NPM : 0221403213
Prodi : Teologi
Mata Kuliah : Misiologi
Berbicara tentang misi dalam terang iman kristiani, Para Rasul adalah teladan dalam
melaksanakan perutusan imamat Agung Yesus Kristus (Mat 28:19-20). Mereka mewartakan
karya keselamatan Allah yang terpancar dalam seluruh peristiwa Yesus. Melalui Para Rasul,
Gereja lahir dan berkembang hingga sekarang ini. Berkat bimbingan Roh Kudus pula, mereka
dipanggil untuk mewartakan Kerajaan dan Karya keselamatan Allah yang termaktub dalam
pribadi Yesus sesuai dengan panggilan ilahi.
Bertolak dari semangat para rasul dalam mewartakan karya keselamatan Allah, umat
Kristiani yang berkumpul sebagai Gereja masih terus berjuang hingga sekarang ini. Beragam
perubahan yang disebabkan oleh perkembangan jaman menuntut rasul-rasul menyesuaikan
diri dengan kondisi lingkungan sekitar saat ini. Tidak hanya para rasul, Gereja pun dituntut
untuk selalu memperbaharui dirinya-Ecclesia semper reformanda. Meskipun Gereja dan karya
misi senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan sekitarnya, inti dari pewartaan misi
adalah tetap, yaitu karya keselamatan Allah dalam diri Yesus Kristus yang adalah Injil. Juga
perlu dipahami bahwa semangat dan roh yang mendasari dari karya-karya ini adalah Allah
sendiri. Allah hadir kepada mereka melalui Roh Kudus. Roh Kudus telah dijanjikan oleh Yesus
bahwa Ia akan menyertai para rasul dan penerusnya hingga akhir zaman. Karena Roh Kudus
adalah Allah sendiri dan senantiasa menyertai, membimbing dan sekaligus diwartakan, maka
dapat dikatakan bahwa Allah adalah misi itu sendiri.2
Gereja, dalam bimbingan Roh, didorong untuk memiliki misi sebagaimana hal ini
menjadi tugas dan tanggung jawab setiap umat Kristiani untuk menjadi saksi Injil bagi dunia.
Gerejalah misi itu. Misi memberi terang bagi setiap orang agar mengenal Yesus sebagai
juruselamat para bangsa.3 Akan tetapi, meskipun Gereja adalah misi yang mewartakan Yesus
kepada setiap orang sebagai juruselamat seluruh bangsa, Gereja juga harus membuka mata
bahwa tidak semua orang sepaham dan seiman dengan Gereja. Hal ini tidak lepas dari
kenyataan bahwa ada berbagai agama ataupun sistem kepercayaan yang ada dan berkembang
di dunia ini. Oleh karena itu, perlu ditegaskan bagaimana misi itu baiknya dilakukan.
Dengan konteks sekarang ini, karya misi tidak hanya berkutik pada conversi, melainkan
berusaha untuk melihat dunia secara lebih berbeda, yaitu melihat dengan kacamata Allah.
Membantu setiap orang (memperoleh keselamatan), bahkan yang memiliki pandangan
1
Judul ini diambil berdasarkan pokok bahasan yang diambil dari Bab IV “Mission in the Twenty-first Century”, Stephen
B. Bevans and Rogers P Schroeder, Prophetic Dialogue: Reflection on Christian Mission Today, 2011, Newyork: Orbis
Book-Morycroll, p.56-63.
2
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p.11.
3
Lumen Gentium art. 1.
1
ataupun iman yang berbeda adalah misi itu sendiri.4 Misi akan lebih baik jika dimengerti
sebagai panggilan Allah untuk bekerja dalam membangun dunia yang damai, adil, harmonis
dan menghormati kebudayaan ataupun lingkungan hidup sekitar.5 Panggilan dan keadaan
inilah yang akan membawa kita pada salah satu pemahaman tentang misi sebagai sebuah
“dialog kenabian”.6
Ketika membicarakan misi sebagai dialog, dasar yang paling utama adalah kesatuan
Allah Trinitas. Peristiwa ketika Yesus dibaptis kepada Allah Bapa merupakan salah satu contoh
dari dialog Trinitas. Kehadiran Roh Kudus juga menjadi gambaran kehadiran Allah Bapa kepada
Yesus (Luk 3:21-22; Mat 3:13-17; Mrk 1:9-11; Yoh 1:32-34). Juga dalam misteri Paskah, karya
Roh Kudus kepada Yesus, penyertaan Allah hingga kebangkitan Yesus menjadi ciri khas relasi
4
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 58.
5
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 59.
6
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 59. “Prophetic dialogue” merupakan istilah yang digunakan dalam buku ini
untuk menjelaskan bagaimana Konggregasi SVD menjalankan misinya.
7
Lih. Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 120-124.
8
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 19.
99
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 20. Mission is not just a matter of doing things for people. It is first of all a
matter of being with people, of listening and sharing with them.
10
Saya menerjemahkan istilah prophetic dialogue dengan istilah dialog kenabian.
2
Cinta Kasih. Relasi ini disebut Oleh Gregorius dari Nyssa sebagai persekutuan keselamatan di
mana Allah memanggil setiap orang untuk ambil bagian dalam karya ilahi Allah. Yesus menjadi
gambaran realistis dialogis. Yesus menyapa orang-orang miskin, sakit, terlantar dan juga
orang-orang di luar suku Yahudi.11 Melalui peristiwa Yesus dan juga relasi Triniter, kita dapat
melihat beberapa karakter otentik dialog: saling menghormati, keterbukaan, keingingan untuk
memahami, kerendahan hati, kejujuran.12
Menurut B. Bevans dan Rogers P. Schroeder, meskipun misi sebagai dialog sangat
dibutuhkan dan menjadi dasar bagi kegiatan misi pastoral, dialog sebagai misi saja tidak
cukup. Diperlukan suatu hal yang lebih besar dalam bermisi, yaitu sifat kenabian yang
menekankan suatu nubuat. Kita perlu menambahkan sifat kenabian dalam bermisi.15 Seperti
11
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 25.
12
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 29.
13
Lih. Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 29. Gambaran ini diungkapkan oleh T. Rush yang dikutip oleh Bevans
and Schroeder.
14
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 33.
15
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 38.
3
yang diungkapkan oleh Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus,“Celakalah aku jika tidak
mewartakan Injil” menjadi landasan bagi Paulus untuk menjadi pewarta Kristus, misionaris.16
Oleh karena itu, dengan mengatakan bahwa misi harus diselesaikan dalam ranah dialog
kenabian, kita perlu melihat terlebih dahulu bagaimana sifat dan pemahaman tentang misi
dengan unsur kenabian di dalamnya.
Untuk sedikit lebih memahami suatu nubuat dan sifat kenabian dalam bermisi, kita
perlu memahami apa itu nabi. Pertama, seorang nabi adalah seseorang yang mampu
mendengarkan Allah dengan sepenuh hati, ia harus mampu memperhatikan tanda-tanda yang
diberikan oleh Allah. Kedua, seorang nabi adalah seorang “speak forth”. Dalam hal ini ada dua
artian: 1) seseorang yang telah mendengarkan Sabda Allah sehingga dengan penuh iman
menyatakan pesan Allah baik dalam perkataan ataupun perbuatan; 2) seorang nabi speak
forth masa depan. Ia menyatakan tentang masa depan yang tidak hanya sekedar cerita
tentang hal-hal baik di masa depan, melainkan rencana karya keselamatan Allah. Ketiga, nabi
adalah orang yang berbicara dalam nama Allah ketika manusia menyimpang dari panggilan-
Nya. Hal ini juga mengandung ramalan di masa depan, seperti penglihatan nabi Yoel tentang
hari kedatangan Allah.19
Nubuat, seperti misi itu sendiri memiliki berbagai aspek yang saling terjalin satu sama
lain, yaitu disampaikan melalui sabda atau perkataan sekaligus juga dilanjutkan dengan
perbuatan. Dalam hal ini juga, B. Bevans dan Rogers P. Schroeder menyatakan empat hal yang
musti dilakukan dan dimiliki oleh seorang nabi; 1) menjadi saksi yang senantiasa
mendengarkan, terbuka dan berani menyerahkan dirinya pada sabda Allah; 2) menjadi
pewarta sabda Allah yang terungkap dalam misteri hidup, karya dan kebangkitan Yesus
Kristus; 3)menjadi komunitas yang berbeda. Hal ini tidak berarti anti terhadap kebiasaan atau
adat yang berlaku, melainkan menjadi suatu komunitas baru yang menghidupi nilai-nilai
Kerajaan Allah seperti yang diajarkan Yesus dalam khotbah di bukit; 4) berani menyatakan
16
Lih. 1 Kor 9:16-23
17
Saya menerjemahkan istilah Prohecy dengan nubuat, dan Prophetic dengan kenabian.
18
Lih. Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 41. “If mission is and must be dialogical because God is dialogical both
in God’s deepest nature and in the way God acts in the world, mission is and must be prophetic because God’s inner
nature is also prophetic, and because God is prophetic in dealing with creation.
19
Lih Yoel 2:1-2
4
nilai-nilai kebenaran yang telah dinyatakan oleh Allah melalui nubuatnya agar dilakukan oleh
manusia.20
Dalam aspek kenabian, ada tiga gambaran yang disampaikan oleh B. Bevans dan Rogers
P. Schroeder, yaitu sebagai guru, pencerita dan pemandu jalan. Sebagai seorang guru berarti
mengandaikan ada suatu hal yang semestinya harus diajarkan. Selain itu, guru harus terbuka
terhadap pertanyaan, sanggahan dan kritik yang diterimanya. Ia juga harus mengerti setiap
orang di dalam kelasnya. Seperti juga dalam misi, guru diibaratkan sebagai guru yang baik hati.
Ia harus menyatakan Kerajaan Allah dengan sikap yang terbuka dan membimbing muridnya
dengan rendah hati. Dalam hal ini juga, aspek dialog senantiasa mendasari kegiatan kenabian
sebagai guru. Sebagai seorang pencerita, seorang nabi harus memiliki kemampuan untuk
menarik perhatian orang lain. Ia menggunakan kata-kata dengan baik agar pendengarnya
mampu mengerti apa yang ia ceritakan. Misi juga demikian, misionaris harus mengetahui
siapa pendengarnya dan ia harus mencari cara untuk memikat pendengarnya sehingga ketika
mengajarkan tentang nilai Injili, Ia mampu menarik perhatian pendengar dan menyampaikan
dengan baik.
Menjadi pembimbing jalan berarti seorang nabi diandaikan sudah mengetahui jalan
mana yang harus ditempuh. Tidak boleh dilupakan bahwa seorang nabi memerlukan suatu
pengalaman dalam memahami jalur, pengetahuan tentang arah, disiplin diri dan kemampuan
untuk memimpin yang lain. Ia harus mampu mengarahkan setiap orang yang dibimbingnya
pada satu tujuan saja, yaitu kepada Allah dengan nilai-nilai Kristiani.
Petunjuk pertama yang digunakan dalam pembaruan adalah karya Karl Bath dan Karl
Hartenstein yang melandaskan dan menegaskan misi pada akar trinitaris. Seperti yang
diungkapkan dalam Konferensi Willingen (1952), gereja berkembang dalam misi bukan karena
gereja memiliki misi, melainkan Allah-lah yang bekerja dan menjadi dasar sekaligus misi itu
sendiri. Dari perspektif ini, menjadi Kristiani berarti dibaptis dan masuk dalam kehidupan
Allah. Sementara itu, gereja adalah wujud karya sakramental di mana Allah bekerja di dalam
dunia untuk memanggil manusia agar masuk dalam persekutuan dengan Allah.23
Kedua, seperti yang diungkapkan dalam Konsili Gereja, kita melihat ide atau gagasan
misi dikembangkan pada 1971, yaitu ketika Uskup-uskup di dunia menyakan untuk berkarya
20
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 43-48.
21
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 59.
22
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 63.
23
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. P57; 2 Kor 5:19-20.
5
demi keadilan di dunia sebagai elemen konstitutif dalam mewartakan Injil. Karya Paus Paulus
VI, Evangelii Nuntiandi memberikan gambaran melalui para saksi dan pewartaan sabda
sekaligus sebagai undangan kepada keselamatan seturut evangelisasi. Yohanes Paulus II,
dalam Ensikliknya Redemtoris Missio menambahkan dimensi dialog antaragama sebagai salah
satu jalan untuk menemukan jalan bersama atas isu-isu tentang keadilan, kedamaian dan
bersama-sama berkembang dalam berbagai aspek dalam kebudayaan ataupun kehidupan
bersama.24
Perlu ditekankan lagi bahwa misi, pertama-tama adalah dialog. Seperti yang ditekankan
oleh misionaris SVD bahwa bermisi perlu mengembangkan spiritualitas masuk dalam
kebudayaan orang lain yang berbeda. Kita perlu meninggalkan tanah air, kehidupan yang
menyenangkan dan menjadi paskah bagi kebudayaan dan masyarakat lain.25 Misi sebagai
dialog juga sebagai misi kehadiran, misi untuk menghormati orang lain. Itulah kesaksian yang
pada dasarnya Allah menyampaikan kehadiran-Nya dan penyertaan-Nya kepada manusia.26
Tidak boleh dilupakan juga bahwa ciri khas dalam misi adalah aspek kenabian yang
menyampaikan nubuat, tentang karya Allah. Didorong oleh semangat ‘ketersimaan’ kita
kepada kabar baik tentang Allah yang terwujud dalam pribadi Yesus Kristus. Misionaris bekerja
sebagai seorang nabi. Dalam Perjanjian Lama kita mengenal nabi-nabi seperti: Amos, Hosea,
Yesaya. Juga dalam perbuatan dan tindakan nyata yang musti dilakukan adalah
memperjuangkan keadilan. Misi sebagai suatu nubuat sekarang ini, tidak boleh lepas dari
konteks Gereja sebagai suatu komunitas. Komunitas yang secara khas menunjukkan dirinya
sebagai komunitas yang menunjukkan Kerajaan Allah.27
Pada akhirnya, misi tidak bisa hanya sekedar menekankan satu aspek dialog atau pun
nubuat, melainkan dalam pelaksanaannya harus menekankan dua aspek ini sekaligus. Dalam
hal ini, misi dikenal sebagai dialog kenabian. Pemikiran ini disampaikan oleh David Bosch yang
menekankan pewartaan “kabar gembira” di mana para misionaris perlu untuk mewartakan
seperti Allah melakukannya, yaitu dengan kesabaran, rasa hormat.28 Akan tetapi, meskipun
bisa dimengerti bahwa misi sekarang ini lebih cenderung ke arah dialog kenabian, masih ada
satu hal lagi yang diperlukan, yaitu teologi kontekstual.
Teologi kontekstual dalam melakukan misi sebagai dialog kenabian sangat diperlukan
untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan dimana dan kapan harus berdialog ataupun
bernubuat. Selain itu, misi pun juga bergantung pada situasi dimana seorang misionaris harus
berada dan berkarya. Dalam hal ini pula, teologi kontekstual tidak berpacu pada dialog dengan
lingkungan sekitar, dimana seorang misionaris bertemu dengan masyarakat sekitar, melainkan
juga berdialog dengan umat beragama lain. Oleh karena itu, dalam mengambil langkah untuk
berteologi secara kontekstual dalam bermisi, seorang misionaris juga sedang melakukan
refleksi dan rekonsiliasi diantara berbagai kelompok dan lawan-lawan dalam situasi dan
tempat tertentu.
24
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 58.
25
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 59.
26
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 60.
27
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 60-61.
28
Bevans and Schroeder, Prophetic, 2011, p. 62.
6
Penutup: Kesimpulan dan Tanggapan Pribadi
Dari berbagai uraian yang dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, saya memahami
bahwa kegiatan misi, pertama-tama diilhami oleh Allah yang melalui Roh Kudus menyertai
manusia dan mencapai kepenuhannya dalam pribadi Yesus Kristus. Dapat dilihat bahwa inilah
aspek trinitaris yang mendasari semangat bermisi. Misi itulah yang menggerakkan dan
melahirkan Gereja, bukan Gereja yang melahirkan misi. Akan tetapi, sekarang ini Gereja harus
memiliki misi di mana ia harus melanjutkan karya keselamatan dalam dua ranah pokok
kontekstual, yaitu sebagai dialog dan sebagai suatu nubuat tentang karya keselamatan. Dua
aspek ini tidak terpisah satu sama lain, melainkan saling melengkapi sebagai suatu sarana
ataupun cara untuk memahami misi di zaman sekarang ini.
Saya juga memahami bahwa dialog kenabian dengan memperhatikan aspek teologi
kontekstual sangatlah diperlukan dalam bermisi sekarang ini. Bukan hanya sekedar melihat
bahwa dialog hanya dilakukan di Asia, ataupun pernubuatan dilakukan di Afrika, melainkan
dialog dan nubuat sebagai suatu cara untuk memahami misi sekarang ini dimanapun misi itu
berada. Saya juga mendapat suatu pemahaman baru bahwa dalam berdialog, seorang
misionaris berusaha dan belajar untuk melihat konteks bahasa, budaya dan kebiasaan
masyarakat setempat. Melalui proses pembelajaran tersebut, seorang misionaris berusaha
mendapatkan tempat dalam masyarakat tersebut sehingga bisa melaksanakan misi sebagai
nubuat, di mana ia dapat mewartakan tentang karya keselamatan Allah yang terjelma di
dalam diri pribadi Yesus Kristus.
Menjadi suatu kesan yang menarik bagi saya ketika pemahaman misi mengarah kepada
dialog kenabian sehingga tujuan misi berubah dari yang membaptis (mempertobatkan orang
yang belum kristiani) menjadi suatu dialog yang mencapai tujuan bersama berupa keadilan,
toleransi, saling menghormati untuk martabat manusia. Juga dalam Pernyataan “Nostra
Aetate” tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristen art. 2, dikatakan
bahwa,
“Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan
sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup,kaidah-kaidah serta
ajaran-ajaran, ... yang memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun, Gereja
tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan,kebenaran, dan hidup... .
Maka, Gereja mendorong para putranya supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan
kerjasama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta
perihidup Kristiani...”
Dari pernyataan tersebut, sulit bagi saya untuk tidak setuju terhadap tulisan Bevans dan
Schreoder tentang misi sekarang ini, meskipun di dalam Redemptoris Missio ditegaskan bahwa
dalam bermisi, kita musti mewartakan bahwa Yesuslah pintu satu-satunya masuk kepada
Bapa.29 Di sini pun saya melihat suatu enigma bagi saya yang musti saya selesaikan. Akan
tetapi, saya lebih cenderung kepada misi sebagai dialog karena sekalipun sifatnya lebih
menekankan aspek kemanusiaan, Yesus pun juga demikian, Dialah Anak Manusia, Anak Sabat
yang rela menyembuhkan dan menyelamatkan sesama-Nya daripada mengikuti aturan sabat
orang Yahudi.
29
Lih. Redemptoris Missio, art. 5
7