Anda di halaman 1dari 8

Nama : Kelvin Rijalta

Kelas : IIIA/Teologi
Mata Kuliah : Kateketika
Dosen Pengampu : Dr. Setia Ulina Br Tarigan

SEJARAH KATEKETIKA
I. Pendahuluan
Kateketika mempunyai sejarah permulaan yang sangat panjang. Bahkan di
Indonesia sendiri sejarah kateketika ini muncul bersamaan dengan proses
perjalanan ketika Indonesia dijajah oleh bangsa asing. Tetapi di balik itu semua
pengajaran kateketik ini berjalan bersamaan juga dengan proses zending yang
terjadi di Indonesia. Perkembangan akan kateketik ini juga banyak mengalami
perubahan-perubahan. Bahkan itu terjadi di Indonesia sendiri, baik pada masa
zending di Indonesia bahkan sesudah zending hingga pada masa kini. Pada
pembahasan kali ini kita akan membahas sedikit tentang perkembangan kateketik
pada masa zending di Indonesia, setelah zending hingga pada masa kini. Kiranya
pembahasan kali ini dapat menambah wawasan kita bersama. Tuhan Yesus
Memberkati.
II. Pembahasan
II.1. Pengertian Kateketika
Dalam bahasa Yunai Katekhein adalah muasal dari kata Katekese,
kateketik, dan katekisasi. Istilah ini mempunyai beberapa makna dalam
Alkitab. Makna utama memberi tekanan kepada otoritas (wewenang
kekuasaan yang sah) dalam hal pendidikan, karena katekhein berarti mengajar
dari atas kebawah. Katehein berarti memberitahukan sesuatu dengan wibawa
dan dengan cara dialogis.1 Istilah ini kemudian ditempatkan secara khusus
sebagai kegiatan pengajaran dalam usaha pendidikan Kristen yang lebih luas. 2
Kateketika merupakan jawaban gereja purba untuk menanggulangi masalah
banyaknya orang dewasa yang ingin mengabdikan diri kepada Kristus. 3
II.2. Sejarah Kateketika di Indonesia
Sejak serdadu, pedagang dan imam portugis tiba di pulau Ternate pada
tahun 1538 untuk pertama kalinya, maka sejak waktu itu dimulailah sejarah

1
G. Riemer, Ajarlah Mereka (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1998), 21.
2
Thomas H. Grome, Christian Religios Education, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK-GM, 2010),
40.
3
Daniel Stepanus, Sejarah PAK Tokoh-tokoh Besar PAK (Bandung: BMI, 2009), 30.
pendidikan agama kristen di Indonesia.4 Sesuai dengan perintah yang
diberikan kepada panglima ekspedisi portugis oleh rajanya, ia mendirikan
sekolah di pantai Ternate sebagai sarana untuk memberitakan Injil. Pendidikan
yang disediakan ditempat itu sederhana sekali tarafnya. Seorang imam
mengajarka katekismus yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh
Fransiskus Xaverius seorang anggota kelompok pemuda di bawah pimpina
Loyoloa yang turut mendirikan Ordo Yesuit. Pendidikan yang disediakan
ditempat itu sederhana sekali tarafnya. Pendidikan yang disediakan ditempat
itu sederhana sekali tarafnya. Para murid disuruh menghafalkan Doa Bapa
Kami, Sepuluh Hukum dan Pengakuan Iman Rasuli. Disamping itu mereka
belajar membaca,menulis,berhitung dan diperkenalkan pada bahasa portugis
itu sendiri. Pola serupa diulangi di tempat lain, umpanya di Ambon Solor dan
Flores sampai tahun 1605, dilain pihak kekuatan Belanda mulai menggantikan
5
kekuasaan Portugis di tanah air. Pada zaman VOC telah ada segelintir
sekolah yang diselenggarakan VOC.6 Meskipun tujuan VOC di Indonesia
sebenarnya lebih mementingkan urusan perdangangan di bandingkan dengan
urusan agamawi. Tetapi disamping itu juga mereka juga melakukan suatu
pengajaran dan pendidikan kepada kaum pribumi, di mana juga mereka
melanjutkan suatu kebijakan pedagogis yang dipelopori oleh kaum portugis.
Pada masa berakhirnya piagam VOC, pada akhir abad ke 18, pemerintah baru
di Belanda mengambil-alih segala urusan di Hindia Belanda. Di antara sekian
banyak prakarsa baru yang dibuat pemerintah Belanda,perlu disebutkan disini
sikapnya terhadap pendidikan di daerah jajahannya. 7 Umumnya Katekisasi di
Indonesia di kaitkan sebagai persyratan wajib bagi orang yang di baptis atau
sidi selama berpuluh-puluh tahun dipakai buku katekisasi terjemahan dalam
bahasa Belanda, seperti katekismus Heindelberg, “penghibur sejati”. Buku-
buku katekisasi tersebut kemudian dicirikan sebagai susunan orang-orang
Kristen Indonesia sendiri dan memperhatikan konteks seperti: aspek kultur,
tradisi ajaran gereja setempat, tetapi juga pemikiran-pemikiran baru di bidang
teologi gereja. Tampak usaha kontekstualisasi Injil, seperti membicarakan
4
J.L.CH.Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi Pedoman Guru (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2002), 48-49.
5
Robert. R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari
Yohanes Amos Comenius Sampai Perkembangan PAK di Indonesia (Jakarta: BPK-GM, 2009), 767.
6
Jan. S Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen (Jakarta: BPK-GM,1988), 14.
7
Robert. R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari
Yohanes Amos Comenius Sampai Perkembangan PAK di Indonesia, 768-769.
sikap tahyul terhadap benda-benda, pohon atau keramat, memberi sesaji,
penghormatan arwah orang mati, mengucapkan rapa dan sebagainya. Dalam
hal ini unsur-unsur kultur itu tidak semata-mata dilihat sebagai unsur kafir
yang harus ditolak tetapi mereka berusaha melihat secara kritis mana yang
bertentangan dalam Injil dan mana yang dapat mendukung pengungkapan Injil
secara lebih jelas dan dimengerti. Masalah pluralitas agama-agama sudah
mulai disinggung-singgung secara pendek dalam buku-buku katekisasi yang
dikarang pada tahun-tahun ini.8
II.3. Kateketika dalam gereja mula – mula
Didakhe memberi pelajaran singkat mengenai ajaran kristen. Dokumen itu
berjudul: Ajaran Tuhan yang diberikan oleh para rasul kepada bangsa-
bangsa. ini adalah buku katekisasi pertama yang mungkin berasal dari akhir
abad pertama. Isi buku pelajaran itu mencakup:
1. Bab 1-6: undang-undang kristen untuk kehidupan sehari-hari. Diuraikan
dua jalan, masing-masing menuju kehidupan dan kematian.
2. Bab 7-10: babtisan, hal berpuasa, hal berdoa, perjamuan kudus. Bagian
“berdoa” mengandung nas “Doa Bapa Kami”
3. Bab 10-14: berbagai peraturan gerejawi, antara lain mengenai
persekutuan antar gereja, pergaulan anggota jemaat dan aturan
mengenai pemimpin-pemimpin jemaat.
4. Nasihat untuk berjaga-jaga (eskatologi).9
II.4. Kateketika pada abad pertengahan
Dalam abad ini katekese gereja Makin lama makin mendangkal.
Pendangkalan ini sebenarnya telah mulai pada akhir abad-abad pertama. Hal
ini terutama disebabkan oleh pembabtis anak-anak, yang telah diperaktikkan
di mana-mana pada waktu itu. Oleh peraktik ini pengajaran katekese tidak
diberikan lagi kepada anak-anak dari keluarga-keluarga kristen. Sebab
menurut tradisi yang diikuti pada waktu itu ketekese hanya diuntukkan bagi
orang-orang yang berpindah dari agama kafir ke agama kristen sebagai
persiapan untuk menjadi anggota gereja. Karena itu pengajaran katekese
diberikan sebalum babtisan. Sesudah itu tidak perlu lagi.
Kalau ada pengajaran yang diberikan kepada orang-orang yang telah dibabtis,
pengajaran itu tidak dianggap sebagai katekese. Unsur-unsur yang penting dari
8
N. K. Admadja Hadinoto, Dialog dan Edukasi Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia (Jakarta:
BPK-GM, 2012), 174-175.
9
G. Riemer. Ajarlah Mereka, 41-42.
katekese yaitu pengakuan iman, hukum, doa dan sakramen-sakramen masi
tetap ada. Dalam abad kelapan dan kesembilan, ketika berita injil disampaikan
kepada bangsa-bangsa German, katekese Gereja mengalami suatu
pembaharuan. Pada waktu itu dituntut lagi, bahwa orang-orang yang mau
menerima babtisan, harus diperhatikan dahulu dengan baik.
Pada saat itu penasihat Karel Agung di bidang theologis yang terus
memperingatkan, supaya orang-orang German minta kepada kaisar supaya
kaisar mengutus penginjil-penginjil untuk mendidik mereka dengan tegas ia
mengatakan, bahwa babtisan baru boleh dilayani kalau orang-orang yang
akan dibabtis itu telah mendapat pengajaran ketekese” harus mengikuti
pangajaran katekese dahulu: tujuh sampai empatpuluh hari.
Sesudah Eropa selesai di “kristen”-kan, pengajaran katekese merosot lagi
seperti dahulu dan hanya terdiri dari: penghafalan pengakuan-iman dan doa (=
Bapa Kami, dan kemuliaan Ave Maria). Sejalan dengan itu kemerosotan
ketekese Gereja juga makin lama makin bertambah besar, sehhingga akhirnya
dalam abad kelimabelas ia samasekali tidak berarti lagi.10
II.5. Kateketika pada masa reformasi
Perubahan atau pembaharuan yang dibawa oleh reformasi berlangsung
di dua bidang. Bidang pertama: isi katekese, isi katekismus-katekismus jauh
lebih baik dibandingkan dengan katekese dari abad-abad pertengahan. Dalam
edisi pertama dari katekismus reformator dari Luther dan Calvin, dan juga
katekismus Heidelberg (1562) dan Zwingli menghendaki, supaya anak-anak
mengetahui ceritera-ceritera Alkitab. Bidang kedua: ruang katekese cukup
jauh lebih luas daripada katekese abad pertengahan, dalam abad pertengahan
katekese hanya dibatasi pada orang-orang yang berpindah dari agama kafir ke
agama kristen, pada masa reformasi katekese mencakupi semua orang.11

II.6. Kateketika pada Zaman Zending


Pada akhir abad ke-18, pemerintahan baru di Belanda mengambil ahli
segala urusan di Hindia Belanda. Dari sekian banyaknya prakarsa yang di buat

10
J.L.CH, Abineno.SekitarKatekeseGerejawiPedoman Guru, 33-37.
11
J.L.CH.Abineno. SekitarKatekeseGerejawiPedomanGuru, 39-41.
pemerintah Belanda perlu di sebutkan sikapnya terhadap pendidikan di daerah
jajahannya. Agar tidak menyulitkan hubungan dengan para pemeluk agama
Islam khususnya, pemerintah tidak lagi memihak pada urusan Kristen
khususnya. Tetapi Gereja dan badan misi atau zending di izinkan mendirikan
Sekolah dimana Agama Kristen boleh di ajarkan kepada anak-
anak.12 .Kebiasaan-kebiasaan yang di pakai oleh Gereja-Gereja di Eropa di
bidang Kataketik, di bawa masuk oleh pendeta-pendeta zending ke Indonesia
dan di pakai juga dalam Jemaat-Jemaat disini di sisni. Salah satu dari
Kebiasaan-Kebiasaan itu iyalah: kataketika yang erat hubungannya dengan
pengajaran agama di sekolah. Hal ini jelas dari ketetapan Sidang Raya Agung,
yang diselenggarakan pada tanggal 6 Agustus-20 Oktober 1624 di Betawi. 13
Kepada guru-guru agar dapat mengajar harus mendatangani dahulu “
pengakuan – iman Gereja-Gereja Belanda”, “Katekismus Heidelberg” dan
“dasar-dasar ajaran Sinode Nasional di Dordrecht”. Yang dimana “mereka
tidak boleh menyerahkan pekerjaan mereka kepada guru-guru pembantu. Hal
itu hanya diizinkan dalam hal-hal darurat, umpamanya kalau jumlah murid
terlalu besar, sehingga guru-guru tidak dapat memberikan pengajaran sendiri”.
Pada langkah selanjutnya di dalam membuka dan mengusahakan sekolah baru
diberikan, kalau orang yang mau melakukannya telah lulus dari ujian, yang
dihadiri oleh wakil-wakil Gereja dan pemerintah. Syarat-syarat ujian ialah:
 Calon guru harus seorang anggota sidi
 Calon guru harus dapat langsung membaca buku-buku dengan
surat-surat yang dicetak.
 Calon guru harus dapat menulis dan berhitung dengan baik.
 Calon guru harus dapat menyanyikan “Mazmur-mazmur
Daud”.

Pada tahun 1776 peraturan ini diganti yang dimana pengajaran katekese
diberikan oleh pendeta-pendeta di Gereja. Dan mengenai hal tersebut telah
diatur baik dan secara terinci dalam tata gereja, dan dalam keputusan lain dari

12
Robert. R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari
Yohanes Amos Comenius Sampai Perkembangan PAK di Indonesia, 768.
13
Dalam Sidang Raya itu ditetapkan, bahwa “anak-anak Belanda dan anak-anak bukan Belanda harus
dididik secara Kristen di sekolah-sekolah” dan bahwa “untuk mengajar Agama selanjutnya anak-anak itu harus
mengunjungi Kataketika Gereja” Lih. J.L.CH.Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi Pedoman Guru, 48.
Majelis Gereja. Tetapi dalam praktiknya ini sulit dikerjakan, terutama karena
kekurangan tenaga pendeta. Selain itu juga kurang diperlengkapi, sehingga
tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik. Untuk menolong hal tersebut
dilakukan penerjemahan buku pengajaran katekese yang di pakai oleh Gereja
di Belanda.14
II.7. Kateketika Pada Zaman Kini
Situasi katekese dalam Gereja-Gereja kita pada waktu ini berbeda
dengan situasi katekese dalam Gereja-Gereja itu pada waktu
sending.Perbedaan ini terdapat di berbagai-berbagai bidang.Yang terpenting di
antaranya ialah di bidang tenaga pengajar dan buku-buku yang digunakan
dalam pengajaran katekese.15 Setelah berakhirnya masa zending atau
disebutlah masa tersebut adalah masa injili yang dilakukan oleh bangsa Eropa
termasuk Belanda, pelbagai awam Belanda di Indonesia mendirikan Sekolah
Minggu yang cenderung sama sifatnya dengan Sekolah Minggu yang
cenderung sifatnya sama dengan Sekolah Minggu di Inggris dan Amerika pada
masa yang sama, yakni pendiriannya a) diprakarsai oleh kaum awam ; b) di
luar struktur gereja ; dan c) bersifat injili. Pola ini tidak berlaku lagi untuk
semua gereja di seluruh Indonesia, umpamanya di HKBP, di mana tata usaha
gereja diadakan secara sinodal dan melarang segala kegiatan gerejawi di luar
kekuasaan para pemimpin sinode itu sendiri. Jadi kegiatan diatur oleh sinode
itu sendiri. Keadaan serupa dikenal di gereja lain seperti, Gereja Kalimatan
Evangelis, Gereja Toraja dan Gereja Kristen Sulawesi Tengah.16
Tenaga – tenaga pengajar katekese dalam gereja-gereja kita pada waktu ini
memperoleh pendidikan agama umumnya lebih baik dipersiapkan, dari pada
tenga-tenaga pengajar katekese pada waktu sending. Mereka diperlengkapi
dengan rupa pengetahuan yang mereka butuhkan untuk pekerjaan mereka,
seperti: pengetahuan tentang pengikut-pengikut pengajaran katekese,
pengetahuan tentang dunia mereka, pengetahuan tentang perkembangan
mereka, pengetahuan tentang bahan-bahan katekese yang mereka gunakan,
pengetahuan tentang metode pengajaran yang dapat dilakukan, pengetahuan
tentang alat-alat pembantu untuk katekese, dan lain-lain. Buku-buku yang
14
J .L.CH.Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi Pedoman Guru, 47-52.
15
J .L.CH.Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi Pedoman Guru, 54.
16
Robert. R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari
Yohanes Amos Comenius Sampai Perkembangan PAK di Indonesia, 769.
digunakan dalam pengajaran katekese tidak sama dengan dengan buku-buku
yang digunakan pada waktu Zending.17
Pada masa kini, kebayakan domonasi tidak dapat memenuhi kebutuhan akan
pemimpin karena seminari-seminari mereka tidak memiliki jumlah yang
cukup yang dipersiapkan untuk pelayanan. Salah satu penyebabnya adalah
bahwa kepemimpinan yang lebih tua justru memberi kontribusi pada penuaan
jemaat juga.18 Gereja masa kini menghadapi macam-macam paradigma hidup
masyarakat moderen dan post moderen yang tidak seluruhnya sejalan, baik
dengan nilai-nilai injil maupun dengan kearifan tradisional bangsa Indonesia.19

III. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas saya penyaji dapat menyimpulkan :
1. Kateketika merupakan suatu bentuk pengajaran ataupun proses dialog antara
pengajaran dan mengajara didalam mempelajari ajaran yang berlandaskan
Alkitab.
2. Konteks Indonesia merupakan daerah yang sangat kaya baik dari segi
kepulauan hingga kekayan alam bahkan dari suku bangsa serta bahasa. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa melayu.
3. Pendidikan agama Kristen dimulai sejak masa awal kependudukan bangsa
Portugis di Ternate tahun 1538. Pengajaran yang dilakukan pada saat itu masih
sangat rendah. Para murid pada saat itu diajarkan Doa Bapa Kami, Sepuluh
Hukum dan Pengakuan Iman Rasuli. Kegiatan pengajaran yang dilakukan
Portugis dilanjutan oleh VOC ketika masa kependudukannya.
4. Pengajar-pengajar katekese pada masa zending dikerjakan oleh kaum awam,
bahkan akibat hal tersebut masih kurangnya dasar pengajaran pada saat itu
diakibatkan kurangnya tenaga penganjar yang lebih menguasai materi
katekese. Dan pada masa setelah zending hingga masa kini. Pengajaran
katekese diserahkan atau dilakukan oleh gereja. Bahkan pengajarnya lebih
baik dibandingkan pada masa zending. Pengajaran katekese dilakukan oleh
pendeta-pendeta. Dan sistem ini dianut oleh gereja pada saat ini.
IV. Daftar Pustaka

17
J .L.CH.Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi Pedoman Guru, 55.
18
Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang (Jakarta: PT-BPK, Gunung Mulia, 2010),
227.
19
Edmund Woga, Misi Misiologi & Evanggelisasi Di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 165.
Dalam Sidang Raya itu ditetapkan, bahwa “anak-anak Belanda dan anak-anak bukan
Belanda harus dididik secara Kristen di sekolah-sekolah” dan bahwa “untuk mengajar
Agama selanjutnya anak-anak itu harus mengunjungi Kataketika Gereja” Lih.
Daniel Stepanus, Sejarah PAK Tokoh-tokoh Besar PAK (Bandung: BMI, 2009), 30.
Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang Jakarta: PT-BPK, Gunung
Mulia, 2010
Edmund Woga, Misi Misiologi & Evanggelisasi Di Indonesia Yogyakarta

G. Riemer, Ajarlah Mereka Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1998


J.L.CH.Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi Pedoman Guru Jakarta:BPK Gunung
Mulia, 2002
Jan. S Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen Jakarta: BPK-GM,1988.
N. K. Admadja Hadinoto, Dialog dan Edukasi Keluarga Kristen dalam Masyarakat
Indonesia Jakarta: BPK-GM, 2012
Robert. R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama
Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius Sampai Perkembangan PAK di Indonesia,
Thomas H. Grome, Christian Religios Education, Pendidikan Agama Kristen Jakarta:
BPK-GM, 2010

Anda mungkin juga menyukai