Anda di halaman 1dari 19

Nama

: Metusalakh Rizky Nayar

Mata Kuliah

: Teologi Biblika 2

Dosen Pengampu

: Pdt. Dr. Maylinda Sari

Hari/ Tanggal: Kamis, 2 Juni 2016

Critical Review: Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, Salib dan Adu - Studi Sejarah dan
Sosial-Budaya Tentang Perjumpaan Kekristenan dan Kebudayaan Asli di Nias dan Pulaupulau Batu, Indonesia (1865-1965), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015).

1. Selayang Pandang Pulau Nias


Nias adalah sebuah pulau yang terletak di lepas pantai sebelah Barat pulau Sumatera.
Sebenarnya masih banyak pulau-pulau yang lain yang ada disekitarnya, antara lain Pulau
Batu, Pulau Banyak, Pulau Mentawai, Pulau Enggano, dll, tetapi pulau Nias adalah yang
terbesar. Asal usul nama Nias sendiri sampai sekarang masih menjadi perdebatan di antara
para ahli yang meneliti tentang Suku dan Budaya Nias. Kata Tan Niha yang akhirnya selalu
menjadi sebutan bagi Pulau Nias. Tan berarti tanah, bumi dan Niha artinya manusia,
orang. Sehingga Tan Niha berarti tanah atau bumi manusia. Penduduknya selalu menyebut
dirinya sebagai Ono Niha. Ono artinya anak atau manusia sehingga Ono Niha berarti
anak manusia. Sedangkan orang lain yang bukan Nias disebut dengan Ndrawa (orang
asing, orang luar Nias), misalnya Ndrawa Aceh (orang Aceh), Ndrawa Hulndra (orang
Belanda) . Kecuali orang Cina yang dipanggil dengan Gehai (Kehai).
Mengenai asal usul kata Nias, menurut E. Fries (seorang misionaris) besar
kemungkinan adalah sebutan dari Ndrawa (orang Asing) baik orang Melayu, Eropa, dll yang
kurang bisa mengeja kata Niha. Menurut Tuhoni Telaumbanua, orang Nias telah lama
mendiami Pulau Nias. Mereka juga beradaptasi dengan suku bangsa lain seperti Minang,
Aceh, Batak, Bugis bahkan dari luar negeri seperti Cina, Persia, Belanda, Arab, dll. Dari sini
muncul berbagai teori tentang asal usul orang Nias berdasarkan persamaan kulit, budaya,
tradisi, bahasa, dsb. Namun secara umum orang Nias memiliki kulit kuning langsat, mata
agak sipit, tinggi rata-rata 150-170 cm. Dari ciri-ciri fisik ini tidak jarang orang Nias baik

yang ada di Nias terlebih diperantauan, orang menyebut mereka seperti keturunan Cina,
Korea atau Jepang.
Pendapat umum Ono Niha: (1) diturunkan di Gomo lalu menyebar, (2) Diturunkan
secara bergelombang di Selatan, Utara, Barat dan Timur. Pendapat tersebut dapat dipahami
sebagai Migran dari Asia Tenggara, terutama dari dataran China (Yunan), Suku Naga
(Assam), Taiwan, dll. Kedatangan ke Nias tidak hanya sekali, tetapi bergelombang. Mereka
bertemu, berasimilasi, berbaur yang menghasilkan kesatuan dalam keragaman. Akhirnya,
disebut Ono Niha. Komunitas yang menyatu dalam suku Nias merupakan hasil perjumpaan
kelompok/etnik yang datang ke Nias secara bergelombang. Mereka berinteraksi (saling
mempengaruhi, saling menguasai, atau saling melihat titik-temu. Walaupun hingga sekarang
diskusi tentang asal-usul Ono Niha belum tuntas, namun pendapat para ahli dan mitos-mitos
yang masih hidup tersebut adalah merupakan bahan berharga untuk memahami identitas diri.
Dapat dikatakan bahwa leluhur Ono Niha merupakan kelompok-kelompok etnis yang
datang dari luar dan menjadi menghuni kepulauan ini. Mereka sudah cukup lama datang
secara bertahap di kepulauan ini sehingga digolongkan pada klasifikasi suku tertua yang
disebut proto-melayu. Komunitas yang menyatu dalam suku Nias merupakan hasil
perjumpaan kelompok/etnik yang datang ke Nias secara bergelombang. Mereka berinteraksi
(saling mempengaruhi, saling menguasai, atau saling melihat titik-temu. Dalam proses
interakasi sejarah yang cukup panjang, maka akhirnya terbentuklah satu komunitas bernama
Ono Niha dan tertempa jugalah kebudayaan Ono Niha, yang berbasiskan pada banua dan
koalisi beberapa banua dengan nama ri.

2. Sebelum Misionaris Datang Ke Nias


Ono Niha adalah suku tertua yang mendiami seluruh kepulauan Nias, yang
diperkirakan para leluhur telah bermukim dan menyebar di pulau Nias ribuan tahun yang lalu.
Sebelum misionaris tiba, para leluhur kita telah mendirikan Banua dan Ori di hampir
seluruh kepulauan Nias, hanya saja terpisah-pisah dan bersifat otonom, belum ada kesatuan
masyarakat Nias secara menyeluruh, bahkan sering terjadi peperangan antar banua antar ri.
Dan hal yang menaktukan lagi adalah beroperasinya yang disebut Emali, yakni pemenggal
kepala. Dari segi kepercayaan, masyarakat Nias saat itu memiliki banyak patung di setiap
rumah yang dipercayai sebagai wujud Allah yang menyalurkan berkat, terlebih berkat dari
2

arwah nenek moyang. Ono Niha yang mayoritas bertani, berburu dan beternak mendasari
seluruh aktifitasnya pada kepercayaan kepada dewa-dewa dan melalui ritual dengan media
Adu (patung). Orang Nias memiliki satu agama suku yang disebut dengan agama
penyembah roh atau agama Pelebegu yang artinya penyembah patung (Mohohe Adu).
Sebagai alat untuk penyembahan, mereka membuat patung-patung kayu yang disebut adu.
Patung-patung kayu ini dipercaya sebagai tempat roh leluhur disebut adu satua (patung
leluhur), sehingga harus dirawat dengan baik. Sebagai tempat ibadah yang mana patungpatung ini ditempatkan dibangun satu tempat atau rumah yang disebut osali (kata ini
nanatinya dipakai untuk Gereja dalam bahasa Nias). Untuk menyampaikan segala
permohonan, keluhan, pergumulan kepada para roh leluhur membutuhkan seorang
penghubung yang disebut dengan ere (imam).
Selain itu, bagi orang Nias, semuanya nilai, norma dan tata kehidupan masyarakat
diatur dalam dan melalui Fondrak (Nias) atau di Nias Selatan disebut Famat
Harimo/Famadaya Saembu. Fondrak berarti menetapkan artinya semua aturan ditetapkan
dalam musyawarah bersama. Yang mengikuti akan selamat, namun yang tidak taat akan
menerima kutukan. Melihat dari esensinya Fondrak ini mirip dengan Hukum Taurat bagi
orang Yahudi. Orang Nias sangat taat dan takut dengan fondrak ini sehingga susah
menerima Injil. Sama halnya dengan ajaran-ajaran Yesus yang tidak berterima bagi orang
Yahudi. Mereka juga mengenal Lowalangi yang bersemayam di Teteholi Anaa. Di lain
pihak, mereka juga mengenal banyak Allah di dalam bidang kehidupan. Misalnya, pemilik
ternak di Hutan disebut Bela, pemilik ternak piaraan disebut Sobawi, pemilik ladang
dan sawah adalah Sibaya Wakhe, penguasa di arena perang disebut soaya, penguasa di
Sungai disebut Tuha Zangarfa, dan sebagainya.
Pada waktu missionaris tiba, masyarakat masih tertinggal. Mereka belum mengenal
pakaian dan mereka hanya mengenakan yang disebut Saombo. Makanan pokok masyarakat
adalah ubi dan sagu. Kehidupan masyarakat cukup memprihatinkan karena kemiskinan,
ketiadaan pendidikan, dan sering dilanda oleh wabah penyakit yang membinasakan, seperti
diare, TBC, malaria, dan penyakit yang disebut Talu soyo, Fogikhi/sitesafo, eha simiwo,
nirau mbekhu, dan sebagainya. Tiada andalan mereka selain Foere ba Adu. Pada waktu
itu peranan Ere (dukun) sangat besar untuk penyembuhan penyakit dengan mantra-mantra
serta obat-obatan tradisionil.

3. Misionaris Datang ke Nias


A. Masa Permulaan Yang Sulit (1865 1890)
Pada awalnya memang sulit merobah kepercayaan asli orang Nias karena telah
mengakar dalam diri mereka. Hal ini ditambah pada saat itu orang Nias sedang berada di
bawah pemerintahan kolonial Belanda dengan ciri-ciri umum berkulit putih, rambut pirang
dan tinggi besar. Sehingga pandangan mereka setiap orang dari luar yang memiliki ciri-ciri di
atas termasuk misionaris dianggap sebagai bagian dari kolonialisme Belanda. Kondisi ini
ditambah dengan masih terisolirnya daerah-daerah di Nias dan setiap kampung tertutup
dengan dunia luar. Belum lagi persoalan wabah penyakit malaria yang memang tinggi di Nias
pada saat itu hingga sekarang ini.
Usaha pekabaran Injil di Nias mula-mula berasal dari misi Katolik dari Paris, Prancis,
yaitu Missions Etrangers de Paris (Socit des Missions trangres) pada tahun 1822-1823.
Mereka mengutus 2 (dua) orang Pastor, bernama Pere Wallon (Jean-Pierre Valln) dan Pere
Barart (Jean-Lautent Brard). Misi ini tidak berhasil karena keduanya jatuh sakit akibat
wabah penyakit malaria dan salah seorang dari mereka meninggal dunia setelah 3 (tiga) hari
tinggal di sana dan 3 (tiga) bulan berikutnya menyusul yang seorang lagi.
Barulah pada tahun 1865, seorang penginjil Jerman, bernama Ernst Ludwig
Denninger tiba di Gunungsitoli pada tanggal 27 September 1865. Dia adalah utusan dari
badan Zending, Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) Barmen, Jerman (tahun 1971
menjadi VEM, sekarang UEM). Denninger berasal dari Berlin-Jerman. Ia lahir pada tanggal 4
Desember 1815. Ia seorang yang aktif dalam kebangunan Rohani, sehingga pada Usia 28
Tahun ia tertarik menjadi Misionaris. Ia melamar pada badan zending RMG di Barmen
Jerman, dan setelah diterima, ia dididik menjadi misionaris di Sekolah Zending RMG di
Barmen. Setelah menamatkan sekolah zending, pada tahun 1847 ia ditahbis dan diutus
menjadi misionaris di Borneo (Kalimantan) di tengah masyarakat Dayak. Setelah 12 tahun
melayani di Borneo dan telah mulai menampakkan hasil dengan adanya orang yang dibaptis,
tetapi pada tahun 1859, terjadi pemberontakan Hidayat yang menyerang semua orang
berkulit putih karena dianggap penjajah, termasuk para misionaris. Ada 9 orang dari kalangan
misionaris, isteri dan anak yang mati terbunuh. Denninger dan beberapa misionaris lainnya
sempat melarikan diri, sehingga lepas dari bahaya kematian. Mereka mengungsi ke Semarang
Jawa Tengah. Lalu badan zending RMG memutuskan mengutus mereka ke Tanah Batak
untuk melakukan pelayanan Pekabaran Injil, termasuk Denninger.

Ketika teman-temannya yang lain melanjutkan misi Kristus ke tanah Batak,


Dennigger tinggal di Padang, oleh karena istrinya sakit keras. Di sana dia bertemu dengan
orang-orang perantauan dari Nias ( 3000 orang), bergaul dengan mereka dan tertarik untuk
datang ke Nias. Sehingga, Denninger belajar bahasa Nias. Dalam pertemuannya dengan
orang Nias di Padang pada tahun 1863, dia pernah melakukan pembaptisan kepada seorang
anak perempuan Nias, berumur 17 tahun. Nama kecilnya adalah Ara, dan setelah
dibaptiskan diberi nama oleh Tuan Denninger, Gertruida Christina. Dan akhirnya dia
mengambil keputusan untuk melayani di Nias, sehingga pada tanggal 27 September 1965,
Tuan E. Deninger tiba di Gunungsitoli. Tanggal kedatangannya ini oleh gereja-gereja di
seluruh Pulau Nias menjadikannya sebagai awal masuknya Injil di Pulau Nias atau yang
disebut Yubileum dan diperingati setiap tahun.
Denninger merasa bahwa keberhasilan dalam pekabaran Injil di tengah-tengah orang
Nias salah satunya melalui pendidikan selain kesehatan, diakonia (pemberian makanan,
tembakau, pakaian, dll) dan pembangunan ekonomi masyarakat (salah
satunya cara bercocok tanam yang baik). Itulah sebabnya pada tahun
1866, Deninger, membuka Sekolah Anak-Anak di Gunungsitoli. Dia
mengajar mereka membaca dan menulis. Muridnya hanya 6 (enam)
orang, salah satunya adalah Kaneme, anak seorang Salawa
(bangsawan). Namun mereka datang hanya karena senang dengan
pemberian Denninger. Sehingga mereka belum siap untuk dibaptis.
Pada saat itu juga, Denninger mulai menterjemahkan Injil Lukas dan Yohanes dalam bahasa
Nias, yang menjadi kekuatannya dalam mengabarkan Injil.
Pada tahun 1872 datang seorang lagi missionaris dari RMG, Jerman,
yaitu J.W. Thomas. Untuk sementara waktu, dia tinggal bersama
dengan Denninger di Gunungsitoli untuk belajar bahasa Nias.
Kemudian, dia pindah ke Ombolata. Tahun 1873 datang lagi seorang
missionaris yaitu Friedrich Kramer. Dan Kramer inilah yang
membaptiskan pertama sekali orang Nias menjadi Kristen yaitu
sebanyak 25 orang di Desa Hilinaa atas nama Yawa Duha (Kepala
Kampung Hilinaa), beserta keluarganya. Hal ini terjadi pada tanggal 05 April 1874
bertepatan dengan Paskah.

Pada tanggal, 08 Agustus 1875, terjadi perpisahan kepada Denninger, oleh Thomas
dan Kramer beserta semua yang telah dibaptis. Pada saat inilah diadakan sakramen
Perjamuan Kudus yang pertama sekali di gereja Nias ( 100 orang). Dua hari kemudian, pada
tanggal 10 Agustus 1875, Tuan Deninger, meninggalkan Nias menuju Batavia (Jakarta
sekarang), oleh karena kondisi kesehatan yang kurang baik. Satu tahun kemudian, tepatnya
tahun 22 Maret1876, Denninger meninggal di sekitar wilayah Bogor. Oleh Kramer,
Denninger diberikan julukan, Ama Halw Zamatenge Ba Dan Niha(Bapa Pemberita
Injil di Nias) . Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa sampai sekarang, foto Denninger
tidak pernah diketemukan. Dan sebagai tanda untuk mengingat dirinya salah satu gereja
diberi nama Denninger, yaitu Jemaat BNKP Denninger, yang berada di Tohia, Gunungsitoli,
kurang lebih 2 km dari pusat kota Gunungsitoli.
Pada tahun 1876 datang Dr. W.H. Sunderman di Gunungsitoli, dan dia langsung
belajar bahasa Nias. Kemudian pada 1886 dia tinggal di Llwua sampai tahun 1902.
Selama di Llwua, Sundermann menterjemahkan Alkitab dalam bahasa Nias seperti yang
kita kenal sampai sekarang dan selesai pada tahun 1908. Demikian juga buku Agende atau
liturgi gerejani dari bahasa Jerman ke bahasa Nias, dan Katekhismus Luther. Buah dari
pekerjaan para misionaris ini mulai tampak ketika pada tahun 1876 berdiri Gereja pertama di
Nias, di Omblata. Kemudian untuk membantu mereka pada tahun 1895 pada bulan Maret
dibuka Sekolah Guru Injil pertama di Ombolata.
Pada tahun 1881 datang lagi misionaris kelima bernama J.A. Fehr. Dia i ni yang
mengantikan J.W. Thomas di Omblata pada tahun 1883, sebab J.W. Thomas pergi berusaha
membuka pos Pekabaran Injil di Saua (Nias Utara), meskipun usahanya itu ternyata gagal.
Walaupun banyak kesulitan yang dialami serta jangkauan Pekabaran
Injil yang dapat dicapai tidak begitu luas, namun dalam periode ini
telah berhasil dibaptis sebanyak 699 orang (148 orang di Gunungsitoli,
348 orang di Omblata dan 203 orang di Dahana). Juga diantara mereka
telah dipilih beberapa orang menjadi penatua. Daerah yang dicapai
hanya di sekitar Gunungsitoli saja, dengan 3 Pos Pekabaran Injil yaitu
Gunungsitoli, Omblata, dan Dahana. Pada masa ini juga dibangun
gereja pertama di Nias di Ombolata pada tahun 1876.

2. Masa Perluasan / Penyebaran (1890-1915)


Usaha Pekabaran Injil pada periode ini ternyata mengalami kemajuan dibandingkan dengan
periode sebelumnya. Pada periode ini berhasil masuk di Nias bagian Tengah sampai ke Nias
bagian Barat, Pantai sebelah Timur sampai di Nias bagian Selatan, Nias bagian Utara dan di
Pulau-pulau Batu.
A. Masuknya Injil di Nias bagian Tengah dan Nias Bagian Barat
Pada tahun 1896, Dr. W.H. Sundermann membuka pos pelayanan
di Llwua (17 km dari kota Gunungsitoli). Di Llwua ini
Sundermann berhasil menterjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Nias,
ditambah dengan Katekhismus Luther yang disebut Lala Wangorifi.
Tahun 1905, E. Fries membuka pos pekabaran injil di Sifaoroasi (50
km arah Nias Timur). Baru 4 tahun setelah kedatangannya di sana,
tepatnya tanggal 26 Desember 1909 di Sifaoroasi dapat dilaksanakan
pembaptisan yang pertama sekaligus dengan peresmian Gedung Gereja yang pertama di situ.
Di Nias bagian Barat H. Lagemann bersama A. Lett telah berhasil tiba di Sirombu
pada tahun 1892, dan membuka Pos Pekabaran Injil di situ di bawah asuhan A. Lett. Satu
tahun kemudian (tahun 1893) H. Lagemann juga berhasil membuka Pos
Pekabaran Injil di Lahagu. Tahun 1806 Pendeta Bassfeld membuka pos
pekabaran injil di Llmoyo, Mandrehe. Menyusul lagi pada tahun 1899
Pendeta Sporket membuka Pos Pekabaran Injil di Llmboli Moro.
Demikian pula bersamaan dengan itu Pendeta W. Hoffman membuka pos
pekabaran injil di Hinako. Pada tahun 1905 Pendeta A. Pilgenroder
membuka Pos Pekabaran Injil di Tugala Oyo.
B. Masuknya Injil di Pantai bagian Timur sampai di Nias bagian Selatan
Usaha pekabaran injil di Nias bagian Selatan baru dapat dibuka pada tahun 1908,
yaitu setelah pemerintah Hindia Belanda berhasil menduduki ri Maenaml. Sehingga
Pendeta H. Rabeneck berhasil membuka pos pekabaran Injil di sana pada tahun 1909 dengan
dibantu oleh dua orang tenaga guru yaitu Faedog di Hiligeo dan Fangaro di Hilisatar.
Baptisan pertama di sana baru terjadi pada tahun 1916. Berita Injil baru masuk di
Hilisimaetan pada tahun 1911, yaitu dengan datangnya Pendeta B. Borutta di sana.

C. Masuknya Injil di Nias bagian Utara


Pada tahun 1903 Pendeta Noll membuka Pos Pekabaran Injil di Bous. Orang-orang
yang datang dan pergi melalui Bous ini mempercepat tersiarnya berita Injil di kalangan
penduduk di Nias Bagian Utara, sehingga pada tahun 1910 Tuhenri Ama Deali yang
bergelar Samasiniha dari Hilindruria bersama 3 orang Salawa datang meminta kepada
Pendeta Noll agar membuka pos Pekabaran Injil di Hilimaziaya. Pada tahun 1911 Pendeta
Schlipkoter membuka Pos Pekabaran Injil di Hilimaziaya. Kemudian berita Injil tersiar mulai
dari Hilimaziaya dan dari Tugala Oyo sampai di Afulu dan Lahewa. Akhirnya pada tahun
1922 Pendeta Skubina membuka pos pekabaran Injil di Lahewa.
D. Masuknya Injil di Pulau-Pulau Batu
Masuknya injil di Pulau-pulau Batu bukan atas usaha RMG tetapi atas usaha
Luthersche Zendings Genotschap dari Negeri Belanda. Yang membawa berita Injil di sana
adalah Johannes Kersten yang tiba di Pulau Tello pada tanggal 25 Februari 1889. Seperti
halnya di daratan Pulau Nias, Pendeta Johannes Kersten di sana juga menghadapi wabah
penyakit dan permusuhan antar kelompok penduduk. Pada akhir tahun itu datang pula
Pendeta C.W. Frickenshmit, dan tidak lama kemudian menyusul P. Landwer yang berhasil
membuka pos pekabaran injil di Pulau Sigata pada tahun 1896.
Mula-mula mereka berusaha membuka sekolah-sekolah di pulau-pulau yang
berdekatan, jadi dari situ diteruskan usaha pekabaran injil. Dengan cara ini pada tahun 1912
dapat dibuka Pos pekabaran injil di Pulau Mari, pada tahun 1913 di Pulau Betua, tahun 1914
di Pulau Sifika dan tahun 1916 di Pulau Lora. Gereja yang pertama didirikan di Pulau-pulau
Batu disebut BKP (Banua Keriso Protestan) pada tahun 1945 dan akhirnya menggabungkan
diri dengan BNKP Pada Persidangan Majelis Sinode BNKP pada tahun 1960 di Omblata.
Hal ini semakin mempererat kesatuan antara orang Nias di daratan dengan orang Nias yang
ada di kepulauan Batu.

Masa Pertobatan Masal (Fangesa Dd Sebua) (1915-1930)


Perkembangan dan pertumbuhan kekristenan di Nias mencapai puncaknya pada tahun

1916 dengan apa yang disebut Fangesa Dd Sebua (Pertobatan Hati Massal) semacam
Gerakan Kebangunan Rohani Besar/Masal. Peristiwa ini bermula di Humene ( 10 km dari
Gunungsitoli) ketika seorang guru bantu di sekolah Zending bernama Filemo pada bulan
April 1916. Pada saat itu sedang ada berlangsung kebaktian Paskah sekaligus Perjamuan
8

Kudus dengan misionaris Ruderrsdorf sebagai pelayannya. Setelah mendengar Firman


Tuhan tiba-tiba Filemo menangis dan menjerit sambil berkat Horgu! Horgu! (Dosaku!
Dosaku!). Orang banyak mengira dia gila atau sakit, tetapi Ruderrsdorf yang berlatar
belakang Pietis memahami kondisi ini. Dia mengatakan bahwa Filemo tidak sakit, melainkan
dia menyesal akan dosa-dosanya. Ruderrsdorf menuntun Filemo untuk mengakui dosa
dihadapan Tuhan dan meminta maaf terhadap setiap orang yang merasa dia bersalah. Dia
melakukan itu semua dan setelahnya Filemo merasa damai dan tenang. Anehnya kepada
setiap orang Filemo meminta maaf, orang tersebut juga menagis dan menyesali dosanya
sehingga pergi meminta maaf kepada yang lain.
Peristiwa ini cepat menyebar ke seluruh wilayah daerah pelayanan para misionaris,
sehingga banyak orang yang menyesali dosanya dan kembali ke jalan Tuhan. Dampak positif
dari gerakan ini nampak pada pertumbuhan kuantitas dan kualitas iman warga jemaat. Segi
kuantitas terjadi pertambahan jumlah orang Kristen secara signifikan. Pada tahun 1915
jumlah orang Kristen di Nias tercatat 20.000 jiwa (hasil pelayanan 50 tahun). Pada tahun
1929 menjadi 85.000 jiwa. Bertambah 65.000 jiwa hanya dalam kurun waktu 14 tahun saja.
Juga dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Nias yang telah menjadi Kristen, benar-benar
menunjukkan dirinya sebagai orang yang percaya kepada Yesus. Banyak yang membuang
Adu, hidup dalam perskutuan-persekutuan dan kejahatan seperti perkelahian, pencurian,
perampokan mulai berkurang. Pada saat ini kerinduan orang mendengar Firman Tuhan
sungguh besar. Sehingga dimana-mana bermunculan persekutuan doa yang disebut dengan
Sekola Wanusugi Ddatau Sekolah Niha Keriso. Pada saat ini banyak tercipta lagu-lagu
rohani yang berisi pertobatan dan perubahan hati.
Sayang sekali, kemudian hari seiring dengan putusnya hubungan antara BNKP
dengan RMG akibat Perang Dunia II pada tahun 1940-1953 dan Jepang menguasai Indonesia,
gejolak di dalam gereja mulai timbul. Salah satunya muncul Fangesa Dd Solaya
(Pertobatan Hati Dengan Menari) yang sudah campur dengan ilmu hitam dan menjadi
sesat oleh gereja. Gerakan ini mulai timbul di Nias Barat. Pada saat itu yang muncul adalah
penekanan pada karunia rohani dan sikap menantikan akhir zaman. Pada saat ini juga muncul
para pengajar sesat yang mengandalkan mimpi-mimpi, muzijat dan memakai nama-nama
Allah dalam bahasa Ibrani (seperti Yahweh, El Roy, El Elyom, dll) sebagai satu kekuatan.
Kalau melihat perjalanan misi di Nias, maka dapat dipetakan sebagai berikut:

Pada 25 tahun pertama (1865-1890), kekristenan di Nias hanya dapat berkembang di


wilayah pemerintahan sipil Belanda, yang disebut Rapatgebiet. Jemaat berdiri di
Gunungsitoli, Dahana, Omblata dan Faekhu. Sudah dicoba di beberapa tempat di luar
rapatgebiet, yakni di Fagulo dan Bawolowalani, tetapi gagal dan Ono Niha di wilayah
tersebut bertahan dengan kepercayaan dan kebudayaan lama. Tetapi pada kurun waktu 25
tahun kedua (1890-1915), seiring dengan penetrasi Kolonial Belanda ke pedesaan dengan
menumpas para pemberontak dan membuka jalan dengan rodi, maka usaha Pekabaran
Injilpun masuk ke berbagai wilayah kepulauan Nias. Untuk wilayah utara misi masuk ke
Bous, Awaai, Sowu dan kemudian Hilimaziaya sebagai pusat penginjilan di sekelilingnya.
Di belahan Timur, misi masuk melalui Humene Sogaeadu Bawalia. Di bagian tengah,
misi masuk melalui Llwua dan Sifaoroasi. Ke wilayah barat, misi penetrasi ke TugalaLahmi/Fadoro, Lahusa, Lolowau, Lahagu Oyo, Lolomoyo dan kemudian Lawelu.
Sedang ke belahan Nias Selatan, misi masuk melalui Hilisimaetan dan Saua; sedangkan ke
pulau-pulau Batu, misi dari Bedan Misi Lutheran Belanda yang melayani di sana.
Pada 25 tahun ketiga (1916-1940) yang dikenal dengan akhir zaman zending,
kekristenan di Nias berkembang sangat pesat yang didukung oleh gerakan pertobatan massal
yang menyebar di seluruh kepulauan Nias pada tahun 1916-1930. Pada tahap 25 tahun
terakhir inilah Ono Niha secara keseluruhan meninggalkan agama lamanya, dan masuk
agama Kristen, yang dilembagakan melalui sidang sinode 1 tahun 1936, dengan nama Banua
Niha Keriso Protestan (BNKP). Akhir zaman zending ini adalah tahun 1940, ketika terjadi
Perang Dunia Kedua, dimana seluruh misionaris ditawan oleh tentara belanda dan kembali ke
negerinya. Dengan demikian, sejak tahun 1940 hingga sekarang BNKP dipimpin,
digembalakan dan dilayani oleh Ono Niha.

Terbentuknya BNKP (1936 Sampai Sekarang)


Dampak lain dari munculnya Gerakan Pertobatan Masal adalah timbulnya kerinduan

dari para missionaris yang didukung oleh pelayan lokal dalam hal penataan organisasi. Hal
ini berbuah pada pelaksanaan Sidang Sinode I pada tanggal 0811 November 1936 di
Gunungsitoli. Sidang ini menghasilkan beberapa keputusan penting antara lain: pertama,
membentuk satu wadah yang menyatukan seluruh gereja di Nias yang disebut Banua Niha
Keriso Protestan Ba Dan Niha (BNKP di Nias). Kedua, memilih Pdt. A. Luck (misionaris
Jerman) sebagai Vorzitter (Ephorus) yang pertama dan para zendeling lainnya sebagai Praeses
10

(Pendeta Resort) di 7 Ressort. Ketiga, menerima dan mengesahkan Tata Gereja yang
kemudian pada tahun 1938 mendapat pengesahan dari pemerintah Belanda.
Sehubungan dengan peralihan kekuasaan dari pemerintah Belanda kepada Jepang
pada tahun 1940, maka seluruh Pendeta atau misionaris dari RMG diminta meninggalkan
pulau Nias. Ini adalah ujian berat bagi BNKP di Nias karena kehilangan tenaga dan sumber
dana dari RMG, tetapi menjadi berita sukacita karena orang Nias memimpin gerejanya
sendiri. Dari sinilah mulai kemandirian dalam bidang organisasi di BNKP dengan Pdt.
Atofna Harefa, menjadi Ephorus pertama dari kalangan orang Nias. Di kemudian hari
muncul ketegangan di antara para pelayan sehingga menimbulkan skhisma (perpecahan)
dalam tubuh gereja BNKP. Hal ini mulai dari munculnya kelompok yang disebut
Angowuloa Faawsa Kh Yesu (AFY) di Nias atau Persekutuan Persaudaraan Dalam
Yesus (1933); Angowuloa Masehi Indonesia Nias (AMIN) di Nias (1946); Orahua Niha
Keriso Protestan (ONKP) di Nias Barat (1952). Kemudian hari berdiri lagi Gereja Niha
Keriso Protestan Indonesia (GNKPI) di Gunungsitoli (1993) dan Banua Keriso Protestan
Nias (BKPN) di Nias Selatan (1993).
Timbulnya perpecahan ini lebih banyak faktor organisasi akibat ketidakpuasan atas
keputusan pimpinan, masalah mutasi dan juga keputusan sinode. Meskipun demikian BNKP
tetap berjalan dengan misinya sebagai salah satu lembaga yang memberitakan Injil.
Hubungan dengan gereja-gereja yang memisahkan diri juga sekarang telah menjadi lebih
baik. Melihat perjalanan masuknya berita Injil di Nias sampai berdirinya BNKP adalah salah
satu anugerah dan rencana Tuhan yang luar biasa bagi seluruh masyarakat Nias.

Resume
Di beberapa kebudayaan, tidak ada pemisahan antara hal-hal yang alami dan yang gaib.
Pemahaman agama sebagai sesuatu yang berdiri sendiri hanya ada di tradisi barat. Agama
sejak adanya manusia, dialami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Salah
satu fungsi utama agama ialah memberi arti dan menerangkan berbagai asfek kehidupan
sosial maupun situasi alam yang mempengaruhi kehidupan pribadi, maupun masyarakat.
Agama berhubungan dengan kehidupan maupun kematian, penciptaan dunia, asal usul suatu
masyarakat dan kehadiran kelompok tertentu dalam suatu masyarakat, hubungan timbal balik
antara orang per orang dan komunitasnya, dan hubungan manusia dengan alamnya.
11

Sesuai dengan kosmologi orang Nias, semua kegiatan di dunia adalah refleksi dari dunia
atas. Untuk menjamin keharmonisan dunia, orang Nias atau Ono Nihamempraktikkan ritusritus dari leluhur mereka dan mentaati adat. Adu adalah satu lambang agama asli orang Nias,
juga lambang dari adat. Karena itu semua kegiatan adat dalam lingkaran kehidupan mereka
selalu menghadirkan sebuah adu. Penyembahan adu, adalah untuk mengharapkan berkat dari
para leluhur. Adu diyakini dapat menghalau roh-roh jahat yang dapat mengganggu manusia
baik fisik maupun mental. Inilah agama dan penuntun mereka kepada keselamatan.
Bagi orang Nias, adu adalah perantara yang bisa membuat mereka berhubungan dengan
para ilah, roh-roh, dan para leluhur. Orang Nias tidak berdoa kepada adu, tetapi melalui adu
kepada para ilah dan roh-roh leluhur. Adu dianggap sebagai perwujudan kehadiran para ilah
dan roh. Alasan inilah mengapa orang Nias mencintai adu yang merupakan wujud dari roh
leluhur mereka. Itu juga yang membuat mereka sulit melepaskan adu, karena bagi mereka
adu dianggap sebagai sumber berkat, pemeliharan, dan penyembuhan.
Bagi orang Nias yang hidup sebelum Kekristenan, kehidupan masyarakat tidak dapat
dipisahkan dari agama asli. Selain memenuhi kewajiban rohani, setiap orang mesti memenuhi
aturan seperti yang diterapkan oleh adat. Adat dilanjutkan dari generasi ke generasi, namun
bila perlu, ditinjau dan dibaharui. Bila perubahan sosial menuntut adanya satu penyesuaian,
maka para tetua akan berkumpul membicarakan pergantian maupun penambahan terhadap
adat yang sedang berlaku. Agama lokal adalah bagian yang tak terpisahkan dari adat.
Ketaatan pada adat menjamin satu kehidupan penuh berkat. Untuk itu orang Nias harus
menjaga hubungan baik dengan para ilah dan leluhur, juga sekaligus menjaga hubungan baik
dalam masyarakat.
Sistem sosial dan kebudayaan asli orang Nias mengalami perubahan yang cepat sejak
perjumpaan mereka dengan penjajahan Belanda dan zending Kristen. Adat juga mengalami
perubahan yang luar biasa. Orang Belanda menerima aturan dan kebiasaan tradisional, sejauh
adat ini tidak bertentangan dengan aturan Belanda. Inilah konteks di mana para misionaris
mulai melayani dan gereja mulai bertumbuh di kalangan orang Nias.
Semangat Pietisme dan Revivalisme yang menekankan pada iman pribadi dan
pengudusan, ketidakkritisan dalam membaca Alkitab, penantian akan kedatangan Kristus
yang kedua kali, dualisme antara dunia sekarang dan dunia yang akan datang, serta ketaatan
pada pemimpin yang berkharisma juga diterapkan oleh para misionaris kepada orang Nias

12

yang telah menjadi Kristen. Semua unsur kebudayaan asli yang dianggap tidak sesuai dengan
paradigma barat mesti disingkirkan.
Penekanan

pada

kebudayaan

menghasilkan

pemisahan-pemisahan

yang

tegas.

Kebudayaan pribumi dibagi dalam tiga pembagian yang terpisah yaitu kebudayaan yang
dapat diterima dan kebudayaan yang layak dijauhi. Bahasa daerah dapat diterima, adat
ditempatkan pada aras kedua, sedangkan agama lama berada pada aras terendah dan dianggap
dapat dihapuskan. Patung-patung dianggap sebagai bagian penyembahan berhala sehingga
merupakan kekejian bagi Allah, karena itu patung-patung mesti dimusnahkan. Praktik-praktik
seperti pesta babi yang besar, pembuatan perhiasan emas, upacara pemakaman, penambalan
gigi, penyunatan dan lain-lain dilarang dan diganti seluruhnya dengan aturan Kristiani yang
baru.
Semua jenis kebudayaan disaring tanpa refleksi alkitabiah yang kreatif tentang
bagaimana berhadapan dengan kebudayaan secara konstuktif.Agama lama walaupun sudah
hampir punah dalam dalam bentuk luarnya, tetapi isinya masih tetap hidup di hati
kebanyakan orang Nias.Beban kolonialisme dan pengrusakan secara sistematis terhadap
agama lama, menyebabkan satu kekosongan rohaniah dalam komunitas Nias,dan adat
menjadi lumpuh. Agama lama yang asalnya menjadi pusat nadi dari identitas kebudayaan.
Adat tidak dapat dijalankan atau dibaharui bila dipisahkan dari akarnya, yaitu agama asli.
Pemusnahan ini mengakibatkan krisis identitas yang luar biasa .
Dalam perjumpaan Kekristenan dan kebudayaan Nias, para misionaris mengembangkan
satu pendekatan, yaitu menolak sama sekali semua upacara agamawi agama lama dan
menganggap bahwa ritus-ritus tersebut adalah praktik kekafiran yang berasal dari zaman
yang gelap. Adu dihakimi sebagai simbol-simbol kejahatan. Di lain pihak para misionaris
berusaha menggunakan istilah dari agama lokal untuk menerangkan iman Kristen,namun
sayangnya mereka hanya mengambil alih pengertian yang dangkal dari kata-kata itu dan tidak
mengakui kedalaman serta keutamaan agamawi dan nilai budayanya. Hal itu berakibat
Oarang Nias (Ono Niha) masih menerima istilah-istilah itu dalam pemahaman aslinya dalam
agama lokal mereka.
Perjumpaan antara Salib dan Adu di Nias dan pulau-pulau Batu dikategorikan dalam
empat tahap:

13

1. Kekuatan dan kuasa adu:


Selama pemerintah kolonial belum terlalu berkuasa, kepala suku sebagai pemimpin yang
berkuasa dari masyarakat setempat adalah pemeluk kuat agama suku. Barulah ketika
mereka melihat keuntungan dari kehadiran para misionaris, misalnya untuk memperoleh
obat-obatan atau sekutu untuk melawan musuh mereka, mereka mau untuk mengundang
misionaris melayani di tengah mereka. Hubungan timbal balik cukup harmonis sepanjang
sepanjang para misionaris menyesuaikan diri dengan adat dan menghormati keingin
kepala suku. Namunkepala suku tidak rela menerima tuntutan misionaris dan tidak tertarik
untuk menyerahkan adunya dan menjadi Kristen.
2. Bergoyangnya kekuasaan adu:
Kemiskinan yang makin parah disebabkan oleh wabah, bencana alam dan kejahatan.
Pengaruh terbesar datang dari pemerintah kolonial dan zending Kristen yang menyentuh
kebudayaan setempat. Prasangka terhadap kebudayaan setempat khususnya terhadap
agama setempat dan tidak adanya kesempatan bagi Ono Niha atau Orang Nias untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, menyebabkan merosotnya integritas
kebudayaan Nias.
3. Hancurnya adu:
Menghilangnya kekuasaan mutlak dari para pemimpin atau kepala suku menyebabkan
terjadinya kevakuman rohani. Kelemahan agama setempat ini dipergunakan oleh para
misionaris Injil Yesus Kristus sebagai pembawa damai dan berkat yang baru. Secara tidak
terencana oleh para misionaris, Injil menjelma menjadi suatu kekuatan yang tidak terduga.
Orang Kristen dibarui dan bergerak menyebarkan Injil ke pelosok-pelosok Nias yang
melahirkan pertobatan massal.
4. Penyerahan adu:
Sesudah Kekristenan menang atas agama setempat, para misionaris memperkuat status
orang Kristen di Nias dan pulau-pulau batu. Dengan perhatian utama untuk menindas
semua upaya kembalinya agama setempat. Namun, kuncup agama lama masih bersemi
kepercayaan kepada adu kembali muncul. Di balik ajaran resmi unsur agama adu masih
tetap hidup. Struktu masyarak tradisional cukup berbeda dengan struktur gereja yang
dipaksakan oleh para misionaris. Nilai-nilai yang berlaku dalamkehidupan gereja seharihari lebih bersifat tradisional ketimbang alkitabiah. Gereja menjadi tempat di mana orang
berjuang untuk memperoleh kehormatan. Hal ini membuat para pemimpin gereja
menghabiskan energinya dari pada menolong orang yang miskin dan berkekurangan.

14

Perjumpaan antara Kekristenan dan adat Nias dari tahun 1865-1965 mengakibatkan
perubahan sosial yang cepat. Interaksi antara Salib dan adu tidak terjadi pada aras yang
sejajar. Orang Nias dianggap sebagai orang yang hidup dalam kegelapan, misionaris barat
menggunakan kebudayaan mereka sebagai ukuran untuk menilai kebudayaan lain termasuk
kebudayaan orang Nias. Sikap dan strategi para misionaris dipengaruhi oleh latar belakang
kebudayaan mereka sendiri. Sikap gereja yang meremehkan segala sesuatu yang dianggap
duniawi, termasuk kebudayaan tradisional dan modern, politik dan persoalan yang
berhubungan dengan ekonomi, semua ini membatasi pengaruh Injil di dalam masyarakat.
Gereja Nias sama seperti gereja-gereja suku lainnya di Indonesia dituntut untuk
membaharui diri atau bertransformasi dan meninjau kembali konsep-konsep tentang makna
gereja dan misinya. Kebutuhan baru mulai muncul yaitu kebutuhan akan kebudayaan etnis.
Kebutuhan ini bukan hanya sekedar nostalgia atau meromantiskan kebudayaan tradisional.
Gereja bertugas untuk menyelamatkan dan memperbaharui kehidupan. Dengan demikian
karena kebudayaan adalah ekspresi tertinggi dari kehidupan manusia, gereja mesti merangkul
dan mengasuh kebudayaan tanpa mengabaikan untuk melakukan analisis yang kritis dan
profertis dan menuntut keadilan dan kebenaran.
Gereja semestinya melakukan proses pendalaman yang sungguh, gereja merumuskan
ulang dan dan membaharui identitasnya untuk bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dan
memberikan sumbangsih yang unik bagi gerakan oikumenis. Paradigma baru mesti kembali
pada suatu pandangan yang holistik tentang keselamatan, termasuk pembebasan dari
kejahatan di dunia ini, sehingga ada jaminan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
Teologi kontekstual merupakan kebutuhan bagi gereja yang mesti dikembangkan,
Teologi merupakan upaya merumuskan penghayatan iman Kristiani pada konteks ruang dan
waktu tertentu. Gereja yang tidak berpijak dan berakar dalam kebudayaan suatu masyarakat
di mana gereja itu ada tidak dapat diharapkan menyelesaikan masalah, juga tidak bisa
memberikan orientasi di tengah perubahan yang cepat. Hanya gereja yang hadir dalam
sebuah kehidupan baik umum maupun pribadi, bisa menjadi saksi yang andal tentang
Kerajaan Allah.
Gereja harus mengusahakan pembaharuan visi tentang misi gereja dan hakikat gereja itu
sendiri. Proses mendalami Alkitab secara serius dan sungguh-sungguh serta mendalami
berbagai tradisi dogma atau ajaran yang diwarisi, demikian juga konteks di mana gereja ada
dan melayani. Hal ini dapat memungkinkan terciptanya liturgi-liturgi yang kontekstual,
15

nyanyian-nyanyian rohani, buku-buku tentang ajaran/dogma dan tata gereja yang lebih
relevan. Hanya dengan demikian gereja ada dalam posisi untuk berperan penting dalam
membarui masyarakat.
A. PUJIAN
Tulisan yang disajikan dalam buku ini dapat menjadi suatu pembelajaran yang sangat
berharga bagi gereja-gereja di mana saja. Gereja jika ingin ia diterima, bertumbuh dan
berkembang maka mesti memperhatikan asfek adat, sosial dan budaya setempat. Karena
sadar atau tidak, gereja hadir bukan pada suatu ruang kosong namun gereja hadir di suatu
tempat dan di tengah masyarakat yang telah mempunyai nilai-nilai serta pemahaman tertentu
yang diyakininya. Gereja diajak untuk bersedia dengan kerendahan hati melihat, memahami,
mempelajari, dan menghargai adat budaya serta nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Semangat kontekstual sangat terasa dalam tulisan ini, tentu saja sebagai sebuah wujud
kecintaan yang dalam terhadap tumbuh kembang gereja sekaligus sebagai sebuah
penghargaan dan apresiasi terhadap budaya yang ada. Sebuah seruan yang menggugah
kesadaran kita bersama untuk secara serius mendalami Alkitab, dogma dan ajaran tanpa
melupakan bumi tempat kita berpijak. Menghadirkan Yesus Kristus bukan sebagai sosok
yang asing dan hanya yang dapat diterima oleh satu kebudayaan saja. Melainkan Yesus
kristus yang dapat hadir di mana saja dan yang mampu menyelami kehidupan semua orang
dari latar belakang budaya yang berbeda-beda serta yang mampu menjadi juruslamat bagi
seluruh ciptaan. Tanpa upaya dan kemauan untuk berkontekstualisasi maka gereja tidak akan
mendapat tempat serta tidak akan pernah mampu menjadi alat damai sejahtera bagi dunia ini.
B. KRITIK
Tanpa bermaksud menganggap ini sebagai upaya kontra terhadap tulisan yang ada, satu
hal yang maudikritisi dari tulisan dalam buku ini yaitu terasa ada nada-nada sinis terhadap
upaya dan pola pekabaran Injil yang telah dilakukan oleh para misionaris di masa lampau.
Seolah-olah para misionaris adalah aktor utama dari terkikisnya adat dan budaya yang ada,
serta dalang dari rusaknya nilai-nilai luhur yang dimiliki masyarakat setempat.
Suka ataupun tidak kita mesti berterima kasih kepada para misionaris dengan segala
keterbatasan mereka dalam mengabarkan Injil. Gaya, cara, dan strategi yang mereka pakai
pada saat itu dalam rangka memberitakan Injil memang sesuai dengan masa dan jamannya.
Yang perlu kita lakukan adalah belajar dari pengalaman tersebut, mengkaji secara kritis dan
mendalam sehingga akhirnya menemukan pola pekabaran Injil yang tepat serta mengena

16

dengan konteks jaman sekarang. Seperti jaman yang terus berkembang dan kehidupan yang
selalu berubah maka teologi pun mesti berkembang agar tidak menjadi teologi usang yang
tertinggal oleh jaman dan kebutuhan manusia.
C. REFLEKSI
Apa yang terjadi dengan perjumpaan antara Kekristenan dan adat budaya di Nias, juga
dialami oleh masyarakat Dayak di mana Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) hadir. Hal itu
berarti Gereja Kalimantan Evangelis yang hadir dan melayani di bumi Kalimantan juga mesti
melakukan suatu upaya yang sama yaitu berteologi secara kontekstual. Sebuah tantangan bagi
gereja-gereja termasuk Gereja kalimantan Evangelis (GKE) bagaimana kehadirannya dapat
tetap relevan dan menjadi berkat.
Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), memang bukan sebuah gereja suku dan bukan
hanya bagi orang Dayak saja. Akan tetapi yang mesti disadari gereja itu ada di tanah
Kalimantan, mau tidak mau suka tidak suka Kekristenan mengalami perjumpaan dengan adat
dan budaya Dayak.
Adat istiadat dan budaya Dayak yang walaupun pada masa-masa awal Kekristenan
masuk ke tanah Kalimantan dianggap kafir, tidak sepenuhnya ditinggalkan atau dilupakan
oleh orang Dayak. Adat istiadat dan budaya tersebut masih melekat bahkan tetap dijunjung
tinggi. Jika Gereja Kalimantan Evangelis tidak mampu menghargai adat istiadat dan budaya
tersebut maka kehadirannya perlahan tapi pasti akan terpinggirkan.Oleh karena itu, gereja
mesti terus berupaya bagaimana memahami kehendak Allah yang disampaikan melalui
konteks yang lain sehingga ia merupakan kehendak Allah yang benar-benar menyapa dan
menjumpai suatu komunitas dalam konteksnya.
Akhirnya, kita mesti menghargai upaya yang telah dilakukan oleh Gereja Kalimantan
Evangelis (GKE) untuk mengembangkan teologi yang kontekstual di bumi Kalimantan. Di
mana usur-unsur adat dan budaya juga telah mendapat tempat dalam kehidupan gereja
diantaranya bahasa daerah yang digunakan dalam ibadah, menjunjung tinggi adat serta
budaya dalam perkawinan. Namun tentu saja upaya tersebut mesti terus menerus
dikembangkan dan tidak berhenti, karena Kalimantan di mana Gereja Kalimantan Evangelis
(GKE) ada dan manusia yang berdiam di dalamnya juga mengalami perkembangan. Ada
banyak hal lain yang juga mesti menjadi pergumulan Gereja Kalimantan Evangelis (GKE)
dalam konteks Kalimantan di antaranya masalah kerusakan lingkungan, karena gereja yang
17

melayani mesti peka akan pergumulan yang dihadapi oleh manusia dan lingkungan atau
tempat di mana ia ada.

Penutup
Sebelum kekristenan, belum ada lembaga yang menyatukan semua banua. Paling
yang ada ialah koalisi banua dengan nama ori. BNKP-lah yang pertama menyatukan seluruh
Nias. Perjumpaan antara kekristenan dengan kebudayaan penduduk asli di Nias dan Pulaupulau Batu (Ono Niha). Dalam kurun satu abad (1865-1965) dua organisasi zending, yakni
Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) zending Rheinland, Jerman dan Nederlandsch
Luthersch Genotschap voor In en Uitwendige Zending (NLG) zending Belanda telah
melakukan upaya pekabaran Injil di kalangan Ono Niha, dengan membawa jenis aliran
Protestanisme tertentu sendiri-sendiri. Sebagai hasil jerih payah mereka terbentuklah jemaatjemaat Kristen Protestan di Nias dan Pulau-pulau Batu dan di daerah lainnya. Jemaat-jemaat
tersebut kemudian mandiri dan membentuk dua buah gereja dan akhirnya bergabung pada
tahun 1960 dalam BNKP. Pengkristenan memperbaharui kenudayaan Nias. Sebaliknya,
kebudayaan Nias menyumbangkan suatu kekristenan yang unik dan khas. Kekristenan dan
kebudayaan Nias saling berhubungan, tetapi tidak sama pengaruhnya. Semakin kekristenan
berkembang dan meluas serta tidak berkompromi terhadap kebudayaan asli, khususnya
agama asli Nias. Namun kebudayaan asli juga berpengaruh kuat menciptakan suatu bentuk
kekristenan yang khusus di kalangan Ono Niha. Pergeseran dari penyembahan kepada Adu
kepada penyembahan kepada Yesus Kristus menampakkan perubahan transformasi identitas
Ono Niha.
Zending yang datang ke Nias adalah juga zending yang sama datang dan melayani di
Kalimantan. Namun di Kalimantan terjadi perang Hidayat yang menyisakan duka, di Padang
juga memprihatinkan. Peristiwa di Kalimantan dan penderitaan di Padang telah membawa
berkat bagi Ono Niha. Semua yang dialami oleh Denninger merupakan tanda dari Allah
(Fingerzeige des Hern), tanda keselamatan bagi orang Nias. Denninger, sebuah nama yang
tidak asing bagi Nias. Sayangnya, kita tidak memiliki fotonya dan kita tidak mengenal tempat
kuburannya. Namun, namanya dan pelayanannya tetap melekat dalam lubuk hati orang
Kristen di Nias. Kita di Kalimantan sesungguhnya diingatkan kembali juga agar memaknai
dan menghargai para zending atau missionaris dengan segala jerih juangnya, sembari tetap
berusaha memajukan gereja meski di tengah pasang surut globalisasi. Ingatlah akan
18

pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan Firman Allah kepada kamu (Ibrani
13:7a).

19

Anda mungkin juga menyukai