuk menggabungkan
iman Dengan budaya, menciptakan pengalaman iman yang lebih relevan dan mendalam bagi
komunitas gereja yang beragam di seluruh dunia. Secara epistemologis, liturgika kontekstual
adalah disiplin teologis yang mengkaji dan memahami pengetahuan dan pemahaman kita
tentang ibadah, peribadatan, dan ritual dalam konteks agama Kristen dengan penekanan pada
relevansi dan keterlibatan dalam konteks sosial, budaya, dan sejarah tertentu. Ini melibatkan
penyelidikan tentang bagaimana pengetahuan tentang liturgi kontekstual diperoleh,
dipertahankan, dan berkembang dari sudut pandang epistemologi.

Anda mungkin juga menyukai