Mata Kuliah
: Teologi Biblika 2
Dosen Pengampu
Critical Review: Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, Salib dan Adu - Studi Sejarah dan
Sosial-Budaya Tentang Perjumpaan Kekristenan dan Kebudayaan Asli di Nias dan Pulaupulau Batu, Indonesia (1865-1965), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015).
yang ada di Nias terlebih diperantauan, orang menyebut mereka seperti keturunan Cina,
Korea atau Jepang.
Pendapat umum Ono Niha: (1) diturunkan di Gomo lalu menyebar, (2) Diturunkan
secara bergelombang di Selatan, Utara, Barat dan Timur. Pendapat tersebut dapat dipahami
sebagai Migran dari Asia Tenggara, terutama dari dataran China (Yunan), Suku Naga
(Assam), Taiwan, dll. Kedatangan ke Nias tidak hanya sekali, tetapi bergelombang. Mereka
bertemu, berasimilasi, berbaur yang menghasilkan kesatuan dalam keragaman. Akhirnya,
disebut Ono Niha. Komunitas yang menyatu dalam suku Nias merupakan hasil perjumpaan
kelompok/etnik yang datang ke Nias secara bergelombang. Mereka berinteraksi (saling
mempengaruhi, saling menguasai, atau saling melihat titik-temu. Walaupun hingga sekarang
diskusi tentang asal-usul Ono Niha belum tuntas, namun pendapat para ahli dan mitos-mitos
yang masih hidup tersebut adalah merupakan bahan berharga untuk memahami identitas diri.
Dapat dikatakan bahwa leluhur Ono Niha merupakan kelompok-kelompok etnis yang
datang dari luar dan menjadi menghuni kepulauan ini. Mereka sudah cukup lama datang
secara bertahap di kepulauan ini sehingga digolongkan pada klasifikasi suku tertua yang
disebut proto-melayu. Komunitas yang menyatu dalam suku Nias merupakan hasil
perjumpaan kelompok/etnik yang datang ke Nias secara bergelombang. Mereka berinteraksi
(saling mempengaruhi, saling menguasai, atau saling melihat titik-temu. Dalam proses
interakasi sejarah yang cukup panjang, maka akhirnya terbentuklah satu komunitas bernama
Ono Niha dan tertempa jugalah kebudayaan Ono Niha, yang berbasiskan pada banua dan
koalisi beberapa banua dengan nama ri.
arwah nenek moyang. Ono Niha yang mayoritas bertani, berburu dan beternak mendasari
seluruh aktifitasnya pada kepercayaan kepada dewa-dewa dan melalui ritual dengan media
Adu (patung). Orang Nias memiliki satu agama suku yang disebut dengan agama
penyembah roh atau agama Pelebegu yang artinya penyembah patung (Mohohe Adu).
Sebagai alat untuk penyembahan, mereka membuat patung-patung kayu yang disebut adu.
Patung-patung kayu ini dipercaya sebagai tempat roh leluhur disebut adu satua (patung
leluhur), sehingga harus dirawat dengan baik. Sebagai tempat ibadah yang mana patungpatung ini ditempatkan dibangun satu tempat atau rumah yang disebut osali (kata ini
nanatinya dipakai untuk Gereja dalam bahasa Nias). Untuk menyampaikan segala
permohonan, keluhan, pergumulan kepada para roh leluhur membutuhkan seorang
penghubung yang disebut dengan ere (imam).
Selain itu, bagi orang Nias, semuanya nilai, norma dan tata kehidupan masyarakat
diatur dalam dan melalui Fondrak (Nias) atau di Nias Selatan disebut Famat
Harimo/Famadaya Saembu. Fondrak berarti menetapkan artinya semua aturan ditetapkan
dalam musyawarah bersama. Yang mengikuti akan selamat, namun yang tidak taat akan
menerima kutukan. Melihat dari esensinya Fondrak ini mirip dengan Hukum Taurat bagi
orang Yahudi. Orang Nias sangat taat dan takut dengan fondrak ini sehingga susah
menerima Injil. Sama halnya dengan ajaran-ajaran Yesus yang tidak berterima bagi orang
Yahudi. Mereka juga mengenal Lowalangi yang bersemayam di Teteholi Anaa. Di lain
pihak, mereka juga mengenal banyak Allah di dalam bidang kehidupan. Misalnya, pemilik
ternak di Hutan disebut Bela, pemilik ternak piaraan disebut Sobawi, pemilik ladang
dan sawah adalah Sibaya Wakhe, penguasa di arena perang disebut soaya, penguasa di
Sungai disebut Tuha Zangarfa, dan sebagainya.
Pada waktu missionaris tiba, masyarakat masih tertinggal. Mereka belum mengenal
pakaian dan mereka hanya mengenakan yang disebut Saombo. Makanan pokok masyarakat
adalah ubi dan sagu. Kehidupan masyarakat cukup memprihatinkan karena kemiskinan,
ketiadaan pendidikan, dan sering dilanda oleh wabah penyakit yang membinasakan, seperti
diare, TBC, malaria, dan penyakit yang disebut Talu soyo, Fogikhi/sitesafo, eha simiwo,
nirau mbekhu, dan sebagainya. Tiada andalan mereka selain Foere ba Adu. Pada waktu
itu peranan Ere (dukun) sangat besar untuk penyembuhan penyakit dengan mantra-mantra
serta obat-obatan tradisionil.
Pada tanggal, 08 Agustus 1875, terjadi perpisahan kepada Denninger, oleh Thomas
dan Kramer beserta semua yang telah dibaptis. Pada saat inilah diadakan sakramen
Perjamuan Kudus yang pertama sekali di gereja Nias ( 100 orang). Dua hari kemudian, pada
tanggal 10 Agustus 1875, Tuan Deninger, meninggalkan Nias menuju Batavia (Jakarta
sekarang), oleh karena kondisi kesehatan yang kurang baik. Satu tahun kemudian, tepatnya
tahun 22 Maret1876, Denninger meninggal di sekitar wilayah Bogor. Oleh Kramer,
Denninger diberikan julukan, Ama Halw Zamatenge Ba Dan Niha(Bapa Pemberita
Injil di Nias) . Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa sampai sekarang, foto Denninger
tidak pernah diketemukan. Dan sebagai tanda untuk mengingat dirinya salah satu gereja
diberi nama Denninger, yaitu Jemaat BNKP Denninger, yang berada di Tohia, Gunungsitoli,
kurang lebih 2 km dari pusat kota Gunungsitoli.
Pada tahun 1876 datang Dr. W.H. Sunderman di Gunungsitoli, dan dia langsung
belajar bahasa Nias. Kemudian pada 1886 dia tinggal di Llwua sampai tahun 1902.
Selama di Llwua, Sundermann menterjemahkan Alkitab dalam bahasa Nias seperti yang
kita kenal sampai sekarang dan selesai pada tahun 1908. Demikian juga buku Agende atau
liturgi gerejani dari bahasa Jerman ke bahasa Nias, dan Katekhismus Luther. Buah dari
pekerjaan para misionaris ini mulai tampak ketika pada tahun 1876 berdiri Gereja pertama di
Nias, di Omblata. Kemudian untuk membantu mereka pada tahun 1895 pada bulan Maret
dibuka Sekolah Guru Injil pertama di Ombolata.
Pada tahun 1881 datang lagi misionaris kelima bernama J.A. Fehr. Dia i ni yang
mengantikan J.W. Thomas di Omblata pada tahun 1883, sebab J.W. Thomas pergi berusaha
membuka pos Pekabaran Injil di Saua (Nias Utara), meskipun usahanya itu ternyata gagal.
Walaupun banyak kesulitan yang dialami serta jangkauan Pekabaran
Injil yang dapat dicapai tidak begitu luas, namun dalam periode ini
telah berhasil dibaptis sebanyak 699 orang (148 orang di Gunungsitoli,
348 orang di Omblata dan 203 orang di Dahana). Juga diantara mereka
telah dipilih beberapa orang menjadi penatua. Daerah yang dicapai
hanya di sekitar Gunungsitoli saja, dengan 3 Pos Pekabaran Injil yaitu
Gunungsitoli, Omblata, dan Dahana. Pada masa ini juga dibangun
gereja pertama di Nias di Ombolata pada tahun 1876.
1916 dengan apa yang disebut Fangesa Dd Sebua (Pertobatan Hati Massal) semacam
Gerakan Kebangunan Rohani Besar/Masal. Peristiwa ini bermula di Humene ( 10 km dari
Gunungsitoli) ketika seorang guru bantu di sekolah Zending bernama Filemo pada bulan
April 1916. Pada saat itu sedang ada berlangsung kebaktian Paskah sekaligus Perjamuan
8
dari para missionaris yang didukung oleh pelayan lokal dalam hal penataan organisasi. Hal
ini berbuah pada pelaksanaan Sidang Sinode I pada tanggal 0811 November 1936 di
Gunungsitoli. Sidang ini menghasilkan beberapa keputusan penting antara lain: pertama,
membentuk satu wadah yang menyatukan seluruh gereja di Nias yang disebut Banua Niha
Keriso Protestan Ba Dan Niha (BNKP di Nias). Kedua, memilih Pdt. A. Luck (misionaris
Jerman) sebagai Vorzitter (Ephorus) yang pertama dan para zendeling lainnya sebagai Praeses
10
(Pendeta Resort) di 7 Ressort. Ketiga, menerima dan mengesahkan Tata Gereja yang
kemudian pada tahun 1938 mendapat pengesahan dari pemerintah Belanda.
Sehubungan dengan peralihan kekuasaan dari pemerintah Belanda kepada Jepang
pada tahun 1940, maka seluruh Pendeta atau misionaris dari RMG diminta meninggalkan
pulau Nias. Ini adalah ujian berat bagi BNKP di Nias karena kehilangan tenaga dan sumber
dana dari RMG, tetapi menjadi berita sukacita karena orang Nias memimpin gerejanya
sendiri. Dari sinilah mulai kemandirian dalam bidang organisasi di BNKP dengan Pdt.
Atofna Harefa, menjadi Ephorus pertama dari kalangan orang Nias. Di kemudian hari
muncul ketegangan di antara para pelayan sehingga menimbulkan skhisma (perpecahan)
dalam tubuh gereja BNKP. Hal ini mulai dari munculnya kelompok yang disebut
Angowuloa Faawsa Kh Yesu (AFY) di Nias atau Persekutuan Persaudaraan Dalam
Yesus (1933); Angowuloa Masehi Indonesia Nias (AMIN) di Nias (1946); Orahua Niha
Keriso Protestan (ONKP) di Nias Barat (1952). Kemudian hari berdiri lagi Gereja Niha
Keriso Protestan Indonesia (GNKPI) di Gunungsitoli (1993) dan Banua Keriso Protestan
Nias (BKPN) di Nias Selatan (1993).
Timbulnya perpecahan ini lebih banyak faktor organisasi akibat ketidakpuasan atas
keputusan pimpinan, masalah mutasi dan juga keputusan sinode. Meskipun demikian BNKP
tetap berjalan dengan misinya sebagai salah satu lembaga yang memberitakan Injil.
Hubungan dengan gereja-gereja yang memisahkan diri juga sekarang telah menjadi lebih
baik. Melihat perjalanan masuknya berita Injil di Nias sampai berdirinya BNKP adalah salah
satu anugerah dan rencana Tuhan yang luar biasa bagi seluruh masyarakat Nias.
Resume
Di beberapa kebudayaan, tidak ada pemisahan antara hal-hal yang alami dan yang gaib.
Pemahaman agama sebagai sesuatu yang berdiri sendiri hanya ada di tradisi barat. Agama
sejak adanya manusia, dialami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Salah
satu fungsi utama agama ialah memberi arti dan menerangkan berbagai asfek kehidupan
sosial maupun situasi alam yang mempengaruhi kehidupan pribadi, maupun masyarakat.
Agama berhubungan dengan kehidupan maupun kematian, penciptaan dunia, asal usul suatu
masyarakat dan kehadiran kelompok tertentu dalam suatu masyarakat, hubungan timbal balik
antara orang per orang dan komunitasnya, dan hubungan manusia dengan alamnya.
11
Sesuai dengan kosmologi orang Nias, semua kegiatan di dunia adalah refleksi dari dunia
atas. Untuk menjamin keharmonisan dunia, orang Nias atau Ono Nihamempraktikkan ritusritus dari leluhur mereka dan mentaati adat. Adu adalah satu lambang agama asli orang Nias,
juga lambang dari adat. Karena itu semua kegiatan adat dalam lingkaran kehidupan mereka
selalu menghadirkan sebuah adu. Penyembahan adu, adalah untuk mengharapkan berkat dari
para leluhur. Adu diyakini dapat menghalau roh-roh jahat yang dapat mengganggu manusia
baik fisik maupun mental. Inilah agama dan penuntun mereka kepada keselamatan.
Bagi orang Nias, adu adalah perantara yang bisa membuat mereka berhubungan dengan
para ilah, roh-roh, dan para leluhur. Orang Nias tidak berdoa kepada adu, tetapi melalui adu
kepada para ilah dan roh-roh leluhur. Adu dianggap sebagai perwujudan kehadiran para ilah
dan roh. Alasan inilah mengapa orang Nias mencintai adu yang merupakan wujud dari roh
leluhur mereka. Itu juga yang membuat mereka sulit melepaskan adu, karena bagi mereka
adu dianggap sebagai sumber berkat, pemeliharan, dan penyembuhan.
Bagi orang Nias yang hidup sebelum Kekristenan, kehidupan masyarakat tidak dapat
dipisahkan dari agama asli. Selain memenuhi kewajiban rohani, setiap orang mesti memenuhi
aturan seperti yang diterapkan oleh adat. Adat dilanjutkan dari generasi ke generasi, namun
bila perlu, ditinjau dan dibaharui. Bila perubahan sosial menuntut adanya satu penyesuaian,
maka para tetua akan berkumpul membicarakan pergantian maupun penambahan terhadap
adat yang sedang berlaku. Agama lokal adalah bagian yang tak terpisahkan dari adat.
Ketaatan pada adat menjamin satu kehidupan penuh berkat. Untuk itu orang Nias harus
menjaga hubungan baik dengan para ilah dan leluhur, juga sekaligus menjaga hubungan baik
dalam masyarakat.
Sistem sosial dan kebudayaan asli orang Nias mengalami perubahan yang cepat sejak
perjumpaan mereka dengan penjajahan Belanda dan zending Kristen. Adat juga mengalami
perubahan yang luar biasa. Orang Belanda menerima aturan dan kebiasaan tradisional, sejauh
adat ini tidak bertentangan dengan aturan Belanda. Inilah konteks di mana para misionaris
mulai melayani dan gereja mulai bertumbuh di kalangan orang Nias.
Semangat Pietisme dan Revivalisme yang menekankan pada iman pribadi dan
pengudusan, ketidakkritisan dalam membaca Alkitab, penantian akan kedatangan Kristus
yang kedua kali, dualisme antara dunia sekarang dan dunia yang akan datang, serta ketaatan
pada pemimpin yang berkharisma juga diterapkan oleh para misionaris kepada orang Nias
12
yang telah menjadi Kristen. Semua unsur kebudayaan asli yang dianggap tidak sesuai dengan
paradigma barat mesti disingkirkan.
Penekanan
pada
kebudayaan
menghasilkan
pemisahan-pemisahan
yang
tegas.
Kebudayaan pribumi dibagi dalam tiga pembagian yang terpisah yaitu kebudayaan yang
dapat diterima dan kebudayaan yang layak dijauhi. Bahasa daerah dapat diterima, adat
ditempatkan pada aras kedua, sedangkan agama lama berada pada aras terendah dan dianggap
dapat dihapuskan. Patung-patung dianggap sebagai bagian penyembahan berhala sehingga
merupakan kekejian bagi Allah, karena itu patung-patung mesti dimusnahkan. Praktik-praktik
seperti pesta babi yang besar, pembuatan perhiasan emas, upacara pemakaman, penambalan
gigi, penyunatan dan lain-lain dilarang dan diganti seluruhnya dengan aturan Kristiani yang
baru.
Semua jenis kebudayaan disaring tanpa refleksi alkitabiah yang kreatif tentang
bagaimana berhadapan dengan kebudayaan secara konstuktif.Agama lama walaupun sudah
hampir punah dalam dalam bentuk luarnya, tetapi isinya masih tetap hidup di hati
kebanyakan orang Nias.Beban kolonialisme dan pengrusakan secara sistematis terhadap
agama lama, menyebabkan satu kekosongan rohaniah dalam komunitas Nias,dan adat
menjadi lumpuh. Agama lama yang asalnya menjadi pusat nadi dari identitas kebudayaan.
Adat tidak dapat dijalankan atau dibaharui bila dipisahkan dari akarnya, yaitu agama asli.
Pemusnahan ini mengakibatkan krisis identitas yang luar biasa .
Dalam perjumpaan Kekristenan dan kebudayaan Nias, para misionaris mengembangkan
satu pendekatan, yaitu menolak sama sekali semua upacara agamawi agama lama dan
menganggap bahwa ritus-ritus tersebut adalah praktik kekafiran yang berasal dari zaman
yang gelap. Adu dihakimi sebagai simbol-simbol kejahatan. Di lain pihak para misionaris
berusaha menggunakan istilah dari agama lokal untuk menerangkan iman Kristen,namun
sayangnya mereka hanya mengambil alih pengertian yang dangkal dari kata-kata itu dan tidak
mengakui kedalaman serta keutamaan agamawi dan nilai budayanya. Hal itu berakibat
Oarang Nias (Ono Niha) masih menerima istilah-istilah itu dalam pemahaman aslinya dalam
agama lokal mereka.
Perjumpaan antara Salib dan Adu di Nias dan pulau-pulau Batu dikategorikan dalam
empat tahap:
13
14
Perjumpaan antara Kekristenan dan adat Nias dari tahun 1865-1965 mengakibatkan
perubahan sosial yang cepat. Interaksi antara Salib dan adu tidak terjadi pada aras yang
sejajar. Orang Nias dianggap sebagai orang yang hidup dalam kegelapan, misionaris barat
menggunakan kebudayaan mereka sebagai ukuran untuk menilai kebudayaan lain termasuk
kebudayaan orang Nias. Sikap dan strategi para misionaris dipengaruhi oleh latar belakang
kebudayaan mereka sendiri. Sikap gereja yang meremehkan segala sesuatu yang dianggap
duniawi, termasuk kebudayaan tradisional dan modern, politik dan persoalan yang
berhubungan dengan ekonomi, semua ini membatasi pengaruh Injil di dalam masyarakat.
Gereja Nias sama seperti gereja-gereja suku lainnya di Indonesia dituntut untuk
membaharui diri atau bertransformasi dan meninjau kembali konsep-konsep tentang makna
gereja dan misinya. Kebutuhan baru mulai muncul yaitu kebutuhan akan kebudayaan etnis.
Kebutuhan ini bukan hanya sekedar nostalgia atau meromantiskan kebudayaan tradisional.
Gereja bertugas untuk menyelamatkan dan memperbaharui kehidupan. Dengan demikian
karena kebudayaan adalah ekspresi tertinggi dari kehidupan manusia, gereja mesti merangkul
dan mengasuh kebudayaan tanpa mengabaikan untuk melakukan analisis yang kritis dan
profertis dan menuntut keadilan dan kebenaran.
Gereja semestinya melakukan proses pendalaman yang sungguh, gereja merumuskan
ulang dan dan membaharui identitasnya untuk bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dan
memberikan sumbangsih yang unik bagi gerakan oikumenis. Paradigma baru mesti kembali
pada suatu pandangan yang holistik tentang keselamatan, termasuk pembebasan dari
kejahatan di dunia ini, sehingga ada jaminan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
Teologi kontekstual merupakan kebutuhan bagi gereja yang mesti dikembangkan,
Teologi merupakan upaya merumuskan penghayatan iman Kristiani pada konteks ruang dan
waktu tertentu. Gereja yang tidak berpijak dan berakar dalam kebudayaan suatu masyarakat
di mana gereja itu ada tidak dapat diharapkan menyelesaikan masalah, juga tidak bisa
memberikan orientasi di tengah perubahan yang cepat. Hanya gereja yang hadir dalam
sebuah kehidupan baik umum maupun pribadi, bisa menjadi saksi yang andal tentang
Kerajaan Allah.
Gereja harus mengusahakan pembaharuan visi tentang misi gereja dan hakikat gereja itu
sendiri. Proses mendalami Alkitab secara serius dan sungguh-sungguh serta mendalami
berbagai tradisi dogma atau ajaran yang diwarisi, demikian juga konteks di mana gereja ada
dan melayani. Hal ini dapat memungkinkan terciptanya liturgi-liturgi yang kontekstual,
15
nyanyian-nyanyian rohani, buku-buku tentang ajaran/dogma dan tata gereja yang lebih
relevan. Hanya dengan demikian gereja ada dalam posisi untuk berperan penting dalam
membarui masyarakat.
A. PUJIAN
Tulisan yang disajikan dalam buku ini dapat menjadi suatu pembelajaran yang sangat
berharga bagi gereja-gereja di mana saja. Gereja jika ingin ia diterima, bertumbuh dan
berkembang maka mesti memperhatikan asfek adat, sosial dan budaya setempat. Karena
sadar atau tidak, gereja hadir bukan pada suatu ruang kosong namun gereja hadir di suatu
tempat dan di tengah masyarakat yang telah mempunyai nilai-nilai serta pemahaman tertentu
yang diyakininya. Gereja diajak untuk bersedia dengan kerendahan hati melihat, memahami,
mempelajari, dan menghargai adat budaya serta nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Semangat kontekstual sangat terasa dalam tulisan ini, tentu saja sebagai sebuah wujud
kecintaan yang dalam terhadap tumbuh kembang gereja sekaligus sebagai sebuah
penghargaan dan apresiasi terhadap budaya yang ada. Sebuah seruan yang menggugah
kesadaran kita bersama untuk secara serius mendalami Alkitab, dogma dan ajaran tanpa
melupakan bumi tempat kita berpijak. Menghadirkan Yesus Kristus bukan sebagai sosok
yang asing dan hanya yang dapat diterima oleh satu kebudayaan saja. Melainkan Yesus
kristus yang dapat hadir di mana saja dan yang mampu menyelami kehidupan semua orang
dari latar belakang budaya yang berbeda-beda serta yang mampu menjadi juruslamat bagi
seluruh ciptaan. Tanpa upaya dan kemauan untuk berkontekstualisasi maka gereja tidak akan
mendapat tempat serta tidak akan pernah mampu menjadi alat damai sejahtera bagi dunia ini.
B. KRITIK
Tanpa bermaksud menganggap ini sebagai upaya kontra terhadap tulisan yang ada, satu
hal yang maudikritisi dari tulisan dalam buku ini yaitu terasa ada nada-nada sinis terhadap
upaya dan pola pekabaran Injil yang telah dilakukan oleh para misionaris di masa lampau.
Seolah-olah para misionaris adalah aktor utama dari terkikisnya adat dan budaya yang ada,
serta dalang dari rusaknya nilai-nilai luhur yang dimiliki masyarakat setempat.
Suka ataupun tidak kita mesti berterima kasih kepada para misionaris dengan segala
keterbatasan mereka dalam mengabarkan Injil. Gaya, cara, dan strategi yang mereka pakai
pada saat itu dalam rangka memberitakan Injil memang sesuai dengan masa dan jamannya.
Yang perlu kita lakukan adalah belajar dari pengalaman tersebut, mengkaji secara kritis dan
mendalam sehingga akhirnya menemukan pola pekabaran Injil yang tepat serta mengena
16
dengan konteks jaman sekarang. Seperti jaman yang terus berkembang dan kehidupan yang
selalu berubah maka teologi pun mesti berkembang agar tidak menjadi teologi usang yang
tertinggal oleh jaman dan kebutuhan manusia.
C. REFLEKSI
Apa yang terjadi dengan perjumpaan antara Kekristenan dan adat budaya di Nias, juga
dialami oleh masyarakat Dayak di mana Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) hadir. Hal itu
berarti Gereja Kalimantan Evangelis yang hadir dan melayani di bumi Kalimantan juga mesti
melakukan suatu upaya yang sama yaitu berteologi secara kontekstual. Sebuah tantangan bagi
gereja-gereja termasuk Gereja kalimantan Evangelis (GKE) bagaimana kehadirannya dapat
tetap relevan dan menjadi berkat.
Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), memang bukan sebuah gereja suku dan bukan
hanya bagi orang Dayak saja. Akan tetapi yang mesti disadari gereja itu ada di tanah
Kalimantan, mau tidak mau suka tidak suka Kekristenan mengalami perjumpaan dengan adat
dan budaya Dayak.
Adat istiadat dan budaya Dayak yang walaupun pada masa-masa awal Kekristenan
masuk ke tanah Kalimantan dianggap kafir, tidak sepenuhnya ditinggalkan atau dilupakan
oleh orang Dayak. Adat istiadat dan budaya tersebut masih melekat bahkan tetap dijunjung
tinggi. Jika Gereja Kalimantan Evangelis tidak mampu menghargai adat istiadat dan budaya
tersebut maka kehadirannya perlahan tapi pasti akan terpinggirkan.Oleh karena itu, gereja
mesti terus berupaya bagaimana memahami kehendak Allah yang disampaikan melalui
konteks yang lain sehingga ia merupakan kehendak Allah yang benar-benar menyapa dan
menjumpai suatu komunitas dalam konteksnya.
Akhirnya, kita mesti menghargai upaya yang telah dilakukan oleh Gereja Kalimantan
Evangelis (GKE) untuk mengembangkan teologi yang kontekstual di bumi Kalimantan. Di
mana usur-unsur adat dan budaya juga telah mendapat tempat dalam kehidupan gereja
diantaranya bahasa daerah yang digunakan dalam ibadah, menjunjung tinggi adat serta
budaya dalam perkawinan. Namun tentu saja upaya tersebut mesti terus menerus
dikembangkan dan tidak berhenti, karena Kalimantan di mana Gereja Kalimantan Evangelis
(GKE) ada dan manusia yang berdiam di dalamnya juga mengalami perkembangan. Ada
banyak hal lain yang juga mesti menjadi pergumulan Gereja Kalimantan Evangelis (GKE)
dalam konteks Kalimantan di antaranya masalah kerusakan lingkungan, karena gereja yang
17
melayani mesti peka akan pergumulan yang dihadapi oleh manusia dan lingkungan atau
tempat di mana ia ada.
Penutup
Sebelum kekristenan, belum ada lembaga yang menyatukan semua banua. Paling
yang ada ialah koalisi banua dengan nama ori. BNKP-lah yang pertama menyatukan seluruh
Nias. Perjumpaan antara kekristenan dengan kebudayaan penduduk asli di Nias dan Pulaupulau Batu (Ono Niha). Dalam kurun satu abad (1865-1965) dua organisasi zending, yakni
Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) zending Rheinland, Jerman dan Nederlandsch
Luthersch Genotschap voor In en Uitwendige Zending (NLG) zending Belanda telah
melakukan upaya pekabaran Injil di kalangan Ono Niha, dengan membawa jenis aliran
Protestanisme tertentu sendiri-sendiri. Sebagai hasil jerih payah mereka terbentuklah jemaatjemaat Kristen Protestan di Nias dan Pulau-pulau Batu dan di daerah lainnya. Jemaat-jemaat
tersebut kemudian mandiri dan membentuk dua buah gereja dan akhirnya bergabung pada
tahun 1960 dalam BNKP. Pengkristenan memperbaharui kenudayaan Nias. Sebaliknya,
kebudayaan Nias menyumbangkan suatu kekristenan yang unik dan khas. Kekristenan dan
kebudayaan Nias saling berhubungan, tetapi tidak sama pengaruhnya. Semakin kekristenan
berkembang dan meluas serta tidak berkompromi terhadap kebudayaan asli, khususnya
agama asli Nias. Namun kebudayaan asli juga berpengaruh kuat menciptakan suatu bentuk
kekristenan yang khusus di kalangan Ono Niha. Pergeseran dari penyembahan kepada Adu
kepada penyembahan kepada Yesus Kristus menampakkan perubahan transformasi identitas
Ono Niha.
Zending yang datang ke Nias adalah juga zending yang sama datang dan melayani di
Kalimantan. Namun di Kalimantan terjadi perang Hidayat yang menyisakan duka, di Padang
juga memprihatinkan. Peristiwa di Kalimantan dan penderitaan di Padang telah membawa
berkat bagi Ono Niha. Semua yang dialami oleh Denninger merupakan tanda dari Allah
(Fingerzeige des Hern), tanda keselamatan bagi orang Nias. Denninger, sebuah nama yang
tidak asing bagi Nias. Sayangnya, kita tidak memiliki fotonya dan kita tidak mengenal tempat
kuburannya. Namun, namanya dan pelayanannya tetap melekat dalam lubuk hati orang
Kristen di Nias. Kita di Kalimantan sesungguhnya diingatkan kembali juga agar memaknai
dan menghargai para zending atau missionaris dengan segala jerih juangnya, sembari tetap
berusaha memajukan gereja meski di tengah pasang surut globalisasi. Ingatlah akan
18
pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan Firman Allah kepada kamu (Ibrani
13:7a).
19