Miracle N M Korompis
NIM : 202141458
DOSEN PEMGAMPU :
Pdt. Meitha B. A Maliangkay. M.Th
FAKULTAS TEOLOGI
a. Liturgika
Gereja memiliki peran yang amat menentukan perwujudan Injil Yesus Kristus
kepada semua orang secara khusus kepada warga jemaat yang ada di dalam berbagai
kesempatan peribadatan. Peribadatan bukan hanya sebagai rutinitas keagamaan tetapi
juga meru pakan wujud respon manusia sebagai ciptaan kepada Allah Sang Pencipta.
1. Umat Kristen memaknai ibadah sebagai tanggapan manusia atas anugerah
keselamatan yang telah diberikan oleh Allah melalui Yesus Kristus
2. Namun demikian ibadah bukan hanya berkaitan dengan relasi manusia dengan
Allah, tetapi juga berkaitan dengan relasi manusia dengan sesamanya atau
bagi dunia. Kesadaran dan kesediaan manusia untuk menjumpai Allah dalam
ibadah berarti juga kesadaran dan kese- diaan manusia untuk ambil bagian
dalam misi Allah bagi dunia ini
3. Sebagian besar Ibadah Kristen yang diselenggarakan di gereja-gereja di dunia,
memiliki struktur yang teratur. Struktur tersebut disebut liturgi.
Liturgi memiliki bentuk tertentu dan tersusun atas unsur-unsur liturgis. Thomas H.
Schattauer, sebagaimana disebutkan oleh Stephen Bevans dan Roger Schroeder,
mengatakan bahwa ada tiga kemungkinan relasi antara liturgi dan misi. Ketiganya
yaitu, yang di dalam dan yang di luar, yang di luar ke dalam dan yang di dalam ke
luar. Kemungkinan pertama berarti liturgi (sebagai yang di dalam) memberdayakan
dan menyiapkan orang-orang Kristen bagi misi yang di luar. Kemungkinan ke dua
berarti hal- hal yang terjadi di luar, yaitu di tengah-tengah dunia, dibawa masuk ke
dalam kehidupan gereja di dalam liturgi. Kemungkinan ke tiga Kemungkinan ke tiga
berarti bahwa apa yang diperoleh di dalam liturgi, dibawa ke luar, ke tengah-tengah
dunia di dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Kristen. Ketiga relasi tersebut
menunjukkan bahwa bagaimanapun liturgi itu dimaknai, liturgi selalu berperan bagi
terwujudnya misi Allah yang direpresentasikan melalui misi Gereja.
Tiga dampak penting yang dimengerti dalam hubungan Musik Rohani, Ibadah & Pujian
Penyembahan (Lontoh, 2016, pp. 9-10).
1. Dampak Secara Vertikal (kepada Tuhan) Pujian dan Penyembahan bukan ditujukan
untuk manusia, tetapi utamanya ditujukan kepada Tuhan, maka dari itu kita akan
masuk dalam hadirat Allah, disaat Hadirat Allah ada, maka akan ada:
a) Kepenuhan Roh Kudus, urapan Roh Kudus, ada Kuasa Roh Kudus,
b) Akan ada Jamahan, Kesembuhan, Kelepasan,
c) Akan ada proses Perubahan (Transformasi), Pemulihan (Restoration) dan
Kegerakan (Revival) bahkan Pembersihan,
d) Akan ada keterbukaan saluran komunikasi dengan Tuhan.
2. Dampak secara Horizontal (kepada sesama jemaat) Mazmur 133 disebutkan bahwa
Pujian dan Penyembahan dapat mempersatukan, mempererat, dan dapat memperoleh
rasa kesatuan sesama anggota Tubuh Kristus. Di dalam hal tersebut memiliki makna
bahwa Musik tidak bisa lagi dibatasi, baik itu terikat kepada Denominasi maupun
aliran Gereja. Sehingga jemaat dapat lebih leluasa untuk menaikkan lagu pujian dan
penyembahan kepada Tuhan.
3. Dampak kepada Pribadi Disaat pujian dan penyembahan itu dinaikkan maka ada
dampak juga secara pribadi yang tidak dapat dielakkan yaitu, akan adanya Sukacita
(Mzm. 126:1-2), akan ada Pemulihan (Neh. 7:1, 66), akan menambah dan
memperkuat Iman kita (Rm. 10:17), kita semakin bertumbuh juga dalam kekudusan
kita (Mzm. 22:3). Harold Best, dekan dari The Wheaton Conservatory of Music,
dengan tegas mengatakan bahwa: “Music is also an act of worship” (Rusmansyah,
2009, p. 68). Dari permainan musik dan lagu yang pada saat ibadah itu berlangsung
sebenarnya menggambarkan seluruh yang kita rasakan untuk diugkapkan kepada
Tuhan. Dari musik yang dibawakan juga dapat menjadi perenungan bagi setiap jemat
yang mengikuti. Tidak saja jemaat bahkan pelayan yang mengambil bagian dalam
ibadah tersebut.
Bahkan musik memiliki pengaruh yang sangat kuat. Hampir semua gereja memakai musik
dalam ibadah. Fungsi musik dalam ibadah di gereja yaitu:
1. Dengan adanya musik akan menumbuhkan semangat jemaat dalam memuji dan
menyembah Tuhan.
2. Dengan adanya musik maka jemaat akan mudah dibawa dalam hadirat Tuhan yang
kudus.
3. Musik dapat membangkitkan emosi jemaat dalam memuji dan menyembah.
4. Musik dapat menolong kekompakan jamaat dalam memuji Tuhan.
5. Musik dapat menciptakan suasana ibadah yang tertib dan teratur.
Tetapi dari pada itu semua juga music ini adalah karya seni yang menjadi Alat bantu dalam
beribadah, maka hal itu perlu dilakukan dengan kerendahan hati dan dalam kesederhanaan
yang mengantar kita pada kemuliaan Allah, bukan sesuatu yang dilakukan dengan semarak
cemerlang tetapi hanya untuk keagungan manusia dalam hal ini untuk menunjukkan
kehebatan manusia dalam memainkan alat-alat music. Oleh karena ibadah yang berkualitas
bukan ditentukan oleh semaraknya, melainkan kehikmatannya, sehingga setiap orang yang
beribadah merasakan dengan sungguh bahwa music menunjang pemahaman dan penghayatan
akan kemuliaan Tuhan yang disembah. Dan music sebagai karena seni akan membantu
jemaat agar sungguh-sungguh bertumbuh dalam iman dan terus memberi manfaat
kerohaniaan bagi anggota jemaat.
Reformasi yang digulirkan oleh Martin Luther pada tahun 1517 pertama-tama bukanlah suatu
upaya untuk memperbarui liturgi gereja. Sebab Martin Luther semula bergumul dengan
masalah keselamatan yang diajarkan oleh gereja Katolik yang waktu itu dicapai melalui
perbuatan amal. [1]. Juga dia berulangkali mengaku dosa di hadapan imam, tetapi semuanya
tidak membawa damai di dalam hatinya. Yang mana waktu itu beberapa pihak seperti yang
dilakukan John Tetzel melakukan penjualan surat pengampunan dosa, sehingga gereja berada
dalam kesuraman rohani. Dalam pergumulan imannya, Luther kemudian menemukan makna
keselamatan melalui pembacaan Alkitab, khususnya dari Rom. 1:17 yang menyatakan:
“Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada
iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rom. 1:17). Dalam
pembaruannya, para reformator juga menolak struktur hirarkhi gereja yang dianggap
bertentangan dengan Alkitab Perjanjian Baru[2] ). Titik tolak utama dan prinsip reformasi
gereja adalah “kembali kepada Alkitab” (back to the Bible). Dengan menempatkan Alkitab
sebagai dasar pijakan satu-satunya (sola scriptura), maka perlahan-lahan gerakan reformasi
gereja pada abad XVI mengadakan pembaruan dalam berbagai bidang kehidupan gereja.
Umat diajak untuk melihat kekayaan dan wibawa Alkitab sebagai firman Allah yang
menuntun kepada keselamatan. Alkitab menjadi titik tolak dan “world view” untuk menilai
secara kritis segala sesuatu yang selama ini biasa dilakukan oleh gereja. Misalnya Luther
membersihkan gereja dari unsur-unsur kafir dan embel-embel zaman. Patung-patung dan
gambar-gambar orang kudus dalam gereja harus dihilangkan[3]. Dengan langkah-langkah
pembaruan tersebut, gerakan reformasi gereja pada abad XVI juga membarui liturgi.
Pembaruan dalam Pemberitaan Firman
Pembaruan liturgi yang utama dalam reformasi gereja abad XVI adalah pemberitaan firman.
Dengan pemahaman teologis yang dia temukan dari Alkitab, Martin Luther ingin
menempatkan pemberitaan firman seperti corak ibadah yang telah dilakukan oleh gereja
perdana dan para bapa gereja. Dalam hal ini Martin Luther menekankan perlunya pembacaan
Alkitab secara selektif (lectio selecta) dan teratur dari Perjanjian Lama (Tanakh), surat rasuli
(epistle) dan Injil (evangelium). Bagi Martin Luther, melalui pemberitaan firman, Allah
sedang mengumpulkan dan menggembalakan umat. Karena itu pemberitaan firman yang
disebut “homili” (bukan sekedar khotbah) harus disampaikan secara terbuka dan mendalam.
Melalui “homili” umat diajak untuk memahami kekayaan firman Allah di mana Kristus
sebagai Firman Hidup. Dengan demikian pusat seluruh pemberitaan firman adalah Kristus.
Prinsip pemberitaan firman demikian akan mencegah umat untuk memperoleh suatu
pengajaran yang melantur dan jauh dari nafas iman Kristen.
Pembaruan dalam Nyanyian Gereja
Para reformator melakukan pembaruan pula kepada nyanyian gereja. Dalam hal ini
menciptakan nyanyian gerejawi berdasarikan kitab Mazmur dan nyanyian Alkitab
lain. Namun nyanyian gerejawi tersebut harus senantiasa mudah dipahami dan menjemaat.
Karena itu Martin Luther mengundang dan mendorong ahli-ahli musik untuk menciptakan
nyanyian rohani dan dia juga menterjemahkan nyanyian-nyanyian gereja dari bahasa Latin.
Demikian pula halnya dengan Johanes Calvin. Bagi Calvin, firman Allah dapat dinyanyikan
sehingga dapat meresap di dalam hati umat. Kemudian Calvin memprakarsai terbitnya
nyanyian Mazmur Genewa. Dia mengganti corak nyanyian Gregorian. Pada tahun 1539,
Calvin mempublikasikan sebuah buku nyanyian Mazmur dalam bahasa Perancis. Isinya
terdiri dari: delapan belas nyanyian Mazmur, Pengakuan Iman Rasuli, nyanyian pujian
Simeon dan Dasa-Titah. Dengan demikian gerakan reformasi gereja telah membarui bahasa
komunikasi umat. Di mana umat tidak lagi terpaku kepada satu bahasa saja, yaitu bahasa
Latin, tetapi juga menggunakan bahasa ibu, sehingga pelaksanaan liturgi dapat dipahami
dengan baik dan mudah dimengerti.
Pembaruan dalam Sakramen Perjamuan Kudus
Hal sakramen Perjamuan Kudus, khususnya bagi Calvin memiliki tempat yang sama
pentingnya dengan pemberitaan firman. Calvin pada hakikatnya menghendaki suatu
pembaruan ibadah sesuai kesederhanaan Perjamuan Kudus yang terdapat dalam Injil.
Khususnya Calvin, dia menolak ekaristi sebagai “transubstansiasi” (perubahan roti dan
anggur menjadi tubuh dan darah Kristus). Gereja Roma Katolik secara perlahan telah
mengubah pelayanan meja menjadi altar (tempat persembahan kurban). Gereja Roma Katolik
menolak ajaran Agustinus tentang makna roti dan anggur dalam sakramen Perjamuan Kudus.
Karena itu pada tahun 1215, Paus Innocentius III menetapkan ajaran transubstansiasi sebagai
dogma gereja, di mana tubuh dan darah Kristus benar-benar ada dalam bentuk roti dan anggur
saat dilakukan konsekrasi. Walaupun Calvin menolak ajaran “transubstansiasi”, dia tetap
menekankan hadirnya Kristus secara sungguh (presentia realis) dalam tanda-tanda sakramen,
yaitu bahwa Kristus sungguh-sungguh bersekutu dengan umat melalui tanda-tanda yang
dihadirkan. Dalam hal ini Calvin berbeda pendapat dengan Zwingli yang hanya menganggap
roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus sebagai suatu tanda kehadiran Kristus secara kiasan
belaka. Sebab bagi Calvin, korban Kristus telah dipersembahkan hanya satu kali saja untuk
selama-lamanya. Sesuai surat Ibrani: “Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya
satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi, demikian pula Kristus hanya satu kali saja
mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. (Ibr. 9:27). Karena itu umat
perlu merayakan sakramen Perjamuan Kudus sesering mungkin. Dalam pengertian, umat
mengalami kehadiran Kristus melalui tanda-tanda yang dinyatakan dalam sakramen
Perjamuan Kudus.
Perlunya Ibadah Kontemporer Yang Alkitabiah
Ibadah atau liturgi pada yang dikembangkan oleh para bapa reformator pada abad XVI
bukanlah dimaksudkan suatu bentuk liturgi yang kaku, bersifat tetap dan tidak dapat berubah.
Sesuai dengan prinsip gereja reformatoris, yaitu: “ecclesia reformata, ecclesia simper
reformanda” (gereja reformasi adalah gereja yang senantiasa diperbarui). Namun harus
diingat pula pembaruan liturgi tidak dimaksudkan suatu pembaruan yang lahir dari
“manasuka”. Pembaruan liturgi tidak boleh dilepaskan dari akar yang mendasar yaitu Alkitab,
pola hidup jemaat perdana, dan para bapa gereja. Pembaruan liturgi pada zaman modern
memiliki suatu cita-cita yang mulia, yaitu gereja pada masa kini dan sepanjang zaman
mampu untuk menjelmakan kembali Kristus dalam kehidupan riel. Karena itu pembaruan
liturgi pada hakikatnya suatu keharusan teologis, agar melalui pembaruan liturgi tersebut
Kristus dihayati secara nyata dan eksistensial. Sebagaimana Kristus pernah hidup sebagai
suatu bangsa tertentu, yaitu bangsa Yahudi, maka pembaruan liturgi gereja hendak
menghadirkan inkarnasi Kristus dalam suatu bangsa tertentu dalam konteks tertentu. Dengan
demikian melalui pembaruan liturgi, inkarnasi Kristus dapat dialami oleh setiap suku, bangsa,
dan budaya serta adat-istiadatnya masing-masing. Inkarnasi Kristus yang nyata dalam
pembaruan liturgi akan menghasilkan keanekaragaman namun menyentuh secara mendalam,
personal dan eksistensial bagi umat. Ini berarti pula pembaruan liturgi sama sekali “tidak
dimaksudkan untuk menghapus dan mengurangi nilai-nilai cultural dan spiritual yang
merupakan warisan yang tak terkatakan” Dengan demikian esensi liturgi yang utama, yaitu
pribadi Kristus dan misteri Paskah akan senantiasa menjiwai dan menginspirasi berbagai
ungkapan liturgi kontemporer yang beranekaragam. Penyesuaian-penyesuaian liturgi
berkaitan dengan upaya konstekstualisasi, di mana gereja dalam melaksanakan ibadahnya
mampu berakar kepada nilai-nilai budaya setempat. Kontekstualisasi merupakan suatu upaya
teologis agar pembaruan bukan hanya sekedar suatu pembaruan di bagian permukaan saja,
seperti menggunakan arsitektur dan nyanyian suatu budaya, tetapi tidak mampu menangkap
“jiwa” (spirit) yang ada di dalamnya. Pembaruan liturgi kontemporer bukan sekedar tampilan
fisik, tetapi juga mampu mengungkapkan “roh” (spiritualitas) yang terkandung di dalamnya.
Roh/spiritualitas inilah yang perlu ditampilkan secara murni dalam sikap iman kepada Kristus
dan kuasa kebangkitanNya. Dengan sikap teologis demikian, umat akan dimampukan untuk
menghayati Kristus yang hidup sesuai dengan konteks hidupnya.
Sikap Kritis Terhadap Kecenderungan Ibadah Kontemporer Yang Semau-Gue
Upaya ekumenis yang ingin kembali kepada akar dan tradisi gereja tidak sepenuhnya
mendapat dukungan. Beberapa gereja Injili dan yang independen cenderung menghayati
ibadah kontemporer dengan personal-devisional, yaitu:
● Nyanyian yang bersifat devosional dan personal: Nyanyian umumnya disusun
bukan berdasarkan suatu pemahaman teologis dan penafsiran Alkitab atau pesan
teologis yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya nyanyian disusun untuk
menggugah perasaan atau emosi umat yang sifatnya sesaat, sehingga umat tidak
pernah mengalami pembelajaran iman secara utuh. Selain itu karena tekanannya
bersifat personal, maka nyanyian-nyanyian tersebut melumpuhkan umat untuk
menghayati kehidupan iman secara komunal khususnya dalam hubungan dengan
masyarakat. Umat tidak belajar bagaimana dipanggil untuk berjuang membela
keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
● Doa-doa secara bebas tanpa teks: Sikap spontanitas dalam berdoa sering
menggugah perasaan. Tetapi doa-doa yang diungkapkan tanpa pendalaman,
perenungan dan kepatuhan akan firman Tuhan akan menjadi suatu doa yang semakin
menjauh dari prinsip-prinsip iman Kristen. Sebaliknya melalui doa-doa yang
dipersiapkan secara tertulis, umat akan dimampukan untuk merumuskan pemikiran,
ungkapan perasaan dan arah kehendaknya secara lebih bertanggungjawab.
● Pembacaan Alkitab tanpa aturan terhadap tahun liturgi: Pola pembacaan Alkitab
yang mengikuti kemauan dan keinginan umat akan melahirkan suatu “kanon di dalam
kanon”. Umat akan cenderung memilih ayat-ayat yang disukai/digemari, tetapi
mereka tidak dengan rendah hati berusaha mendengarkan maksud firman Tuhan
secara utuh. Selain itu tanpa memperhatikan tahun liturgi, umat tidak mengalami
proses pembelajaran untuk menghayati kehidupan dan karya Kristus sebagaimana
yang disaksikan oleh Alkitab. Isi pembacaan Alkitab tersebut tidak lagi berfokus
kepada Kristus dan firmanNya, tetapi berfokus kepada kebutuhan-kebutuhan umat
yang sifat subyektif.