Anda di halaman 1dari 18

BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

BAB V
GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

Pada tahun 1962, selama masa kerja Konsili yang sedang membahas tema Gereja, Jérôme
Hamer,1 yang di kemudian hari menjadi Sekretaris Kongregasi untuk Ajaran Iman dan akhirnya
diangkat sebagai Kardinal Prefek Kongregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan
(1985-1992), menulis sebuah buku yang berjudul “Gereja adalah suatu communio”. Gereja sebagai
communio atau Gereja sebagai persekutuan sekarang ini sepertinya menjadi suatu pernyataan yang
“kurang bermakna”. Tetapi tentu saja, perasaan seperti ini tidak berarti mengurangi atau
melemahkan kesadaran Gereja sebagai communio. Bagaimana orang sampai pada afermasi bahwa
ada pertalian antara realitas Gereja dan pengalaman communio atau persekutuan? Konsili Vatikan II
telah menyumbang, terutama dalam Konstitusi dogmatis Lumen Gentium, untuk menghadirkan kembali
di dalam orang Kristen kesadaran akan Gereja sebagai misteri dan sebagai communio. Dua ekspresi atau
ungkapan ini tentu akan saling terkait dalam pembahasannya.
Jika kita menyimak studi Jérôme Hamer, kita dapat melihat bahwa menurut beberapa teolog
sebelum Konsili Vatikan II, dalam Perjanjian Baru sama sekali tidak ada hubungan antara gagasan
communio dan komunitas eklesial. Juga dari banyak teks-teks Paulus dan terutama Surat Yohanes yang
pertama: “Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga,
supaya kamu pun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan
Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus (...) Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan
dengan Dia, namun kita hidup di dalam kegelapan, kita berdusta dan kita tidak melakukan kebenaran.
Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh
persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada
segala dosa” (1 Yoh 1: 3. 6-7).
Jelas bahwa suatu gagasan eksklusif institusional dan birokratis Gereja telah “menghalang-
halangi” para teolog untuk menerima secara mendalam makna eklesial kata-kata Yohanes ini.
Pernyataan Yohanes ini mengajarkan bahwa communio adalah terutama hubungan dengan Bapa
dan PuteraNya Yesus Kristus. Demikianlah kita harus memandangnya jika kita menginginkan untuk
dapat memahami apa sejatinya pengertian communio itu dan apa sebenarnya makna gagasan Gereja
sebagai communio. Di samping itu, communio yang merupakan karya Tritunggal Mahakudus dan
merupakan hidup Tritunggal sendiri, menyebar di sekitar kita, melahirkan communio, melahirkan
partisipasi sejati di antara umat beriman. Communio adalah inti dari pewahyuan, inti dari hidup
apostolik dan pada gilirannya merupakan inti dari hidup Gereja itu sendiri. Bagi Bapa Gereja, terutama
St. Agustinus, communio tidak lain adalah Gereja, Gereja yang kelihatan, yang lahir dari Tritunggal
Mahakudus. Dalam abad pertengahan, konsep communio dikaitkan dengan konsekuensi yuridis dan
institusional. Pelan-pelan, dalam abad modern, masa kita sekarang ini, pengalaman Gereja sebagai
communio mengalami sedikit “kekaburan’. Pengaruh individualisme, terutama, dalam banyak
pengalaman – baik secara langsung maupun tidak - telah memperlemah gagasan Gereja sebagai
communio sendiri, meskipun tentu gagasan atau misteri ini tidak bisa dihapuskan.

1
Jean Jérôme Hamer, OP (Brussels, Belgia, 1 Juni 1916 – Roma, 2 Desember 1996). Dia adalah pengarang sebuah buku
terkenal yang berjudul L’église est une communion (The Church is a communion, New York 1964).
77
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

5.1. PENGERTIAN COMMUNIO2

Dalam dokumen akhir Sinode para Uskup tahun 1985, duapuluh tahun setelah Konsili Vatikan
II, istilah communio digunakan untuk merujuk hubungan orang-orang beriman dengan Allah dan
hubungan di antara mereka sendiri dalam Kristus, berkat karya Roh Kudus, melalui sakramen-sakramen,
terutama Baptis dan Ekaristi.3 Istilah communio, karena itu menunjukkan jantung atau inti dari misteri
Gereja. Berikutnya kita akan melihat secara sintetis akar dan isi dari pengertian communio.

5.1.1. Makna Kata atau Istilah

a. Dunia Yunani dan Helenis: ungkapan Yunani κοινωνία (koinonia) berarti communio
(persekutuan), “partisipasi” dan “hubungan” atau “relasi”. Pengertian ini menunjukkan hubungan
manusia dengan Yang Mahatinggi atau menunjukkan hubungan antar manusia itu sendiri.
b. Perjanjian Lama: kata Ibrani yang dalam versi Septuaginta (LXX) diterjemahkan dengan koinonia
adalah khabar (persatuan, gabungan, rangkaian): merujuk pada kelompok atau grup komunitas baik
itu yang terdiri banyak anggota maupun sedikit anggota, namun makna istilah ini tidak mempunyai
hubungan dengan yang ilahi. Makna teologisnya ditunjukkan dengan ungkapan kata-kata, antara
lain: “persekutuan”, “pilihan”, “pengenalan”, “perkumpulan liturgis” dll.
c. Perjanjian Baru: konsep communio terutama ditemukan dalam ekspresi istilah koinonia (19 kali).
Dalam Surat-surat Paulus (14 kali) istilah ini sangat bermakna, yaitu: menunjukkan sumbangan
konkret suatu komunitas kepada orang lain yang membutuhkan, dengan demikian ada hubungan
mendalam dengan caritas atau cinta kasih (bdk. 2 Kor 9: 13); menunjukkan atau menjelaskan
partisipasi dalam iman kepada hidup Kristus (bdk. 1 Kor 1: 9), dalam penderitaan (Flp 3: 10) dan
dalam penghiburan (2 Kor 1: 57). Istilah ini juga menunjukkan partisipasi kepada tubuh dan darah
Kristus, yang tergenapi dalam pengucapan syukur atas piala dan pemecahan roti: “Bukankah cawan
pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus?
Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus?” (1 Kor 10:
16). Communio juga disebut dalam Roh: “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan
persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2 Kor 13: 13). Dalam Kisah para Rasul (2: 42)
istilah ini secara eksplisit memiliki pengertian eklesiologis: communio mengimplikasikan adanya
saling persekutuan antara umat beriman dalam Kristus, di mana dinyatakan sebagai anggota satu
dalam yang lain: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan
mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2: 42). Dalam Yohanes, tema
ini ditemukan, dalam istilah communio (bdk. 1 Yoh) dan dalam gambaran dan pengajaran di mana
muncul beberapa ungkapan seperti ada dalam, tinggal dalam dan berada dalam (misalnya: “pokok
anggur dan rantingnya”; Yoh 15: 1-9); di sini communio mengacu kepada relasi antara Putera dan
Bapa, yang ada dalam Roh, datang dari Yesus dan dapat diterima bagi para murid: “supaya mereka
semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar
mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”
(bdk. Yoh 17: 21). Communio adalah anugerah Allah dalam Kristus dan meluas melalui pewartaan
kristiani (bdk. 1 Yoh 1: 1-4). Sebagai kesimpulan dapat diafermasi bahwa koinonia dalam

2
Pembahasan bagian ini diambil dari P. Martinelli, “Comunione” dalam Luciano Pacomio dan Vito Mancuso (eds.),
Dizionario Teologico Enciclopedico, Edizioni Piemme, Casale Monferrato (AL), 2004, hlm. 187-188.
3
Relatio finalis, II, C, 1.
78
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

Perjanjian Baru berarti suatu cara hidup (cara berada dan bertindak), suatu relasi dengan Allah
dan dengan manusia yang dicirikan persekutuan kristiani.

5.1.2. Makna dalam Sejarah

a. Periode Patristik: di Timur, istilah communio merujuk pada persekutuan dalam perjamuan
ekaristi4; sementara di Barat biasanya mengikuti pengertian dari Agustinus, yaitu bahwa communio
berarti Gereja.5 Dengan demikian, dua aspek dapatlah dikatakan sebagai dua dimensi dari satu
realitas: merayakan kurban ekaristi adalah communio (persekutuan) dengan Gereja
seluruhnya. Dalam pengertian di atas secara implisit mempunyai nilai soteriologis: communio
menghadirkan modalitas konkret di mana kita sampai kepada keselamatan Allah: “Kita
memerlukan communio (persekutuan) dengan Dia”.6 Kecuali itu mengenal kembali dalam motif
teologis suatu relevansi sosial; communio bukan hanya menunjukkan suatu aspek mistik tidak
kelihatan, melainkan suatu praktek relasi inter-personal yang jelas: misalnya “litterae
communicatoriae”, di mana suatu komunitas meninggalkan surat atau pernyataan kepada umat
beriman dalam perjalanan menuju komunitas eklesial lainnya. Ini menampakkan suatu realitas
communio yang mengimplikasikan hubungan secara sosial kelihatan dan dapat diidentifikasi di
antara umat beriman dan di antara komunitas yang berbeda. Kecuali itu, communio mencakup juga
suatu aspek hierarkis: dengan istilah communio digambarkan hubungan orang beriman dengan para
Uskup mereka, di antara para Uskup sendiri, dan mereka semua dengan Gereja Roma.7
b. Abad Pertengahan: dengan Wilhelmus dari Alvernia atau Auvergne († 1249)8 dibedakan antara
“communio esterior” (sarana rahmat) dan “communio interior” (hidup dalam rahmat).
Bonaventura dan Thomas dari Aquino berbicara juga tentang “communio spiritual” (yang tidak
ditolak siapapun) dan “communio sakramental” dan esterior (yang dapat ditolak dengan
ekskomunikasi).
c. Konsili Vatikan II menggarisbawahi konsep trinitaris dari communio eklesial (LG 2-4). Istilah ini
digunakan untuk menjelaskan berada atau dicangkokkan (inkorporasi) dalam tubuh mistik
Kristus dan kepada partisipasi dalam misteri Gereja, melalui Pembaptisan dan Ekaristi; menyangkut
hubungan tiap-tiap orang beriman dan Gereja dengan Kristus dan dengan semua orang (LG 7. 50).
Pelaku inkorporasi ini adalah Roh Kudus sendiri (LG 4. 13); semuanya itu sangat penting bagi
gerakan atau upaya ekumenis (UR 2). Communio itu juga merupakan kata paling sesuai untuk
mengungkapkan katolisitas Gereja; ditemukan atau digunakan dalam konfigurasi hubungan antara
Gereja lokal dan Gereja universal (LG 13. 23), hubungan di antara para Uskup dan para Uskup
dengan Paus, di mana dia menjadi “pemimpin kepada communio universal cinta kasih” (LG 13d;
bdk. LG 22).
Kesimpulan: communio adalah realitas “dalam mana orang-orang Kristen bukan menjadi milik diri
sendiri (hidup bagi dirinya sendiri) melainkan merupakan milik Kristus, seperti ranting pada

4
Bdk. Yohanes Krisostomus, In Joan. Hom., 47, 3-4.
5
St. Agustinus, De unitate ecclesiae contra Donatistas, 20, 56.
6
Bdk. Ireneus dari Lyon, Adversus Haereses, V, 2, 1.
7
Bdk. Siprianus, Epistola, 59, 14; juga Ambrosius, Epistola, 11, 4.
8
Seorang Uskup di Alvernia, Prancis. Hidup 1180 – 1249. Karya utamanya adalah Ensiklopedi teologi “Magisterium
divinale”, yang terdiri 7 bagian: De Trinitate, De universo, De anima, Cur Deus homo, De fide et legibus, De sacramentis
dan De virtutibus.
79
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

pokoknya”.9 Communio ini merupakan realitas yang dapat dijelaskan hanya dalam terang misteri
Tritunggal Mahakudus dan diperkenalkan dalam pewahyuan Sabda yang menjadi daging dan di
mana kita semua dipanggil untuk ambil bagian dalam tubuhNya yang adalah Gereja.

5.2. MISTERI PERSEKUTUAN

a. Refleksi eklesiologis menurut Kitab Suci dan Bapa-Bapa Gereja pada umumnya berpusat pada
aspek-aspek misteri Gereja, seperti: tempat Gereja di dalam rencana keselamatan Allah, hubungan
Gereja dengan Yesus Kristus dan peranan Roh Kudus sebagai jiwa Gereja. Perubahan tersebut
mulai tampak mencolok pada abad pertengahan. Pada periode ini Gereja mendefinisikan dirinya
dengan penetapan-penetapan yuridis dan di bawah para ahli hukum refleksi dan ajaran Gereja
menekankan segi-segi institusional. Perubahan tersebut diteruskan juga pada periode setelah
reformasi dan akhirnya pada masa modern, Gereja mengembangkan gagasan dan pengertian
“societas perfecta”, “masyarakat sempurna” mengenai dirinya.
b. Namun arus eklesiologi ini mulai berubah sejak zaman Johan Adam Möhler (1798-1838). Adam
Möhler lebih peka terhadap sifat misteri sebagai inti atau jantung Gereja. Perubahan ini akhirnya
menjadi lebih jelas dan resmi dengan Konsili Vatikan II. Karena itu tidak perlu heran bahwa
Konstitusi dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja dimulai dengan satu bab khusus yang berjudul
“De Ecclesiae Mysterio” (Misteri Gereja). Dengan sengaja Konsili menggunakan istilah mysterium
karena istilah ini bersifat biblis. Di dalam Kitab Suci kata Yunani mysterion menyatakan rencana
dan karya keselamatan Allah dengan dan untuk manusia. Jadi, dengan menggunakan istilah
tersebut, Konsili ingin menggambarkan suatu eklesiologi yang bersifat biblis; dan bermaksud
melihat Gereja bukan sebagai institusi yang mencukupi diri sendiri, melainkan sebagai sarana di
dalam tangan Allah untuk menyelamatkan semua orang.
c. Konsili Vatikan II merefleksikan karya Roh Kudus di dalam Gereja dengan menggunakan juga
gagasan communio, yang sangat disukai oleh Kitab Suci dan para Bapa Gereja, namun agak
diabaikan oleh eklesiologi masa modern sebelum Konsili Vatikan II.
Communio itu mempunyai beberapa aspek yang selanjutnya akan dipaparkan sedikit dengan
berpedoman pada dokumen terakhir dari Kongregasi untuk Ajaran Iman (CDF: Congregatio de
Doctrina Fidei). Dokumen tersebut ditujukan kepada para Uskup Gereja Katolik, dengan judul
lengkap “Surat kepada para Uskup Gereja Katolik tentang Berbagai Aspek Gereja sebagai
Persekutuan (Communio)”.10 Surat ini ditulis dibawah tanda tangan Joseph Kardinal Ratzinger
(kala itu sebagai Prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman) dan disahkan oleh Paus Yohanes Paulus II
pada tanggal 28 Mei 1992 di Roma.
d. Surat atau dokumen itu dijabarkan dalam beberapa bab pendek. Surat diawali dengan
Introductio (Pendahuluan), kemudian berturut-turut dibahas:
I. De ecclesia mysterio communionis (Gereja: misteri communio).
II. De ecclesia universali et ecclesiis particularibus (Gereja universal/semesta dan Gereja-gereja
partikular/khusus).
III. De communione ecclesiarum, eucharistia et episcopatu (Communio Gereja-gereja, Ekaristi dan
Episkopat).

9
Yohanes Paulus II, Christifideles laici, 18.
10
Surat kepada para Uskup Katolik tentang Berbagai Aspek Gereja sebagai Persekutuan (Communio), terj. R. Hardawiryana
SJ, dalam Spektrum No. 3, Tahun XX, 1992; selanjutnya disingkat “Gereja sebagai communio”.
80
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

IV. De unitate et diversitate in communione ecclesiali (Kesatuan dan keanekaragaman dalam


communio eklesial).
V. De communione ecclesiali et oecumenismo (Communio eklesial dan ekumenisme).
Lantas, surat diakhiri dengan Conclusio (Kesimpulan).

5.3. COMMUNIO: PERSEKUTUAN DENGAN ALLAH DAN MANUSIA

a. Konstitusi dogmatis Lumen Gentium menyatakan bahwa “di dalam Kristus Gereja bagaikan
sakramen, yaitu tanda dan alat kesatuan mesra dengan Allah dan persatuan seluruh umat
manusia” (LG 1). Berkenaan dengan realitas ini yang sudah ditonjolkan dalam dokumen-dokumen
Konsili Vatikan II11 sangat memadai guna mengungkapkan nukleus atau inti misteri Gereja dan
dapat dijadikan kunci untuk memperbaharui eklesiologi Katolik.
«Gagasan communio terletak pada ‘inti pengertian Gereja tentang dirinya’12, sebagai Misteri
persatuan pribadi setiap insan dengan Tritunggal Ilahi dan dengan sesama manusia. Persatuan ini
bersumber dari iman13 dan terarah kepada kepenuhan eskatologis dalam Gereja surgawi. Agar
gagasan communio, yang artinya tidak univok (hanya satu), dapat digunakan sebagai kunci penafsir
dalam eklesiologi, harus dimengerti dalam lingkup ajaran biblis dan tradisi patristik, di mana
communio selalu mencakup dua dimensi: “dimensi vertikal” (communio dengan Allah) dan
“dimensi horisontal” (communio antar manusia). Maka secara hakiki termasuk pengertian kristen
bahwa communio dipahami sebagai anugerah Allah, yakni buah inisiatif ilahi yang terlaksana
dalam misteri Paskah. Relasi baru antara manusia dan Allah, yang terbentuk dalam Kristus dan
dikomunikasikan melalui sakramen-sakramen, diperluas juga menjadi relasi baru antar manusia
sendiri». (bdk. Gereja sebagai communio 3).

b. Pada dasarnya dan secara paling fundamental communio itu berarti persekutuan dengan Allah
(dimensi vertikal). Dalam LG 12 dikatakan: “Berdasarkan pertimbangan yang mahabebas dan
rahasia, kearifan dan kebaikanNya, Bapa Abadi menciptakan alam semesta, dan memutuskan untuk
mengangkat manusia berpartisipasi dalam hidup ilahi”. Sama seperti kata mysterium dalam judul
bab I LG, begitu pula artikel 2 menekankan bahwa Gereja sebagai communio berakar dalam
keputusan Allah yang abadi untuk menciptakan manusia dengan tujuan agar ia dapat memperoleh
kebahagian dalam communio Allah Tritunggal sendiri: “Penting bagi pengertian kristen tentang
communio yang mengakui sebagai anugerah Allah, sebagai hasil prakarsa ilahi yang terlaksana
dalam misteri Paskah” (bdk. Gereja sebagai communio 3). Gereja bagaikan sakramen, yaitu tanda
dan alat agar manusia mencapai tujuan yang luhur itu.

c. Pemikiran yang sama dapat kita temukan dalam Konstitusi dogmatis Dei Verbum tentang Wahyu
Ilahi (DV): “Maka dengan wahyu ini Allah yang tak kelihatan, karena cinta kasihNya yang
melimpah ruah, menyapa manusia sebagai sahabat dan bergaul dengan mereka, guna mengundang
dan menerima ke dalam persekutuanNya” (DV 2). Begitu pula Dekrit Ad Gentes tentang karya

11
Bdk. LG 4, 8, 13-15, 21, 24-25; DV 10; GS 32; UR 2-4, 14-15, 17-19, 22.
12
Yohanes Paulus II, Pidato di depan para uskup Amerika Serikat, 16 September 1987.
13
Bdk. 1 Yoh 1: 3: “Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya
kamu pun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-
Nya, Yesus Kristus”.
81
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

misioner Gereja (AG) mengungkapkan bahwa “perdamaian atau persekutuan dengan Dia” (AG 3)
sebagai alasan Allah untuk melaksanakan karya keselamatan yang khusus. Konstitusi pastoral
Gaudium et Spes tentang Gereja di dalam dunia dewasa ini (GS) melihat bahwa “landasan yang
unggul martabat manusia terletak dalam panggilannya untuk bersatu dengan Allah”. Maka baru
dalam communio dengan Allah itu, artinya dalam persekutuan atau persatuan dengan Allah,
manusia dapat mencapai kepenuhan hakekatnya.
Communio inilah yang merupakan tujuan universal seluruh sejarah umat manusia, terlaksana secara
istimewa di dalam sejarah itu dalam diri Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah pengantara. Sebagai
Putera Allah, Yesus Kristus menerima kodrat manusia supaya dengan demikian kita manusia bisa
mengambil bagian dalam kodrat ilahi. “Maka melalui jalan inkarnasi sejati, Putera Allah berusaha
menjadikan manusia mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (AG 3). Menurut GS, Putera Allah
seakan-akan mempersatukan diri dengan setiap manusia ketika Ia menerima kodrat manusia dalam
inkarnasi: “Karena di dalam penjelmaanNya menjadi daging, Putera Allah sudah mempersatukan
diriNya atas cara tertentu dengan setiap orang” (GS 22).

d. Communio antara Allah dengan manusia yang diciptakan Yesus Kristus dalam hidupNya yang unik
dan historis-konkret, dilanjutkan oleh Roh Kudus yang berdiam di dalam hati orang beriman.
“Sesuai tugas, yang diberikan Bapa kepada Putera untuk ditunaikan di dunia (bdk. Yoh 17: 4),
diutuslah Roh Kudus pada hari Pentekosta, agar Ia senantiasa menyucikan Gereja, dan dengan
demikian para beriman menemukan jalan kepada Bapa melalui Kristus dalam satu Roh (bdk. Ef 2:
18). Roh hidup dalam Gereja dan dalam hati umat beriman bagaikan dalam bait (bdk. 1 Kr 3: 16;
6: 19)” (LG 4). Maka misteri Gereja adalah bahwa Roh dan melalui Kristus, kita manusia memiliki
jalan kepada Bapa dan dapat mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dalam communio dengan Allah
Tritunggal Mahakudus.
Mengenai dimensi horisontal, dokumen “Gereja sebagai communio” menyatakan bahwa
«hubungan baru antara manusia dan Allah, yang diadakan oleh Kristus dan dibagikan melalui
sakramen-sakramen, mencakup juga hubungan baru antar manusia sendiri. Oleh karena itu, gagasan
communio harus sanggup mengungkapkan juga hakekat sakramental Gereja (bdk. LG 1) ‘selama
kita berkelana jauh dari Tuhan’ (2 Kor 5: 6) serta kesatuan khusus yang menjadikan para beriman
anggota tubuh yang sama, yaitu tubuh mistik Kristus, suatu komunitas yang tersusun secara teratur,
‘umat yang telah dipersatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus’ (LG 4),
yang juga memiliki sarana-sarana yang memadai untuk kesatuan kelihatan dan sosial» (Gereja
sebagai communio 3).

e. Satu hal yang menarik dari eklesiologi Konsili Vatikan II adalah refleksinya tentang Gereja
sebagai suatu realitas yang kompleks. Secara khusus tema ini dijabarkan dalam Konsitusi LG 8:
“Namun demikian masyarakat yan dilengkapi dengan perangkat hierarki dan Tubuh Mistik Kristus,
umat yang dapat dilihat dan persaudaraan rohani, Gereja di dunia dan Gereja yang dianugerahi
harta surgawi, tidak boleh dipandang sebagai dua hal. Keduanya membentuk satu realitas yang
kompleks, yang terdiri dari unsur manusiawi dan ilahi”.
Sebagai latar belakang pemahaman yang seimbang ini harus kita ingat pertentangan yang lama
antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan mengenai sifat Gereja, dengan pertanyaan pokok:
Apakah Gereja yang benar bersifat kelihatan atau tidak kelihatan?

82
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

Dalam kontroversi itu Gereja-gereja Protestan selalu menekankan bahwa Gereja yang benar
merupakan suatu kenyataan yang tidak kelihatan, yang hanya diketahui oleh Tuhan. Gereja terdiri
dari orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh beriman dan menyerahkan dirinya kepada
pembenaran Allah dan hal itu hanya diketahui oleh Tuhan.
Di lain pihak, Gereja Katolik secara berat sebelah menekankan sifat kelihatan dari Gereja yang
benar. Robertus Bellarminus pernah merumuskan bahwa Gereja “sama kelihatan dan konkret
seperti perhimpunan rakyat Roma, atau Kerajaan Perancis atau Republik Venesia”.

f. Menjawab kontroversi ini, Konsili Vatikan II memberikan padangan yang seimbang mengenai
Gereja sebagai “satu realitas yang kompleks, yang terdiri dari unsur manusiawi dan ilahi”.
Kenyataan majemuk ini dijelaskan dengan sebuah analogi teologis. Misteri Gereja sebagai
realitas yang kompleks diperbandingkan dengan misteri inkarnasi. Dalam perbandingan itu
Gereja disebut sarana keselamatan (organum salutis) dari Allah Roh Kudus. Perbandingan itu
dikemukakan dalam rumusan sbb.: “Oleh karena itu, berdasarkan persamaan yang tidak sedikit, ia
(Gereja) dapat dibandingkan dengan misteri sabda yang menjadi daging. Karena seperti kodrat
yang diambil, melayani sabda Allah sebagai alat penyelamatan yang hidup, dan dipersatukan
denganNya atas cara yan tak terceraikan, demikian pula susunan kemasyarakatan Gereja melayani
Roh Kristus, yang memberikan hidup, demi pengembangan Tubuh (bdk. Ef 4: 16)” (LG 8).

g. Dokumen “Gereja sebagai communio” dari Kongregasi untuk Ajaran Iman menegaskan kembali
bahwa “communio” eklesial serentak bersifat kelihatan dan tidak kelihatan: «Communio
eklesial serentak tidak kelihatan dan kelihatan. Sebagai realitas tidak kelihatan, (Gereja) adalah
communio setiap orang dengan Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus, dan dengan orang-orang
lain pengambil bagian dalam kodrat ilahi (bdk. 2 Ptr 1: 4), dalam sengsara Kristus (bdk. 2 Kor 1: 7),
dalam iman yang sama (bdk. Ef 4: 13), dalam Roh yang sama (bdk. Flp 2: 1). Dalam Gereja musafir
(di dunia) terjalin hubungan erat sekali antara communio yang tidak kelihatan ini dan communio
yang kelihatan dalam ajaran para Rasul, sakramen-sakramen dan tata hierarki. Dengan anugerah-
anugerah ilahi yang merupakan realitas yang sungguh kelihatan, Kristus dengan pelbagai cara
menjalankan dalam sejarah, tugasNya sebagai Nabi, Imam dan Raja demi keselamatan umat
manusia. Hubungan antara unsur-unsur yang tidak kelihatan dan unsur-unsur yang kelihatan
menjadikan Gereja sebagai Sakramen keselamatan» (Gereja sebagai communio 4).
Ikatan-ikatan berkat peng-inkorporasi-an orang-orang Katolik di dalam Gereja oleh Konstitusi
dogmatis Lumen Gentium digariskan sbb.: “Yang sepenuhnya tergabung dalam masyarakat Gereja
ialah mereka yang memiliki Roh Kristus dan menerima semua peraturan serta sarana keselamatan
yang tercipta di dalamnya dan yang dihubungkan dengan Kristus, yang memerintahnya lewat Paus
dan para Uskup dengan jalinan yang nampak yakni jalinan pengakuan iman, sakramen-sakramen,
pemerintahan dan persekutuan Gereja. Akan tetapi tidak diselamatkan orang, yang walaupun
tergabung dalam Gereja, tidak tekun dalam cinta kasih dan tetap dalam pangkuan Gereja hanya
dengan badannya dan bukan dengan hatinya” (LG 14).
Ungkapan mereka yang memiliki Roh Kristus yang terdapat di dalam kutipan di atas, sama artinya
dengan ungkapan mereka yang berada dalam keadaan rahmat yang biasa kita dengar. Dengan
demikian ditegaskan perbedaan antara mereka yang tergabung dalam Gereja sepenuhnya dan
mereka yang tergabung secara tidak penuh. Inkorporasi penuh atau communio penuh menuntut

83
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

jalinan keadaan rahmat yang spiritual itu dan serentak menuntut juga jalinan “pengakuan iman,
sakramen-sakramen, pemerintahan dan persekutuan Gereja”.
Perkembangan ajaran Katolik tentang persekutuan atau communio eklesial tersebut sangat berarti
dan secara logis mengalir dari kodrat Gereja sebagai satu realitas yang kompleks, yaitu baik sebagai
suatu komunitas spiritual maupun sebagai umat sakramental dan yuridis. Karena itu,
inkorporasi atau communio penuh harus mencakup partisipasi, baik secara spiritual maupun
sakrametal dan yuridis.

h. Communio yang berdasarkan rahmat dan sarana-sarana rahmat dapat kita sebut “communio” teologis,
karena berkaitan dengan partisipasi dalam hal-hal berkenaan dengan hubungan kita dengan Allah.
Namun, perlu kita perhatikan bahwa pengakuan iman yang sama serta penerimaan sakramen-
sakramen yang sama menjadikan juga satu “communio” eklesial. St. Thomas dari Aquino
mengatakan bahwa Gereja dibentuk oleh iman dan sakramen-sakramen.14
Sedangkan “jalinan atau persekutuan pemerintahan Gereja” bagi orang Katolik berarti mengakui
Pastor paroki sendiri, Uskup keuskupan sendiri dan Paus sebagai gembala-gembala yang
sebenarnya. Dan pada gilirannya, orang Katolik oleh gembalanya masing-masing diakui sebagai
anggota kawanan yang diserahkan kepada mereka. Jenis hubungan ini berkenaan dengan tata
yuridis, yakni mengandaikan pengakuan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbal balik antara
sesama manusia. Orang Katolik mengakui bahwa dirinya memiliki kewajiban-kewajiban tertentu
terhadap Pastor parokinya, terhadap Uskupnya dan terhadap Paus; sedangkan mereka ini (para
gembala) pada gilirannya mengakui hak orang Katolik akan perhatian dan pelayanan pastoral.
Communio ini bisa kita sebut sebagai “communio” yuridis.

i. Dan kita dapat bertanya: “Apa yang diartikan oleh Konsili dengan istilah “dan (jalinan)
persekutuan Gereja”? Sudah barang tentu jalinan-jalinan sebelumnya menunjukkan satu communio
baik teologis (iman dan sakramen-sakramen) maupun yuridis (pemerintahan Gereja). Kiranya yang
dimaksudkan adalah hubungan yang mempersatukan orang Katolik dalam kehidupan Gereja
sebagai komunitas. Jalinan persekutuan ini mencakup semua cara dengan mana orang Katolik
menyatakan solidaritas satu sama lain sebagai anggota Gereja yang sama. Dan aspek communio
eklesial ini dapat dirumuskan dengan lebih baik sebagai semangat persaudaraan.
«Communio eklesial, di mana setiap orang dimasukkan melalui iman dan pembaptisan, berakar
dan berpusat pada Ekaristi kudus. Sesungguhnya pembaptisan adalah inkorporasi ke dalam
Tubuh, yang dibentuk dan dihidupkan oleh Tuhan yang sudah bangkit melalui Ekaristi, sedemikian
rupa sehingga tubuh ini benar-benar dapat disebut Tubuh Kristus. Ekaristi adalah sumber dan daya
pencipta communio di antara anggota-anggota Gereja, karena mempersatukan setiap dari antara
mereka dengan Kristus sendiri: “Dalam pemecahan roti Ekaristi kita benar-benar mengambil
bagian dalam Tubuh Tuhan, dan diangkat ke dalam persatuan dengan Dia dan antara kita.
‘Karena roti itu satu, maka kita, yang telah mengambil bagian dari satu roti itu, walaupun banyak,
toh satu Tubuh’ (bdk. 1 Kor 10: 17)” (LG 7)» (Gereja sebagai communio 5).

j. Gereja juga merupakan “communio sanctorum” (persekutuan hal-hal Kudus), menurut ungkapan
tradisi yang terdapat dalam versi latin Syahadat para Rasul sejak akhir abad IV. Artikel iman

14
Bdk. Summa Theologica, q. 64, a. 2, ad. 3; IV Sententiarum, d. 17, q. 3, a. 1, sol. 5.
84
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

tentang “communio sanctorum” ini memiliki dua interpretasi: pertama, rumusan ini menunjukkan
communio (persekutuan) dalam hal-hal kudus (terutama anugerah Ekaristi), kedua, menyangkut
communio dengan sancti (para Kudus, menurut Paulus). Namun, secara teologis dua interpretasi ini
tidak mengecualikan satu dengan yang lain dan tetap dilestarikan dalam tradisi. «Partisipasi
bersama yang kelihatan pada harta keselamatan (hal-hal yang kudus), khususnya Ekaristi,
merupakan akar communio yang tidak kelihatan di antara mereka yang mengambil bagian (para
Kudus). Communio ini mencakup solidaritas spiritual di antara anggota-anggota Gereja sebagai
anggota tubuh yang sebenarnya dalam cinta kasih, dengan membentuk ‘mereka sehati dan sejiwa’
(bdk. Kis 4: 32). Communio juga mengantar kepada persekutuan dalam doa (bdk. Kis 2: 42), yang
diinspirasikan oleh Roh yang sama (bdk. Rm 8: 15-16. 26; Gal 4: 6; LG 4), Roh Kudus ‘yang
memenuhi dan menyatukan seluruh Gereja’15» (Gereja sebagai communio 6).
Gagasan teologis tentang artikel iman ini juga diberikan oleh St. Thomas Aquinas, dengan ide
tentang “communio bonorum”. Menurut Thomas, di dalam Gereja ada “harta” yang menjadi milik
umum (bersama): Kristus sebagai bonum utama dan harta-harta dari setiap orang yang telah
dibaptis. Partisipasi dalam harta-harta ini mengimplikasikan juga partisipasi pada jasa atau pahala
setiap orang (communio meritorum), yang beriman itu, artinya mereka yang masih musafir atau
berziarah dan mereka yang telah menerima ganjaran iman (para Kudus). Semua itu tampak secara
istimewa dalam perayan Ekaristi.16
«Communio ini, pada unsur-unsurnya yang tidak kelihatan, ada bukan hanya di antara mereka
anggota-anggota Gereja musafir, melainkan juga di antara mereka dan semua orang yang, karena
meninggal dalam keadaan rahmat Tuhan, termasuk Gereja jaya atau akan diinkorporasikan padanya
sesudah penyucian penuh». Konstitusi LG mengungkapkan “communio sanctorum” sbb.: “Kita
semua, kendati pada taraf dan dengan cara yang berbeda, saling berhubungan dalam cinta kasih
yang sama terhadap Allah dan sesama, dan melambungkan madah pujian yang sama ke hadirat
Allah kita. Sebab semua orang, yang menjadi milik Kristus dan didiami oleh RohNya, berpadu
menjadi satu Gereja dan saling erat berhubungan dalam Dia (bdk. Ef 4: 16). Jadi persatuan
mereka yang sedang dalam perjalanan dengan para saudara yang sudah beristirahat dalam damai
Kristus, sama sekali tidak terputus. Bahkan menurut iman Gereja yang abadi diteguhkan karena
saling berbagi harta rohani” (LG 49). «Hal ini berarti dalam misi penyelamatnya dalam sejarah
ada hubungan timbal balik antara Gereja musafir (Gereja dalam peziarahan di dunia) dan Gereja
jaya (Gereja surgawi). Karena itu, bukan hanya perantaraan Kristus bagi anggota-anggotaNya (bdk.
Ibr 7: 25) yang penting secara eklesiologis, melainkan juga perantaraan para Kudus dan secara
istimewa perantaraan Santa Perawan Maria (bdk. LG 50, 66). Makanya, hakekat devosi kepada
para Kudus, yang sedemikian kuat hadir dalam religiusitas umat Kristiani, sesuai dengan realitas
mendalam Gereja sebagai misteri communio» (Gereja sebagai communio 6).

15
St. Thomas dari Aquino, De Veritate, q. 29, a. 4c, “Ketika ditinggikan di salib dan dimuliakan, Tuhan Yesus mencurahkan
Roh yang dijanjikanNya. Melalui Roh itulah Ia memanggil dan menghimpun umat Perjanjian Baru, yakni Gereja, dalam
kesatuan iman, harapan dan cinta kasih”; bdk. UR 2.
16
G. Ancona, “Comunione dei santi”, dalam Luciano Pacomio dan Vito Mancuso (eds.), Op. Cit., hlm. 188-189.
85
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

5.4. COMMUNIO: GEREJA UNIVERSAL DAN GEREJA PARTIKULAR

a. Yang terutama dibicarakan sampai sekarang adalah ikatan-ikatan communio yang mempersatukan
orang-orang Katolik dengan Gerejanya. Sekarang kita akan memperhatikan communio di mana
Gereja-gereja Katolik partikular merupakan Gereja Katolik yang satu.
Tanda kelihatan bahwa “semua paroki keuskupan tertentu membentuk suatu Gereja Katolik
partikular, terdiri dari kenyataan bahwa semua pastor paroki yang bersangkutan berada dalam
communio penuh dengan UskupNya”. Demikian pula semua keuskupan Katolik secara nyata
merupakan Gereja Katolik yang satu karena Uskup-uskup yang bersangkutan berada dalam
communio penuh di antara mereka dan dengan Sri Paus, yang mereka akui sebagai gembala
tertinggi.
Communio yuridis, yang mempersatukan Uskup-uskup Katolik satu sama lain dan mereka semua
dengan Sri Paus disebut communio hierarkis17 dan terdiri dari pengakuan timbal balik tentang
kewajiban masing-masing yang satu terhadap yang lain dan terhadap Paus, sebagai gembala-
gembala Gereja Katolik yang diangkat secara sah. Semua Uskup yang dihubungkan dengan ikatan
communio hierarkis adalah anggota kerekanan para Uskup yang kepalanya adalah Uskup Roma.

b. Communio semua Gereja partikular yang bersatu dalam Gereja Katolik yang satu itu adalah
communio penuh, baik teologis maupun yuridis. Namun, kiranya penting memperhatikan bahwa
communio yang penuh itu tidak menuntut keseragaman dalam tradisi kanonik, liturgis, teologis dan
spiritual. Hal ini nampak jelas pada Gereja-gereja Katolik Timur: mereka ini berada dalam
communio penuh dengan Gereja Katolik Roma walaupun mempertahankan tradisi masing-masing.
Harus kita akui bahwa perbedaan antara communio penuh dan seragam total tidak selalu berarti atau
dipraktekkan dalam sejarah Gereja Katolik, khususnya dalam Gereja-gereja Katolik Timur.

c. Bagaimanapun Konsili Vatikan II sudah menegaskan perbedaan tersebut, khususnya dalam dekrit
tentang Gereja-gereja Katolik Timur dan dalam kutipan dari LG yang berikut ini: “Oleh karena itu
pula dalam persaudaraan (communio) Gereja, sah adanya Gereja-gereja khusus (partikular), yang
menikmati tradisi sendiri, walaupun tetap menganggap utuh primat Takhta Petrus, yang mengetuai
seluruh persaudaraan (communio) cinta kasih, melindungi kebhinnekaan yang sah dan serentak
menjaga agar kekhususan tidak merugikan melainkan melayani kesatuan” (LG 13).

d. Kongregasi untuk Ajaran Iman, dalam suratnya tentang beberapa aspek Gereja sebagai communio
menyatakan bahwa «Gereja Kristus, yang dalam Syahadat kita akui sebagai yang satu, kudus,
katolik dan apostolik adalah Gereja universal, artinya komunitas murid-murid Tuhan yang
universal, yang hadir dan berkarya dalam kekhususan dan keanekaragaman pribadi-pribadi,
kelompok-kelompok dalam segala waktu dan tempat. Dalam berbagai ungkapan partikular dari
kehadiran satu-satunya Gereja Kristus yang menyelamatkan itu, sejak masa apostolik terdapat
dalam dirinya sendiri adalah Gereja-Gereja (bdk. Kis 8: 1; 11: 22; 1 Kor 1: 2; 16: 19) karena,

17
Ungkapan ini kita temukan dalam pernyataan-pernyataan Konsili Vatikan II tentang jabatan Uskup yang berikut: “bersama
dengan tugas menguduskan, tahbisan Uskup juga memberikan kewajiban mengajar dan memimpin. Akan tetapi dari
kodratnya tugas-tugas ini tidak dapat dijalankan tanpa persekutuan hierarkis (nonnisi hierarchica communione) dengan
kepala dan anggota kerekanan para Uskup (cum collegii capite et membris)” (LG 21). “Seorang dilantik menjadi anggota
kerekanan para Uskup berdasarkan sakramen tahbisan dan karena persekutuan hierarkis (hierarchica communione) dengan
kepala dan para anggota (cum collegii capite et que membris)″ (LG 22).
86
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

walaupun partikular, di dalam mereka hadir Gereja universal dengan segala unsurnya yang esensial.
Oleh karena itu, mereka (Gereja-gereja partikular) dibentuk “sesuai citra Gereja universal” (LG
23, AG 20) dan masing-masing “adalah bagian dari umat Allah, yang penggembalaannya
dipercayakan kepada seorang Uskup yang dibantu para imam” (Dekrit Christus Dominus 11)»
(Gereja sebagai communio 7).

e. Dari prinsip tersebut di atas, surat Kongregasi untuk Ajaran Iman menarik kesimpulan sbb.:
1). «Karena Gereja universal adalah Tubuh yang terdiri dari Gereja-gereja, maka dari itu gagasan
communio dapat dikenakan secara analogis kepada persatuan di antara Gereja-gereja partikular, dan
untuk mengerti Gereja universal sebagai satu communio antar Gereja» (Gereja sebagai communio
8).
2). Akan tetapi itu tidak berarti bahwa gagasan communio antar Gereja partikular dapat
dipahami sedemikian rupa hingga gagasan kesatuan Gereja diperlemahkan pada tingkat
kelihatan dan institusional. Ada yang mengatakan bahwa setiap Gereja partikular adalah satu
subjek lengkap dalam dirinya sedangkan Gereja universal merupakan konsekuensi pengakuan
timbal balik antara Gereja-gereja partikular. Pengertian eklesiologis yang berat sebelah
menyempitkan bukan hanya gagasan Gereja universal, melainkan juga gagasan Gereja partikular,
dan menunjukkan suatu pengertian tentang communio yang tidak memadai: «Seperti dibuktikan
oleh sejarah itu sendiri, apabila sebuah Gereja partikular sudah berusaha berdiri sendiri dengan
memperlemah communionya yang nyata dengan Gereja universal beserta pusat hidupnya yang
kelihatan, maka kesatuan batin Gereja partikular juga melemah, bahkan ada bahaya kehilangan
kebebasannya, mudah ditimpa banyak kekuatan yang berusaha memperbudak dan memperalatnya»
(Gereja sebagai communio 8).
3). Dalam setiap Gereja partikular “benar-benar hadir dan berkarya Gereja Kristus yang satu, kudus,
katolik dan apostolik” (CD 11). Oleh karena itu, Gereja universal tidak dapat dimengerti
sebagai suatu jumlah atau kumpulan Gereja-gereja partikular ataupun seperti suatu
federasi/perserikatan Gereja-gereja partikular. Gereja universal bukanlah suatu hasil communio
dari Gereja partikular, melainkan pada jati diri misterinya «adalah suatu realitas yang secara
ontologis maupun secara temporal mendahului setiap Gereja partikular mana pun juga»
(Gereja sebagai communio 9).
Secara ontologis, Gereja, yang merupakan misteri, Gereja yang satu dan satu-satunya «mendahului
penciptaan dan melahirkan Gereja-gereja partikular bagaikan putera-puterinya dan mengungkapkan
diri di dalam mereka. Gereja universal merupakan ibu dan bukan merupakan hasil dari Gereja-
gereja partikular» (Gereja sebagai communio 9).
Secara temporal, Gereja itu tampil dengan jelas pada hari Pentekosta dalam komunitas yang terdiri
dari seratus dua puluh orang yang berkumpul bersama Maria dan kedua belas Rasul. Mereka ini
mewakili satu-satunya Gereja dan akan mendirikan Gereja-gereja lokal. Tugas misi para Rasul
terarah kepada dunia dan pada waktu itu Gereja berkata-kata dalam semua bahasa (bdk. Kis 2: 8).
Dari Gereja yang dilahirkan itu dan dimanifestasikan universal, berasal-usullah Gereja-Gereja lokal
yang beranekaragam, «sebagai perwujudan dari Gereja, Yesus Kristus yang satu dan satu-satunya.
Karena (Gereja-gereja partikular) dilahirkan dalam dan dari Gereja universal, maka dari dia dan
dalam dia mereka memperoleh eklesialitasnya» (Gereja sebagai communio 9).

87
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

5.5. COMMUNIO GEREJA-GEREJA: EKARISTI DAN EPISKOPAT

a. Persekutuan atau communio antara Gereja-gereja partikular dalam Gereja universal, selain bertumpu
dalam iman yang sama dan dalam pembaptisan semua anggota, terutama berakar dalam Ekaristi dan
Episkopat.
 Persekutuan Gereja berakar dalam Ekaristi. Karena meskipun Kurban ekaristi selalu
dirayakan dalam komunitas khusus, namun tidak pernah merupakan perayaan milik satu
komunitas yang bersangkutan itu saja. Alasannya: dengan menyambut kehadiran Tuhan dalam
Ekaristi, jemaat itu sekaligus menerima anugerah keselamatan: “Di jemaat-jemaat itu,
meskipun sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus; dan berkat
kekuatanNya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik” (bdk. LG 26).
Ditegaskan bahwa di mana ada perayaan Ekaristi yang sah, hadirlah totalitas misteri Gereja.
Kesatuan Tubuh ekaristi Tuhan mengimplikasikan kesatuan Tubuh mistikNya, yang adalah
Gereja yang satu (bdk. Gereja sebagai communio 11).
 Persekutuan Gereja juga berakar dalam kesatuan Episkopat. “Mengikuti jejak Konsili
Vatikan I, Konsili suci ini mengajarkan dan menyatakan bahwa Yesus Kristus Gembala kekal
telah mendirikan Gereja kudus, dengan mengutus para Rasul seperti Ia sendiri diutus oleh
Bapa (lih. Yoh 20: 21). Para pengganti mereka, yakni para Uskup dikehendakiNya untuk
menjadi gembala dalam GerejaNya hingga akhir zaman. Namun supaya Episkopat itu sendiri
tetap satu dan tak terbagi, Ia mengangkat St. Petrus menjadi ketua para Rasul lainnya” (bdk.
LG 18). Karena gagasan Tubuh Gereja-gereja sendiri memerlukan adanya satu Gereja yang
menjadi Kepala dari Gereja-gereja, yakni Gereja di Roma, yang ‘mendahului communio
universal cinta kasih’18. Begitu pula kesatuan Episkopat memerlukan adanya Uskup yang
menjadi Kepala Badan atau Dewan para Uskup, yakni Imam Agung di Roma (Paus) (bdk. LG
22). Dari kesatuan Episkopat, seperti kesatuan seluruh Gereja, “Paus (Imam Agung di Roma),
sebagai pengganti Petrus, menjadi prinsip dan dasar yang kekal dan kelihatan bagi kesatuan
para Uskup maupun segenap kaum beriman” (LG 23). Kesatuan Episkopat ini bersifat kekal
sepanjang masa melalui suksesi apostolik (pergantian apostolik) dan merupakan dasar identitas
Gereja di segala waktu dengan Gereja yang didirikan Kristus di atas Petrus dan para Rasul
lainnya19 (bdk. Gereja sebagai communio 12).

b. Uskup adalah prinsip dan dasar kelihatan dari kesatuan dalam Gereja partikular yang
dipercayakan kepada pelayanan pastoralnya (bdk. LG 23). Agar setiap Gereja partikular
menjadi Gereja sepenuhnya, artinya kehadiran partikular Gereja universal dengan segala unsur
esensialnya, sehingga membangun kepada gambaran Gereja universal, dalam Gereja partikular
hendaknya hadir, sebagai unsur utama, otoritas tertinggi Gereja: Dewan atau Badan para Uskup
“bersatu dengan Imam Agung di Roma selaku Kepalanya, dan tidak pernah tanpa Kepala itu” (LG
22). Primat Uskup di Roma dan Dewan para Uskup merupakan unsur-unsur baku Gereja universal,
yang “tidak berasal dari partikularitas Gereja-gereja”, melainkan bagian terdalam dari setiap Gereja
partikular. Kecuali itu, “kita harus melihat ministeria (pelayanan)Pengganti Petrus, bukan hanya
sebagai pelayanan “global” yang mengarah ke setiap Gereja partikular dari “luar”, melainkan

18
St. Ignatius dari Antiokhia, Epist. ad Rom., prol.: PG 5, 685.
19
Bdk. LG 20; Ireneus dari Lyon, Adversus Haereses, III, 3, 1-3.
88
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

sebagai unsur yang termasuk hakekat setiap Gereja partikular dari “dalam” (bdk. Gereja sebagai
communio 13).

5.6. COMMUNIO: EKLESIAL DAN EKUMENISME

a. Jelaslah kiranya kehendak Kristus agar umat Allah yang baru tetap bersatu. Namun, sejak masa
apostolik mulailah muncul perselisihan dan perpecahan. Sepanjang peredaran zaman, perselisihan
dan perpecahan tersebut bertambah banyak serta berat hingga abad XI mengakibatkan berpisahnya
Gereja Yunani dari Gereja Latin, dan abad XVI berpisahnya Gereja Roma dan Gereja Protestan.
Baik tentang Gereja maupun mengenai kesatuannya, Konsili Vatikan II memberikan suatu definisi
genetis dan diskriptif, pertama-tama dalam Konstitusi LG dan kemudian dalam dekrit UR.
Sesudah mengaitkan asal-usul Gereja dengan konteks umum keselamatan, Konstitusi dogmatis LG
meneruskan:
“Inilah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Syahadat iman kita akui sebagai Gereja yang satu,
kudus, katolik dan apostolik. Sesudah kebangkitanNya Penebus kita menyerahkan Gereja kepada
Petrus untuk digembalakan (bdk. Yoh 21: 17). Ia pula yang mempercayakannya kepada Petrus dan
Rasul-rasul lainnya untuk disebarluaskan dan dipimpin (bdk. Mat 28: 18). Dan mendirikannya
untuk selama-lamanya sebagai ‘soko guru’ dan landasan kebenaran (bdk. 1 Tim 3: 15). Gereja ini,
yang dibentuk dan ditata di dunia ini sebagai satu masyarakat berada dalam (subsistit) Gereja
Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya,
walaupun di luar persekutuan itu pun ditemukan banyak unsur pengudusan dan kebenaran, yang
merupakan kurnia-kurnia khas Gereja Kristus, dan mendorong ke arah kesatuan Katolik” (LG 8).

b. Sebagaimana dapat dilihat dari teks tersebut, Gereja yang didirikan Kristus tidak melulu disamakan
dengan Gereja Katolik. Konsili hanya menyatakan bahwa Gereja Kristus berada dalam (subsistit),
yaitu hadir secara integral dalam Gereja Katolik,20 akan tetapi tidak meniadakan sifat Gereja atau
umat Allah pada komunitas-komnitas eklesial lain yang terpisah dari Gereja Katolik, bahkan
mengakui bahwa mereka itu memiliki “banyak unsur pengudusan dan kebenaran”.
Justru karena itu, pada waktu Konsili, Komisi Teologi mengubah teks LG sebelum disahkan secara
definitif. Tidak dikatakan lagi bahwa Gereja Kristus adalah (est, artinya eksklusif) Gereja Katolik,
melainkan bahwa Gereja Kristus berada dalam (subsistit) Gereja Katolik. Penjelasan resmi yang
diberikan kepada para Bapa Konsili guna membenarkan perubahan itu berbunyi sebagai berikut:
“Agar ungkapan ini dapat lebih sesuai dengan yang lain tentang unsur-unsur eklesial yang terdapat
di luar lingkupnya”. Sayang bahwa pada waktu itu tidak diberikan penjelasan lebih lanjut guna
menerangkan dengan lebih tepat arti yang sebenarnya dari istilah “subsistit”. Praktisnya semua
komentator melihat dalam perubahan istilah tersebut suatu keterbukaan yang berarti, guna
mengakui adanya realitas eklesial tertentu dalam lingkungan-lingkungan bukan Katolik.

c. Dalam Dekrit Unitatis Redintegratio tentang ekumenisme (UR), Konsili Vatikan II


memperkenalkan21 unsur-unsur yang mengadakan kesatuan Gereja, dan kemudian mengadakan
suatu evaluasi untuk melihat bagaimana gagasan itu terwujud dalam Gereja Katolik dan dalam
Gereja-gereja lain atau dalam komunitas-komunitas eklesial lain.
20
Seperti telah dikehendaki oleh Pendirinya, dengan segala unsur yang direncanakanNya.
21
Dengan cara yang sama sebagaimana digunakan oleh LG, yaitu dengan memberikan suatu definisi genetis dan deskriptif.
89
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

Sesudah menunjukkan bahwa misteri Tritunggal Mahakudus sendiri adalah sumber jauh dan
kehendak Kristus adalah sumber dekat dari kesatuan itu, Konsili Vatikan II meneruskan
pernyataannya sebagai berikut:
“Melalui pewartaan Injil yang setia dan pelayanan sakramen-sakramen serta lewat kepemimpinan
dalam cinta kasih dari para Rasul dan pengganti mereka yaitu para Uskup, bersama pengganti
Petrus sebagai Kepala, berkat usaha Roh Kudus, Yesus Kristus menghendaki agar umatNya
berkembang dan persekutuan mereka disempurnakan dalam kesatuan: dalam kesatuan satu iman,
dalam perayaan bersama ibadat ilahi dan dalam kesepakatan sebagai saudara-saudari dalam
keluarga Allah. Dengan demikian Gereja, satu-satunya kawanan Allah, sebagai tanda yang
ditegakkan antara bangsa-bangsa, mewartakan Injil damai kepada seluruh umat manusia dan
berziarah penuh pengharapan menuju ke sasaran: tanah air surgawi” (UR 2).
Sebagaimana halnya dengan kepenuhan gagasan tentang Gereja, kepenuhan kesatuan terdapat
hanya dalam Gereja Katolik. Dekrit tentang ekumenisme juga mempergunakan kata kerja subsistit:
“Kita percaya, bahwa kesatuan itu tetap lestari terdapat dalam (subsistit) Gereja Katolik, dan
berharap agar kesatuan itu dari hari ke hari bertambah erat sampai kepenuhan zaman. (...) Karena
meskipun Gereja Katolik dilengkapi dengan semua kebenaran yang diwahyukan oleh Allah dan
dengan semua sarana rahmat, namun anggota-anggotanya tidak hidup dari padanya dengan
gairah yang sepadan, sehingga wajah Gereja kurang cemerlang di hadapan saudara-saudari yang
terpisah dari kita dan di depan seluruh dunia; pengembangan Kerajaan Allahpun diperlambat”
(UR 4).

d. Menurut Konsili Vatikan II tidak ada Gereja terpisah yang mengungkapkan nilai kesatuan
secara penuh, karena mereka telah meninggalkan salah satu unsur yang dikehendaki Kristus untuk
kepenuhan kesatuan:
“Saudara-saudari yang terpisah dari kita, baik sendiri-sendiri maupun sebagai persekutuan dan
Gereja-gereja tidak memiliki kesatuan itu, yang ingin diberikan Kristus kepada semua mereka,
yang telah dilahirkan kembali dan dihidupkanNya menjadi satu tubuh dan dalam satu kehidupan
baru, kesatuan yang diakui oleh Kitab Suci dan tradisi Gereja yang patut dihormati. Karena, hanya
melalui Gereja Kristus yang Katolik, yang adalah sarana umum penyelamatan, seluruh
pemyelamatan dapat digapai” (UR 3).
Biarpun Gereja-gereja terpisah tidak mengungkapkan nilai kesatuan secara penuh karena telah
meninggalkan salah satu unsur yang dikehendaki Kristus, namun Dekrit tentang ekumenisme
mengakui bahwa Gereja-gereja lain juga adalah Gereja, sarana penyelamatan: “Maka walaupun
menurut iman kita mereka memiliki cacat, Gereja-gereja dan persekutuan-persekutuan yang
terpisah itu sama sekali bukan tanpa makna dan bobot dalam misteri keselamatan. Karena Kristus
tidak menolak untuk memanfaatkan mereka sebagai sarana penyelamatan. Tenaganya diperoleh
dari kepenuhan rahmat dan kebenaran sendiri, yang dipercayakan kepada Gereja Katolik” (UR 3).

e. Dokumen dari Kongregasi untuk Ajaran Iman mengenai “Berbagai Aspek Gereja sebagai
communio”, memulai bab V dengan judul: “Communio eklesial dan ekumenisme”, dengan
mengutip dari Konstitusi dogmatis Lumen Gentium: “Gereja tahu berdasarkan banyak alasan, Ia
mempunyai hubungan dengan mereka yang dipermandikan dan bergelar Kristen tetapi yang tidak

90
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

mengakui (iman) seutuhnya atau tidak memelihara kesatuan persaudaraan di bawah Pengganti
Petrus”22 (LG 15).
Lantas dokumen “Gereja sebagai communio” meneruskan dengan suatu pernyataan yang
bereferensi dengan Konsili Vatikan II (UR 3. 22 dan LG 13). Dikatakan bahwa dalam Gereja-gereja
dan komunitas-komunitas Kristen bukan Katolik terdapat unsur Gereja Kristus di mana diakui
dengan kegembiraan dan pengharapan adanya suatu communio yang pasti, biarpun tidak sempurna.
Dalam communio itu, pertama-tama tergabung Gereja-gereja Timur Ortodoks. Mereka ini,
walaupun terpisah dari Takhta Petrus, tetap bersatu dengan Gereja Katolik melalui ikatan-ikatan
yang sangat erat, misalnya suksesi apostolik dan Ekaristi yang sah, dan oleh karena itu patut disebut
sebagai Gereja-gereja partikular. «Sebab sesungguhnya “dengan perayaan Ekaristi Tuhan, dalam
tiap Gereja itu, Gereja Allah dibangun dan bertumbuh” (UR 15), karena dalam setiap perayaan
Ekaristi yang sah, benar-benar hadir Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik» (Gereja
sebagai communio 17).
Namun perlu kita ingat bahwa communio dengan Gereja universal yang terwujudkan dalam
Pengganti Petrus, bukan merupakan tambahan lahiriah (dari luar) pada Gereja partikular,
«melainkan satu unsur hakiki batiniah, maka keadaaan komunitas-komunitas kristiani yang patut
dihormati itu mengimplikasikan juga suatu luka dalam keberadaan mereka sebagai Gereja
partikular» (Gereja sebagai communio 17)

f. Luka itu jauh lebih dalam pada komunitas-komunitas eklesial yang tidak mempertahankan suksesi
apostolik dan ekaristi yang sah: «Dari lain pihak hal ini mengakibatkan juga bagi Gereja Katolik
yang dipangggil Tuhan menjadi bagi semua “satu kawanan dengan satu gembala” (bdk. Yoh 10:
16) – suatu luka yang begitu merintangi pelaksanaan penuh universalitasnya dalam sejarah» (Gereja
sebagai communio 17).
Keadaan tersebut sangat mendorong kita semua akan komitmen ekumenis guna mencapai
communio penuh dalam kesatuan Gereja, kesatuan «yang sejak awal dianugerahkan Kristus kepada
GerejaNya, kesatuan yang menurut keyakinan kita tetap ada (subsistit) tidak dapat hilang dalam
Gereja Katolik dan yang menurut harapan kita hari demi hari, hingga akhir zaman, menjadi semakin
erat (UR 4)» (Gereja sebagai communio 18). Dalam komitmen ekumenis ini sangat pentinglah doa,
mati raga, studi, dialog dan kerjasama agar dalam pertobatan yang baru kepada Tuhan, semua dapat
mengakui bahwa «Primat Petrus tetap berlangsung dalam pengganti-penggantinya, yaitu Uskup-
uskup Roma, serta melihat pelayanan Petrus terlaksana sebagaimana dimaksudkan oleh Tuhan,
yaitu sebagai pelayanan apostolik yang universal, yang hadir dalam semua Gereja dan dari dalam
mereka dan yang, terjamin hakekatnya dari kelembagaan ilahi, dapat diungkapkan dalam berbagai
cara, menurut tuntutan tempat dan waktu, sebagai kesaksian sejarah» (Gereja sebagai communio
18).

22
“Ecclesia semetipsam novit plures ob rationes coniunctam – inteçram autem fides non profitentur – unitatem
communionem sub successore Petri non sernat”.
91
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

5.7. BEBERAPA KESIMPULAN TEOLOGIS

Surat atau dokumen tentang “Beberapa aspek Gereja sebagai communio” diakhiri dengan
kesimpulan singkat:
Perawan Maria adalah model communio (persekutuan) eklesial dalam iman, cinta kasih dan dalam
persatuan dengan Kristus (bdk. LG 63. 68). “Maria, sejak kekal selalu hadir dalam misteri Kristus”, dia
– bersama dengan para Rasul – berada dalam jantung dari Gereja yang lahir dan dalam jantung Gereja di
segala tempat dan zaman. Sebenarnya, ‘Gereja dihimpun di lantai atas (Senakel/ruang perjamuan)
bersama Maria Bunda Yesus dan bersama saudara-saudaraNya. Sehingga, kita tidak dapat berbicara
mengenai Gereja jika Maria Bunda Tuhan, tidak hadir di sana, bersama saudara-saudaraNya’23
(Gereja sebagai communio 19).

a. Dalam Perjanjian Baru, tidak kita temukan pernyataan eksplisit yang menyebutkan bahwa Gereja
adalah suatu communio. Namun, istilah ini menyebar dalam berbagai konteks menyangkut peristiwa
atau kejadian hidup maupun tindakan-tindakan eklesial. Kata atau istilah yang biasa digunakan
adalah koinonia, yang memiliki bermacam-macam makna atau pengertian. Kata ini kadang
dijumpai dalam konteks yang merujuk ekaristi (bdk. 1 Kor 10: 15-21) atau merujuk kepada karunia
pewahyuan ilahi (1 Yoh 1: 1-3), atau dalam doksologi24 (2 Kor 13: 13; 1 Kor 1: 9); dan dari teks-
teks itu secara jelas mengindikasikan suatu komunikasi atau relasi dengan Krsitus atau dengan
Bapa, Putera dan dengan Roh Kudus. Dengan kata lain, selalu menggambarkan perjumpaan
spiritual dengan Allah, yang nyata dalam cinta kasih kepada saudara-saudara, persekutuan dengan
orang lain (communio).
Dalam teks lain, sebaliknya, istilah koinonia mengindikasikan secara langsung persekutuan
persaudaraan antara kaum beriman (1 Yoh 1: 6; Kis 2: 42), yang kemudian segera
mengimplikasikan (melibatkan atau memasukkan) partisipasi kepada harta spiritual dan material
(partecipatio) (Kis 2: 44) juga di antara Gereja-gereja yang berbeda atau terpisah (Rm 15: 26-28; 2
Kor 8: 4).

b. Konsili Vatikan II mengungkapkan makna communio dengan merujuk kepada Roh Kudus dan
menempatkan kaum beriman dalam communio (persekutuan) dengan Kristus dan Trinitas, terutama
untuk menjernihkan hubungan antar anggota Gereja (umat Allah) dan hubungan antar Gereja
(Gereja-gereja): “Dalam Tubuh itu hidup Kristus dicurahkan ke dalam uamt beriman. Melalui
sakramen-sakramen mereka secara rahasia namun nyata dipersatukan dengan Kristus yang telah
menderita dan dimuliakan. Sebab dengan baptis kita menjadi serupa dengan Kristus: ‘Karena
dalam satu Roh kita semua telah dibaptis menjadi satu tubuh’ (1 Kor 12: 13). Dengan upacara suci
itu dilambangkan dan diwujudkan persekutuan dengan wafat dan kebangkitan Kristus” (LG 7).

23
St. Cromasius dari Aquileia, Sermo 30, 1: Sources Chrétiennes 1 64, hlm. 134; bdk. Paulus VI, Himbauan apostolik
Marialis cultus, 2 Februari 1974, no. 28: AAS 66 (1974) 141.
24
Dari bahasa Yunani: dóxa dan lógos. Dalam lingkungan Yunani dóxa artinya opini atau pemikiran, tetapi dalam versi LXX
digunakan untuk menterjemahkan kata Ibrani kabod. Suatu istilah yang mengatakan ide untuk berpikir dan menduga
(tindakan subjektif) kemudian menjadi ungkapan objektivitas absolut, realitas Allah, kemuliaanNya. Dalam teologi,
doksologi ini untuk menunjukkan ungkapan memuliakan Allah. Dalam liturgi untuk mengungkapkan doa pujian terhadap
Allah. Beberapa doksologi dalam Perayaan Misa: madah “Kemuliaan kepada Allah”. Doa Syukur Agung ditutup dengan
doksologi: “Dengan perantaraan Kristus, bersama Dia dan dalam Dia...”, yang merupakan ungkapan kemuliaan Allah.
Juga doksologi setelah Embolisme: “Sebab Tuhanlah Raja yang mulia dan berkuasa untuk selama-lamanya”; bdk. R.
Geraldi, “Dossologia”, dalam Luciano Pacomio dan Vito Mancuso (eds.), Op. Cit., hlm. 319.
92
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

Selanjutnya dalam LG 13 ditegaskan: “Maka dalam persekutuan Gereja selayaknya pula terdapat
Gereja-gereja khusus, yang memiliki tradisi mereka sndiri, sedangkan tetap utuhlah primat Takhta
Petrus, yang mengetuai segenap persekutuan cinta kasih, melindungi keanekaragaman yang wajar,
dan sekaligus menjaga, agar hal-hal khusus jangan merugikan kesatuan, melainkan justru
menguntungkannya” (LG 13).
Kecuali itu, istilah communio digunakan untuk menunjukkan hubungan atau relasi antara Gereja-
gereja lokal yang berbeda dan Gereja Roma (communio ecclesiastica), dan pada akhirnya untuk
mendefinisikan ikatan atau jalinan hierarkis (hierarchica communio) yang mencakupi dewan para
Uskup, presbiter (para imam) dan para diakon (bdk. LG 18. 21. 23. 29).

c. Jelaslah bahwa istilah communio telah digunakan sejak zaman para Rasul, tetapi dalam perjalanan
sejarahnya mengalami perkembangan nilai atau makna. Dari relasi interior antara orang beriman
dan Kristus – dan Trinitas – communio ini berlanjut untuk menunjukkan relasi eksterior antara
orang beriman sendiri dan antara berbagai komunitas. Karena itu, communio “horisontal” tidak
pernah menghilangkan atau mengecualikan communio “vertikal”, begitu pula sebaliknya.25
Dari sini kita bisa memahami bahwa istilah communio memiliki fleksibilitas dan kompleksitas
tersendiri, yang meminta untuk diinterpretasikan sebagai kesatuan dalam keanekaragaman.
Gereja, baik sebagai ekklesìa atau umat Allah, sebagai misteri atau sakramen dan sebagai tubuh
mistik Kristus, dapat mengungkapkan diri sebagai relasi atau hubungan dengan Allah, hubungan
antara orang beriman dan hubungan antara Gereja-gereja lokal.

d. Konsep tradisional, yang dibawa dalam terang Konsili Vatikan II menegaskan bahwa eklesiologi
“tidak lagi melulu merupakan societas (masyarakat) manusia, melainkan lebih-lebih communio
(persekutuan) trinitaris: Bapa dan Putera dalam satu-satunya Roh”. Meskipun harus diakui bahwa
istilah “communio” dalam Konsili tidak memiliki posisi sentral, tetapi sebenarnya , jika “secara
jujur dimengerti, istilah communio dapat dilihat sebagai sintesis bagi unsur-unsur esensial
eklesiologi Konsili Vatikan II” yang selaras dengan 1 Yoh 1: 326, sehingga memiliki “suatu karakter
teologis, kristologis, historis-penyelamatan dan eklesiologis”.27 Communio menjadi “jantung atau
inti sejati bagi ajaran tentang Gereja dalam Konsili Vatikan II, karena itu bisa dinyatakan sebagai
gagasan sentral dan fundamental dari eklesiologi yang dikembangkan oleh Konsili, dan merupakan
kunci pemahaman diri Gereja”. Terutama setelah Sinode Luar Biasa tahun 1985, yang mencoba
merangkum bersama eklesiologi Konsili dalam satu konsep dasar: eklesiologi communio, dipahami
sebagai “dasar bagi keteraturan Gereja dan terutama untuk kebenaran relasi antara unitas (kesatuan)
dan pluralitas (keanekaragaman) dalam dirinya”.

e. Kemudian, pada Sinode-sinode berikutnya, ada perkembangan orientasi. Eklesiologi communio


memulai dengan tema relasi atau hubungan antara Gereja lokal (partikular) dan Gereja universal,
yang kerapkali jatuh dalam persoalan perbedaan kompetensi satu dengan yang lain.
Untuk mengangkat dan memperjelas tema itu, Kongregasi untuk Ajaran Iman (CDF) mengeluarkan
Surat «Communionis notio» tentang “Beberapa aspek Gereja sebagai communio” (1992). Surat ini

25
Carlo Porro, La Chiesa. Introduzione Teologica, Edizioni Piemme, Casale Monferrato (AL), 1986, hlm. 112-113.
26
“Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamu pun beroleh
persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus”.
27
J. Ratzinger, “L’ecclesiologia della «Lumen Gentium»”, hlm. 69-70.
93
BAB V GEREJA SEBAGAI MISTERI “COMMUNIO”

bertujuan untuk “menjaga” kriteria bagi pemahaman yang benar tentang pengertian “communio”,
dengan memberi tiga aspek fundamental:
1. Konsep “communio” dalam hubungannya dengan pengertian sentral lain dari eklesiologi, yakni
Gereja sebagai “umat Allah”, “tubuh Kristus” dan “sakramen”.
2. Konsep “communio” dalam hubungan dengan Ekaristi dan Episkopat, dengan mengedepankan
makna unisitas (kesatuan) Gereja, yang diungkapkan dalam hubungan interior timbal balik
antara Gereja universal dan Gereja-gereja partikular.
3. Konsep “communio” dalam hubungan antara para Uskup, dan di antara mereka dan Pengganti
Petrus, yang merupakan dasar kelihatan dari kesatuan Gereja dan yang lantas dikaitkan dengan
perspektif ekumenis.

94

Anda mungkin juga menyukai