Anda di halaman 1dari 13

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI TAWANGMANGU

Nama/ NIM : Agus Pramah Jaya Ndruru/

Tingkat/Semester :

Mata Kuliah :

Budaya “Monganga Afo” Sebagai Sarana Misi Penginjilan Yang Kontekstual di Kalangan
Masyarakat Pulau Nias

Bab 1

PENDAHULUAN

Injil adalah kabar baik bagi setiap orang yang percaya kepada Yesus. Semua orang
percaya bertumbuh dalam iman dan kerohanian karena mendengar Injil. Artinya adalah injil
menghantar manusia kepada pengenalan yang benar kepada Allah, yang akan membawa mereka
semakin bertumbuh di dalam-Nya. Sebab itulah injil perlu untuk dikabarkan kepada semua
orang, karena penginjilan adalah komunikasi yang dikerjakan oleh orang-orang percaya sebagai
penyambung lidah Allah yang menyampaikan berita pengampunan yang diberikan Allah kepada
semua orang1. Selain itu Injil juga akan membawa keselamatan kepada setiap orang, ketika orang
mendengar Injil, menerima dan percaya maka orang itu akan diselamatkan, itulah yang menjadi
alasan utama mengapa Injil harus diberitakan kepada semua orang2.

Misiologi adalah salah satu tugas dan tanggung jawab gereja, dimana gereja diutus untuk
menjadi bagian dari pekabaran Injil kepada bangsa-bangsa. Misiologi adalah salah satu cabang
teologi yang memiliki kaitan erat dengan cabang teologi lainnya, seperti dogmatic, eksegese,
eklesiologi, sejarah, hokum gereja, pastoral dan lain-lain, serta pergerakan di dalamnya yang di
dasarkan atas pergolakan dunia dan situasi tempat dimana orang percaya melakukan pekabaran
Injil (tugas misioner)3. Selain itu, tugas misiologi juga merupakan perwujudan dari penerapan
dan action orang-orang percaya untuk melaksanakan Amanat Agung yang terdapat dalam Matius
28:19-20. Namun, dalam pelaksanaannya sangat sulit untuk dilakukan, karena perbedaan budaya,
nilai-nilai Alkitab yang bertentangan dengan adat istiadat, khususnya masyarakat Indonesia
dengan lingkungan yang pluralitas agama, penderitaan, kemiskinan, kerusakan ekologis,
ketidakadilan sosial, dan ketidakadilan gender4. Hal-hal inlah yang menjadi tantangan misiologi,
terutama hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan adat istiadat yang bertentangan dengan
Alkitab, hal ini kemungkinan besar akan di tolak oleh masyarakat lokal yang menjadi sasaran
1
J. I. Packer, Penginjilan Dan Kedaulatan Allah (Surabaya: Momentum, 2010).
2
David Eko Setiawan, ‘Kelahiran Baru Di Dalam Kristus Sebagai Titik Awal Pendidikan Karakter Unggul’,
EVANGELIKAL, Vol. 3.2 (2019), 153–60.
3
Dr. Raja Oloan Tumanggor, MISI Dalam MASYARAKAT MAJEMUK (PENERBIT GENTA PUSTAKA
LESTARI, 2014), p. 9.
4
Fransius Kusmanto, ‘Pelaksanaan Pendekatan Penginjilan Kontekstual’, Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia, 2.2
(2021), 16–26.
misi dan pekabaran Injil. Sebab itu, misiologi kontekstual akan menjawab setiap tantangan ini.
Dimana, misi ini berhubungan dengan cara, langkah, atau metode penginjilan dengan
mempelajari budaya dan adat istiadat masyarakat lokal.

Misi Kontekstual adalah langkah yang dapat di tempuh untuk mencapai suatu tujuan
pekabaran Injil yang disesuaikan dengan konteks yang ada atau yang berlaku dikalangan
masyarakat yang menjadi objek pekabaran Injil.5 Secara sederhana, Misi Kontekstual dapat
diartikan sebagai cara pekabaran Injil kepada suatu suku secara sederhana dan sesuai konteks
kebudayaan, dengan tujuan agar penyampaian Injil lebih mudah diterima dan dipahami dengan
jelas. Dalam kekristenan, pekabaran Injil adalah tugas dan tanggungjawab setiap orang percaya
(orang Kristen itu sendiri). Hal ini dilandasi atas dasar firman Tuhan sebagaimana Alkitab
menejelaskan pribadi Yesus Kristus sebagai Injl yang telah datang ke dunia atas dasar kasih-Nya
yang begitu besar bagi dunia dan semua orang berdosa (Yoh. 3:16) 6. Sebab itu, pekabaran Injil
merupakan pelayanan orang percaya yang akan tetap relevan hingga selama-lamanya, karena
Yesus Kristus mengasihi dunia dan semua orang.

Misiologi berasal dari bahasa Latin, yaitu mission yang berarti pengutusan, dalam bahasa
inggris diartikan sebagai God’s mission (Karya Allah) atau tugas pelayanan yang diberikan dan
dipercayakan Allah kepada umat-Nya yang percaya kepada-Nya 7. Dengan demikian penulis
menetapkan pemahaman bahwa pekabaran Injil adalah kewajiban bagi semua orang percaya
untuk mengerjakan pekabaran Injil kepada seluruh dunia, tanpa mengenal ras, suku dan budaya.
Semua kalangan manusia harus menjadi objek dan sasaran pekabaran Injil, salah satunya suku
Nias yang tinggal dan menetap di pulau Nias, Indonesia.

Masyarakat Nias adalah salah satu suku yang terkenal masih memegang ada dan budaya
nenek moyangnya sampai saat ini. Masyarakat Nias begitu ketat mempertahankan budaya
mereka hingga saat ini, karena mereka beranggapan bahwa budaya dan adat istiadat perlu
dilesatarikan karena melalui hal itu mereka akan diberkati 8. Sangat sulit bagi masyarakat Nias
untuk meniggalkan budaya dan adat istiadt nenek moyang mereka, karena system kehidupan
mereka diatur dalam satu tatanan kehidupan yang ketika dilanggar, dalam kepercayaan, mereka
akan menerima kutuk dan bukan berkat9. Namun hal itu tidak menjadi masalah yang rumit untuk
mengabarkan Injil kepada masyarakat Nias, sesuai dengan pengertian misiologi kontektual,
dimana, penginjilan akan dilakukan dengan mempelajari dan menerima budaya masyarakat
lokal. Dari hal ini penulis melihat bahwa budaya “monganga” (makan sirih) di pulau Nias bisa

5
Dkk David Martinus, ‘Kajian Misi Kontekstual Terhadap Spiritualita Dalam Budaya: Budaya Mabak Sabek Di
Dusun Gun Jemak-Kalbar’, REAL DIDACHE, 4.2 (2019), 77–84.
6
Harming Deni Triastanti, Ferderika Pertiwi Ndiy, ‘Strategi Misi Lintas Budaya Berdasarkan Kisah Para Rasul 1:8’,
Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia, 1.1 (2020), 15–23.
7
Arie de Kuiper, ‘Missiologia’ (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), p. 9 (p. 9).
8
Steven Anugerah Jaya Ndruru and Firman Panjaitan, ‘Korelasi Konsep Sunat Dalam Perjanjian Lama Dengan
Budaya Sunat Di Masyarakat Nias’, Jurnal Misioner, 1.2 (2021), 140–60 <https://doi.org/10.51770/jm.v1i2.24>.
9
Steven Anugerah Jaya Ndruru Firman Panjaitan, ‘Titik Temu Hukum Fondrako Dengan Keluaran 20:3-17 Sebagai
Tatanan Kehidupan Masyarakat Nias’, KENOSIS: JURNAL DAN KAJIAN TEOLOGI, 8.2 (2022), 301–22.
menjadi pendekatan utama untuk menyampaikan Injil kepada masyarakat Nias. Makan sirih
adalah budaya masyarakat Nias yang mana sirih yang dimakan terdiri dari lima elemen yang
disatukan. Penulis adalah masyarakat Nias yang paham secara utuh tentang elemen yang ada
dalam sirih yang dimakan tersebut. Lima elemen tersebut adalah pinang, kapur sirih, tembakau
(jenis tembakau yang bisa dimakan) daun sirih dan daun gambir yang disatukan dan biasanya
disebut dengan “afo”. Monganga merupakan bentuk persembahan adat, penyambutan dan
penghormatan kepada tamu, saudara atau orang yang dihormati, selain itu afo juga memiliki nilai
tertinggi dalam adat10. Oleh karena itu, semua orang yang ditawari untuk monganga afo artinya
orang itu di hormati dan diterima sebagai saudara bagi masyarakat Nias.

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Suku Nias, Budaya dan Adat Istiadat, Budaya Mongaga Afo

Pada bagian ini, penulis akan menguraikan secara singkat tentang asal usul suku Nias, budaya
dan adat istiadanya serta budaya “monganga” di kalangan masyarakat Nias.

a. Suku Nias dan asal usulnya

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang menyebut dirinya sebagai “ono niha” artinya
anak manusia/anak atau orang Nias yang mendiami pulau Nias di sebelah timur pulau
Sumatera11. Dalam mitologi masyarakat Nias, mereka mempercayai bahwa leluhur mereka
berasal dari “Teteholi Ana’a” atau biasa diartikan sebagai dunia atas dengan diturunkan kebumi
Tano Niha, tanah Nias atau Pulau Nias 12. Leluhur pertama suku Nias dikenal dengan nama Hia
Walangi Sinada dengan istrinya, yang diturunkan ke bumi dan mendiami daerah Nias Selatan,
tepatnya di daerah Boronadu, Gomo, hal ini juga diperkuat dengan adanya batu-batu peninggalan
sejarah yang terdapat di daerah Boronadu, Gomo Nias Selatan.

Ada beberapa penelitian tentang asal usul masyarakat Nias, seperti yang dikemukakan
oleh Heinrich Sunderman dalam bukunya yang berjudul “Die Psychologie Des Niassers”, ia
mengemukakan bahwa manusia yang menjadi awal dari keberadaan leluhur suku Nias adalam
Lowalangi. Namun hal ini bertentangan dengan mitologi kepercayaan masyarakat Nias, dimana

10
Criss Jp, ‘Pengertian Da Kegunaan Afo Dalam Adat Suku Nias’, Criss Jp, 2021 <criss-jp.com/2021/06/afo-dalam-
tradisi-nias.>.
11
Firman Panjaitan.
12
Harefa Faogöli, ‘Hikayat Dan Tjetera Bangsa Serta “Adat Nias”’, 1939, 9–23.
dalam kepercayaan mereka, Lowalangi adalah ilah tertinggi yang menciptakan manusia 13, dan
nama Lowalangi sendiri, merupakan sebutan bagi nama Allah di kalangan masyarakat Nias
hingga saat ini.

Selain itu, juga terdapat beberapa teori yang mengemukakan asal usul leluhur masyarakat
Nias, Nieuwenhizen dan Von Rosenberg mengemukakan bahwa masyarakat Nias, berasal dari
suku Batak14. Sekilas hal ini bisa dipertimbangkan sebagai sebuah kebenaran dikarenakan letak
geografis pulau Nias berdekatan dengan Pulau Sumatera yang sebagian besar di huni oleh suku
Batak. Namun, teori ini dibantah oleh E. Deninger seorang misionaris Kristen Prostestan dari
Jerman, yang melayani pekabaran Injil di Pulau Nias, yang saat ini hasil dari pekabaran Injil
tersebut berdiri satu denominasi gereja yang di sebut dengan Banua Niha Keriso Protestan
(BNKP). Deninger membantah teori ini dengan mengemukakan satu alasan bahwa bentuk tubuh,
bahasa dan adat istiadat suku Nias yang jauh berbeda dengan suku Batak.15

Berikutnya adalah hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2013, penelitian
menemukan bahwa pulau Nias suadah dihuni sejak 12.000 tahun yang lalu oleh para imigran
yang berasal dari daratan Asia. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa doctoral
dari Departemen Biologi Molekuler Forensik Erasmus MC, berhasil menemukan bahwa suku
Nias berasal dari rumpun bangsa Austronesia, diperkiraka bangsa ini berasal dari Taiwan sekitar
4000-5000 tahun yang lampau16. Tentang hasil penelitian bahwa masyarakat Nias berasal dari
daratan Asia dari rumpun bangsa Austronesia yakni Taiwan, penelitian ini juga memiliki
pengertian yang sama dengan ungkapan yang disampaikan oleh Martin Thomsen yang
menemukakan bahwa suku Nias merupakan salah satu suku tertua yang berasal dari Asia
Tenggara yaitu Tiongkok17 Penelitian genetika terbaru menemukan bahwa kromosom-Y dan
Mitokondria DNA suku Nias memiliki kemiripan dengan orang Taiwan dan Filipina, dengan

13
Heinrich Sunderman, Die Psychologie Des Niassers, 1887, p. 289.
14
H. C. B. von Nieuwenhuisen, J. T. and Rosenberg, ‘Verslag Omtrent Het Eiland Nias En Deszelfs
Bewoners’, 1863, 1–153.
15
Tuhoni Telaumbanua and Uwe Hummel, Salib Dan Adu (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2015), p. 16.
16
Mannis Van Oven and others, ‘Unexpected Island Effects at an Extreme: Reduced y Chromosome and
Mitochondrial DNA Diversity in Nias’, Molecular Biology and Evolution, 28.4 (2011), 1349–61
<https://doi.org/10.1093/molbev/msq300>.
17
Telaumbanua and Hummel, p. 6.
menguji sampel DNA 440 sampel darah masyarakat Nias yang berasal dari 11 Desa di Pulau
Nias18.

Dari motologi dan penelitian diatas, tentang asal usul suku Nias, ada dua kesimpulan
yang menjadi kesimpulan pembahasan. Pertama, secara mitos luluhur masyarakat Nias berasal
dari Teteholi Ana’a atau dunia atas dengan leluhur pertama yang dikenal dengan nama Hia
Walangi Sinada, dan Hia Walangi Sinada ini juga diturunkan bersamaan dengan hukum adat
yang mengatur seluruh tatanan kehidupan masyarakat Nias 19, dan hukum ini masih dilakukan
hingga sekarang. Kedua adalah tentang asal usul suku Nias dari Taiwan berdasarkan penelitian
tentang bentuk tubuh dan DNA. Masyarakat Nias memiliki kesamaan Kromosom-Y dan
Mitokondria DNA dengan orang Taiwan, begitu juga dengan bentuk tubuh yang memiliki
kemiripan, seperti kulit putih dan mata yang cenderung sipit.

Sekalipun ada dua kesimpulan tentang asal usul masyarakat Nias, baik secara mitologi maupun
melalui penelitian DNA yang dilakukan, jelas diantara keduanya, penulis tidak menemukan titik
temu yang menjadi benang merah tentang asal usul dan leluhur masyarakat Nias. Namun, di suku
Nias sendiri, hingga saat ini mereka mempercayai bahwa mereka berasal dari dunia atas melalui
leluhur mereka yang diturunkan di tanah Nias, hal ini dapat di buktikan, karena hingga saat ini
masyarakat Nias masih memegang teguh adat dan istiadat mereka seperti hukum adat (Hukum
Fondrako) dan didalamnya termasuk budaya mongaga afo yang akan penulis uraikan dalam
pembahasan ini sebagai pendekatan misi kontekstual kepada lapisan masyarakat Nias.

b. Budaya dan adat istiadat masyarakat Nias.

Masyarakat/suku Nias memiliki banyak kebudayaan dan adat istiadat. Sama sepeti suku-suku
lain yang ada di Indonesia, budaya dan adat istiadat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
terpisahkan. Namun suku Nias sendiri memiliki keunikan tersendiri, semua adat istiadat dan
budaya di atur dalam satu hukum utama, yaitu hukum Fondrako. Semua budaya, cara hidup
masyarakat Nias, dan adat istiadat yang di terapkan dalam kehidupan masyarakat Nias, di dasari
oleh hukum Fondrako. Hukum Fondrako adalah hukum yang menjadi aturan hidup masyarakat
Nias atau hukum yang mengatur seluruh tatana kehidupan masyarakat Nias. Menurut Amstrong,

18
‘Asal-Usul Orang Nias Ditemukan’
<https://sains.kompas.com/read/2013/04/16/09081323/~Sains~Arkeologi> [accessed 20 January 2022].
19
Firman Panjaitan.
hukum ini adalah hukum yang diturunkan secara turun temurun dari leluhur masyarakat Nias,
dan tidak boleh dilanggar, yang dalam perspektif masyarakat Nias sendiri, ketika hukum ini
dilakukan akan mendatangkan berkat, dan sebaliknya ketika dilanggar hukum ini akan
mendatangkan kutuk20. Inilah yang menjadi alasan utama masyararakat Nias mempertahankan
budaya dan adat istiadat mereka. Tidak hanya adat budaya dan adat istiadat, hukum Fondrako
juga merupakan hukum yang mengikat, dari kelahiran hingga meninggal dunia 21. Namun hal
yang paling penting yang ingin penulis tekankan pada pembahasan ini adalah semua budaya,
cara hidup adat istiadat masyarakat Nias di atur dalam hukum utama yang tidak boleh dilanggar,
yakni hukum Fondrako.

c. Budaya Monganga Afo

Budaya Monganga Afo adalah salah satu kebudayaan yang memiliki kemiripan dengan
daerah Indonesia di bagian timur, lebih tepatnya Papua yang biasa disebut dengan istilah makan
pinang. Budaya Monganga Afo biasa di sebut dengan makan sirih. Afo sendiri terdiri dari lima
bagian elemen yang diolah jadi satu yakni bulu dawuo (daun sirih), bulu gambe (daun gambir),
fino (buah pinang), betua (kapur sirih) dan bago (tembakau)22.

Budaya monganga afo bukan bukan hanya sebatas kebiasaan masyarakat di suku Nias,
budaya ini juga merupakan bagian paling penting dalam setiap acara adat, seperti pernikahan,
peresmian rumah, dan perkumpulan adat lainnya. Afo memiliki nilai tertinggi dalam adat suku
Nias, sama halnya dengan keberadaan simbi mbawi/rahang babi yang menjadi persembahan
utama dalam acara adat sebagai penghormatan tertinggi yang diwajibkan dan menjadi satu
keharusan23. Seperti pada pembahasan sebelumnya, bahwa semua adat dan budaya diatur dalam
hukum utama, termasuk Afo. Monganga Afo selain merupakan budaya, Afo juga merupakan
simbol tradisi turun temurun dan sering menjadi bagian dalam acara tradisional serta yang paling
penting adalah Afo juga punya posisi terpenting dalam penyambutan tamu atau pengunjung dari
luar Pulau Nias24. Selain budaya dan tradisi, Afo juga memiliki manfaat penting menurut
20
Amstrong Harefa, ‘Eksistensi ”Fondrakõ” Dalam Hukum Adat Nias’, Angewandte Chemie International
Edition, 6(11), 951–952., 2018, 10–27.
21
Firman Panjaitan.
22
Criss Jp.
23
Dedy Padang, ‘Kisah Top Pulau Nias (Bagian 5)’, Kompasiana, 2020
<https://www.kompasiana.com/dedy1992/5f944aec8ede4872c572f712/kisah-top-di-pulau-nias-bagian-5?
page=2&page_images=1>.
24
‘ISTIADAT NIAS’, Museum Pusakan Nias <https://museum-nias.org/istiadat-nias/>.
masyarakat Nias Afo memiliki manfaat memperkuat gigi dan gusi25. Selain itu, monganga afo
juga memiliki efek samping seperti pembengkakan mulut dan lidah semakin tebal, namun ini
hanya terjadi ketika kandungan tembakau dalam afo berlebihan.

Monganga Afo adalah bagian dari penghormatan kepada sesama, hal ini dapat dilihat
ketika suku Nias saling bertemu, maka yang paling awal disampaikan adalah salam dan setelah
itu di susul dengan saling bertukar Afo atau menawarkan Afo kepada orang yang baru di jumpai.
Monganga Afo juga disebut sebagai “sumange ni’a”26 atau dimakan/ dikunyah sebagai tanda
penghormatan, bisa juga di artikan sebagai penghormatan bagi dia (orang yang baru dikenal atau
orang yang sedang dijumpai dan saling bertemu). Selain simbol penghormatan, secara umum
dalam kebiasaaan masyarakat Nias, Afo juga merupakan jembatan untuk saling membangun
hubungan dan relasi yang baik antar sesama27. Relasi yang dibangun dalam hukumnya, bukan
saja sekadar hubungan pertemanan, tetapi juga hubungan sebagai keluarga atau diterima sebagai
keluarga.

B. Misi Kontektual

Misi kontekstual adalah cara untuk mencapai suatu tujuan penginjilan atau pekarabaran
Injil kepada suatu etnik dengan menyesuaikan konteks masyarakat lokal. Misi merupakan karya
Allah sendiri yang diberikan sebagai tugas kepada manusia yaitu dengan memberitakan Injil
(Matius 28:19-20).28 Dalam melakukan tugas dari Allah yaitu memberitakan Injil, tentunya
bukan hal yang mudah untuk masuk dalam satu kelompok masyarakat dengan budaya dan adati
istiadat mereka yang jauh berbeda dengan Alkitab. Hal ini menjadi problem tersendiri bagi
orang-orang percaya untuk mengabarkan Injil, tentunya akan ada penolakan dari kelompok
masyarakat lokal. Sebab itu misi kontekstual menjadi jawaban atas problematika tersebut,
dimana orang percaya akan mengabarkan Injil dengan menyesuaikan budaya tertentu.
Kontekstual dan kontekstualisasi merupakan cara Tuhan untuk meyatakan diri-Nya dengan
mudah dipahami, yang dilaksanakan atas kehendak-Nya yang berdaulat, dan terwujud secara

25
Criss Jp.
26
Ingatan Sihura, ‘Afo Sumange Ni’a Dalam Budaya Nono Niha’, Kompasiana, 2021
<kompasiana.com/ingatan44910/60cd37c906310e37dac9ea2/afo-sumange-ni-a-dalam-budaya-nono-niha>.
27
Criss Jp.
28
Harianto GP, Komunikasi Dalam Pemberitaan Injil (Yogyakarta: ANDI, 2012), p. 131.
kontekstualisasi dalam setiap konteks kehidupan manusia secara menyeluruh 29. Teologi
kontekstual memberikan penegasan bahwa Injil (Allah) dari atas bekerja di dalam serta melalui
kebudayaan dengan segala aspeknya30. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam misi
kontekstual, segala sesuatu dalam kebudayaan dan segala aspeknya dan fungsinya, dimanfaatkan
untuk menyampaikan Injil sehingga lebih mudah diterima dan dipahami.

Yakob Tomatala menjelaskan bahwa pada umunya bermisiologi keontekstual adalah


bersifat universal serta berlaku untuk segala masa dan tempat. Namun, dalam penerapan dan
penggunaannya di setiap konteks kebudayaan dan segala aspek yang ada menuntut pendekatan
yang kontektual kekinian dalam berkontekstualisasi, selain itu prinsip in juga menuntut semua
orang yang bermisi kontekstual untuk bersikap terbuka dengan konteks yang ada.31

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Injil merupakan karya Tuhan yang
kontekstual terhadap budaya dan adat istiadat. Namun David Eko Setiap mengemukakan bahwa
pertemuan antara Injil dan kebudayaan seringkali menimbulkan ketegangan ditengah-tengah
masyarakat32. Hal ini bisa terjadi karena keberadaan budaya dan adat istiadat yang bertolak
belakang dengan Injil. Pemahaman tentang gaya hidup masyarakat lokal, mengalami banyak
perubahan yang dikarenakan kehadiran Injil, dengan demikian hal ini bisa menjadi pemicu, Injil
mengalami penolakan di kalangan masyarakat lokal. Masyarakat dan budaya adalah prinsip yang
tidak dapat dipisahkan, karena manusia lahir dari budaya itu sendiri, 33 kemudian hal ini juga
disebut sebagai manusia adalah makhluk budaya. Namun hal yang paling menarik adalah dengan
memahami konteks kebudayaan suatu kelompok masyarakat, maka akan diperoleh pemahaman
tentang kepribadian dari masyarakat itu sendiri. 34 Dengan memperoleh pemahaman dan gaya
hidup dan berbudaya masyakat lokal, maka akan memudahkan untuk mengabarkan Injil dan Injil
akan mudah diterima oleh masyarakat itu sendiri. Seperti yang dituliskan Paulus dalam 1
Korintus 9:20 “Demikianlah bagi orang Yahudi aku akan menjadi seperti orang Yahudi, supaya
aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat
29
Yakob Tomatala, ‘Pendekatan Kontekstual Dalam Tugas Misi Dan Komunikasi Injil Paca Pandemi Covid-19’,
Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia, 2.1 (2021), 33–49.
30
Charles H Kraft, Christianity In Culture: A Study In Bible Theologizing In Cross-Cultural Perspective
(Maryknoll, N.Y: Orbis Books, 2005), pp. 103–15.
31
Yakob Tomatala.
32
David Eko Setiawan, ‘Menjembatani Injil Dan Budaya Dalam Misi Melalui Metode Kontekstualisasi’, Fidei:
Jurnal Teologi Sistematika Dan Praktika, 3.2 (202AD), 160–80.
33
Firman Panjaitan.
34
David Eko Setiawan, ‘Menjembatani Injil Dan Budaya Dalam Misi Melalui Metode Kontekstualisasi’.
aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup
di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum
Taurat”. Paulus menjadi gambaran utama dalam pekabaran Injil, penekanan yang jelas dalam
ayat ini menunjukkan bahwa, setiap kebudayaan dan gaya hidup suatu kelompok masyarakat
adalah peluang untuk Injil bisa diberitakan. Selain itu, dengan mempelajari budaya dan adat
istiadat masyarakat lokal, kemudian turut serta di dalamnya akan memberikan peluang dan
keuntungan seperti, penerimaan dari masyarakat lokal serta mudah untuk berkomunikasi dengan
mereka. Maka dari hal ini, Injil akan mudah tersampaikan sesuai dengan prinsip Misi Kontektual
itu sendiri.

C. Budaya “Monganga Afo” Sebagai Sarana Misi Kontekstual

Seperti pembahasan sebelumnya bahwa Injil adalah berita tentang karya keselamatan dari
Yesus untuk dunia. Pekabaran tentang Kristus yang disalib, mati dan naik ke surga dengan tujuan
membebaskan manusia dari dosa dan mendamaikan manusia dengan Allah merupakan inti atau
poin utama pekabaran Injil.35 Inji juga menghantar manusia untuk bertumbuh dalam iman kepada
Allah dan mampu membuat perubahan dalam kehidupan setia orang. Tidak hanya memberikan
perubahan, injil juga memberikan dampak yang signifikan bagi setiap orang yang mau
menerimanya36 Oleh karena itu, hal ini menjadi alasan utama mengapa setiap orang percaya
memiliki tanggungjawab untuk mengabarkan Injil.

Misi kontekstual menjadi salah satu metode penginjilan yang tepat bagi masayarakat
suku yang kental dengan budaya dan adat istiadat, seperti masyarakat Nias. Mempelajari konteks
budaya dan adat istiadat adalah prinsip utama dalam melakukan misi kontekstual. Hal ini untuk
memudahkan pekabar Injil diterima dengan mudah dan dipercaya. Seperti yang disampaikan
Rasul Paulus, bahwa ia akan hidup sesuai dengan konteks dimana ia melayani pekabaran Injil,
menghargai budaya masyarakat lokal adalah hal yang penting dalam misi kontekstual.

Begitu juga dengan masyarakat Nias, yang dikenal sangat kental dengan budaya dan adat
istiadatnya. Budaya Monganga Afo bisa menjadi salah satu sarana pekabaran Injil bagi
masyarakat Nias secara khusus. Pengertian tentang Afo yang merupakan lambang adat dan juga
35
David Eko Setiawan dan Dwiati Yulianingsih, ‘Signifikansi Salib Bagi Kehidupan Manusia Dalam Teologi
Paulus’, Fidei: Jurnal Teologi Sistematika Dan Praktika, 2.2 (2019), 227–44.
36
David eko setiawan, ‘Dampak Injil Bagi Transformasi Spiritual Dan Sosial’, BIA: JURNAL TEOLOGI DAN
PENDIDIKAN KRISTEN KONTEKSTUAL, 2.1 (2019), 83–93.
memiliki nilai tertinggi dalam menjalin hubungan antar sesama. Ketika Monganga Afo,
masyarakat Nias biasa melakukannya sambil bercerita satu dengan yang lain, ini akan menjadi
peluang besar untuk menyampaikan Injil. Orang yang mengabarkan Injil harus siap untuk
menguyah atau Monganga Afo, karena dangan Monganga Afo, kita akan diterima sebagai
saudara, kita akan dihormati, dan yang paling penting kita punya banyak waktu untuk
menyampaikan Injil kepada mereka, dan mereka akan menerimanya karena prinsip utama adat
tentang Afo adalah ikatan persaudaraan yang harus di junjung tinggi. Penulis melihat bahwa
budaya ini bisa menjadi jembatan atau sarana untuk mengabarkan Injil.

BAB 3

KESIMPULAN

Misi Kontekstual adalah karya Allah yang diberikan sebagai tanggungjawab kepada masing-
masing orang percaya. Misi yang dikabarkan adalah Injil yang merupakan karya Kristus diatas
kayu salib untuk dunia. Namun dalam pekabaran Injil seringkali mengalami penolakan
khususnya dari masyarakat lokal karena perbedaan budaya yang ada. Oleh sebab itu misi
kontekstual menjadi langkah utama untuk menyampaikan Injil kepada masyarakat lokal yaitu
dengan mempelajari budaya dan adat istiadat. Masyarakat Nias adalah masyarakat yang
menjunjung tinggi adat dan budaya, salah satu budaya tersebut adalah Monganga Afo yang
memiliki nilai tertinggi dalam adat, dan menjadi sarana untuk menjalin hubungan persaudaraan
dan tidak boleh dilanggar, karena diatur dalam hukum utama yaitu hukum Fondrako, sebab itu
hal ini bisa menjadi sarana utama untuk melakukan misi kontekstual khususnya dimasyarakat
Nias.

DAFTAR PUSTAKA

Arie de Kuiper, ‘Missiologia’ (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), p. 9

‘Asal-Usul Orang Nias Ditemukan’


<https://sains.kompas.com/read/2013/04/16/09081323/~Sains~Arkeologi> [accessed 20
January 2022]

Charles H Kraft, Christianity In Culture: A Study In Bible Theologizing In Cross-Cultural


Perspective (Maryknoll, N.Y: Orbis Books, 2005)

Criss Jp, ‘Pengertian Da Kegunaan Afo Dalam Adat Suku Nias’, Criss Jp, 2021
<criss-jp.com/2021/06/afo-dalam-tradisi-nias.>

David eko setiawan, ‘Dampak Injil Bagi Transformasi Spiritual Dan Sosial’, BIA: JURNAL
TEOLOGI DAN PENDIDIKAN KRISTEN KONTEKSTUAL, 2.1 (2019), 83–93

David Eko Setiawan, ‘Kelahiran Baru Di Dalam Kristus Sebagai Titik Awal Pendidikan
Karakter Unggul’, EVANGELIKAL, Vol. 3.2 (2019), 153–60

———, ‘Menjembatani Injil Dan Budaya Dalam Misi Melalui Metode Kontekstualisasi’, Fidei:
Jurnal Teologi Sistematika Dan Praktika, 3.2 (202AD), 160–80

David Eko Setiawan dan Dwiati Yulianingsih, ‘Signifikansi Salib Bagi Kehidupan Manusia
Dalam Teologi Paulus’, Fidei: Jurnal Teologi Sistematika Dan Praktika, 2.2 (2019), 227–
44

David Martinus, Dkk, ‘Kajian Misi Kontekstual Terhadap Spiritualita Dalam Budaya: Budaya
Mabak Sabek Di Dusun Gun Jemak-Kalbar’, REAL DIDACHE, 4.2 (2019), 77–84

Dedy Padang, ‘Kisah Top Pulau Nias (Bagian 5)’, Kompasiana, 2020
<https://www.kompasiana.com/dedy1992/5f944aec8ede4872c572f712/kisah-top-di-pulau-
nias-bagian-5?page=2&page_images=1>

Deni Triastanti, Ferderika Pertiwi Ndiy, Harming, ‘Strategi Misi Lintas Budaya Berdasarkan
Kisah Para Rasul 1:8’, Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia, 1.1 (2020), 15–23

Dr. Raja Oloan Tumanggor, MISI Dalam MASYARAKAT MAJEMUK (PENERBIT GENTA
PUSTAKA LESTARI, 2014)

Faogöli, Harefa, ‘Hikayat Dan Tjetera Bangsa Serta “Adat Nias”’, 1939, 9–23

Firman Panjaitan, Steven Anugerah Jaya Ndruru, ‘Titik Temu Hukum Fondrako Dengan
Keluaran 20:3-17 Sebagai Tatanan Kehidupan Masyarakat Nias’, KENOSIS: JURNAL DAN
KAJIAN TEOLOGI, 8.2 (2022), 301–22

Fransius Kusmanto, ‘Pelaksanaan Pendekatan Penginjilan Kontekstual’, Jurnal Teologi


Kontekstual Indonesia, 2.2 (2021), 16–26

Harefa, Amstrong, ‘Eksistensi ”Fondrakõ” Dalam Hukum Adat Nias’, Angewandte Chemie
International Edition, 6(11), 951–952., 2018, 10–27

Harianto GP, Komunikasi Dalam Pemberitaan Injil (Yogyakarta: ANDI, 2012)

Ingatan Sihura, ‘Afo Sumange Ni’a Dalam Budaya Nono Niha’, Kompasiana, 2021
<kompasiana.com/ingatan44910/60cd37c906310e37dac9ea2/afo-sumange-ni-a-dalam-
budaya-nono-niha>

‘ISTIADAT NIAS’, Museum Pusakan Nias <https://museum-nias.org/istiadat-nias/>

J. I. Packer, Penginjilan Dan Kedaulatan Allah (Surabaya: Momentum, 2010)

Jaya Ndruru, Steven Anugerah, and Firman Panjaitan, ‘Korelasi Konsep Sunat Dalam Perjanjian
Lama Dengan Budaya Sunat Di Masyarakat Nias’, Jurnal Misioner, 1.2 (2021), 140–60
<https://doi.org/10.51770/jm.v1i2.24>

Nieuwenhuisen, J. T. and Rosenberg, H. C. B. von, ‘Verslag Omtrent Het Eiland Nias En


Deszelfs Bewoners’, 1863, 1–153

Van Oven, Mannis, Johannes M. Hämmerle, Marja Van Schoor, Geoff Kushnick, Petra
Pennekamp, Idaman Zega, and others, ‘Unexpected Island Effects at an Extreme: Reduced
y Chromosome and Mitochondrial DNA Diversity in Nias’, Molecular Biology and
Evolution, 28.4 (2011), 1349–61 <https://doi.org/10.1093/molbev/msq300>

Sunderman, Heinrich, Die Psychologie Des Niassers, 1887

Telaumbanua, Tuhoni, and Uwe Hummel, Salib Dan Adu (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
2015)

Yakob Tomatala, ‘Pendekatan Kontekstual Dalam Tugas Misi Dan Komunikasi Injil Paca
Pandemi Covid-19’, Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia, 2.1 (2021), 33–49

Anda mungkin juga menyukai