KAJIAN TEORITIS
sekolah dan gereja. Di gereja secara khusus, salah satu pelayanan pendidikan agama
Kristen yang paling tua dan yang ada di hampir seluruh Gereja-Gereja di Indonesia ialah
seluruh dunia belum mempunyai pendapat yang sama tentang apa itu katekisasi.
Beberapa gereja menganggap katekisasi sama dengan pengajaran agama yang dilakukan
dapat dikategorikan sebagai pendidikan agama Kristen sebab tujuannya yang untuk
Pengajaran yang dilakukan di gereja-gereja Kristen telah ada sejak lama dan
berasal dari Israel. Dalam Perjanjian Lama (Ul 6:20-25; Mzm 78:1-7; dan lain-lain)
tentang “perbuatan-perbuatan Allah yang besar.” Pengajaran pada saat itu masih
bersifat lisan, di mana orang tua meneruskan kepada anak-anak mereka apa yang
mereka telah dengar. Sekitar permulaan abad pertama mulai diadakan ”sekolah-
mendapat pengajaran dari guru Torah. Maksud pengajaran ini bukan untuk
Torah.16 Jadi, pengajaran yang dilakukan di dalam perjanjian lama awalnya tidak
seperti pengajaran dalam gereja saat ini. Pada saat itu, anak-anak mendapat
16
J. L. Ch. Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi: Pedoman Guru (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 1-3.
10
pengajaran bukan sebagai syarat untuk diteguhkan menjadi anggota jemaat dewasa
tetapi untuk mempertahankan dan meneruskan Torah dari satu generasi ke generasi
yang lain.
dimana dalam dunia pemikiran Yunani istilah ini bersifat intelektualistis dan dapat
maksud supaya orang yang diajar dapat bertindak dengan terampil. “Katekhein”
yang paling sering dipakai dan yang kemudian digunakan dalam gereja-gereja di
Indonesia.
iman yang sampai saat itu belum boleh diketahui dan dipelajari oleh para
ketekumen, diikuti oleh suatu penjelasan. Pada waktu yang telah ditentukan para
calon baptisan harus dapat menghafal kata-kata dari pengakuan iman yang mereka
wajib ucapkan pada waktu mereka dibaptis. Untuk maksud itu, disediakan daftar
tanya jawab. Selain dari pengakuan iman, di beberapa tempat diberitahukan juga
17
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 5-21.
11
kata-kata dari doa Bapa Kami. Pemberitahuan ini kemudian disusul oleh pelayanan
sakramen harus dijelaskan terlebih dahulu dahulu. Hal ini dikarenakan Gereja
kuatir jika kesucian sakramen itu akan dinodai. Lamanya pengajaran sesudah
baptisan biasanya satu minggu. Yang diajarkan ialah selain daripada penjelasan
metode itu adalah metode umum yang digunakan dalam proses pengajaran. Orang-
anak-anak mampu menghafal dan mengucapkan kembali apa yang telah mereka
hafalkan. Katekisasi pada saat itu masih dilakukan dengan cara yang sangat kaku
sehingga pengajarannya hanya bersifat satu arah. Materi yang diberikan oleh guru-
guru pada saat itu bukan sesuatu yang bisa ditawar tetapi sesuatu yang harus
mana-mana pada waktu itu. Oleh praktik ini, pengajaran katekisasi tidak diberikan
lagi kepada anak-anak dari keluarga Kristen. Menurut tradisi yang diikuti pada
waktu itu, katekisasi hanya diuntukkan bagi orang-orang yang berpindah dari
agama kafir ke agama Kristen sebagai persiapan untuk menjadi anggota Gereja.
Karena itu pengajaran katekisasi harus diberikan sebelum baptisan dan sesudah itu
18
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 31-33.
12
tidak diperlukan lagi. Jikalau ada pengajaran yang diberikan kepada orang-orang
Pada waktu itu dituntut lagi bahwa orang-orang yang mau menerima baptisan,
harus dipersiapkan dahulu dengan baik. Pembaharuan ini dipengaruhi oleh Karel
bahwa baptisan baru boleh dilayani jika orang-orang yang akan dibaptis itu telah
dan hanya terdiri dari penghafalan pengakuan iman dan doa (Bapa Kami, dan
upacaranya, dan pengetahuan akan daftar-daftar dosa di samping dasa firman dan
juga ketujuh mazmur pengakuan dosa. Sejalan dengan itu, kemerosotan katekisasi
gereja juga semakin bertambah besar, sehingga akhirnya dalam abad kelimabelas
katekisasi sama sekali tidak berarti lagi. Katekisasi menjadi semacam “kursi
Alkitab kembali menjadi pusat dalam teologia dan dalam praktik gereja. Hal ini
19
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 33-34.
20
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 35-36.
21
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 36-37.
13
kemudian membawa perubahan besar di bidang katekisasi, tetapi bukan dalam arti
itu terus dipakai tetapi sebagai rangkuman dari ajaran Alkitab. Hal ini bisa dilihat
dalam katekismus-katekismus yang tulis oleh para reformator seperti oleh Luther
(Katekismus Besar dan Katekismus Kecil), Calvin (rangkuman dari Institutio dan
Katekismus dari Geneva), Malanchton (Katekismus dalam bahasa Latin dan dalam
bahasa Jerman), Zwingli (yang menyimpang dari kebiasaan itu dengan tidak
pertengahan jelas terlihat bahwa isi katekismus-katekismus jauh lebih baik. Bidang
yang kedua adalah ruang cakup katekisasi, di mana jika dalam abad-abad
pertengahan katekisasi hanya dibatasi pada orang-orang yang berpindah dari agama
kafir ke agama Kristen, pada waktu reformasi katekisasi diperuntukan bagi semua
orang. Bidang yang ketiga adalah cara mempelajari bahan katekisasi. Jika pada
katekisasi tanpa mengetahui artinya, pada masa reformasi hal ini berubah. Para
22
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 38-39.
23
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 39-46.
14
juga dalam Jemaat-Jemaat di sini. Awal katekisasi masuk di Indonesia, ia memiliki
hubungan yang erat dengan pengajaran agama di sekolah. Dalam Sidang Raya
ditetapkan bahwa “anak-anak Belanda dan anak-anak yang bukan Belanda harus
dalam Gereja-gereja pada waktu zending. Perbedaan ini terdapat di berbagai bidang
penting, di antaranya pada bidang tenaga pengajar dan buku-buku yang digunakan
digunakan pun tidak lagi sama dengan yang digunakan pada waktu zending.
Dengan demikian, sejak awal kemunculannya hingga sekarang, ada tiga jenis
katekisasi yang dikenal yaitu katekisasi keluarga, katekisasi sekolah dan katekisasi
gereja atau yang saat ini lebih dikenal dengan katekisasi sidi. Katekisasi keluarga
24
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 48-50.
25
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 54-55.
15
katekisasi sekolah, di mana katekisasi ini dimulai sejak jemaat-jemaat Yahudi
mulai mendapat pengajaran dari guru-guru Torah. Pada jaman sekarang, orang
Sedangkan yang terakhir, yang akan menjadi pembahasan penulis adalah katekisasi
Dalam Gereja-Gereja Kristen saat ini, ada hubungan yang erat antara
baptisan anak dengan katekisasi dan peneguhan sidi. Peneguhan sidi dilaksanakan
merupakan tanda dan bukti bahwa anak-anak telah masuk ke dalam persekutuan
dengan Kristus; mereka sudah menjadi anggota dari tubuh Kristus. Di dalam
katekisasi sidi ini, pesertanya merupakan orang-orang muda jemaat yang berada
dalam fase perkembangan yang paling penting, di mana dalam usia ini mereka
mudah dipengaruhi sehingga kesan-kesan yang diterima oleh mereka pada masa ini
turut menentukan sikap hidup mereka di kemudian hari.26 Katekisasi yang diakhiri
dari baptisan. Ketika dibaptis, anak-anak yang masih sangat kecil belum mampu
Katekisasi adalah pelayanan Gereja, di mana bukan saja dalam arti bahwa
pertama-tama supaya anak-anak diteguhkan menjadi anggota sidi dan dengan itu
26
E.G. Homrighausen, I.H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 1984), 124-125.
16
menjadi anggota penuh dari Gereja. Tujuan katekisasi sesungguhnya ialah supaya
anak-anak percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka
dan dengan itu mendapat persekutuan dengan Dia. Selain itu katekisasi juga
bertujuan untuk membina anggota jemaat untuk menyadari tugas mereka di dalam
Jemaat. Menurut Abineno, hal ini tidak selalu menguntungkan karena sebagai
pendeta Jemaat mereka sangat sibuk dalam pekerjaan mereka. Selain itu, sebagai
lain seperti dalam bidang paedagogis, didaktik, psikologis dan lain-lain. Justru
pengetahuan. Selain pendeta, banyak gereja juga menggunakan tenaga dari jurusan
PAK.28
Rencana katekisasi ini dapat memuat banyak hal: bukan saja bahan-bahan
pengajaran untuk satu tahun, tetapi juga buku-buku katekisasi yang digunakan,
metode atau cara yang dipakai, waktu yang dibutuhkan, tujuan yang mau dicapai
27
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 99-100.
28
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 104-105.
17
dan lain-lain.29 Unsur-unsur yang terkandung dalam rencana katekisasi yang
beberapa sinode, penyusunan kurikulum menjadi tugas dan tanggung jawab sinode
katekisasi, khususnya tentang hal-hal yang tidak dapat mereka cerna atau sulit
pahami. (5) mengadakan pertemuan dengan para orang tua dan Majelis Jemaat
para orang tua untuk membicarakan keadaan anak-anak mereka yang sedang
mengikuti katekisasi.30
katekumen ialah mulai dari usia 16 tahun hingga dewasa. Menurut Fowler, Ketika
berada dalam usia remaja, seseorang berada dalam tahap kepercayaan sintetis-
konvensional.31 Dalam tahap ini terjadi perombakan baru dalam struktur pengertian
remaja dapat menyusun gambaran diri yang baru pula. Gambaran ini dibangun
pribadi lain yang memengaruhi penyusunan gambar diri ini terkadang bertentangan
satu sama lain. Hal ini yang kemudian memunculkan pertanyaan dalam diri remaja
29
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 106.
30
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 106-18.
31
Fowler membagi tahap perkembangan kepercayaan manusia ke dalam 7 tahapan. Tahapan-tahapan ini dibagi
berdasarkan batas-batas usia tertentu. Ketujuh tahapan kepercayaan tersebut adalah: Tahap kepercayaan awal dan
Elementer (0-2 tahun), tahap intuitif-proyektif (2-6 tahun), tahap mistis-harfiah (6-11 tahun), tahap sintetis-konvensional
(12 sampai dewasa), tahap individuatif-reflektif (18 tahun dan seterusnya), tahap konjungtif (30-40 tahun) dan yang
terakhir tahap kepercayaan yang mengacu pada universalitas. Lihat Agus Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan
Kepercayaan Menurut James W. Fowler, (Jogjakarta: Kanisius, 1995), 95-218.
18
tentang siapakah dia? Gambaran diri yang manakah yang sesuai dengan dirinya
yang sebenarnya? dan pertanyaan mengenai jati diri mulai menghantui pikiran
mereka.32 Selain itu, dalam usia remaja memiliki kondisi dan kebutuhan yang
1. Masa remaja adalah masa transisi: mada masa ini anak berada dalam masa
Selama masa ini terjadi banyak gejolak dalam berbagai bentuk. Pada masa ini,
2. Masa remaja adalah masa bertanya: pada masa ini umumnya remaja mulai
cara-cara baru dalam memandang realitas. Mereka tidak lagi percaya pada apa
Mereka akan menerima suatu hal pada suatu kesempatan, tetapi pada
lama. Namun, apabila keputusan mereka akan menjadi sesuatu yang berarti,
32
Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler, 134-135.
33
Daniel Nuhamara, PAK Remaja (Bandung: Jurnal Info Media, 2008), 10-14.
19
keputusan tersebut haruslah merupakan akibat dari proses pemahaman dan
dewasa, namun dengan melakukan hal itu mereka merasa puas atau memenuhi
mereka.
Menurut Abineno, ada banyak perbedaan yang dapat dijumpai dalam diri
katekisasi karena diharuskan oleh orang tuanya, yang lain datang karena
kemauannya. (2) perbedaan umur: dalam katekisasi sidi biasanya terdapat anak-
anak muda yang berumur tujuh belas tahun keatas. (3) perbedaan pendidikan:
perbedaan ini biasanya lebih menonjol. Dalam katekisasi sidi terdapat anak-anak
muda yang hanya berpendidikan rendah, ada pula yang menengah maupun yang
tinggi. (3) perbedaan maksud dan tujuan: ada yang datang mengikuti katekisasi
pula yang datang karena ia mau mengetahui lebih banyak tentang agama Kristen. 34
Perkembangan remaja dan perbedaan-perbedaan dalam diri remaja ini tentu saja
Berbicara mengenai pendidikan, hal ini tidak terlepas dari apa yang disebut
dengan kurikulum. Pengertian kurikulum sendiri di antara para ahli tidak pernah sama.
34
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 110-111.
20
Beberapa ahli mengartikannya secara sempit (terbatas pada rancangan/daftar materi
pelajaran) dan ada pula yang mengartikannya secara luas (mencakup seluruh proses
pembelajaran, baik di dalam maupun di luar kelas). Salah satu definisi kurikulum yang
Peneliti gunakan dalam penulisan ini adalah definisi kurikulum oleh Hilda Taba seperti
dengan mengambil jalan tengah, yaitu tidak secara sempit dan tidak pula terlampau luas.
yang bersifat umum dan khusus, dan materinya dipilih dan diorgnanisasikan berdasarkan
suatu pola tertentu untuk kepentingan proses belajar-mengajar. Biasanya dalam suatu
kurikulum sudah termasuk dengan program penilaian hasilnya. 35 Taba seperti yang
dikutip dalam Nasution juga menambahkan bahwa pada hakikatnya tiap kurikulum
merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagai anggota
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pengajaran serta
mencapai tujuan pendidikan nasional.37 Dalam menyikapi perbedaan definisi ini, harus
disadari bahwa kurikulum merupakan pilihan, di mana hal ini bergantung pada pendirian
atau sikap seseorang tentang pendidikan. Pada umumnya dapat dibedakan dua pendirian
utama, yakni yang tradisional dan yang progresif. Kurikulum tradisional sifatnya ingin
mengawetkan yang lama. Hal ini tidak selamanya buruk dan merugikan jika yang
diawetkan adalah hal-hal yang baik seperti nilai-nilai, dan sebagainya. Namun dalam
masa perubahan yang serba dinamis ini menutup mata bagi perubahan akan merugikan
35
Rakhmat Hidayat, Pengantar sosiologi kurikulum (Jakarta: Rajawali pers, 2011), 9
36
S. Nasution, Asas-asas kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 7
37
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB I: Pasal 1.
21
diri sendiri. Sebaliknya kurikulum progresif juga tidak dengan sendirinya baik dan luput
keputusan ini secara khusus berkaitan dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi
sebuah kurikulum. Para pendidik Kristen bisa mengeksplorasi hal-hal mendasar dari
kurikulum degan berfokus pada realitas yang konkrit dan kepedulian untuk
pendidikan. Kurikulum adalah saranan atau medium yang melaluinya visi pendidikan
mampu berakar.40
Ketika mengambil keputusan untuk menggunakan kurikulum yang sudah ada, ada
beberapa area penting yang harus dieksplorasi. Pertama, apakah teologi yang digunakan
penyusun kurikulum sesuai dengan teologi yang dianut gereja? apakah konsep teologi
yang ada dalam kurikulum tersebut sesuai bagi peserta didik dari berbagai tingkat usia
menyatakan Alkitab sebagai otoritas tertinggi yang dijunjung oleh gereja atau komunitas
yang dilayani? Apakah aktivitas pembelajaran bervariasi dan relevan dengan situasi
hidup mereka? Apakah peserta didi secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan
ditantang untuk menjawab pertanyaan tentang iman Kristen yang tepat? Apakah rencan
disesuaikan dengan batasan waktu, sumber daya yang tersedia, ukuran kelas, dan
berbagai kemampuan peserta didi yang berbeda? Apakah materi yang disampaikan
38
Nasution, Asas- asas kurikulum, 15.
39
Pazmino, Fondasi pendidikan kristen, 321.
40
Pazmino, Fondasi pendidikan kristen, 325.
22
sesuai dengan kebutuhan dan ketertarikan dan fokus dari peserta didik? Dan yang
terakhir apakah tampilan, warnha dan kualitas materi yang disampaikan menarik dan
dalam mengarahkan proses pendidikan menuju pada tujuan yang ingin dicapai.
antara lain:42
1. Kurikulum ideal (ideal curriculum), yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang
kurikulum.
kenyataannya.
dilakukan oleh pengajar baik disengaja maupun tidak yang dapat memberikan
41
Pazmino, Fondasi pendidikan kristen,328-329
42
Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum (Bandung: Rosda, 2012), 7-8.
23
2.2.2 Komponen Kurikulum
komponen kurikulum yakni, (1) tujuan, (2) bahan pelajaran, (3) proses belajar-
1) Komponen Tujuan
berikut: (a) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, (b) sesuai dengan tingkat
dunia kerja, bangsa dan negara, baik untuk masa sekarang maupun masa yang
43
Nasution, Asas- asas kurikulum, 17.
44
Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, 82-94.
24
akan datang, dan (d) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
3) Komponen Proses
sekolah melalui kegiatan tatap muka, maupun di luar sekolah melalui kegiatan
4) Komponen Evaluasi
banyak aspek yang harus dievaluasi, banyak orang yang terlibat, dan luasnya
menentukan materi apa yang akan dipelajari, bagaimana proses belajarnya, apa
komponen lainnya. Misalnya saja, pada saat pendidik memilih evaluasi dalam
bentuk ujian, maka timbul kecenderungan untuk menjadikan bahan ujian sebagai
tujuan kurikulum. Evaluasi seperti ini yang menyebabkan proses belajar mengajar
25
Dalam menyusun keempat komponen kurikulum tersebut, pengajar
proses dimana pengajar melihat kebutuhan dari peserta didik dan memutuskan apa
prioritas mereka atau apa yang hendak dicapai dalam proses pendidikan tersebut. 45
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Asas kurikulum, Need Assesment dan
komponen kurikulum memiliki kaitan yang erat satu dengan yang lain, di mana
Kata Pedagogi berasal dari bahasa Yunani paidaegoge. Secara harafiah pedagogi
berarti “memimpin anak”. Dalam bahasa Yunani Kuno, umumnya kata pedagogi
bermakna seorang budak yang mengawasi pengajaran putra majikannya. Ketika itu, anak
perempuan tidak umum diberikan pengajaran khusus. Kata pedagogi ini diturunkan dari
bahasa Latin yang bermakna: mengajari anak. Dalam makna modern, istilah pedagogy
dalam bahasa Inggris merujuk kepada seluruh konteks dan sumber daya operasi
pengajaran dan pembelajaran yang secara nyata terlibat di dalamnya. Pedagogy dalam
bahasa Inggris merujuk kepada teori pengajaran, dimana guru berusaha memahami
bahan ajar, mengenali siswa, dan menentukan cara mengajarnya. 46 Walaupun secara
harafiah pengertian pedagogi dalam bahasa Yunani Kuno dan dalam bahasa Inggris
pengajaran.
kondisi masyarakat Brasil pada masa penjajahan. Pada masa itu, Brasil berada di bawah
45
John D. McNeil, Contemporary Curriculum: In thought and Action (Los Angels: University of California, 2014),
91-92.
46
Sudarwan Danim, Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi (Bandung: Alfabeta. 2010), 47-48.
26
kekuasaan Portugal. Salah satu ciri yang menonjol dari masyarakat Brasil pada saat itu
adalah tidak adanya pengalaman demokrasi. Hampir semua penganalisis sejarah dan
mahkota, tiadanya pers, tanpa hubungan luar negeri, tanpa sekolah, dan tanpa memiliki
suara sendiri. 47
Kolonialisasi yang terjadi sangat keji dan didasari oleh eksploitasi ekonomi aras
pemilikan tanah yang luas dan tenaga budak. Kolonisasi semacam ini tidak dapat
ditembus dan fleksibel, yang menjadi ciri kebudayaan demokratis. Sejak semula,
menciptakan peradaban di tanah jajahan yang baru, ia hanya berusaha untuk memperoleh
keuntungan.48
Kolonisasi di Brasil juga berkembang atas dasar pemilikan tanah yang luas dalam
bentuk perkebunan dan pabrik gula. Areal tanah yang sangat luas ini diberikan kepada
pribadi-pribadi, yang kemudian menguasai baik tanah maupun orang-orang yang hidup
dan bekerja atas tanah itu. Karena pemilikan tanah yang luas dan terpisah-pisah ini,
penduduk tidak punya pilihan lain selain menjadi anak buah dari para tuan tanah yang
berkuasa. Pada akhirnya, perkebunan yang sangat luas, langkanya penduduk karena
47
Paulo Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan. Terj. Alois A. Nugroho (Jakarta: Gramedia. 1984), 21.
48
Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan, 22.
27
hambatan dalam pembentukan mentalitas demokrasi, dan pembentukan kesadaran yang
terbuka.49
luar negeri, tetapi juga untuk hubungan-hubungan antar daerah sendiri. Selain itu, di
Brasil hampir tidak terdapat cita-cita demokrasi. Yang ada ialah kepatuhan yang telah
kemerdekaan hanya menirukan cara penjajah pemerintah. Selain itu, kabinet dan senat
kolonial memberikan kesempatan untuk pengalaman demokrasi, tetapi rakyat tidak dapat
yang dapat memerintah dewan kota, yang namanya tercantum dalam buku orang-orang
terhormat. Mereka merupakan wakil-wakil dari para bangsawan gula, para tuan tanah,
para nigrat, dan juga para orang kaya baru yakni mereka yang telah berhasil dalam
sendiri.50
terjadi ketika Brasil berada dalam masa kolonisasi. Di mana hal ini membuat masyarakat
biasa tidak mendapat hak untuk menentukan pilihan. Pada masa ini, tidak ada demokrasi
penguasa. Masyarakat biasa menerima nasib mereka yang ditentukan oleh penguasa dan
49
Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan, 22 – 23.
50
Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan, 25-26.
28
Paulo Freire lahir dan dibesarkan dalam kalangan kelas menengah Brasil.
Sekalipun latar belakang yang ia miliki menjaminnya untuk hidup terjamin, tetapi
Freire mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar
yang ada. Seperti simbol kelas menengah yang lain, keluarga Freire juga selalu
Merefleksikan situasi mereka, Freire mencatat, “Kami berbagi rasa lapar tapi tidak
Brasil membuat hak-hak dari masyarakat biasa menjadi hilang. Mereka menjadi
masyarakat yang tunduk dan patuh pada kekuasaan yang ada. Hak untuk memilih,
milik dari kaum bangsawan, tuan tanah dan masyarakat ekonomi menengah keatas
lainnya.
atas situasi Brasil yang mulai bergejolak sehingga menimbulkan banyak gerakan
reformasi di awal tahun 1960an. Dari 34,5 juta penduduk, hanya 15,5 juta orang
yang dapat berpartisipasi dalam memberikan suara. Hal ini dikarenakan banyak
masyarakat pedesaan yang miskin dan buta aksara. Harapan akan perubahan ini
yang membawa Freire menjadi kepala Cultural Extention Service yang pertama di
Universitas Recife, yang membawa program melek hurufnya yang terkenal sebagai
51
Paulo Freire, Pedagogy Of The Oppressed. Terj. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum. 2000), 13.
29
metode Freire kepada petani di Timur Laut. Mulai Juni 1963 sampai maret 1964,
Tim Freire bekerja di seluruh negeri. Mereka menyatakan diri berhasil dalam
menarik minat orang dewasa yang buta huruf untuk belajar membaca dan menulis
Metode yang diperkenalkan Freire ini menjadi sangat berhasil karena proses
Kepasifan dan fatalisme para petani dengan segera menyusut saat kemampuan baca
tulis dapat diraih dan dihargai. Namun karena metode ini dianggap mempolitisir
dan sangat radikal di mata militer Brasil dan para pemilik tanah, Freire dimasukkan
ke dalam penjara selama 70 hari. Di dalam penjara inilah Freire mulai menuliskan
dari para lelaki dan perempuan untuk mentransformasikan sejarah dan menjadi
subjek-subjek melalui suatu refleksi yang kritis. Freire beranggapan bahwa mereka
dapat menemukan diri mereka sendiri. Setiap orang datang untuk melihat dunia
bukan sebagai realitas statis tetapi sebagai realitas dalam proses transformasi.
dengan suatu masyarakat tertutup yang terjajah, di mana kekuasaan dijalankan oleh
Kritik ini membawa Freire pada upaya untuk membebaskan masyarakat biasa dari
penindasan yang tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya
52
Denis Collin, Paulo Freire: kehidupan, karya dan pemikirannya (Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 1999), 9-11.
53
Collin, Paulo Freire: kehidupan..., 11-14.
30
Melalui refleksi dan analisisnya, Freire menemukan bahwa pendidikan
haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri
yang bersifat objektif dan subjektif dalam arti kesadaran subjektif dan kemampuan
objektif adalah suatu fungsi dialektis yang konstan dalam diri manusia dalam
Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur dalam hubungan
dialektisnya yang konstan yaitu pengajar dan pelajar sebagai subjek yang sadar dan
realitas dunia sebagai objek yang tersadari atau disadari.54 Dengan proses semacam
inilah, Freire mengharapkan agar masyarakat tidak lagi menerima keadaan mereka
sebagai sebuah nasib yang harus diterima dan tidak dapat diperbaiki. Ia mencoba
mengajak masyarakat biasa untuk melihat realita yang ada melalui sudut pandang
manusia. Sistem pendidikan yang mapan selama ini telah menjadikan anak didik
sebagai manusia-manusia terasing dan terpisah dari realitas dirinya sendiri dan
realitas dunia sekitarnya, karena ia telah mendidik mereka menjadi seperti orang
lain, bukan menjadi dirinya sendiri. Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya
namun tidak akan mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi
penonton dan peniru, bukan pencipta. Akhirnya Freire sampai pada formulasi
tertindas”, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama
dengan, dan bukan diperuntukkan bagi kaum tertindas. Untuk itu, Freire kemudian
54
Freire, Politik pendidikan, ix-x.
31
pendidikan ditujukan untuk pembebasan dan bukan untuk penguasaan. Pendidikan
melakukan redefinisi dan melihat konsep pemberantasan buta huruf dari kacamata
politik, Freire mengembangkan analisa kritis yang sama di mana dia menegaskan
menyingkirkan kaum tertindas. Lebih dari itu, dia juga mengeksplorasi secara
materi pelajaran yang dilakukan secara selektif membutakan orang akan adanya
seleksi, diskusi dan evaluasi materi pelajaran di sekolah dengan proses pedagogis
pendidikan pasti berkaitan erat dengan pengetahuan dan gerakan sosial yang
radikal.57
55
Freire, Politik pendidikan, xii - xiii.
56
Freire, Politik pendidikan, 10-11.
57
Freire, Politik pendidikan, 11.
32
Sekalipun Brasil telah terlepas dari penjajahan Portugal, sistem
pemerintahan yang berlangsung pada masa itu masih banyak dipengaruhi oleh
sistem kolonialisme Portugal. Sistem ini membuat para penguasa menjadi subjek-
subjek aktif yang berhak mengatur dan menentukan, sedangkan masyarakat biasa
menjadi sekedar objek-objek yang wajib menerima pandangan dan keputusan dari
pengusa. Hal ini juga terjadi dalam sistem pendidikan yang ada dan berlangsung
pada saat itu. Freire melihat bahwa pada masa itu, model pendidikan yang
berlangsung masih bersifat naratif dengan ciri utamanya adalah guru sebagai
subyek bercerita dan murid-murid sebagai obyek yang patuh dan mendengarkan.
Isi pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi
empiris dari realitas, dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup.
Guru menceritakan sebuah topik yang asing bagi pengalaman eksistensial para
murid. Tugasnya dalah “mengisi” para murid dengan segala bahan yang dituturkan,
bahan-bahan yang lepas dari realitas, terpisah dari totalitas yang melahirkan dan
dapat memberinya arti. Murid mencatat, menghafal dan mengulangi apa yang
Freire melihat bahwa sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama
mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil
dengan lipat ganda. Jadi, anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito
potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditas ekonomis lainnya yang lazim
dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-
adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun
58
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 52.
33
lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana
tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya
kelak.59 Jadi guru adalah subyek aktif, sedangkan anak didik adalah obyek pasif
informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihafalkan.
terkotak dan dapat diprediksi. Substansi yang disampaikan guru bagaikan alur
murid, hal itu tetap kurang menyentuh realitas. Tugas guru seakan-akan hanya
untuk “mengisi” murid dengan isi narasi versi guru yang terlepas dari realitas,
bagi murid. Apa yang guru ajarkan hanya kisaran format: lima kali lima adalah dua
puluh lima; Ibukota Indonesia adalah Jakarta dan sebagainya. Murid hanya
murid untuk menghafal secara mekanis isi pelajaran yang diceritakan. Lebih buruk
lagi, murid diubah menjadi “bejana-bejana” atau wadah-wadah kosong untuk diisi
oleh guru. Semakin penuh guru mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula ia
sebagai seorang guru. Semakin patuh wadah-wadah itu untuk diisi semakin baik
menabung, di mana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya.
59
Freire, Politik pendidikan, x-xi.
60
Danim, Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi, 77-78.
34
pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan
patuh oleh para murid.61 Hal ini yang dimaksud oleh Freire sebagai konsep
pendidikan “gaya bank”, di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para
murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Padahal menurut
Freire, tanpa usaha mencari, tanpa praksis, manusia tidak akan menjadi benar-
benar manusiawi.
yang mereka anggap tidak tahu apa-apa. Inilah karakteristik dari ideologi
pemecahan masalah atau pencarian dan penemuan. Pekerjaan murid tidak lebih
sebagai transformator dari dunia itu. Semakin benar-benar mereka menerima peran
pasif yang dikenakan pada mereka, semakin mereka cenderung hanya beradaptasi
35
7. Guru bertindak, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan
gurunya
8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan
pelajaran itu
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka
manusia sebagai makluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang
dapat mereka peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut.
Semakin penuh mereka menerima peran pasif yang disodorkan kepada dirinya,
mereka semakin cenderung menyesuaikan diri dengan dunia menurut apa adanya
pelaku (orang yang mengajar dan memberitahu); orang yang belajar, tetapi turut
serta “memberi pelajaran”; objek yang harus diajarkan atau diberitahu; metode
yang digunakan oleh orang yang mengajar untuk menyampaikan isi pengajaran. 65
Bagi Freire, hanya melalui komunikasi manusia dapat menemukan hidup yang
bermakna. Guru tidak dapat berpikir untuk murid-muridnya, atau tidak dapat
64
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 54-55.
65
Paulo Freire, Pedagogy of hope. Terj. Robert R. Barr (New York: Bloomsbury Revelations. 2014), 108.
36
memaksakan pikirannya pada mereka. Model pendidikan gaya bank akan selalu
Untuk itu Freire menawarkan suatu konsep pendidikan yang membebaskan yang
ini pertama-tama menuntut adanya pemecahan masalah kontradiksi antara guru dan
murid. Hubungan dialogis yang harus ada pada para pelaku pemahaman untuk
pendidikan gaya bank. Melalui dialog, guru tidak lagi menjadi orang yang
mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialogi dengan para murid,
yang pada akhirnya di samping diajar mereka juga mengajar. Mereka semua
bertanggung jawab terhadap suatu proses tempat mereka tumbuh dan berkembang.
Metode ini tidak akan menganggap obyek-obyek yang dapat dipahami sebagai
milik pribadi, tetapi sebagai obyek refleksi para murid serta dirinya sendiri.
Dengan cara ini, pendidik hadap masalah secara terus menerus memperbaharui
refleksinya di dalam refleksi para murid. Murid yang bukan lagi pendengar yang
penurut telah menjadi rekan pengkaji yang kritis melalui dialogi dengan guru. Guru
menyajikan pelajaran kepada murid sebagai bahan pemikiran mereka, dan menguji
pemikiran sendiri.67
kesadaran dan keterlibatan kritis dalam realitas. Melalui pendidikan hadap masalah
66
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 64.
67
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 65-66.
37
ini juga, murid yang semakin banyak dihadapkan pada masalah-masalah yang
untuk memahami secara kritis relitas mereka di dalam dunia dan bagaimana
mereka menemukan diri sendiri. Mereka akan memandang dunia bukan sebagai
realitas yang statis, tetapi sebagai realitas yang berada dalam proses, dalam gerak
perubahan. Konsep dan praktik pendidikan hadapa masalah dan pendidikan gaya
bank terlihat saling bertentangan. Konsep pendidikan gaya bank menolak dialog;
intensionalisas kesadaran dengan cara mengisolasi kesadaran itu dari dunia, yang
dengan demikian menolak fitrah ontologis dan kesejarahan manusia untuk menjadi
serta mendorong refleksi dan tindakan yang benar atas realitas (praksis), dan
68
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 66.
38
dengan cara itu menyambut fitrah manusia yang akan menjadi makluk sejati hanya
konsep pembebasan yang dinamis dan pada apa yang disebutnya sebagai
sistem sosial secara kritis. Mereka dapat memahami akibat-akibat yang saling
yang selengkapnya; proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga fase:
kesadaran magis, naif dan kritis. Setiap fase dibagi lagi menjadi tiga aspek
tersebut? (aksi).71
69
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 69-70.
70
Willam A. Smith, Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihartoro (Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 3.
71
Smith, Conscientizacao, 54.
39
masalah-masalah ini disebabkan oleh kekuasaan-kekuasaan yang di luar jangkauan
sistem yang telah dirusak oleh orang-orang jahat yang melanggar norma dan
aturan, bisa dibagi menjadi dua sub kesadaran: menyalahkan diri sendiri dan
Perkembangan individu ini tidak dimulai dengan kesadaran kritis dan kemudian
kritis, juga bukan secara acak. Perkembangan adalah kemajuan dari kesadaran naif
dunia.73
Proses penyadaran tersebut merupakan proses inti atau hakikat dari proses
senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas dari satu tahap ke tahap
sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, orang itu pun
mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-
mata. Orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan
diri atau sesuatu berdasarkan suatu “sistem kesadaran”, sedangkan orang yang
menghafal hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa (perlu) sadar
72
Smith, Conscientizacao, 101-102.
73
Smith, Conscientizacao, 107.
40
apa yang dikatakannya, dari mana ia tlah menerima hafalan yang dinyatakan itu,
cukup jelas. Jika pendidik yang radikal mengetahui makna kebebasan, mereka
tumbuh subur, dan masalah apa yang dihadapi mereka yang ditindas oleh dominasi
itu secara subjektif maupun objektif. Akan tetapi proyek ini tidak akan mungkin
terlaksana jika mereka tidak mengetahui karakteristik sejarah dan kebudayaan yang
spesifik, bentuk-bentu kehidupang sosial, siapa kelompok penindas dan siapa yang
diketahui sedemikian rupa sehingga orang bodoh melihatnya sebagai sesuatu yang
atas masalah-masalah yang tak terpecahkan yang dihadapi oleh sekelompok orang.
Dengan demikian, tidak ada “ahli” yang mengetahui jawaban-jawaban tersebut dan
41
kebenaran yang sama, tetapi berbeda dalam hal cara melihat persoalan yang harus
bukanlah sebuah alat pendidikan yang tepat, tetapi merupakan inti dari proses
pendidikan.77 Pada dasarnya, tujuan dari model pendidikan yang diusulkan Freire
agar pendidikan dapat membawa individu bersentuhan dengan dunia secara kritis.
tersebut.
Pedaogogi pembebasan yang usung oleh Freire memiliki kaitan yang erat
tama bukan untuk menciptakan ideologi yang membenarkan suatu status quo.
Bukan pula sebagai obat penenang pada saat iman mendapat tantangan dari
membiarkan diri kita dinilai oleh sabda Allah.78 Gebrakan baru dalam berteologi
ini tidak terletak pada kajian dan isi pengajaran melainkan pada metode dan cara
praksis atau iman yang dialami dalam sejarah tertentu.79 Menurut Gutierrez, teologi
77
Smith, Conscientizacao, 4-5.
78
Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation (USA: Ninth Printing, 1981), ix –x.
79
Juan Luis Segundo, Liberation of Theology (Dublin: Gill and MacMillan, 1977), 19.
42
bukan merupakan kebijaksanaan dan bukan juga pengetahuan rasional, melainkan
Praksis yang dimaksud adalah praksis untuk pembebasan manusia. Bukan saja
pembebasan yang utuh dan menyeluruh sebagaimana manusia dicintai Allah untuk
bukan saja sebuah proses, melainkan juga sebuah matrik berbagai tataran arti yang
saling bertautan: (1) pembebasan ekonomi, sosial, dan politik; (2) pembebasan
baru; (3) pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan
penguasa, baik secara sadar maupun tidak. Oleh karena itu, peranan yang dapat
dimainkan oleh gereja dalam bidang pendidikan tergantung pada cara pandang
mereka terhadap dunia, agama manusia dan takdir. Dalam gereja tradisional ini,
budaya bisu mereka, dengan segala kekerasan yang dilakukan oleh kaum penindas,
untuk menawarkan ajaran religius. Karena tenggelam dalam budaya bisu ini, di
80
Gustavo Gutierrez adalah salah satu tokoh pencetus teologi pembebasan. Karya yang ia terbitkan dan menjadi
acuan dalam berteologi pembebasan di berbagai negara adalah Teologia de la liberacion, Perspectivas yang telah
diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Gutierrez, A Theology of Liberation, 15
81
Gutierrez, A Theology of Liberation, 235.
43
gereja ini sebagai semacam rahim di mana mereka dapat bersembunyi dari struktur
berteologi yang baru dan harus menentukan sikap: apakah mengubah pandangan
naif mereka menjadi lebih kooperatif dan dengan sadar bergabung dengan ideologi
yang dominan, atau bergabung dengan kaum tertindas dan dengan penuh dedikasi
mereka yang baru beserta masyarakat sebagai peserta didik akan menimbulkan
tantangan tersendiri di mana dalam usaha ini mereka berhadapan dengan resiko
yang sebelumnya tidak mereka ketahui.83 Melalui metode belajar yang baru ini
ini, tidak sedikitpun merupakan bentuk kejujuran. Namun, banyak orang yang
resiko yang pasti ada, ketika mereka patuh kepada suatu komitmen historis.
Akhirnya mereka kembali pada ilusi idealistik, tetapi dalam kapasitasnya sebagai
starting point yang bersifat kolektif di dalam berbagai macam keadaan sejarah,
untuk menghindar dari resiko dan bahaya yang mengancamnya sebab dia
82
Freire, Politik Pendidikan, 220-221.
83
Freire, Politik pendidikan, 209.
44
kesadaran dan semangat untuk selalu menumpas kebatilan. Kesadaran yang
penderitaan ini tidak boleh berlanjut dan visi profetik ini merupakan proses yang
terus berkelanjutan di mana hal ini merupakan aspek yang sangat penting dalam
kemungkinan yang lebih baik, berarti Freire memadukan sejarah dan teologi untuk
membuat dasar teoritis bagi sistem pendidikan radikal yang mencakup tumbuhnya
Krisen yang revolusioner. Freire melancarkan kritik terhadap Gereja karena sikap
revolusionernya. Dia meyakini Tuhan dan menaruh harapan pada-Nya yang telah
Freire, melihat kondisi yang seperti ini seharusnya cinta-kasih Kristiani menaruh
perlu diingat ialah sekalipun teologi termasuk dalam daftar ilmu pengetahuan,
proses berteologi. Guru bukan yang paling tahu, karena ini bukan soal
pengetahuan, dan murid juga tidak dianggap dan menganggap diri sebagai bejana
mati yang siap menampung dan menghafal apa yang dipompakan oleh sang guru.
84
Freire, Politik pendidikan, 13-14.
85
Freire, Politik pendidikan, 13.
86
Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya (Jogjakarta: Masa Media,
1985), 133.
45
Berteologi adalah persoalan hidup, di mana dalam hidup tidak ada yang paling
tahu. Yang ada adalag orang yang lebih banyak pengalaman, dan yang masih harus
(guru dan murid secara bersama mengkaji masalah hidup sehari-hari) untuk
pembebasan dan teologi pembebasan memiliki pandangan dan tujuan yang sama
87
Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, 134.
46