Anda di halaman 1dari 11

PERKEMBANGAN TEOLOGI

Konsili Trente
Dosen Pengampu:
Rm. Dr. Purwanto, SCJ.

Oleh:
Oktavianus Lewoama Lion
NIM: 196114061

PROGAM STUDI ILMU TEOLOGI


FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2019

10
Konsili Trente (1545-1563)
Konsili Trente adalah konsili yang diadakan sebagai tanggapan atas gerakan Reformasi
pada saat itu. Konsili Trente dipelopori oleh Paus Paulus III dengan tujuan untuk memberikan
ketetapan ajaran Gereja Katolik, karena pada saat itu banyak ajaran-ajaran yang menyimpang.
Gereja juga menetapkan dekrit yang menjadi reformasi menyeluruh dalam kehidupan Gereja.
Konsili diadakan di Trente karena berada di tengah-tengah antara pusat Gereja Roma dan pusat
Protestan Jerman. Konsili ini terdiri dari tiga tahap, yaitu : 1. Dari tahun 1545–1547, 2. Dari
tahun 1551–1552, 3. Dari tahun 1562–1563.
1. Tahun 1545–1547
Konsili ini adalah reaksi awal dari Gereja Katolik terhadap Reformasi. Dibawah desakan
Paus Paulus III akhirnya konsili ini diadakan pada 13 Desember 1545. Konsili ini tidak
menghasilkan dekrit apapun.
2. Tahun 1551–1552
pada konsili ini, campur tangan Karel V dianggap sebagai hambatan perbincangan karena
dianggap sebagai pemicu peperangan terhadap kaum Protestan.
3. Tahun 1562–1563
Konsili ini menjadi usaha terakhir untuk diadakannya rekonsiliasi dengan Protestan. Usaha
ini gagal karena konflik yang terus berlanjut. Karel V ditangkap oleh pihak Protestan dan
akhirnya para Paus memutuskan untuk membubarkan konsili ini1.

Mengapa muncul Konsili Trente ???


Munculnya reformasi Protestan menantang para pemimpin Gereja untuk
mempertahankan kesatuan Gereja sekaligus membangkitkan kesadaran perlunya Gereja
merumuskan doktrin ajarannya yang lebih definitif dan jelas untuk menangkis serangan dari
kaum reformis. Selain itu, Gereja merasa perlu mengadakan pembaharuan internal dan
menyeluruh. Dalam konteks inilah Konsili Trente diadakan. Keputusan-keputusan Konsili
mampu memberi arah dan dasar baru bagi perkembangan Gereja untuk mengarungi jaman.
Meski demikian, proses yang positif itu lambat laun mengalami distorsi tujuan menjadi sebuah
gerakan Tridentinisme, yang di satu sisi membantu gerak Gereja tetapi di sisi lain menjadikan

1
Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam Sejarah Gereja Zaman Modern, Kanisius, Yogyakarta, 2004, 105-110.

20
Gereja lebih bercorak intitusional dan sedikit mengabaikan perannya sebagi sebuah lembaga
spiritual.
Konteks Historis Konsili Trente
Konsili Trente muncul pada tahun 1545-1563. Konsili ini bertujuan untuk memberikan
ketetapan definisi ajaran Gereja Katolik. Terjadinya Konsili Trente diakibatkan oleh sebuah
reaksi yang muncul dari gerakan Reformasi Protestan yang menantang sekaligus
mempertanyakan dokrin-doktrin Gereja Katolik. Hal tersebut digunakan untuk menanggapi
ajaran-ajaran yang menyimpang, yang dipelopori oleh Martin Luther. Seiring berjalannya waktu
tujuan selanjutnya adalah untuk menetapkan reformasi yang menyeluruh dalam kehidupan di
dalam Gereja Katolik dengan penetapan dekrit untuk membuang bentuk pelanggaran. Konsili ini
sebenarnya sebuah gerakan pembaharuan Gereja yang embrionya sudah tumbuh sejak dua abad
sebelumnya. Proses panjang ini mendapat momentumnya ketika Protestanisme mulai serius
mengancam kesatuan Gereja Eropa.

Pandangan Luther
Dalam konsili Trente dibicarakan soal-soal dogmatis (kepercayaan) dan hal-hal
disipliner2. Peristiwa skisma yang terjadi berasal dari suatu pemahaman yang baru mengenai
keselamatan. Menurut Luther hanya karya Allah saja yang menentukan keselamatan tanpa
adanya kerja sama atau partisipasi dari manusia dalam bentuk apapun.
a. Menurut Luther yang ada hanya iman (sola fides), hanya Kitab Suci (sola scriptura), dan
hanya rahmat (sola gratia). Kodrat manusia dan kebebasannya menjadi rusak karena dosa
Adam maka manusia tidak dapat memberikan partisipasinya kepada Allah demi tercapainya
keselamatan. Hal inilah yang membuat hanya iman (sola fides) saja yang dapat
menyelamatkan manusia. Sarana yang utama untuk mencapai keselamatan adalah Sabda
Allah. Manusia diselamatkan oleh Allah jika kita dengan rendah hati menerima Sabda Allah.
b. Dengan pemahaman keselamatan yang demikian (hanya karya Allah saja yang menentukan
keselamatan tanpa adanya kerja sama atau partisipasi dari manusia dalam bentuk apapun)
maka, segala bentuk struktur Gereja Roma dalam mengantar manusia kepada keselamatan
seperti Paus, Uskup, Imam, Rahib, orang-orang kudus, relikui, dan surat indulgensi menjadi
tidak berguna lagi. Menurut Luther hanya dua sakramen yang harus dipertahankan, yaitu :

2
Kleopas Laarhoven, Gereja Abadi dari Abad ke Abad, St. Paulus Gunungsitoli, Nias, 1979, 92.

30
pembaptisan dan ekaristi. Menurutnya kedua sakramen ini tidak lagi menjadi sarana rahmat
keselamatan tetapi simbol atas rahmat yang sudah ada. Maka yang menjadi bagian paling
penting adalah kata-kata pewartaan dan bukan bahan (materia) yang digunakan dalam
pembaptisan dan ekaristi.
c. Menurut Luther di antara manusia yang diselamatkan dan Sang Penyelamat tidak ada seorang
pengantara, artinya Kristus bukanlah Pengantara tetapi Allah sendiri yang mengenakan rupa
manusia untuk menyampaikan Sabda-Nya yang menyelamatkan.

Jawaban Gereja
Tanpa mengabaikan nilai-nilai dan unsur-unsur yang disampaikan oleh Matin Luther,
Gereja memilih untuk melengkapi unsur-unsur yang disangkal oleh Martin Luther.
a. Dasar penyelamatan manusia adalah rahmat Allah. Tetapi karena manusia berkehendak
bebas, dia dapat dan harus bekerja sama dengan rahmat yang diberi Allah kepadanya 3
artinya, jika hanya iman (sola fides) saja tidak cukup tetapi diperlukan juga perbuatan
yang baik.
b. Ditetapkannya beberapa dekrit tentang Kitab Suci dan tradisi suci, kanon Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru
c. Selain Kitab Suci (sola scripptura) ada juga tradisi dan sakramen-sakramen, dan
sakramen-sakramen ini tidak hanya sebagai tanda keselamatan (sola signa) tetapi juga
sebagai sarana keselamatan (conferunt gratiam ex opere operato dan causaefficax atau
causa instrumentalis).
d. Oleh Sakramen Permandian segala dosa manusia dihapuskan. Yang tinggal sebagai bekas
dosa hanyalah nafsu untuk berbuat jahat4.
Keputusan Gereja yang bersifat disipliner
 Para Uskup tidak boleh meninggalkan keuskupannya lebih dari enam bulan5.
 Para Uskup wajib mengadakan kunjungan secara teratur di keuskupannya.
 Para Uskup wajib mendirikan seminari di keuskupannya.
 Dilarang memegang dua jabatan atau lebih.
 Kewajiban aturan selibat ditegaskan.

3
Kleopas Laarhoven, Gereja Abadi dari Abad ke Abad, St. Paulus Gunungsitoli, Nias, 1979, 92.
4
Kleopas Laarhoven, Gereja Abadi dari Abad ke Abad, St. Paulus Gunungsitoli, Nias, 1979, 93.
5
Hubert Jedin, Sejarah Konsili, Kanisius, Yogyakarta, 1973, 97.

40
 Pastor wajib berkhotbah pada hari pesta dan pada hari Minggu.

Pasca Konsili Trente: Kecenderungan Menuju Tridentinisme


Dengan segala keputusanya Konsili Trente mendapatkan dukungan yang luas. Walaupun
ada pandangan dan tidak mempunyai harapan terhadap hasil konsili, tetap melakukan upaya
untuk menyebarkan hasil Konsili dan pelaksaan dalam Gereja semakin kuat. Usaha ini, Serikat
SJ, memiliki peranan besar, mempunyai kualifikasi yang memadai dalam menyebarkan hasil
konsili dengan menyediakan anggotanya.6
Semua uskup bersemangat untuk mengadakan pembaharuan di keuskupannya masing-
masing. Uskup Carolus Borromeus memiliki peranan penting sebagai model dan acuan
pembaharuan dan menghidupkan kembali keuskupan sebagai Gereja Lokal. Pembaharuan ini,
menegaskan adanya dasar sakramental dari imamat pelayanan dan penegasan legitimasi hirarki
Gereja, sebagai tanggapan atas teologi Protestan yang menegaskan imamat semua orang beriman
dalam melayani.7 Isi paling pokok pembaharuan Gereja pasca konsili dalam aspek disipliner
adalah cura animarum yang memberi kekuatan lebih pada praksis-praksis melayani umat dan
komitmen berpastoral seperti kunjungan-kunjungan pastoral, sinode keuskupan, seksi dan
formation yang ketat bagi para imam, dan menolak praksis-praksis amoral seperti perjudian,
berburu, dan tindakan amoral lainnya. Namun, dalam prosesnya Konsili Trente seolah-olah
menjadi kata terakhir berkaitan dengan ajaran iman dan disiplin. Bahkan, Konsili Trente menjadi
semacam sebuah “solusi” untuk semua persoalan doktrinal dan institusional. Konsili Trente
menjadi semacam sebuah ideologi baru yang “memaksa” Gereja Katolik menjadi berwajah sama.
Gerakan membaharui atau perubahan yang dinamis lambat laun berubah menjadi sebuah gerakan
yang kaku dan menjadi sebuah yang bernama “Tridentinisme”. Tridentinisme tidak lagi hanya
keputusan-keputusan Konsili Trente, tetapi juga semua ide, konsep, kebiasaan dan cara berpikir,
mental, realitas, sistem teologi, moral, etika, praktek religius, liturgi, organisasi, dan sentralisasi
Roma yang dibangun pasca Konsili Trente.8 Para teolog Katolik semakin menegaskan pemisahan
antara ajaran-ajaran doktrin Gereja Katolik dan Protestan. Perbedaan jelas itu adalah seputar
doktrin 7 sakramen, pelayanan imamat dan unsur kurban dalam misa.

6
Guiseppe Alberigo, “From the Council of Trent to “Tridentinism””, dalam Raymond F. Bulman-Frederick J. Parrella
(ed.), From Trent to Vatica ii, Historical and Theological Investigations, Oxford University Press, New York 2006, 22.
7
Giuseppe Alberigo, From the Council of Trent to “Tridentinism”, Oxford University Press, New York 2006, 23.
8
Giuseppe Alberigo, From the Council of Trent to “Tridentinism”, Oxford University Press, New York 2006, 28.

50
Selain dari pada itu, adanya jurang pemisahan antara “a teaching church (docens)” dan “a
learning church (discerns)” sebagai bukti sebuah transisi semantik dari kata “magisterium”.
Magisterium mengalami sebuah transisi dari “doctrinal instruction” menjadi “teaching
authority”.9
Konsili Trente dan Keputusan-keputusannya
Paus Paulus III pun mengundang para uskup untuk mengadakan konsili, setelah
menghadapi banyak hambatan dan tantangan dalam proses menyiapkan konsili. Konsili diadakan
pada tanggal 13 Desember 1545 yang dihadiri oleh 25 Uskup, dan 5 pemimpin umum Tarekat
Religius. Pertemuan berlangsung alot dan harus mencapai 3 ukuran periode 1545-1547, 1551-
11552, dan 1562-1563.10 Periode sidang 1545-1547 menetapkan tata tertib, cara kerja, dan
agenda. Menghasilkan kesepakatan bersama mengenai masalah-masalah dogmatis dan disipliner;
ditetapkanya beberapa dekrit tentang Kitab Suci (lih. DS 1501-1508) dan tradisi suci (yang
diterima dan dihormati oleh konsili dengan dan dalam arti yang sama); kanon Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru, otentisitas vulgate bukan dalam arti filologis (yakni tiadanya kesalahan-
kesalahan terjemahan) tetapi dalam arti dogmatis (tiadanya kesalahan dogmatis), dosa asal
(Decretum de peccato originali), yustifikasi (Decretum de iustificatione), sakramen pada
umumnya, baptis dan karisma (Decretum de sacramentalis), kewajiban residensi para uskup dan
larangan mengumpulkan harta kekayaan. Periode sidang 1551-1551 menghasilkan ajaran
dogmatis tentang Ekaristi, Penitensi, Perminyakan Suci, dekrit disipliner tentang otoritas uskup,
tata tertib kehidupan para imam dan pengelolaan harta benda. Periode sidang 1562-1563
menghasilkan dekrit-dekrit tentang komuni dua rupa (yang dinyatakan tidak perlu dilakukan) dan
tentang sifat Kurban Ekaristi, perayaan Ekaristi hanya dalam bahasa Latin, residensi para uskup,
yuridiksi para uskup, distingsi antara imamat umum (Universal) dan imamat khusus (pelayanan),
fungsi hakiki imamat pelayanan, otoritas/yuridiksi/kapasitas untuk mempersembahkan kurban
yang otentik, perbedaan hirarki dan awam, pembangunan seminari dan seleksi para calon imam,
sinode keuskupan dan regional, kunjungan pastoral, penataan adminitrasi paroki, dektrit tentang
perkawinan, api penyucian, penghormatan para kudus, indulgensi, dan dekrit para religius.11

9
Giuseppe Alberigo, “From the Council of Trent to “Tridentinism”, Oxford University Press, New York 2006, 30.
10
Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam Sejarah Gereja Zaman Modern, Kanisius, Yogyakarta, 2004, 105.
11
Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam Sejarah Gereja Zaman Modern, Kanisius, Yogyakarta, 2004, 106-110.

60
Ajaran Mengenai Iustificatio
Konsili Trente terus berusaha dalam menanggapi pandangan Luther yang memiliki dampak
berbahaya bagi iman Gereja sendiri. Hal yang nampak jelas dalam padangannya soal iustificatio.
Dari situlah Gereja menghadapi masalah yang serius. Keduanya antara Gereja dan Luther, berbeda
pandangan pula tentang dosa asal. Konsili yang diadakan ini sungguh ingin kembali menegaskan
lagi ajaran Gereja mengenai iustificatio, sekaligus menghadapi segala pertentangan yang mengarah
pada Gereja.12 Dekrit tentang iustificatio ini disahkan pada tanggal 13 Januari 1547. Inilah yang
dirumuskan dalam dekrit mengenai pembenaran yang terdiri dari 16 bab dan 33 kanones.
Pertama-tama sebelum masuk pada iustificatio, Konsili Trente ingin kembali mengulas
mengenai dosa asal yang sudah terulas. Pribadi manusia sendiri tidak bisa membebaskan dari situasi
dosa. Kemudian muncullah anggapan bahwa dalam kasus ini rahmat sungguh diperlukan untuk
menjadi orang yang benar. Manusia sungguh membutuhkan rahmat untuk kembali dari
kesesatannya.
Bertitik tolak dari status manusia yang terlahir tidak lepas dari anak adam yang pertama,
sehingga pembenaran mulai dipahami pemindahan dari status yang demikian kepada status rahmat
yang nanti mengarah pada pengangkatan sebagai anak-anak Allah karena Adam kedua yakni Yesus
Kristus, dianggap sebagai wahyu Allah yang hadir dalam pribadi, nantinya dapat membawa
perdamaian antara Allah dan manusa. Disitulah nantinya ada suatu pembenaran.
Melalui status yang didapat sebagai anak Allah, manusia tidak hanya sebatas pada
pembersihan dosa ataupun dosanya diampuni, namun lebih daripada itu yaitu sungguh dikuduskan.
Seperti pada halnya bab 7 menyatakan, tidak hanya pengampunan dosa melainkan pengudusan dan
juga pembaruhan batin karena menerima rahmat dan karunia-karunia dengan bebas.
Dengan demikian melalui Konsili Trente menolak gagasan reformasi, bahwa pembenaran
hanyalah penerimaan orang berdosa oleh Allah, dan tidak mengubah realitas dalam diri manusia.
Secara ringkas Konsili Trente ingin mengatakan bahwa dengan penghapusan dosa, pengudusan dan
pembaharuan hidup, manusia pendosa menjadi benar, menjadi sahabat dan ahli waris Allah.
Nampak pada penegasan konsili tentang dosa asal, melalui pembaptisan dosa asal sungguh
dihapuskan, bukan hanya dicukur. Sehingga ada perbedaan mendasar antara sebelum dan sesudah
pembabtisan.

12
Jedin, H. (1967). “Crisis and Closure of the Council of Trent”. London and Melbourne: Sheed & Wart Stagbook.,
18

70
Proses pembenaran digambarkan sebagai berikut: berpangkal dari rahmat, kemudian dari
rahmat mampu menggerakan dan mengarahkan kepada pertobatan, lalu dengan rahmat Allah itu
sendiri manusia menjawab atau menolak. Meski timbul permasalahan, misal sampai berapa jauh
kita tahu apakah kita berkenan pada Tuhan dan telah ditebus.13 Demikianlah terjadi timbal balik
melalui rahmat, rahmat menjadi pangkal dan menekankan keaktifan manusia itu sendiri. Bisa
dikatakan, bahwa tanpa rahmat Allah, kebebasan itu tidak mampu. Sikap manusia terhadap rahmat
itulah yang mampu membawa kepada pembenaran.

Transubstansiasi
Konsili Trente juga meneguhkan ajaran tentang kehadiran Kristus yang nyata dalam rupa
roti dan anggur dalam Ekaristi yang disebut Transubstantiation. Hakikat roti dan anggur tetap
bersama tubuh dan darah Tuhan kita Yesus Kristus, dan menolak bahwa perubahan ajaib unik
seluruh hakikat roti menjadi tubuh dan hakikat anggur menjadi darah, sementara hanya tampak
(Latin, species) roti dan anggurnya saja yang tetap, perubahan yang disebut paling tepat oleh
Gereja Katolik sebagai alih hakikat,biarlah terkena anathema. Pendapat yang disampaikan oleh
Konsili Trente di atas untuk meluruskan ajaran Luther yang mengatakan bahwa di dalam tubuh
dan darah Kristus, hadir Tuhan Yesus bersama-sama dengan substansi roti dan anggur (dikenal
dengan istilah consubstantiation.

Yang diajarkan dalam Konsili Trente

 menyatakan bahwa Consubstantiation sebagai doktrin yang keliru.


 menentang bahwa kehadiran Yesus disebabkan oleh keyakinan pribadi

Ajaran Dalam Konsili Trente Tentang Hal pengampunan Dosa Asal.

Reformasi Luther dan perpisahan dari Gereja Katolik Roma berasal dari suatu pengertian
baru tentang keselamatan. Menurut Martin Luther keselamatan itu hanya tergantung pada karya
Allah saja, semata-mata melulu tanpa partisipasi atau kerjasama apapun dari pihak manusia. Bagi
Martin Luther yang ada sola vides (hanya iman), sola scriptura ( hanya Kitab Suci ) dan sola
gratia (hanya rahmat). Sesudah dosa Adam kodrat manusia, kebebasannya rusak sama sekali dan
oleh karena itu manusia tidak bisa bekerja sama dengan Allah guna mencapai keselamatan.
Dalam keadaan tersebut sola vides hanya dengan iman saja yang dapat menyelamatkan manusia.
13
Jedin, H. (1973). “Sejarah Konsili”. Yogyakarta: Kanisius, 96

80
Dengan demikian pengertian Protestan tentang misteri Gereja eklesiologi juga berubah. Model-
model sebelumnya ( politis, hirarkis, somatis) tidak berguna lagi bagi mereka dan diganti dengan
model kerygmatis (berdasarkan sabda Allah dan pewartaan). Menurut Martin Luther keselamatan
pertama-tama karena sabda Allah menyatakan kita selamat atau kita akan diselamatkan hanya
apabila kita menerima sabda-Nya dengan rendah hati. Dengan demikian pemahaman tentang
keselamatan (pembenaran atau penyucian) itu hanya semata-mata karya Allah, segala struktur
Gereja Roma yang tujuannya mengantar pada keselamatan tidak berguna lagi. Menurut Luther di
antara manusia yang diselamatkan dan Sang Penyelamat tidak ada seorang pengantara, artinya
Kristus bukanlah Pengantara tetapi Allah sendiri yang mengenakan rupa manusia untuk
menyampaikan Sabda-Nya yang menyelamatkan.

Berdasarkan ajaran Kitab Suci para bapa Gereja dan pujangga Gereja Konsili Trente
menemukan kembali doktrin tradisional Gereja Katolik.

1. Selain Iman ( sola fides ) memerlukan perbuatan-perbuatan baik guna mengantar orang
lebih dekat pada Allah
2. Selain Kitab suci ( sola scriptura ) ada juga tradisi dan sakramen-sakramen. Sakramen
tersebut bukan hanya tanda keselamatan melainkan juga sarana yang memberikan
rahmat.
3. Selain Sang Pengantara (Tuhan Yesus) ada juga pengantara-pengatara lain yang dipilih
Allah untuk meneruskan dan menghadirkan keselamatan yang diberikan oleh Yesus
Kristus. Yaitu Perawan Maria, Para Malaikat, Orang Kudus dan Gereja.
4. Dasar penyelamatan manusia adalah rahmat Allah. Tetapi karena manusia berkehendak
bebas dia dapat dan harus bekerja sama dengan rahmat yang diberi Allah kepadanya 14
artinya, jika hanya iman (sola fides) saja tidak cukup tetapi diperlukan juga perbuatan
yang baik.
5. Ditetapkannya beberapa dekrit tentang Kitab Suci dan tradisi suci, kanon Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru

Keyakinan mengenai dosa asal dalam ajaran Katolik benar-benar diampuni dan dihapus
melalui pembaptisan. Seseorang yang telah berdosa berjuang untuk menjadi murni atau suci
bukan karena usahanya sendiri melainkan campurtangan dari Allah (Gereja katolik). Sedangkan

14
Kleopas Laarhoven, Gereja Abadi dari Abad ke Abad, St. Paulus Gunungsitoli, Nias, 1979, 94.

90
pandangan dari Gereja Protestan untuk menghapus dosa asal dan untuk hidup suci atas usaha dari
pribadi itu sendiri tanpa campur tangan dari Allah dengan demikian tidak mengimani rahmat
Allah yang berkarya dalam diri setiap pribadi.

Filipus Bimo Perbowo 196114075


Nobertus Beni Lein 196114077
Hilarius Marvyno Putradithama 196114073
Villa Lion 196114061
Luccianus Oktavianus Mite 196114065
Michael Andro Alfredo I. Y. Sadipun 196114063
Benyamin Tuaq 196114057
Markus Dapa Tadi 196114059

Daftar Pustaka

100
Alberigo, G. (2006). From the Council of Trent to “Tridentinism. New York: Oxford University Press.

H.Jedin. (1967). Crisis and Closure of the Council of Trent. London: Sheed & Wart Stagbook.

Jedin, H. (1973). Sejarah Konsili. Yogyakarta: Kanisius.

Kristiyanto, E. ( 2004). Reformasi dari Dalam Sejarah Gereja Zaman Modern, . Yogyakarta : Kanisius.

Laarhoven, K. (1979). Gereja Abadi dari Abad ke Abad. Nias: St. Paulus Gunungsitoli.

110

Anda mungkin juga menyukai