Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya manusia dan bumi adalah satu kesatuan ciptaan Allah (teologi

relasional). Di dalam kitab Kejadian 1:28 disebutkan bahwa manusia diciptakan oleh

Allah untuk “beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah

itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala

binatang yang merayap di bumi.” Istilah berkuasa dan menaklukan di dalam Kejadian 1:

28 ini seringkali digunakan sebagai landasan untuk memandang manusia sebagai

ciptaan Allah yang utama dibandingkan dengan ciptaan Allah yang lain. Alasannya jelas,

manusia yang diberi kuasa untuk menaklukan bumi, ini berarti manusia memiliki hak

bebas untuk melakukan apapun yang ia kehendaki terhadap bumi dan isinya. Keyakinan

bahwa manusia adalah pusat dari ciptaan Allah dikenal dengan istilah

antroposentrisme1.

Istilah ini berasal dari bahasa Latin, antropos berarti manusia dan centrum

berarti pusat. Sikap dan keyakinan antroposentrisme juga diperkuat oleh tafsiran

terhadap tulisan dalam Alkitab yang menyatakan bahwa manusia adalah imago dei,

yang berarti manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Diantara semua

ciptaan Allah di bumi, menurut kitab Kejadian, hanya manusia yang diciptakan dalam

imago dei. Pernyataan ini menguatkan keyakinan dan sikap antroposentris yang

dimiliki oleh manusia. Selain itu teks ini juga berbiacara mengenai pernikahan untuk

memperoleh keturunan yang secara eksplisit menjadi pendukung melonjaknya angka

pertumbuhan penduduk dikalangan umat Kristen. Dalam bahasa Ibrani Kitab Kejadian

1
G. von Rad, Genesis. A Commentary, (London: SCM Press, 1987), 60.

1
disebut beresyit yaitu kata pembukaan kitab tersebut. Nama ini sesuai, karena Kitab

Kejadian menceritakan awal dari segala sesuatu yang berhubungan dengan iman umat

Allah dalam Alkitab.2 Kitab Kejadian terdiri atas dua bagian yaitu: bagian pertama

terdiri dari fasal 1-11 yang berbicara tentang “sejarah purbakala” ( Urgeschichte).

Menurut redaktor sejarah purbakala ini, mula-mula manusia hidup dalam suatu

hubungan persekutuan yang sempurna dengan Allah di dalam Firdaus. Akan tetapi pada

suatu ketika, manusia tidak taat lagi kepada Allah; manusia ingin menyamakan diri

dengan Allah; mereka ingin memiliki pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.

Kesombongan mereka terhadap Allah membuat Allah murka dan menghukum mereka.

Manusia diusir dari Firdaus, jauh dari kehidupan yang kekal. 3

Jika melihat konteks Kejadian 1:26-28, maka teks tersebut tidak terlepas dari teks

sebelum dan sesudahnya, yakni: Kejadian 1:1-25 dan 1:29-2:1-25, yaitu asal mula alam

semesta dan kehidupan. Asal mula alam semesta dan kehidupan terangkum dalam kisah

penciptaan. Catatan kitab Kejadian tentang permulaan alam semesta untuk memberi

makna teologis, yakni Allah mengendalikan setiap keberadaan dan asal mula setiap hal

serta perkembangan yang ada di dalamnya, dari yang tidak teratur menjadi teratur. 4

Dalam Kejadian 1:28 ini Allah dengan segera memberkati keluarga Adam dengan anak

karena Allah percaya bahwa keluarga ini akan mempunyai anak-anak yang takut akan

Dia. Allah menciptakan mereka menurut gambar dan rupa Allah, supaya mereka

berkuasa (Kej.1:26).5

Di dalam Kejadian 1:26-28 dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia segambar

dan serupa dengan Allah, dan manusia merupakan ciptaan-Nya yang tertinggi. Manusia

2
W.S. Lasor, Pengantar Perjajian Lama I, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 111.
3
J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung mulia, 2008), 24.
4
Vern S Poythress, Menebus Sains: Pendekatan Yang Berpusat Kepada Allah, (Surabaya: Momentuma,
2013), 72.
5
Daniel Alexander, Pemulihan Keluarga Masa Kini, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2001), 55.

2
mendapatkan mandat untuk mengusahakan dan memelihara alam. Allah menyerahkan

alam semesta beserta isinya (termasuk hewan dan tumbuhan-tumbuhan) untuk

dikuasai dan ditaklukkan. Ajaran ini telah interpretasikah bahwa "Allah memberi

kewenangan penuh kepada manusia untuk mengeksploitasi alam demi kepentingannya.

Manusia diberi hak oleh Tuhan sendiri untuk mengusai dan mengeksploitasi alam

semesta serta segala isinya demi kehidupannya. "Perintah ini dimengerti sebagai

pengesahan status manusia sebagai penguasa dunia yang acap kali dihubungkan dengan

ide bahwa manusia adalah wakil Tuhan di dunia". 6 Paham tentang manusia adalah

ciptaan yang paling berkuasa atas segala mahluk hidup sering menjadi landasan

manusia untuk melakukan tindakan sesuai keinginannya secara berlebihan. Gagasan

yang seperti itu membuat dampak negatif bagi ciptaan lainnya.

Manusia di tetapkan sebagai kuasa usaha dan pelaksanaan dari Allah dan kepadanya

diberikan tugas kebudayaan, artinya: pekerjaan dan usaha untuk memeriksa,

menyelidiki, mengerti dan menguasai serta mempergunakan seluruh bidang penciptaan

itu. Dalam frasa "penuhilah bumi dan taklukkanlah itu" (Kej. 1:28), kata "menaklukkan"

(kabash) memiliki pengertian menginjak-menginjak, seperti seseorang yang berhasil

menaklukkan dan menginjakkan kakinya pada leher pihak yang telah dikalahkan. Kata

ini juga memiliki arti membawa ke dalam suatu perbudakan, mengontrol atau berkuasa

atas alam. Dengan merujuk kepada konteks Timur Tengah, makna dari kata

"taklukanlah" tersebut adalah seperti seorang raja atau gembala yang mengurus hewan

peliharaannya dengan baik. Sementara, "menaklukkan" memiliki arti "mengolah"

tanah.7 Manusia digambarkan oleh sumber P sebagai mahluk yang diciptakan menurut

6
Robert Setio, “Dari Paradigma ‘Memanfaatkan’ Ke ‘Merangkul’ Alam,” Gema Teologi 37, no.2, (31
Oktober 2013), 165.
7
Agustin Soewitomo Putri, Menilik Prinsip Penatalayanan Manusia Terhadap Alam Berdasarkan Kejadian
1:26-28, volume 6, Nomor 2, Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, (April 2022), 757-758.

3
citra Allah. Manusia juga memiliki mandat dari Allah untuk menaklukkan bumi dan

berkuasa. Artinya manusia memiliki tugas dan juga tanggung jawab untuk mengelolah.

Doktrin Imago Dei tidak dapat dipahami lepas dari tugas panggilan manusia untuk

menguasai dan menaklukkan alam.8 Pemahaman yang keliru mengenai perikop ini

secara tidak langsung melegitimasi tindakan manusia yang secara destruktif

mengeksploitasi alam bahkan seluruh makhluk di dalamnya. Dua perintah yang

berkaitan erat dengan krisis ekologi adalah perintah untuk memenuhi dan

menaklukkan bumi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, teks Kejadian 1:28 ini

sering disalahtafsirkan untuk membenarkan perlakuan sewenang-wenang dari manusia

atas alam. Oleh karena itu, telah timbul banyak perdebatan tentang mandat ini, karena

dianggap sebagai salah satu teks yang paling kuat melegitimasi sikap dan perlakuan

eksploitatif destruktif yang ditunjukkan manusia atas alam. Cara orang percaya

memahami imannya juga turut menunjang terjadinya krisis ekologis. 9 Pemahaman yang

salah tentang manusia memiliki hak sepenuhnya atas segala ciptaan di bumi ini

membuat dampak yang cukup besar bagi ciptaan lainnya. Manusia mempunyai tugas

untuk menjaga bukan untuk merusak dan mengskploitasi alam. Saya mengambil

pemikiran dari Westerman, menulis tafsiran mengenai Kej.1:26-31, bahwa menurut

pandangan kuno tidak ada rujukan kepada eksploitasi, tetapi sebaliknya raja

bertanggungjawab secara pribadi terhadap kesejahteraan dan kemakmuran semua

yang dipimpinnya. Dari sana, kata menguasai dan menaklukkan dapat dibaca sebagai

tanggungjawab tersirat dalam diri manusia. 10

8
Emanuel Gerrit Singgih, Hidup di Bawah Bayang-bayang Maut: Sebuah Tafsiran Kitab Pengkhotbah ,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 77-78.
9
Pinem, T, Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut: Kajian Teologi Ekofeminisme , volume 1, nomor 2, Gema
Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual & Filsafat Keilahian, (2016), 155.
10
Claus Westermann, Creation, (Philadelphian: Fortress Press, 1978), 29.

4
Perintah untuk memenuhi bumi pada teks Kejadian 1:26-28 secara eksplisit

memunculkan kata “beranakcucu dan bertambah banyak, frasa ini dianggap sebagai

sebuah rujukan terhadap anjuran pernikahan kudus yang dilakukan oleh manusia.

Menurut pemahaman Kristen secara umum bahwa keberadaan teks Kejadian 1:26-28

dipakai sebagai pedoman pada satu ayat hafalan (liturgi) yang menjadi pembenaran

untuk berkembangbiak dan melanjutkan keturunan, serta memenuhi bumi (kejadian 1

ayat 28).

Allah pada kejadian 1 ayat 1, mengatakan “Pada mulanya Allah menciptakan langit

dan bumi” dan pada kejadian 1 ayat 31 “Maka Allah melihat segala yang dijadikanNya

itu sungguh amat baik”. Kita kembali membaca kejadian 1 ayat 28b yang berbunyi

sebagai berikut “Beranakcuculah dan bertambah banyak penuhilah bumi dan

taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan dilaut dan burung-burung di udara dan

segala binatang yang merayap di bumi”. Dalam keterangan tersebut diatas sangat wajar

jika Allah mengatakan hal tersebut kepada manusia yaitu Adam dan Hawa, dimana pada

waktu Allah berfiman keadaan bumi masih kosong dan Allah telah menyiapkan segala

keperluan manusia itu di dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara

taman itu (kejadian 2 ayat 15).

Dalam perjalanan selanjutnya Allah memberkati manusia di bumi sehingga mereka

menjadi bertambah banyak. Manusia hidup dalam berbagai macam persoalan dan

persoalan tersebut diselesaikan dengan kesepakatan diantara sesama manusia. Hingga

sampai pada zaman nabi Nuh, Allah murka dan mendatangkan air bah. Semua manusia

serta seluruh isi bumi musnah kecuali keluarga Nuh dan istrinya serta tiga orang

anaknya (Sem , Ham dan Yafet) dan seluruh binatang liar, binatang merayap burung

dan segala binatang yang terbang yang ikut bersama dengan Nuh (kejadian 7 ayat 13-

5
16). Lalu binasalah segala yang hidup dan segala yang ada nafas hidup dalam hidungnya

(kejadian 7 ayat 21-22). Demikianlah dihapuskan Allah segala yang ada, segala yang di

muka bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang melata dan burung-burung di

udara, sehingga semuanya itu dihapuskan dari atas bumi; hanya Nuh yang tinggal hidup

dan semua yang bersama-sama dengan dia dalam bahtera itu. Air bah berkuasa diatas

bumi seratus lima puluh hari lamanya (kejadian 7 ayat 23-24 ). Allah memberkati Nuh

dan anak-anaknya serta berfirman kepada mereka (kejadian 9 ayat 1), dan kejadian 9

ayat 7, lalu Allah memberkati Nuh dan anak-anaknya serta berfirman “beranakcuculah

dan bertambah banyaklah serta penuhi bumi (ayat 1) dan kamu beranakcuculah dan

bertambah banyak sehingga tak terbilang jumlahnya di atas bumi dan bertambah

banyaklah di atasnya. Jika kita perhatikan uraian diatas maka dapat kita ambil

kesimpulan bahwa ketika Allah berfirman pada manusia yaitu Adam dan Nuh untuk

beranakcucu dan bertambah banyak serta memenuhi bumi adalah sungguh-sungguh

karena bumi ketika itu masih kosong (Adam) dan dikosongkan (Nuh).

Manusia diperkirakan hidup di dunia sudah sekitar dua juta tahun yang lalu. Pada

10.000 tahun sebelum masehi, penduduk dunia diperkirakan baru sekitar 5 juta jiwa.

Pada tahun-tahun pertama setelah masehi, jumlah penduduk dunia telah berkembang

hampir mencapai 250 juta jiwa. Dari tahun pertama setelah masehi sampai permulaan

revolusi industri sekitar tahun 1750 populasi dunia sudah meningkat dua kali lipat

menjadi 728 juta jiwa. Selama 200 tahun berikutnya (1750-1950) jumlah penduduk

dunia mencapai 1,7 miliar jiwa. Dalam 25 tahun berikutnya (1950-1975), ditambah

dengan 1,5 miliar jiwa, jika dijumlahkan seluruhnya pada akhir 1975 telah mencapai 4

miliar jiwa. Pada tahun 1986, populasi dunia sudah mendekati angka 5 miliar, yang

diperingati secara simbolis dengan kelahiran salah satu bayi di negara Yugoslafia tepat

6
11 Juli 1987. Pada tahun 2005 jumlah penduduk dunia sudah mencapai angka 6,45

miliar (Duran 1967,Todaro 1983,UN. 2001 dan 2005).

Pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan ledakan penduduk, hal ini akan

sangat mempengaruhi kualitas kelestarian dan keseimbangan lingkungan dalam suatu

wilayah. Oleh karena itu, masyarakat sebagai aspek kependudukan berperan penting

dalam menentukan kualitas lingkungan. Lingkungan dewasa ini menghadapi masalah

yang cukup kompleks disebabkan oleh adanya dinamika kependudukan. Masyarakat

sebagai aspek kependudukan dikhawatirkan dapat menyebabkan kerusakan yang

berdampak terhadap lingkungan. Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh

makhluk hidup dan benda tidak hidup lainnya. Keberadaan lingkungan hidup sangatlah

penting bagi kehidupan manusia. Kerusakan lingkungan hidup dapat menyebabkan

terganggunya kehidupan manusia. Aspek kependudukan membawa pengaruh cukup

besar terhadap kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Meningkatnya jumlah

penduduk di suatu wilayah akan memberikan dampak terhadap lingkungan. 11 Sehingga

pelestarian lingkungan perlu dilakukan karena kemampuan daya dukung lingkungan

hidup sangat terbatas baik secara kuantitas maupun kualitasnya. 12 Manusia diciptakan

dengan kemampuan berfikir dan juga kemampuan melakukan suatu tindakan. Dalam

peningkatan jumlah penduduk manusia harus mampu berfikir bagaimana cara yang

tepat dan juga tindakan apa yang harus dilakukan untuk menyeimbangkan antara

penduduk yang meningkat dengan lingkungan yang semakin lama semakin merosot

daya kualitasnya.

Peningkatan jumlah penduduk yang cukup besar dan berdampak buruk terhadap

alam ini ternyata juga sudah dibicarakan dan di gagaskan oleh Thomas Robert Malthus
11
Novira Esa Framujiastri, Dampak Dinamika Kependudukan Terhadap Lingkungan , volume 2, Jurnal
Kependudukan dan Pembangunan Lingkungan, (2020), 34.
12
Rusdiana. A, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Bandung: Pustaka Tresna Bhakti, 2012), 141.

7
pada abad 18. Thomas Robert Malthus, adalah seorang pakar demografi Inggris dan

ekonom politk yang paling terkenal karena pandangannya yang pesimistik namun

sangat berpengaruh tentang pertambahan penduduk.13

Teori Maltus menjelaskan tentang pentingnya keseimbangan pertambahan

penduduk menurut deret ukur. Teori Malthus tersebut sebetulnya sudah

mempersoalkan persediaan bahan pangan dan daya tampung lingkungan. Tanah

sebagai suatu komponen lingkungan alam tidak mampu menyediakan hasil pertanian

untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang terus bertambah dan makin banyak. Daya

dukung tanah sebagai komponen lingkungan menurun, karena beban manusia yang

semakin banyak.14 Pemikiran Thomas Robert Malthus ini muncul karena pada saat itu

kondisi yang ada di Inggris jumlah penduduknya meningkat sangat pesat. Malthus

khawatir pertambahan penduduk ini akan berdampak buruk bagi alam jika tidak di

imbangi dengan ketersediaan bahan pangan dan lahan. Pertambahan penduduk yang

tinggi tidak terlepas dari pembukaan lahan baru untuk pemukiman dan peningkatan

teknologi. Hal ini berdampak tidak baik bagi mahluk hidup lainnya. Baik tumbuh-

tumbuhan dan juga hewan lainnya.

Penyebab pokok dari krisis bumi/lingkungan hidup ini adalah pola pendekatan

manusia modern terhadap alam yang keliru. Manusia kurang memperlakukan alam

sebagai sahabat dan hanya melihat sebagai obyek semata-mata. Alam dipandang

sebagai sarana, tambang kekayaan, sumber energi, sumber kekayaan yang memang

harus diekspoitasi bagi kebutuhan manusia. Inilah yang menyebabkan kerusakan

lingkungan semakin parah. Etika lingkungan muncul sebagai reaksi terhadap penafsiran

13
Muhammad Hasan, ddk, Teori-teori Pembangunan Ekonomi, (Bandung: CV. Media Sains Indonesia,
2020), 48.
14
Edmund Conway, 50 Gagasan Ekonomi yang Perlu Anda Ketahui, (Jakarta: Ensei Erlangga Group,
2015), 15.

8
firman Allah yang membenarkan praktek ekspoitasi alam tanpa batas sehingga

menimbulkan krisis lingkungan. Manusia kurang sadar, dengan merusak alam ciptaan,

manusia sebenarnya sedang menghancurkan peradaban dirinya sendiri. 15 Jika melihat

tindakan yang telah dibuat oleh manusia dari apa yang sudah ada di alam ini, maka kita

dapat kembali mengingat bahwa Alkitab telah mencatat bahwa apa yang sudah

diciptakan Allah baik adanya. Tetapi dalam mengelolah ciptaan Allah yang telah

disediakan itu, manusia perlu memahami dan menyadari bahwa selain mengelola isi

alam ini manusia dituntut juga untuk menata dan memelihara semua yang ada dalam

alam ini.

Dalam tulisan Robert P. Borrong ia mengatakan eksploitasi besar-besaran terhadap

sumber daya alam di planet bumi dimulai dengan datanya Revolusi Industri kurang

lebih 200 tahun lalu. Sejak itu dapat dikatakan, bahwa perusakan global dimulai.16 Jika

diamati dimasa sekarang ini, tingginya pengetahuan manusia dan berkembangnya

teknologi maka kesadaran manusia atas tanggung jawab menata dan memelihara alam

ini merosot bahkan pada kenyataanya manusia cenderung mengeksploitasi alam.

Kemajuan pembangunan dan persaingan ekonomi yang sangat pesat. Demi memajukan

pembangunan dan perekonomian, hutan yang hijau dibakar, kayu-kayu yang ada

ditumbangkan untuk kebutuhan pembangunan yang berlebihan, hutan yang hijau

dibabat untuk lokasi pertambangan sehingga alam menjadi gersang dan rusak.

Dampak kerusakan alam bagi kelangsungan hidup manusia dapat dilihat dari

bencana- bencana alam yang menimpa makluk hidup. Alam yang tidak terjaga, serta

dieksploitasi tanpa batas akan menjadi rusak dan akan menimbulkan bencana bagi

manusia itu sendiri. Ada banyak bencana alam yang menelan korban di sekitar

15
Lukas Awi, Tristanto, Panggilan Melestarikan Alam Ciptaan, (Yogyakarta: Kanisius. 2015), 78
16
Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 27.

9
Indonesia. Namun tidak bisa disangkal bahwa diluar Indonesia pun ada banyak bencana

alam yang menimpah manusia.17 Allah memberi mandat kepada kepada manusia untuk

bertanggung jawab memelihara dan memberi manfaat yang baik untuk alam dan segala

isinya.18 Akan tetapi di sisi lain, ada banyak manusia yang tidak menyadari tanggung

jawabnya tersebut. Sehingga terus menerus mengeksploitasi alam, demi kepentingan

pribadi maupun kelompok. 19


Keegoisan dan keserakahan manusia, yang menjadi

pemicu rusaknya alam di bumi ini, juga di pertegas oleh Lynn White Jr, yang menuduh

bahwa agama Kristen bertanggung jawab atas kerusakan ekologi dunia ini, oleh karena

berdasarkan ayat-ayat ini mereka mengeskploitasi habis-habisan kekayaan bumi tidak

perduli pada kerusakannya. Ayat 26-28 perlu direinterpretasi dengan menekankan

lebih banyak pada tangung jawab daripada kekuasaan sehingga tercapai

keseimbangan.20 Pemahaman yang salah terhadap teks Kejadian 1:26-28 menjadikan

manusia sebagai wakil Allah di dunia. Saya melihat manusia seakan-akan yang

mempunyai alam dan bebas mengeskpoitasi sesuai kebutuhannya. Landasan yang salah

ini ternyata berdampak buruk bagi ciptaan lainnya. Kerusakan alam dan juga semakin

punahnya ciptaan lain membuat ekosistem memburuk. Banyak terjadi bencana alam,

ketersediaan bahan pangan dan lahan semakin berkurang.

Untuk meninjau kerusakan alam yang terjadi akibat ulah manusia di sini saya

menggunakan pendekatan teologi dari Terence E. Fretheim. Fretheim adalah seorang

teolog yang mengupayakan sebuah studi teologis tentang penciptaan dalam Perjanjian

Lama pada tahun 2005. Dimana manusia (human), alam (nonhuman), dan Allah berada

17
Enggar Objantoro, “Bencana Alam Ditinjau Dari Perspektif Teologi Alkitab, ” volume 1, ATT Simpson
Ungaran, (2014), 136.
18
Dedi Mahardi, Terbalik Jadikan Musuh Terburukmu Sebagai Guru Terbaikmu , (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2018), 2.
19
Yohanis Panggalo Indu‟ and Philips Tangdilintin, Toraya Ma’kombongan, (Jakarta: Gunung Sopai, 2012),
46.
20
Emanuel Gerrit Singgih, Dari Eden ke Babel, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 68-69.

10
dalam relasi keutuhan ciptaan. Fretheim mengembangkan teologi relasional penciptaan

yang dia yakini sebagai sebuah keyakinan akan pemahaman Israel tentang Allah yang

secara meyakinkan membentuk relasi interdependence dalam penciptaan. Tuhan dan

ciptaan harus dipertimbangkan bersama-sama dalam natural order walau tidak dapat

dipungkiri bahwa pendekatan teologis bukan satu-satunya cara yang sah untuk melihat

teks-teks Alkitab yang berbicara tentang penciptaan dimana studi dan sosio-historis

akan terus menjadi sangat penting, dan itu pulalah yang digunakan oleh Fretheim. 21

Allah, manusia (human) dan alam (nonhuman) berada dalam sebuah relasi mutualis

(in a relationship of mutuality). Mereka berada dalam interdepensi keutuhan ciptaan

yang memungkinkan mereka untuk saling terkait satu sama lain dalam tatanan alam

semesta. Interdepensi ini menunjukkan hubungan timbal balik antara Allah dan

mahkluk hidup (human dan nonhuman) dan sesama mahkluk hidup. 22 Saya setuju

dengan landasan ini karena memang pada dasarnya Allah menciptakan mahluk hidup

lainnya untuk berkembangbiak. Tumbuh-tumbuhan dan hewa-hewan lainnya juga perlu

berkembangbiak bukan hanya manusia saja. Artinya disini mahluk hidup lainnya juga

membutuhkan ruang dalam perkembangannya. Manusia juga membutuhkan mahluk

hidup lainnya untuk berkembangbiak begitu juga dengan ciptaan lainnya juga

membutuhkan manusia dalam setai prosesnya. Pemahaman yang timbal balik ini akan

mengacuh pada kesadaran untuk menjaga alam dan mengembangkannya. Bukan hanya

untuk merusak dan mengeskpoitasi saja.

Fretheim menilai interdepensi itu sejalan dengan perkataan Michael Welker yang

mengatakan: Where the conventional guiding conceptions [of creation] focus upon

21
Tiffany Tamba, Relational Theology: A Critical Theological Review of Ecological Damage in the Lake
Toba Area According to the Fretheim’s Perspective, volume 4, nomor 1, Jurnal Teologi “Cultivation”,
(2020), 117.
22
Terence E. Fretheim, God and World in the Old Testament; A Relational Theology of Creation,
(Nashville: Abingdon Press, 2005). 39, 44.

11
division and hierarchical arrangement, the classical creation accounts [in Genesis]

emphasize the connectedness and cooperation of creator and that which is creaturely.

In no way do the creation accounts of Genesis offer only a gloomy picture of sheer

dependence. God's creative action does not confront that which is created with

completely finished facts. The creature's own activity as a constitutive element in the

process of creation is seen in harmony with God's action." 23

Itu berarti keberadaan Allah, alam dan manusia bisa jadi digambarkan berada dalam

sebuah rangkaian yang tidak putus. Mereka memiliki hubungan timbal balik yang

mumpuni. Di satu sisi bersifat independen, di lain sisi bergantung dengan mahkluk lain

dan. saling tergantung di antara mereka sendiri. Setiap makhluk memiliki peran

independen tapi juga bergantung pada makhluk lainnya. 24 Kelihatan Allah memberi

kemerdekaan bagi ciptaan-Nya di samping Dia tetap bergerak dan memberi ruang bagi

yang lain. Sehingga masuk akal jika Fretheim mengaitkan penciptaaan yang

berkelanjutan dengan upaya melestarikan/mempertahankan dunia. Penciptaan

memerlukan pelestarian dalam arti yang luas meliputi pengembangan penciptaan

melalui ruang dan waktu yang memungkinkan munculnya realitas yang benar-benar

baru di dunia yang semakin kompleks. Karya kreatif Allah terus-menerus melestarikan

dan menginovasi.25 Sifat hubungan timbal balik di antara makhluk juga penting:

meskipun relatif mandiri, mereka bergantung pada makhluk lain dan saling bergantung

di antara mereka sendiri. Baik manusia maupun hewan diberikan peran yang mandiri

(1:22, 28; 2:24). Pada saat yang sama, manusia dan hewan sangat bergantung pada

tanah (bersama dengan pepohonan, 2:9, 16) tidak hanya untuk makanan dan mata

pencaharian mereka, tetapi juga untuk keberadaan mereka (1:29-30, 2:5). -7, 19). Pada

23
Terence E. Fretheim, God and, 301.
24
Terence E. Fretheim, God and, 302.
25
Terence E. Fretheim, God and, 38.

12
saat yang sama, tanah bergantung pada manusia untuk perkembangannya yang tepat

(25 15), juga bergantung pada hujan (2:5). 26 Saya memahami bahwasannya Fretheim

menekankan tentang pentingnnya melestarikan alam yang ada. Sebab pada dasarnya

mahluk hidup yang diciptakan oleh Allah hidup disatu lingkung yang sama. Artinya

setiap mahluk hidup saling membutuhkan dan semua mahluk hidup yang diciptakan

oleh Allah perlu diperhatikan untuk bisa sama-sama berkembang. Hal ini merupakan

cara baru untuk mempertimbangkan tindakan arogan manusia untuk merusak alam.

Penigkatan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan ketersediaan bahan

pangan dan lahan sangat berdampak buruk bagi alam dan ciptaan lainnya.

Pembangunan industri dan pembukaan lahan yang berlebihan dapat menghambat

perkembangan ciptaan lainya. Manusia diciptakan Allah seturut gambar dan rupa-Nya

hal ini terdapat pada ayat 26. Bahkan Allah memberkati manusia untuk beranak cucu

dan bertambah banyak. Dalam beranak cucu manusia juga mendapat perintah dari

Allah untuk taklukkan dan berkuasa. Saya melihat melalui teks ini banyak yang salah

mengartikan perintah Allah. Banyak orang yang menjadi bebas mengeskploitasi alam

demi perkembangan dan juga kebutuhan manusia. Mereka tidak sadar bahwasannya

mahluk hidup ciptaan lainnya juga perlu berkembang biak. Mereka menganggap

perbuatan yang salah itu menjadi benar karena, Kejadian 1:26-28 terdapat perintah

untuk taklukkan dan berkuasa. Lewat permasalahan ini penulis tertarik untuk

membaca ulang Kejadian 1:26-28 menggunakan pendekatan teologi penciptaan rasional

dari Terence E Fretheim.

Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan pendekatan dari Terence E

Frethein untuk menafsir tek Kejadian 1:26-28. Penulis tertarik menggunakan

pendekatan ini karena ada pemahaman teologi penciptaan terbaru yang bisa dipahami
26
Terence E. Fretheim, God and, 270.

13
lebih mudah. Konsep teologi penciptaan relasional ini sangat berhubungan dengan

konteks sekarang yang membutuhkan pemahaman hubungan antara Human dan

nonhuman. Saya memahami bahwasannya Fretheim memandang setiap ciptaan yang

ada baik tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia dan juga alam saling terikat

(berhubungan). Artinya setiap ciptaan yang ada saling membutuhkan, sehingga perlu

adanya timbal balik dalam mengelolah dan berkembang biak.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Apa yang dimaksud dari teologi penciptaan relasional

1.2.2. Bagaimana Pendekatan teologi penciptaan rasional Terence E Fretheim

memandang teks Kejadian 1:26-28

1.2.3. Apa sumbangan dari pendekatan teologi penciptaan rasional Terence E

Fretheim terhadap keadaan masa kini yang menyalahartikan teks Kejadian

1:26-28 untuk keperluan manusia.

1.3. Pembatasan Masalah

Dalam tulisan ini, penulis membuat batasan masalah, penulis akan meneliti Kejadian

1:26-28 dengan menggunakan pendekatan teologi penciptaan rasional Terence E

Fretheim.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya maksud dari teks Kejadian 1:26-

28 dalam konteks penciptaan dan konteks sekarang.

1.4.2. Untuk mengetahui apa dan bagaimana pendekatan Teologi penciptaan

rasional Terence E Frethein

1.4.3. Untuk memberikan sumbangan pemahaman baru terhadap teks Kejadian

1:26-28 dengan teologi dari Terence E Frethein dalam situasi sekarang.

14
1.5. Manfaat Penulisan

1.5.1. Manfaat penulisan ini, untuk mengetahui bagaimana sebenarnya maksud

dari teks kejadian 1:26-28 dalam konteks penciptaan dan konteks sekarang.

1.5.2. Penulisan ini, bertujuan untuk mengetahui pedekatan teologi penciptaan

rasional Terence E Frethein

1.5.3. Penulisan ini bertujuan untuk memberikan sumbangan pemahaman baru

terhadap teks Kejadian 1:26-28 dengan teologi Terence E Frethein dalam

situasi sekarang.

1.6. Metode Penulisan

Dalam menulis karya ilmiah ini, penulis menggunakan metode tafsir historis kritis

untuk memperhatikan latar belakang historis dari teks yang ditafsirkan. Meneliti dan

menemukan makna teks sebagaimana yang dimaksud oleh penulis teks dalam konteks

sejarahnya dengan meneliti situasi kehidupan yang melatarbelakangi penulis kitab

untuk menuliskan teksnya. Selanjutnya yang digunakan dalam penulisan ini adalah

studi kepustakaan. Penulis mengumpulkan data dari berbagai sumber literatur dan dan

juga menggunakan pendekatan teologi penciptaan rasional Terence E Fretheim. penulis

harus mencari pemahaman secara etimologis, baik dalam bahasa Ibrani dan

pemahaman dari Terence E Fretheim untuk memperoleh pemahaman dalam teks

Kejadian 1:26-28. Beberapa pendapat ahli pun digunakan untuk memperkaya

pemahaman tersebut.

1.7. Sistematika Penulisan

Dalam karya ilmiah ini, penyusun membagi

• Bab I : Pendahuluan

15
Dalam bab I penulis akan menjelaskan tentang pendahuluan yaitu latar belakang

masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penulisan, hipotesa, manfaat

penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

• Bab II : Pembahasan

Dalam bab ini penulis akan memaparkan teori-teori dari beberapa tokoh yang

berhubungan dengan teks kejadian 1:26-28 dan memaparkan pemahaman tentang

teologi penciptaan rasional Terence E Fretheim

• Bab III: Hermeneutik Kejadian 1:26-28

Dalam bab ini penulis akan memaparkan hermeneutik Kejadian 1:26-28 yang

dilandaskan pada pendekatan teologi penciptaan rasional

 Bab IV : Implementasi Kejadian 1:26-28

Dalam bab ini penulis akan memaparkan implementasi dari Kejadian 1:26-28 pada

konteks sekarang

• Bab V : Kesimpulan dan Saran

Pada bab V, penulis akan memberikan kesimpulan dan saran.

16
17

Anda mungkin juga menyukai